Anda di halaman 1dari 8

A.

Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang amat sakral dalam pandangan islam. Pernikahan
juga merupakan salah satu sunnah rasul yang harus di jalani dalam mengarungi sebuah
bahtera kehidupan serta menjadi suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan
umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya,
yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat. Pada dasarnya, dua
orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga
dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk
keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah
tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah
yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan,
termasuk pernikahan, perceraian (thalak), rujuk, idah, dan sebagainya. Talak dapat
dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk
mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat
melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan rumah
tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah
tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-
penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian
perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang
menimpa suami atau istri.
Namun demikian, bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai biasa atau cerai
mati (ditinggal mati), tidaklah boleh langsung menikah lagi dengan laki-laki lain, melainkan
ia harus menunggu untuk sementara waktu lebih dahulu. Masa menunggu bagi wanita yang
bercerai itu disebut iddah. Diadakan masa iddah itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah
selama masa iddah itu wanita tersebut hamil atau tidak, dan jika ternyata hamil maka anak
tersebut masih sebagai anak dari suami yang pertama. Selain itu, iddah dimaksudkan sebagai
masa untuk berpikir ulang bagi suami istri untuk menetukan kelanjutan hubungan mereka.
Jika ternyata dalam masa iddah itu, suami istri menyesali perceraian mereka, mereka bias
rujuk atau kembali ke ikatan pernikahan mereka yang lama.

Aturan-aturan tentang talak, iddah, dan rujuk telah diatur dengan lengkap dalam agama
islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng diatasdapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
1. Apa saja kata kunci dari definisi Rujuk dan Ihdad?
2. Apa hikmah dari rujuk
3. Bagaimana tata cara rujuk?
4. Bagaimana hak rujuk dan hak perempuan dalam ihdad?
5. Apa saja rukun dan syarat dalam rujuk?
6. Kedudukan Hukum Dan Hikmah Ihdad ?
C. Tujuan Penulisan
Tulisan ini bertujuan agar para pembaca bisa mengerti hal-hal yang harus diperhatikan
mengenai rujuk agar terlaksana dengan baik.

BAB II
PEMBAHASAN
RUJUK DAN IDDAH
RUJUK
1. Pengertian Rujuk
Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam pengertian
terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan istri yang telah dicerai
raji bukan cerai bain, dan dilaksanakan selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum
perkawinan islam rujuk merupakan tindakan hukum yang terpuji (Ali, 2006: 90).
Menurut Al-Mahali dalam Syariffudin (2009: 337) mendefinisikan rujuk sebagai
kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama dalam masa
iddah.
Dari definisi-definisi tersebut terlihat beberapa kata kunci yang menunjukan hakikat
dari perbuatan yang bernama rujuk itu:

Kata atau ungkapan kembali mengandung arti bahwa diantara keduanya sebelumnya telah
terikat dalam perkawinan, namun ikatan tersebut telah berakhir dengan perceraian, dan laki-
laki yang kembali kepada orang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam
pengertian ini,
Ungkapan atau kata yang telah dicerai raji mengandung arti bahwa istri yang bercerai
dengan suaminya itu dalam bentuk yang belum putus atau bain , hal ini mengandung maksud
bahwa kembali kepada istri yang belum dicerai atau telah dicerai tetapi tidak dalam bentuk
talak raji tidak disebut rujuk dan
Ungkapan atau kata masih dalam masa iddah mengandung arti bahwa rujuk itu hanya
terjadi selam istri masih berada dalam iddah. Bila waktu telah habis mantan suami tidak dapat
lagi kembali kepada istrinya dengan nama rujuk, untuk itu suami harus memulai lagi nikah
baru dengan akad baru (Syariffudin, 2009: 337-338).

2. Rujuk terhadap Wanita yang Ditalak Bain


Menurut Imamiyah, Hanafiyah, Malikiyah, dan Hambaliyah dalam Mughniyah (2008:
483), berpendapat rujuk terhadap wanita yang ditalak bain terbatas hanya terhadap wanita
yang di talak melalui khulu (tebusan), melainkan dengan syarat sudah dicampuri. Hendaknya
talaknya itu bukan merupakan talak tiga. Para Mazhab tersebut sepakat hukum wanita seperti
itu sama dengan wanita lain (bukan istri) yang untuk mengawininya kembali disyaratkan
adanya akad, mahar, wali, dan kesediaan si wanita. Dalam hal ini selesainya iddah tidak
dianggap sebagai syarat.

