PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu perceraian yang dibolehkan oleh syariat adalah dengan Talak,
khuluk dan fasakh. Sepintas terlihat bahwa permainan pihak suami terhadap istri atas
hak talak yang dimilikinya, sehingga syari’at khuluk tidak banyak dipahami dan
dipraktekkan dalam kehidupan keluarga muslim. Banyak kalangan menilai bahwa
syari’at telah memberikan porsi hak yang berlebihan kepada suami dalam ikatan
perkawinan. Sehingga kehidupan rumah tangga selalu saja di warnai oleh hegomoni
,arogansi suami atas istri yang tidak seimbang dalam rumah tangga. Penilain tersebut
merupakan suatu penilaain yang tidak komprehensif di dalam menafsirkan kandungan
teks al-quran maupun hadis yang berkenaan tentang perceraian. dan akan semakin
biasa manakala ayat-ayat tentang perceraian di dekati melalui perpektif HAM,
kesetaraan gender, kebebasan , demokratisasi dll.
Tentu saja penilaian demikian akan memberikan citra buruk terhadap ajaran
Islam tentang perceraian, dan seolah-olah syari’at telah terlanjur memberikan porsi
yang tidak seimbang bagi istri, padahal syari’at telah meletakkan posisi suami istri
dalam bingkai keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan rumah tangga . Bila
syari’at telah meletakkan hak talak ada di tangan suami , maka syari’at khuluk
diletakkan di tangan istri. Tentunya semua itu diatur dalam ketentuan hukum dan
perundang-undangan, agar masing-masing orang tidak begitu seenaknya
menggunakan hak yang telah diberikan kepadanya.
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahui pengertian talak
2. Untuk mengetahui macam-macam talak
3. Untuk mngetahui hukum talak dan dalil hukumnya
4. Untuk mngetahui rukun dan syarat talak
5. Untuk mengetahui ungkapan cerai (sighat thalaq)
6. Untuk mengetahui cara perhitungan talak
7. Untuk mengetahui akibat talak
8. Untuk mengetahui pengertian fasakh
9. Untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan fasakh
10. Untuk mengetahui bebtuk-bentuk fasakh
11. Untuk mengetahui akibat dari fasakh
12. Untuk mengetahui talak dan fasakh
13. Untuk mengetahui hasil penelitian dari talak
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN TALAK
Menurut abu zakaria al-anshari,talak ialah: حل عقد النكاح بلفظ الطالق ونحوه
“ melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.”
Jika ikatan antara suami istri sedemikian kuatnya maka tidak sepantasnya
apabila hubungan tersebut di rusak dan di sepelekan, setiap usaha untuk
menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh Islam
karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami istri.
Ibnu umar berkata bahwa rasulullah saw,bersabda:
أبغض الحالل الى اهلل الطالق { روه ابو: قال.عن ابن عمر ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم
B. MACAM-MACAM TALAK
a) Talak ditinjau dari waktu melakukan talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.
Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu :
isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli
maka bukan termasuk talak sunni.
isteri dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci setelah ditalak
yaitu dalam keadaan suci dari haid
b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan
tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat talak sunni.
Termasuk dalam talak bid’i adalah :
talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi) baik
dipermulaan haid maupun dipertengahannya.
talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah
digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud.
b) Talak ditinjau dari jelas tidaknya ucapan talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan
tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan,
tidak mungkin ada pemahaman lagi. Contoh Talak Sharih yaitu:
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap isterinya dengan talak sharih maka
menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya sepanjang ucapan itu dinyatakan
dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.
c) Talak ditinjau dari kemungkinan ruju’ atau tidak dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang telah
digauli, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya. Setelah
terjadi talak raj’i, maka isteri wajib ber iddah, bila kemudian suami hendak
kembali kepada isteri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu dapat
dilakukan dengan jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah tersebut suami
tidak menyatakan rujuknya, maka talak tersebut berubah menjadi talak bain
dengan berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah berakhir iddahnya itu
suami ingin kembali kepada bekas isterinya, maka wajib dilakukan dengan
akad nikah baru dan dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi
dengan talak yang pertama dan kedua saja.
b. Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami
terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke dalam ikatan
perkawinan harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun dan syarat-
syaratnya. Adapun talak ba’in dibagu menjadi dua:
c. Talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh
suami yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara dapat dipandang
sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan
maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama dengan ucapan bagi
yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan
meyakinkan bermaksud talak atau mengakhiri perkawinan.
d. Talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isteri
melalui perantaraan orang lain
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.
Oleh karena itu suami-istri wajib memelihara hubungannya tali pengikat itu,
dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali pengikat
tersebut. Meskipun dalam hukum Islam suami diberi kewenangan menjatuhkan talak,
namun tidak dibenarkan suami menggunakan hak nya itu dengan gegabah dan sesuka
hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya.
Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah termasuk
perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah.
ِ ض اْلحاَل َل إِلَى
اهلل الطَّاَل ُق َ ُ َأ َْبغ
Hadits ini menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah
jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Maka menjatuhkan talak itu sama
sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan ibadah.
Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri dari
menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Suami hanya
dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk
menghindarinya, dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.
Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alasan yang
dibenarkan adalah perbuatan tercela, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa adanya suatu alasan, maka
haram baginya bau surga.
Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan
bercerai.” (Maksudnya: suka kawin dan bercerai).
Ini disebabkan karena carai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan kawin
adalah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi tidak halal bercerai,
kecuali karena ada darurat.
Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya suami-istri,
namun syara’ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui dijatuhkannya
talak tanpa adanya sebab atau alasan. Adapun sebab-sebab dan alasan-alasan untuk
jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi wajib,
adakalanya menjadi haram, adakalanya menjadi mubah, dan adakalanya menjadi
sunnah. Asy-Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghaziy dalam kitabnya fat-hul Qorib
mengemukakan hukum talak dapat dibagi menjadi: Talak wajib, talak sunnah, talak
makruh, dan talak haram.
Talak wajib, yaitu talak yang dalam hal terjadi kasus syiqaq yakni talak yang
dijatuhkan oleh pihak hakam (penengah), apabila kedua hakam berpendapat bahwa
talak itulah satu-satunya jalan untuk mengakhiri persengketaan suami-istri. Demikian
pula dalam kasus ila’, yakni suami bersumpah tidak akan mencampuri istrinya dan
telah berlalu masa empat bulan setelah sumpah tersebut si suami tidak mencabut
sumpahnya itu, berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-baqarah 226-227:
kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan (lamanya).
Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya Allah maha
pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam (bertetap hati untuk)
talak, maka sungguh Allah maha mendengar lagi maha tahu.
Dengan sumpah ini seorang istri menderita karena tidak disetubuhi dan tidak
pula diceraikan. Setelah empat bulan berselang sumpah suami dan tidak hendak
kembali kepada istrinya, maka wajiblah ia menjatuhkan talak-nya, agar dengan
demikian istri tidak terkatung-katung seperti orang digantung, sedangkan jika suami
berkehendak untuk kembali lagi, maka ia wajib membayar kafarat sumpah.
Talak juga menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami
tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai
suami, seperti suami tidak mampu lagi mendatangi istri. Dalam hal ini istri berhak
menuntut talakdari suaminya, dan suaminya wajib menuruti tuntutan istri.
Imam Ahmad berkata: Tidak patut memegang istri seperti ini. Karena hal itu
dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari perbuatan
rusaknya. Dalam hal ini suami tidak salah untuk bertindak keras kepada istrinya, agar
ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maharnya untuk bercerai. Allah
SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 19:
Ibn Qudamah berkata: Talak dalam salah satu dari keadaan diatas (yaitu tidak
taat kepada Allah dan kurang rasa malunya) barangkali wajib. Katanya pula: Talak
sunnah yaitu talak karena perpecahan antara suami-istri yang sudah berat dan bila istri
keluar rumah dengan meminta khulu’ karena ingin terlepas dari bahaya.
Abd. Rahman Ghazaly menyatakan bahwa talak itu diharamkan jika dengan
talak itu kemudian suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun dengan
wanita lain, suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu mengakibatkan
terjatuhnya suami kedalam perbuatan haram.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa talak diharamkan jika dengan talak itu
akan merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau
dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Maka diharamkannya talak itu seperti
haramnya merusak harta benda, karena demikian itu bertentangan dengan sabda
Rasulullah SAW:
Tidak boleh timbul madharat dan tidak boleh saling menimbulkan madharat.
Dalam riwayat lain talak serupa hal yang dibenci sebagaimana sabda Nabi SAW:
Tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah, tetapi dibenci-Nya selain daripada talak.
Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi SAW
mengatakannya halal. Karena ia merusak perkawinan yang mengandung kebaikan-
kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Karena itu talak seperti ini dibenci.
Talak itu mubah hukumnya ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena
jeleknya perilaku istri, bukanya sikap istri terhadap suami, atau suami menderita
madharat lantaran tingkah laku istri, atau suami tidak mencapai tujuan perkawinan
dari istri.
Imam Haramain memberikan isyarat pada talak yang mubah, yaitu talak yang
dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang tidak dia sukai dan tidak mau menjual
murah terhadap dirinya dengan memberikan pembiayaan kepada istrinya tanpa
menikmati kesenangan.
F. PERHITUNGAN TALAK
Seorang suami apabila sudah mengumpuli istrinya maka ia berhak tiga kali
talak. Para ulama’ sepakat suami dilarang mentalak istrinya tiga kali berturut-turut
dalam masa satu kali suci. Alasan mereka ialah jika suami menjatuhkan talak tiga
kali berarti menutup pintu untuk kembali dan bertemu lagi disaat ia menyesali
perbuatannya, dan juga menyalahi ketentuan agama, karena dijadikannya talak
berkali-kali adalah untuk memberikan kesempatan kembali diwaktu menyesali
perbuatannya, karena orang yang menjatuhkan cerai tiga kali berarti telah merugikan
wanita dikarenakan telah menjadikan wanita dengan talaknya itu sebagai orang yang
tidak sah untuk diri (laki-laki)nya. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
) 230 :فَِإ ْن طَلَ َق َها فَالَ تَ ِح ُّل لَهُ ِم ْن َب ْع ُد َحتَّى َت ْن ِك َح َز ْو ًجا غَْي َرهُ (البقره
Dan jika ia mentalak istri, maka tidak halal baginya sesudah itu sehingga (bekas
istri) kawin dengan laki-laki lain.
يا رسول اهلل ظَلَ ْمُت َها إِ ْن: قال,َُخ ْوبَنِ ْى َع ْجاَل َن إِ ْم َرأَتُه
ُ ل ََّما اَل َع َن أ: قال,عن سهل بن سعد
ِ ِ
اد اَ ْن ٌ ِ أَنَهُ طَلَّ َق إِ ْم َرأَتَهُ تَطْل ْي َقةً َوه َي َحائ,اهلل بْ ِن عُ َم َر
َ ثُ َّم أ ََر,ض ِ ح َّد َثنَا َع ْب ُد: ال
َ َ َْح َس ِن ق
َ َع ِن ال
G. AKIBAT TALAK
1. Akibat Talak Raj’i
Talak raj’i tidak melarang mantan suami berkumpul dengan mantan
istrinya, sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak
(pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal kecuali
persetubuhan).
Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah istrinya.
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika tidak
ada ruju’. Apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh ruju’ dan berarti
perempuan itu telah tertalak ba’in. Jika masih ada dalam masa iddah maka talak
raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan istrinya kecuali
bersenggama. Jika ia menggauli istrinya berarti ia telah ruju’.
Istri yang menjalani iddah raj’iyyah, jika ia taat atau baik terhadap
suaminya, maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang belanja
dari mantan suaminya. Tetapi jika ia durhaka maka tidak berhak mendapatkan
apa-apa. Rasulullah SAW:
ُّ نى لِل َْم ْرأ َِة إِ َذا َكا َن لِ َج ْو ِج َها َعلَْي َها
)الر ْج َعةُ (رواه احمد والنسأئ َ الس ْك َّ إِ َّن
ُّ الن َف َقةُ َو
Perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari
mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk
kepadanya. (HR. Ahmdad dan An-Nasa’i).
Beliau juga bersabda:
ت لِغَْي ِر ُسن ٍَّة أَ ْش ِه ْد َعلَى طَالَقِ َها َواَل َعلَى َر ْج َعتِ َها َواَل َتعُ ْد َ طَاَل قِ َها َواَل َعلَى َر ْج َعتِ َها َف َق
َ طَلَ ْق:ال
)230 : تَ ِح ُّل لَهُ ِمن َب ْع ُدحتى َت ْن ِك َح َز ْو ًجا غَْي َرهُ (البقره5َفَِإن طَلَّ َق َهافَال
Kemudian jika ia menceraikannya lagi maka wanita itu tidak halal lagi baginya
setelah itu hingga dia kawin dengan suami yang lain.