Menurut (Rifai, Masudi, 1986: 275) mengatakan, seorang suami yang menceraikan
istrinya tiga kali atau lebih, maka suami tersebut tidak boleh melakukan rujuk kepada
istrinya, melainkan dengan beberapa syarat yaitu: telah selesai masa iddah perempuan
tersebut darinya, perempuan tersebut menikah lagi dengan lelaki lain, telah bersetubuh
dengan lelaki yang telah dikawininya lagi, telah dicerai lelaki tersebut tiga kali cerai, dan
telah selesai masa iddahnya dari lelaki tersebut.

3. Rukun dan Syarat Rujuk


Seseorang yang melakukan rujuk harus memenuhi syarat-syarat dan rukun dalam
rujuk.
a. Rukun Rujuk
Menurut Ayub, (2001: 281-283) yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri
disyaratkan sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak sendiri,
rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari suami) bukan melalui
perbuatan (campur), dan hadirnya saksi. Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat,
apakah saksi itu merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian mengatakan
wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Imam
Syafii berpendapat hal tersebut tidak sah, yang berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh
bahwa rujuk harus dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan
hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para ulama, rujuk dengan
perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada firman Allah swt yang berbunyi: Dan
suami-suami berhak merujukinya. Dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan perkataan
atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat tersebut hanya sunnah, bukan wajib
(Rasjid, 1994: 420).

b. Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan rujuk mantan suami
dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
a) Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang merujuk itu adalah sebagai
berikut: laki-laki yang merujuk adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi
istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk itu mestilah seseorang yang
mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat
akalnyadan bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih belum dewasa
atau dalam keadaan gila tidak sah ruju yang dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu
dilakukan atas paksaan dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang yang
mabuk karena sengaja minum-minuman yang memabukkan, ulama berbeda pendapat
sebagaimana berbeda pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh orang
mabuk.
b) Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi perempuan yang dirujuk itu
adalah: perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang merujuk, istri itu telah
diceraikan dalam bentuk talak raji. Tidak sah merujuk istri yang masih terikat dalam tali
perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk talak bain, istri itu masih berada dalam
iddah talak raji. Laki-laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang ditalaknya
secara talak raji, selama berada dalam iddah. Sehabis iddah itu putuslah hubungannya sama
sekali dan dengan sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri itu telah digaulinya dalam
masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada istri yang diceraikannya sebelum istri itu
sempat digaulinya, karena rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada dalam
iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai iddah, sebagaimana disebutkan
sebelumnya (Syariffudin, 2009: 341-343).

Menurut Wahbah al Zuhaily dalam Nuruddin dan Tarigan (2004: 267-268) mengatakan
bahwa hal-hal yang tidak termasuk dalam syarat rujuk yaitu:

o kerelaan istri, dalam rujuk tidak disyaratkan dalam kerelaan istri, karena hak rujuk itu adalah
hak suami yang tidak tergantung pada izin atau persetujuan pihak lain,
o tidak disyaratkan suami untuk memberi tahu istrinya karena lagi-lagi rujuk merupakan hak
suami, dan
o saksi ketika rujuk, saksi tidak diperlukan bagi suami yang akan kembali kepada istrinya. Akan
tetapi ulam sepakat mengatakan bahwa adanya saksi itu dianjurkan sekedar untuk berhati-hati
belaka.

4. Tata Cara Rujuk


Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara dalam
rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata caranya ialah:
Pasal 167 KHI:

1) suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami istri
dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang
diperlukan,
2) rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu
Pencatat Nikah,
3) pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu
memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang dilakukan
itu masih dalam talak raji, apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4) setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta
saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk dan
5) setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami istri tentang
hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk (Ramulyo, 1996: 165-
166)

Pasal 168 KHI:


Dalam hal rujuk yang dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, daftar
rujuk dibuat rangkap dua, diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan
beserta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya,
disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam Buku Pendaftaran Rujuk
dan yang lain disimpan, pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari sesudah rujuk dilakukan
danapabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat
Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab-sebab
hilangnya (Abdullah, 1994: 127).