Perempuan yang menjalani iddah talak ba’in, jika tidak hamil ia hanya
berhak memperoleh tempat tinggal (rumah), tidak lain. tetapi jika ia hamil ia juga
berhak mendapat nafkah. Dalam Al-Qur’an di tegaskan:
)المَت َوقَّى َع ْن َها َز ْو ُج َها َن َف َقةٌ (رواه الدار قطنى ِ لَيس لِل
ُ ْحام ِل
َ َ ْ
Perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak memperoleh
nafkah.
Perempuan yang di talak suaminya sebelum dikumpuli (qobla dukhul), ia
tidak memiliki iddah, tetapi berhak memperoleh mut’ah atau pemberian. Hal ini
ditegaskan oleh Allah SWT:
احا َج ِمياًل ٍ ِ ِ
ً وه َّن َس َر ُ َُعلَْي ِه َّن م ْن عدَّة َت ْعتَدُّو َن َها ۖ فَ َمتِّع
ُ وه َّن َو َس ِّر ُح
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya
maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut´ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara yang sebaik-baiknya.
Selanjutnya, baik mantan suami atau istri harus memperhatikan
kesejahteraan anak. Jika anak itu masih dalam kandungan, maka ibunya harus
menjaganya baik-baik, demikian juga ketika anak menyusu kepada ibunya,
sekalipun bisa juga perempuan lain yang menyusui anak tersebut jika misalnya
ibunya enggan atau repot. Sampai anak itu bisa berdiri sendiri, maka tanggung
jawab nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
H. PENGERTIAN FASAKH
Menurut bahasa kata "fasakh" berasal dari bahasa Arab فسخا- يفسخ- فسخyang
berarti batal atau rusak. Sedang menurut istilah dapat diartikan sebagai berikut :
Menurut DR. Ahmad al Ghundur Fasakh adalah batal akad (pernikahan)
dan hilangnya keadaan yang menguatkan kepadanya. Menurut Sayyid Sabiq
Memfasakh adalah membatalkannya dan melepaskan ikatan pertalian antara
suami-isteri., Menurut Ensiklopedi Islam fasakh ialah pemutusan hubungan
pernikahan oleh hakim atas permintaan suami atau isteri atau keduanya akibat
timbulnya hal-hal yang dirasa berat oleh masing-masing atau salah satu pihak suami-
isteri secara wajar dan tidak dapat mencapai tujuan dari sebuah pernikahan yang di
inginkan oleh suami dan istri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan jikalau pengertian fasakh nikah adalah
suatu bentuk perceraian yang diputuskan oleh hakim karena dianggap pernikahan itu
memberatkan salah satu pihak baik istri atau laki laki atau bahkan kedua belah pihak.
J. BENTUK-BENTUK FASAKH
Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan sendirinya di antaranya sebagai
berikut :
1) Fasakh terjadi karena rusaknya akad pernikahan yang diketahui setelah
pernikahan berlangsung, seperti pernikahan tanpa saksi dan mengawini
mahram.
2) Fasakh terjadi karena isteri dimerdekakan dari status budak. Sedangkan
suaminya tetap berstatus budak.
3) Fasakh terjadi karena pernikahan yang dilakukan adalah nikah mut'ah.
4) Fasakh terjadi karena mengawini wanita dalam masa iddah.
Adapun fasakh yang memerlukan campur tangan hakim antara lain
sebagai berikut :
1) Fasakh disebabkan isteri merasa tidak kafaah dengan suaminya.
2) Fasakh disebabkan mahar isteri tidak dibayar penuh sesuai dengan yang
K. AKIBAT FASAKH
Fasakh yang semula dapat membatalkan akad, maka di sini timbul beberapa
ketentuan hukum, misalnya : tidak ada kewajiban mahar, haram kawin untuk
selama-lamanya, bila fasakh itu terjadi dengan mahram, disamping itu tidak mesti
menunggu keputusan hakim. Namun dalam kasus- kasus lain biasanya lebih banyak
harus diputuskan oleh hakim. Disini juga, perceraian tidak dihubungkan dengan
masa iddah. Akan tetapi, pada fasakh karena sebab yang datang setelah akad, maka
jika itu dari isteri sebelum ditentukan mahar, maka mahar itu gugur seluruhnya.
Akan tetapi, jika fasakh itu dari suami maka ia wajib membayar setengah dari
mahar itu. Disini perceraian itu sifatnya sementara dan dihubungkan dengan
masa iddah.
Adapun masa iddahnya berlaku seperti iddah talak. Disamping itu, baik
bentuk fasakh yang pertama atau kedua, menyebabkan perceraian, umumnya terjadi
pada saat itu juga. Ketentuan hukum yang lain ialah bahwa perceraian
Dengan jalan fasakh tidak mengurangi jumlah ţalaq. Dan bekas isteri tidak
boleh dirujuk oleh bekas suaminya. Jika si suami mau mengambil isterinya itu
kembali, ia harus nikah lagi.
M. HASIL PENELITIAN
Jalan Raden Panji Suroso No. 1, Kelurahan Polowijen, Kecamatan Blimbing, Kota Malang,
88
67 69
66
50
41
37
ry ar
y ch ril ay ne Ju
ly us
t
be
r
be
r
be
r
be
r
ua ru ar Ap M Ju g m o m m
Ja
n b M Au pt
e ct ve ce
Fe Se
O
No De
72 75 73
69 68 71
64
55 58
49
29
ry ry ch ril ay ne Ju
ly st be
r
be
r
be
r
be
r
nua r ua ar Ap M Ju u gu m to m m
Ja b M A e Oc ve ce
Fe pt De
Se No
67 65
55 55 53 54
46 44 45
37
30
ry ry ch ril ay ne ju
ly st be
r
be
r
be
r
be
r
nua r ua ar ap m ju u gu m tc o m m
ja b m a e ve ce
fe pt o
no de
se
53
48
33
10 11
4 3 5
0 0 1 2
ar
y
ar
y ch ril ay ne ju
ly st be
r
be
r
be
r
be
r
u u ar ap m ju gu m tc o m m
jan br m au
pt
e o ve ce
fe no de
se
Periode 2010-2013
2010 2013
14% 20%
2011
30%
2012
36%
Karena ingin membatasi peluru talak agar tidak salah digunakan oleh laki-
laki dan si wanita supaya dapat pengalaman baru dengan menikah dengan orang lain
yang di kumpuli lalu cerai dan bisa kembali menikah dengan suami nya yang
pertama. Cara yang dilakukan ini tidak boleh sekedar rekayasa sebagiaman dalam
nikah muhallil (Rahmat hakim,2000:1620).
ه وابنXX رواه ابن ماج.تكرهواعليهXXيان ومااسXXاء والنسXXتي الخطXXع عن أمXX رف:الXX ق.روي ان رسول هللا صلعم
حبان والدارقظى والطبراني والحاكم.
Ada, dalam hadist rasulullah saw disebutkan bahwa rasulullah saw menikahi
seorang wanita dari bani ghifar, tatkala ia masuk kepada nabi beliau melihat di
sebelah rusuknya ada warna putih (sopak),kemudian nabi menolaknya dan
mengembalikan wanita itu kepada keluarganya.
4. Dalam talak bain sughra dan bain kubra setelah cerai apakah harus ada
muhallil?
Dalam talak bain sughra tidak ada muhallilnya dan bain kubra wajib ada
muhallil. Karena Talak Ba’in Sughra yaitu talak bain yang menghilangkan
kepemilikan bekas suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk menikahkan kembali dengan bekas isterinya tersebut.
Talak Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami
terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin
kembali dengan bekas isterinya, kecuali setelah bekas isteri itu kawin lagi dengan
lelaki lain, telah berkumpul dengan suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan
telah selesai menjalankan iddahnya.
Jadi dalam bain sugra tidak wajib ada muhallil karena dalam talak ini tidak
menghilangkan kepemilikan bekas suami terhadap istri.
5. Apakah fasakh membutuhkan hakamain?
“Maka peganglah dengan baik atau lepaskan dengan baik.” Al-Baqarah: 229.
Memegang tanpa nafkah bukan memegang yang baik, maka melepasnya adalah
keharusan.
َوا ْبد َْأ بِ َمنْ تَ ُعو ُل تَقُو ُل ا ْل َم ْرأَةُ إِ َّما أَنْ تُ ْط ِع َمنِي َوإِ َّما أَنْ تُطَلِّقَنِي
BAB III
A. KESIMPULAN