Menurut Hakim, (2000: 213) tata cara mengenai rujuk dalam pasal 169 ialah sebagai
berikut Pasal 169 KHI:
.
Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan
mengirimkannya kepada Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak yang
bersangkutan, dan kepada suami istri masing-masing diberi kutipan Buku Pendaftaran Rujuk
menurut contoh yang ditetapkan oleh Mentri Agama,
Suami istri atau kuasanya membawa Kutipan Buku Pendafaran Rujuk tersebut ke Pengadilan
Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan Akta
Nikah masing-masing setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang
tersedia pada Kutipan bahwa yang bersangkutan telah rujuk dan
Catatan yang dimaksud berisi tempat terjadinya rujuk, tangggal rujuk diikrarkan, nomor dan
tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk, dan tanda tangan Panitera.

5. Hikmah Rujuk
Subki (2010: 49) menyatakan dibolehkannya rujuk bagi suami yang hendak kembali
kepada mantan istrinya mengandung beberapa hikmah, diantaranya sebagai berikut: rujuk
memberikan kesempatan masing-masing pihak untuk menyadari kesalahan, mengapa mereka
melakukan percerain dan saling memusuhi serta mengingatkan kembali masa indah saat
belum bercerai, rujuk mengembalikan kecintaan seperti sediakala dan Allah SWT akan
memberkahi perkawinan yang dilandasi dengan cinta dan kasih sayang serta dilandasi dengan
ibadah kepada-Nya, dan rujuk dapat mengukuhkan kembali keretakan hubungan rumah
tangga sehingga keutuhan keluarga dapat dipelihara.

6. Hukum Rujuk

Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan
pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan
Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk itu lebih berfaedah
bagi keduanya (Rasjid, 1994: 418).

7. Hak Rujuk
Hak merujuk bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raji diatur
berdasarkan Firman Allah surat Al Baqarah ayat 228 yang menyatakan: Dan suami-suami
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami itu) menghendaki
ishlah (perbaikan). Bekas suami yang merujuk bekas istrinya yang ditalak raji mempunyai
batasan bahwa bekas suami itu bermaksud baik dan untuk mengadakan perbaikan. Tidak
dibenarkan bekas suami mempergunakan hak merujuk itu dengan tujuan yang tidak baik atau
berbuat zalim (Djamal, 1983: 284)
IHDAD

1. Pengertian Berkabung/Ihdad
Menurut Abu Zakaria al-Anshary, Bahwa ihdad berasal dari kata ahadda, dan
kadangbisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata hadda. Secara evitimologis
(lughawi) ihdad berarti al-manu(cegahan atau larangan)sedangkan menurut Abdul Mujib dan
kawan-kawannya, bahwa yang dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang
istri yang ditinggal mati oleh suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan dan sepuluh hari yang
disertai dengan larangan-larangan, antara lain: bercelek mata,berhias diri,keluar
rumah,kecuali dalam keadaanterpaksa.
Sedangkan menurut pandangan syara ihdad adalah meninggalkan pakaian yang
dicelup warna yang dimaksud untuk perhiasan, sekalipun pencelupan itu dilakukan sebelum
kain itu ditenun atau kain tiu menjadi kasar
Tetapi menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati memberikan devinisi ihdad
sebagaimana berikut.
Ihdad adalah menahan diri dari bersolek atau berhias diri dibadan.
Dengan redaksi sedikit berbeda, Wahbah Zuhaili memberikan definisi sebagai berikut.
Ihdad adalah meninggalkan harum-haruman, perhiasan, celak mata, dan minyak.
minyak yang mengharumakan atau tidak.
Menurut pengarang kitab Hasyiyatani bahwa ihdad :
Yang artinya:secara bahasa larangan, secara syara larangan yang ditentukan untuk
berhias diri dan memakai pakain yang dicelup atau pakai pewarna dan sesasamanya
Imam Hanafi devinisi ihdad adalah:
Ihdad adalah suatu ungkapan yang didivinisikan dengan menjahuinya seorang
perempuan dari memakai harum-haruman, memakai celak, berhias, tidak boleh menyisir
rambutnya dan lainnya.
Imam Maliki mendevinisikan ihdad adalah:
Ihdad adalah meninggalkan semua hiasan termasuk juga cincin, yang dibuat berhias
oleh seorang perempuan seperti minter, celak wangi-wangian dan baju yang di warnai.

Menurut Imam Ahmad Bin Hanbal sebagaiman:


Ihda adalah seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya untuk menjahui
berhias diri baik dari pakaian maupun dari wangi-wangian.

2. Hal-Hal Yang Dilarang Dalam Ihdad

Para fuqaha berpendapat bahwa wanita yang sedang melakukan ihdad dilarang
melakukan perbuatan yang membikin orang laki-laki tertarik pada dirinya perempuan yang
melakukan berkabung tersebut, seperti memakai perhiasan intan, celak, memakai pakaian
yang dicelup dengan warna, kecuali warna hitam.
Mengenai memakai celak ini masih ada perbedaan para fuqaha tentang tidak boleh dan
bolehnya memakai celak ini. Satu golongan berpendapat bahwa seorang perempuan yang
sedang melakukan ihdad diperboleh kan memakai celak dengan syarat pada siang malam
hari, tetapi menurut pendata yang lainnya mengatakan tidak harus malam hari pada waktu
siang haripun boleh dengan syarat bukan untuk berhias dir,tetapi karena ada darurat dan
kebutuhan seperti sakit mata dan lainnya.
Ringakasnya mengenai pendapat-pendapat diatas bahwa seorang seorang perempuan
yang sedang melaksanakan ihdad tentang larangan bagi seorang perempuan sangatlah
berdekatan dan hamper sama pendapatnya, yaitu perempuan harus menjauhi memakai
pakaian atau sesuatu yang bisa menarik perhatian laki-laki. Yang mendorong para ulama
mewajibkan ihdad bagi seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya adalah hadits
Shahih dibawah ini:
Bahwa seorang perempuan datang kepada nabi kemudian berkata:yarasulullah,
sesungguhnya anak perempuanku ditinggal mati oleh suaminya, sedangkan ia mengeluh
karena sakit pada kedua matanya, bolehkan ia bercelak wahai rasulrasulullah?rasulullah
menjawa, tidak boleh (2x)atau (3x)yang pada masing masing beliau tidak memperbolehkan.
Kemudian beliau berkta:sesungguhnya iddahnya adalah 4 bulan dan 10 hari,dan
sesungguhnya dulu ada yang melakukan ihdad selama satu tahun .
Abu Muhammad menyatakan hadits tersebut menunjukkan kita wajib berpegangan
pada pendapat yang mengatakan bahwa berihdad itu hukumnya wajib.

3. Yang Tidak Terlarang Bagi Wanita Yang Sedang Berihdad

Tidak dilarang baginya untuk memotong kuku, mencabut rambut ketiak, mencukur
rambut kemaluan, mandi dengan daun bidara, atau menyisir rambut karena tujuannya
untuk kebersihan bukan untuk berwangi-wangi/berhias. (Al-Mughni, Kitab Al-Idad,
Fashl Ma).
Demikian pula mencium minyak wangi karena bila sekedar mencium tidaklah
menempel pada tubuh. Sehingga bila seorang wanita yang sedang berihdad ingin membeli
minyak wangi, tidak menjadi masalah bila ia menciumnya. (Asy-Syarhul Mumti, 5/720)

Tidak diharamkan baginya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mubah dan dibolehkan


pula baginya berbicara dengan laki-laki sesuai keperluannya, selama ia berhijab

Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang dilakukan oleh para wanita dari
kalangan sahabat apabila suami-suami mereka meninggal. (Majmu Fatawa libni Taimiyah,
17/159).

4. Hikmah Ihdad Oleh Wanita


Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu
mengatakan, Hikmahnya adalah untuk menghormati hak suami dalam masa iddah
karena meninggalnya, hingga tidak ada seorang pun yang berkeinginan untuk menikahi
si wanita dalam masa iddah. Sebagaimana Allah subhanahu wataala berfirman,
Dan suami-suami mereka paling berhak merujuki mereka dalam masa iddah
tersebut, jika mereka menghendaki ishlah. (Al-Baqarah: 228)

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Rujuk dan segi bahasa kembali atau pulang. Dari segi istilah hukum syarak rujuk
bermaksud mengembalikan perempuan kepada nikah selepas perceraian kurang daripada tiga
kali dalam masa iddah dengan syarat-syarat tertentu.
Ihdad adalah kondisi wanita yang sedang menjalani masa iddahnya Karena ditinggal
mati oleh suaminya selama 4 bulan 10 hari, dimana ia harus menjauhi apa saja yang
mengarah kepada hubungan seksual dengannya atau tidak mengenakan perhiasan apa saja
yang menyebabkan laki-laki lain yang dapat menyebabkan laki-laki lain tertarik melihatnya.
Banyak hal-hal yang tidak diperbolehkan bagi wanita yang dalam keadaan berihdad
seperti: bercelak mata, berhias diri, memakai farfum, keluar rumah kecuali dalam keadaan
terpaksa, memakai pakaian yang berwarna yang pada intinya menjauhi perkara yang dapat
menarik perhatian kaum lelaki kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai