Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH AIK V

TALAK, RUJUK KHULU’

DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
SRI HARMITA
SANTI RAMADANI
EKA SYAHRUL RAMADHANA
NANANG
NURUL FADILAH
NUR ISMAYANI
NUR INDRAWAN

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt. yang telah melimpahkan


rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kita semua, sehingga saya dapat
menyelesaikan makalah tentang nikah tepat pada waktunya.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu saya menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga makalah tentang nikah ini dapat
memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Makassar, 23 Oktober 2020

Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................6
PENDAHULUAN.....................................................................................................6
A. LATAR BELAKANG....................................................................................6
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................6
C. TUJUAN........................................................................................................7
BAB II.......................................................................................................................8
PEMBAHASAN.......................................................................................................8
A. PENGERTIAN TALAK................................................................................8
B. MACAM-MACAM TALAK..........................................................................9
C. HUKUM TALAK DAN DALIL HUKUMNYA..........................................13
D. RUKUN DAN SYARAT TALAK................................................................17
E. UNGKAPAN CERAI (SHIGHAT THALAQ)...........................................19
F. PENGERTIAN RUJUK DAN MACAM-MACAMNYA...........................24
G. RUKUN DAN SYARAT RUJUK................................................................25
H. TATA CARA RUJUK.................................................................................26
I. HUKUM RUJUK........................................................................................27
J. PENGERTIAN KHULU’...........................................................................27
K. SYARAT DAN RUKUN KHULU’.............................................................28
L. AKIBAT HUKUM KHULU’......................................................................29
M. HUKUM KHULU’......................................................................................31
N. PENGERTIAN FASAKH DAN MACAM-MACAMNYA.........................32
O. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN FASAKH.......................................33
P. BENTUK-BENTUK FASAKH...................................................................33
BAB III....................................................................................................................35
PENUTUP...............................................................................................................35
A. KESIMPULAN...........................................................................................35
B. KRITIK DAN SARAN................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu perceraian yang dibolehkan oleh syariat adalah dengan Talak,
khuluk dan fasakh. Sepintas terlihat bahwa permainan pihak suami terhadap istri
atas hak talak yang dimilikinya, sehingga syari’at khuluk tidak banyak dipahami
dan dipraktekkan dalam kehidupan keluarga muslim. Banyak kalangan menilai
bahwa syari’at telah memberikan porsi hak yang berlebihan kepada suami dalam
ikatan perkawinan. Sehingga kehidupan rumah tangga selalu saja di warnai oleh
hegomoni ,arogansi suami atas istri yang tidak seimbang dalam rumah tangga.
Penilain tersebut merupakan suatu penilaain yang tidak komprehensif di dalam
menafsirkan kandungan teks al-quran maupun hadis yang berkenaan tentang
perceraian. dan akan semakin biasa manakala ayat-ayat tentang perceraian di
dekati melalui perpektif HAM, kesetaraan gender, kebebasan , demokratisasi dll. 
Tentu saja penilaian demikian akan memberikan citra buruk terhadap
ajaran Islam tentang perceraian, dan seolah-olah syari’at telah terlanjur
memberikan porsi yang tidak seimbang bagi istri, padahal syari’at telah
meletakkan posisi suami istri dalam bingkai keseimbangan dan keadilan dalam
kehidupan rumah tangga . Bila syari’at telah meletakkan hak talak ada di tangan
suami , maka syari’at khuluk diletakkan di tangan istri. Tentunya semua itu diatur
dalam ketentuan hukum dan perundang-undangan, agar masing-masing orang
tidak begitu seenaknya menggunakan hak yang telah diberikan kepadanya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian talak ?

2. Apa Macam-macam talak?

3. Bagaimana Hukum talak dan dalil hukumnya?

4. Apa saja Rukun dan syarat talak?

5. Bagaimana Ungkapan cerai (shighat thalaq) ?

6. Apa Pengertian rujuk dan macam-macamnya?

7. Bagaimana Rukun dan syarat rujuk ?

8. Bagaimana Tata cara rujuk ?


9. Apa Hukum rujuk?

10. ApaPengertian khulu’?

11. Bagaimana Syarat dan rukun khulu’?

12. Apa Akibat hukum khulu’?

13. Bagaimana Hukum khulu’?

14. Apa Pengertian fasakh dan macam-macamnya?

15. Apa Hal-hal yang menyebabkan fasakh?

16. Apa Bentuk-bentuk fasakh?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Apa Pengertian talak

2. Untuk mengetahui Apa Macam-macam talak

3. Untuk mengetahui Bagaimana Hukum talak dan dalil hukumnya

4. Untuk mengetahui Apa saja Rukun dan syarat talak

5. Untuk mengetahui Bagaimana Ungkapan cerai (shighat thalaq)

6. Untuk mengetahui Apa Pengertian rujuk dan macam-macamnya

7. Untuk mengetahui Bagaimana Rukun dan syarat rujuk

8. Untuk mengetahui Bagaimana Tata cara rujuk

9. Untuk mengetahui Apa Hukum rujuk

10. Untuk mengetahui ApaPengertian khulu’

11. Bagaimana Syarat dan rukun khulu’

12. Untuk mengetahui Apa Akibat hukum khulu’

13. Untuk mengetahui Bagaimana Hukum khulu’

14. Untuk mengetahui Apa Pengertian fasakh dan macam-macamnya

15. Untuk mengetahui Apa Hal-hal yang menyebabkan fasakh

16. Untuk mengetahui Apa Bentuk-bentuk fasakh


BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TALAK

Talak berasal dari kata ithlaq ( ‫ ) أآلطآلق‬yang berarti melepaskan atau


meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti melepaskan ikatan perkawinan
atau bubarnya hubungan perkawinan.
Al-jaziry mendefinisikan :‫الطالق ازالة النكاح او نقصان حله بلفظ محصوص‬
“ Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi
pelepasan ikatanya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”
Menurut abu zakaria al-anshari,talak ialah: ‫حل عقد النكاح بلفظ الطالق ونحوه‬
“ melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya.”
Jadi,talak itu ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah
hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya.
Melepaskan ikatan pernikahan,artinya membubarkan hubungan suami istri
sehingga berakhirlah perkawinan atau terjadi perceraaian. Menurut sayyid sabiq
(1987:7),apabila telah terjadi perkawinan,yang harus dihindari adalah
perceraain,meskipun perceraaian bagian dari hukum adanya persatuan atau
perkawinan itu sendiri. Perceraain mendatangkan kemudharatan, sedangkan
sesuatu yang memudharatkan harus di tinggalkan, meskipun cara meninggalkanya
senantiasa berdampak buruk bagi yang lainnya.
Perceraain hanya boleh dilakukan apabila mengandung unsur
kemaslahatan dan setoap jalan perdamaian antara suami istri yang bertikai tidak
menghasilkan kebaikan. Perceraain setidaknya merupakan alternatif yang lebih
mendidik kedua belah pihak. Ketika terjadi konflik suami istri,salah satu jalan
harus di pilih:
1. Meneruskan perkawinan tersebut yang berarti membiarkan kehidupan rumah
tangga sebagai neraka
2. Mengadakan perpisahan secara jasmaniah ,sementara tetap dalam status
sebagai suami istri, merupakan penyiksaan lahir batin terutama bagi pihak istri
3. Melakukan perceraian dan masing masing pihak menjadi bebas dan leluasa
untuk merenungkan dan mempertimbangkan kenbali kehidupan rumah
tangganya. Mereka bebas untuk meneruskan perceraian dan bebas pula untuk
rukun kembali.
Jika ikatan antara suami istri sedemikian kuatnya maka tidak sepantasnya
apabila hubungan tersebut di rusak dan di sepelekan, setiap usaha untuk
menyepelekan hubungan pernikahan dan melemahkannya sangat dibenci oleh
Islam karena ia merusak kebaikan dan menghilangkan kemaslahatan antara suami
istri.
Ibnu umar berkata bahwa rasulullah saw,bersabda:
‫ أبغض الحالل الى هللا الطالق { روه ابو داود والحاكم‬: ‫ قال‬.‫عن ابن عمر ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬
} ‫وصححه‬
“ Perbuatan halal yang sangat di benci oleh Allah adalah talak” (HR abu dawud
dan hakim dan di shahihkan olehnya)
Siapapun yang merusak hubungan antara suami istri dia tidak mempunyai
tempat terhormat dalam islam. Demikian dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi
Saw
Artinya:
“Rasulullah SAW bersabda “ tidak termasuk golongan kami seseorang
yang merusak hubungan seseorang perempuan dari suaminya” (HR.Abu dawud
dan nasai)
a. isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli maka
bukan termasuk talak sunni.

B. MACAM-MACAM TALAK
a) Talak ditinjau dari waktu melakukan talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:

a. Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.
Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu :

 isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli
maka bukan termasuk talak sunni.
 isteri dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci setelah
ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid
 talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik
dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa
saat lalu datang haid.
 suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana
talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika isteri
dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk
talak sunni.

b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan
dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat talak
sunni. Termasuk dalam talak bid’i adalah :

 talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haid (menstruasi)


baik dipermulaan haid maupun dipertengahannya.
 talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi
pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci dimaksud. 

b) Talak ditinjau dari jelas tidaknya ucapan talak dibagi menjadi dua macam,
yaitu:

a. Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan
tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika
diucapkan, tidak mungkin ada pemahaman lagi. Contoh Talak Sharih
yaitu:

 Engkau saya talak sekarang juga.


 Engkau saya firaq sekarang juga.

Apabila suami menjatuhkan talak terhadap isterinya dengan talak sharih


maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya sepanjang ucapan itu
dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.

b. Talak Kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran, samar-


samar seperti contoh :

 Engkau sekarang telah jauh dariku.


 Pulanglah kerumah ibumu.
Ucapan-ucapan tersebut mengandung sebuah kemungkinan cerai dan
mengandung kemungkinan lain. Tentang kedudukan talak dengan kata-
kata kinayah atau sindiran sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al
Husaini, tergantung kepada niatnya seseorang artinya jika suami dengan
kata-kata tersebut berniat untuk menjatuhkan talak maka talak jatuh, akan
tetapi jika tidak berniat untuk menjatuhkan talak, maka talak tidak jatuh.

c) Talak ditinjau dari kemungkinan ruju’ atau tidak dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Talak Raj’i yaitu  talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang
telah digauli, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Setelah terjadi talak raj’i, maka isteri wajib ber iddah, bila kemudian
suami hendak kembali kepada isteri sebelum berakhir masa iddah, maka
hal itu dapat dilakukan dengan jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah
tersebut suami tidak menyatakan rujuknya, maka talak tersebut berubah
menjadi talak bain dengan berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah
berakhir iddahnya itu suami ingin kembali kepada bekas isterinya, maka
wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru
pula. Talak raj’i hanya terjadi dengan talak yang pertama dan kedua saja.
b. Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami
terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke dalam
ikatan perkawinan harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun
dan syarat-syaratnya. Adapun talak ba’in dibagu menjadi dua:

 Talak Ba’in Sughra yaitu talak bain yang menghilangkan


kepemilikan bekas suami terhadap isteri tetapi tidak
menghilangkan kehalalan bekas suami untuk menikahkan kembali
dengan bekas isterinya tersebut. Termasuk talak bain sughra
adalah:

Talak sebelum berkumpul.


Talak dengan pergantian harta dari isteri atau disebut talak
khulu’.
Talak karena adanya aib (cacat), karena salah seorang
dipenjara, talak karena penganiayaan atau semacamnya dan
lain-lain.

 Talak Bain Kubra yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas


suami terhadap bekas isteri serta menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk kawin kembali dengan bekas isterinya, kecuali setelah
bekas isteri itu kawin lagi dengan lelaki lain, telah berkumpul
dengan suami kedua serta telah bercerai secara wajar dan telah
selesai menjalankan iddahnya. Talak ba’in kubra terjadi pada talak
yang ketiga.

d) Talak ditinjau dari cara menyampaikan talak ada empat, yaitu:


a. Talak dengan ucapan yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan
ucapan dihadapan isterinya dan isteri mendengar secara langsung ucapan
tersebut.
b. Talak dengan tulisan yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara
tertulis lalu disampaikan kepada isterinya, kemudian isteri membacanya
dan memahami isi dan maksudnya. Talak yang dinyatakan secara tertulis
dapat dianggap sah, meski yang bersangkutan dapat mengucapkannnya,
sebagaimana talak dengan ucapan ada talak sharih dan kinayah, maka
talak dengan tulisan pun demikian pula.

c. Talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh
suami  yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara dapat
dipandang sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan
menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama
dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak,
sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak atau
mengakhiri perkawinan.
d. Talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada
isteri melalui perantaraan orang lain

C. HUKUM TALAK DAN DALIL HUKUMNYA


Syari’at Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan
sebagai pertaian yang suci dan kokoh, sebagaimana Al-Qur’an memberikan istilah
pertalian itu dengan mitsaq ghalizh (janji kukuh). Firman Allah dalam surat An-
Nisa’ ayat 21 menyatakan:
ً ‫َوأَ َخ ْذنَ ِمن ُكم ِم ْيثَاقًا َغلِيظا‬
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat.
Oleh karena itu suami-istri wajib memelihara hubungannya tali pengikat
itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan tali
pengikat tersebut. Meskipun dalam hukum Islam suami diberi kewenangan
menjatuhkan talak, namun tidak dibenarkan suami menggunakan hak nya itu
dengan gegabah dan sesuka hati, apalagi hanya menurutkan hawa nafsunya.
Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah
termasuk perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah.
ُ ‫لحاَل َل إِلَى هللاِ الطَّاَل‬
‫ق‬ ُ ‫أَ ْب َغ‬
َ ‫ض ْا‬
Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah menjatuhkan talak.
Hadits ini menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai
Allah jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Maka menjatuhkan talak itu
sama sekali tidak ada pahalanya dan tidak dapat dipandang sebagai perbuatan
ibadah. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa suami wajib selalu menjauhkan diri
dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan untuk menghindarkannya. Suami
hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa, tidak ada jalan lain untuk
menghindarinya, dan talak itulah salah satunya jalan terciptanya kemaslahatan.
Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alasan yang
dibenarkan adalah perbuatan tercela, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
ٍ ْ‫زَو َج َها طَاَل قًا ِمنْ َغ ْي ِر بَأ‬
‫س فَ َح َرا ٌم َعلَ ْي َها َرا ِء َحةُ ا ْل َجنَّ ِة‬ ْ ْ‫سأَلَت‬
َ ‫أَيُّ َما إِ ْم َرأَ ٍة‬
Manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa adanya suatu alasan, maka
haram baginya bau surga.
Tentang hukum talak ini para ahli fiqih berbeda pendapat. Pendapat yang
paling benar diantara semua itu adalah yang mengatakan “terlarang”, kecuali
karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat begini adalah golongan
Hanafi dan Hambali. Alasannya yaitu:
ٍ ‫ لَ َعنَ هللاُ ُك َّل َذ َّو‬:‫قال رسو ل هلل صلى هللا عليه وسلم‬
ٍ ‫اق ِمطَاَل‬
‫ق‬
Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai
dan bercerai.” (Maksudnya: suka kawin dan bercerai).
Ini disebabkan karena carai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan
kawin adalah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram. Jadi tidak
halal bercerai, kecuali karena ada darurat.
Darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan kebersihan
tingkah laku istrinya, atau tidak punya cinta dengannya. Sebab soal hati hanya
terletak dalam genggaman Allah. Tetapi jika tidak ada alasan apapun, maka
bercerai yang demikian berarti kufur terhadap nikmat Allah, berlaku jahat kepada
istri. Maka itu dibenci dan terlarang.
Syara’ menjadikan talak sebagai jalan yang sah untuk bercerainya suami-
istri, namun syara’ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak merestui
dijatuhkannya talak tanpa adanya sebab atau alasan. Adapun sebab-sebab dan
alasan-alasan untuk jatuhnya talak itu adakalanya menyebabkan kedudukan
hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram, adakalanya menjadi
mubah, dan adakalanya menjadi sunnah. Asy-Syekh Muhammad bin Qasim Al-
Ghaziy dalam kitabnya fat-hul Qorib mengemukakan hukum talak dapat dibagi
menjadi: Talak wajib, talak sunnah, talak makruh, dan talak haram.
Talak wajib, yaitu talak yang dalam hal terjadi kasus syiqaq yakni talak
yang dijatuhkan oleh pihak hakam (penengah), apabila kedua hakam berpendapat
bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk mengakhiri persengketaan suami-istri.
Demikian pula dalam kasus ila’, yakni suami bersumpah tidak akan mencampuri
istrinya dan telah berlalu masa empat bulan setelah sumpah tersebut si suami tidak
mencabut sumpahnya itu, berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-baqarah 226-
227:
ْ َ‫ص أَ ْربَ َع ِة أ‬
‫ َوإِنْ َع َز ُمو ْا الطالق فَإِنَّ هللا‬.‫ش ُه ٍر فَإِن فَآ ُءو فَإِنَّ هللا َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬ َ ّ‫لّلَّ ِذينَ يُؤْ لُونَ ِمن ن‬
ُ ُّ‫سائِ ِه ْم ت ََرب‬
)227-226: ‫س ِمي ٌع َعلِي ٌم (البقرة‬
َ
kepada orang-orang yang meng-ila’ istrinya diberi tangguh empat bulan
(lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya) maka sesungguhnya
Allah maha pengampun lagi maha penyayang. Dan jika mereka berazam
(bertetap hati untuk) talak, maka sungguh Allah maha mendengar lagi maha
tahu.
Dengan sumpah ini seorang istri menderita karena tidak disetubuhi dan
tidak pula diceraikan. Setelah empat bulan berselang sumpah suami dan tidak
hendak kembali kepada istrinya, maka wajiblah ia menjatuhkan talak-nya, agar
dengan demikian istri tidak terkatung-katung seperti orang digantung, sedangkan
jika suami berkehendak untuk kembali lagi, maka ia wajib membayar kafarat
sumpah.
Talak juga menjadi wajib bagi suami atas permintaan istri dalam hal suami
tidak mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai
suami, seperti suami tidak mampu lagi mendatangi istri. Dalam hal ini istri berhak
menuntut talakdari suaminya, dan suaminya wajib menuruti tuntutan istri.
Talak sunnah, yaitu dikarenakan istri mengabaikan kewajibannya kepada
Allah dan tidak normal keadaannya, seperti istri yang meninggalkan shalat dan
rusak moralnya, padahal suami tidak mampu memaksakannya agar istri
menjalankan kewajibannya tersebut, atau istri kurang rasa malunya.
Imam Ahmad berkata: Tidak patut memegang istri seperti ini. Karena hal
itu dapat mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari
perbuatan rusaknya. Dalam hal ini suami tidak salah untuk bertindak keras kepada
istrinya, agar ia mau menebus dirinya dengan mengembalikan maharnya untuk
bercerai. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa’ ayat 19:
َ ‫ض َما ءاتَ ْيتُ ُموهُنَّ إِالَّ أَن يَأْتِينَ بِفَا ِح‬
)19 :‫ش ٍة ُّمبَيّنَ ٍة (النسا‬ ِ ‫ضلُوهُنَّ لِت َْذ َهبُو ْا بِبَ ْع‬
ُ ‫َوالَ تَ ْع‬
Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila
mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.
Maksud dari ayat tersebut adalah, bahwasannya seorang suami tidak boleh
menyusahkan istrinya dengan menghalanginya untuk mengawini laki-laki lain
dengan menahan mereka, padahal suami tersebut sudah tidak ada keinginan lain
terhadap mereka selain menyusahkan belaka karena hendak mengambil kembali
sebagian apa yang telah ia berikannya kepada istrinya berupa mahar, kecuali jika
istri tersebut melakukan pekerjaan keji yang nyata, dalam artian zina atau nusyuz,
maka ketika itu bolehlah seorang suami menyusahkan mereka hingga mereka
melakukan khulu’ atau menebus diri mereka.
Ibn Qudamah berkata: Talak dalam salah satu dari keadaan diatas (yaitu
tidak taat kepada Allah dan kurang rasa malunya) barangkali wajib. Katanya pula:
Talak sunnah yaitu talak karena perpecahan antara suami-istri yang sudah berat
dan bila istri keluar rumah dengan meminta khulu’ karena ingin terlepas dari
bahaya.
Talak makruh, menurut yaitu talak perempuan yang normal keadaannya.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa talak makruh adalah talak yang tanpa sebab,
berdasarkan hadits yang menetapkan bahwa talak merupakan jalan halal yang
paling dibenci Allah, yakni dibenci jika tidak ada sebab yang dibenarkan,
sedangkan Nabi menamakannya halal, juga karena talak itu menghilangkan
perkawinan yang di dalamnya terkandung kemaslahatan-kemaslahatan yang
disunahkan, sehingga talak itu hukumnya makruh.
Talak haram, sebagaimana dikemukakan oleh Asy-Syekh Muhammad bin
Qasim Al-Ghazy yaitu talak bid’ah, yaitu suami menjatuhkan talak kepada
istrinya yang sedang haid atau suci tetapi suami telah melakukan jimak
dengannya.
Abd. Rahman Ghazaly menyatakan bahwa talak itu diharamkan jika
dengan talak itu kemudian suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya
ataupun dengan wanita lain, suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu
mengakibatkan terjatuhnya suami kedalam perbuatan haram.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa talak diharamkan jika dengan talak
itu akan merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemaslahatan yang mau
dicapai dengan perbuatan talaknya itu. Maka diharamkannya talak itu seperti
haramnya merusak harta benda, karena demikian itu bertentangan dengan sabda
Rasulullah SAW:
ِ ‫ض َر َر َواَل‬
‫ض َرا َر‬ َ ‫اَل‬
Tidak boleh timbul madharat dan tidak boleh saling menimbulkan madharat.
Dalam riwayat lain talak serupa hal yang dibenci sebagaimana sabda Nabi SAW:
ُ ‫ش ْيأ ً أَ ْب َغ‬
ُ ‫ض إِلَ ْي ِه ِمنَ ا ْلطَاَل‬
)‫ق (رواه أبوداود‬ َ ُ‫َما أَ َح َّل هللا‬
Tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah, tetapi dibenci-Nya selain daripada
talak.
Talak itu dibenci bila tidak ada suatu alasan yang benar, sekalipun Nabi
SAW mengatakannya halal. Karena ia merusak perkawinan yang mengandung
kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Karena itu talak seperti ini
dibenci.
Talak itu mubah hukumnya ketika ada keperluan untuk itu, yakni karena
jeleknya perilaku istri, bukanya sikap istri terhadap suami, atau suami menderita
madharat lantaran tingkah laku istri, atau suami tidak mencapai tujuan perkawinan
dari istri.
Imam Haramain memberikan isyarat pada talak yang mubah, yaitu talak
yang dijatuhkan oleh suami kepada istrinya yang tidak dia sukai dan tidak mau
menjual murah terhadap dirinya dengan memberikan pembiayaan kepada istrinya
tanpa menikmati kesenangan.

D. RUKUN DAN SYARAT TALAK

Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Diantara rukun talak adalah:
a. Suami: Islam memberikan hak talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia
yang lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayai
dengan hartanya, sehingga jika ia hendak cerai atau kawin lagi ia perlu
membiayainya lagi dengan jumlah yang lebih besar. Selain itu, laki-laki
menurut kadar dan tabiatnya bersifat lebih sabar menghadapi perangai istrinya
yang tidak disukainya. Ia juga tidak terburu-buru untuk bercerai karena rasa
marah atau kejelekan istrinya. Sedangkan perempuan biasanya lebih cepat
marah, kurang pertimbangannya, tidak menanggung biaya-biaya perceraian
dengan segala akibatnya dan tidak pula mengeluarkan belanja seperti yang
diwajibkan kepada laki-laki.

Untuk sahnya talak, maka suami harus memenuhi beberapa syarat


diantaranya:
1. Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang dimaksud
dengan gila dalam hal ini adalah hilang akal atau rusak akal karena sakit,
termasuk didalamnya adalah sakit pitam,hilang akal karena sakit panas,
atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya.
2. Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah mengatakan bahwa talak
oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang dari 10
tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui akibatnya, telah
dipandang jatuh.
3. Atas kemauan sendiri. Yang berarti jatuhnya talak tersebut bukan karena
paksaan. Kehendak dan kesukarelaan melakukan perbuatan menjadi dasar
taklif dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, orang yang dipaksa
melakukan sesuatu (dalam hal ini menjatuhkan talak) tidak
bertanggungjawab atas perbuatannya. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah SAW:

‫ستَ ْك ِره ُْوا َعلَ ْي ِه‬


ْ ‫سيَا ِن َو َما ا‬ َ ‫ض َع عَنْ أُ َّمتِى‬
ْ ِّ‫الخطَأ َوالن‬ َ ‫إِنَّ هللاَ َو‬
Sungguh Allah melepaskan dari umatku tanggung jawab dari dosa, lupa dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
b. Istri. Perempuan hanya dapat dijatuhi talak bila ia jadi objeknya. Perempuan
dikatakan jadi objek talak bila ada dalam keadaan sebagai berikut:
1. Berada dalam ikatan suami-istri yang sah. Jika ia menjadi istri dengan
akad nikah yang bathil, seperti akad nikah terhadap wanita dalam masa
iddahnya, atau akad nikah dengah dengan perempuan saudara istrinya
(memadu antara dua perempuan bersaudara), atau akad nikah dengan
perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan bersaudara),
atau akad nikah dengan anak tirinya sedangkan suami itu pernah
menggauli ibu dari ibunya dan anak tiri itu berada dalam pemeliharaannya,
maka talak yang demikian itu tidak dipandang ada.
2. Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri
yang menjalin masa iddah talak raj’i atau iddah talak ba’in sughra dari
suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan
kekuasaan suami. Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak
lagi dipandang jatuh talaknya. Sehingga menambah jumlah talak yang
dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal talak
ba’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas
istrinya, meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in itu bekas
istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas suami.
3. Jika perempuan berada dalam pisah badan karena dianggap sebagai talak,
seperti pisah badan karena suami tidak mau jadi Islam, bila istrinya masuk
Islam, atau karena ila’. Pisah badan dalam keadaan seperti ini dianggap
talak oleh golongan Hanafi.
4. Jika perempuan dalam ‘iddah karena pisah badan yang dianggap sebagai
fasakh, tetapi pada dasarnya akadnya tidak batal, seperti karena istri
murtad. Fasakh dalam hal seperti ini terjadi karena adanya halangan yang
membatalkan kelangsungan ikatan perkawinan, bila kemurtadannya benar-
benar terbukti.
c. Sighat talak, yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang
menunjukkan talak, baik itu sharih (jelas) atau kinayah (sindiran), baik berupa
ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tunawicara ataupun dengan suruhan
orang lain. talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya
menunjukkan kemarahannya, mengantarkannya kerumah orang tuanya,
menyerahkan barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak. Demikian
pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan angan-angan, tidak
diucapkan, tidak dipandang sebagai talak.
d. Qoshdu (sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh ayng mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud
lain. oleh karena itu salah ucap yang tidak di maksud ubtuk talak tidak
dipandang jatuh talak.

E. UNGKAPAN CERAI (SHIGHAT THALAQ)

Perceraian dapat terjadi dengan segala cara yang menunjukkan


berakhirnya hubungan suami istri, baik dinyatakan dengan kata-kata, atau dengan
surat kepada istrinya, atau dengan isyarat oleh orang orang yang bisu atau dengan
mengirimkan seorang utusan. Jika seseorang berniat menalaq istrinya didalam
hatinya tanpa diungkapkan atau semacamnya maka tidak terjadi talak menurut
umumnya orang-orang berilmu. Diantaranya Atha’, Jabir bin Zaid, Said bin
Zubair, Yahya bin Abi Katsir, Asy-Syafi’i, Ishak, Al-Qasim, Salim, dan Al-
Hasan. Berkenaan hal ini Zuhri berkata: “Jika seseorang berazam demikian,
maka terjadilah talak.” Ibn Sirin berkenaan orang yang menalaq istrinya dalam
hati berkata: “Tidakkah Allah mengetahuinya?” Sedangkan pendapat jumhur
Ulama’ lebih kuat karena sabda Rasulullah SAW:
ِ ُ‫إِنَّ هللاَ ت ََجا َوزَ عَنْ أُ َّمتِ ْي َما َح َّدثَتْ ِب ِه أَ ْنف‬
‫س َها َما لَ ْم تَ ْع َم ْل أَ ْو تَتَ َكلَّ ْم‬
Sesungguhnya Allah melewati umatku (tidak ada sanksinya) apa yang
dikatakan hati selagi belum dikerjakan atau belum diungkapkan. (HR. Al-
Bukhari, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi)
Hadits ini hasan shahih (shahih lighairihi) sebagaimana talak
menghilangkan kepemilikan, ia tidak terjadi jika hanya dengan niat seperti
jual beli dan hibah. Berikut ini adalah beberapa ungkapan talak:
1. Talak dengan Kata-kata
Ucapan talak dengan kata-kata ada dua macam, yaitu sharih (jelas) dan
kinayah (sindiran). Talak sharih adalah talak yang diungkapkan dengan kata
yang terus terang yaitu kata-kata yang mudah dipahami artinya dan tidak
mengandung sesuatu lain selain talak itu sendiri. Sedangkan Talak kinayah
adalah setiap kata yang mirip talak dan lainnya atau talak yang mengandung
sesuatu selain talak.
Talak sharih terjadi tanpa tanpa niat. Talak sharih itu menggunakan tiga
lafal yaitu: Cerai (thalaq), pisah (firaq),dan terlepas (sarah). Lafal pertama
sudah popular, baik secara bahasa maupun syara’. Lafal kedua dan ketiga
terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna terpisah antara kedua pasang suami
dan istri. Keduanya diungkapkan secara jelas seperti lafal talak. Allah SWT
berfirman: Maka menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. (QS.
Al-Baqarah (2): 229) dan Tahanlah mereka dengan baik atau pisahlah
dengan baik. (QS. Al-Baqarah (2): 231) dan firman-Nya: Dan jika mereka
berpisah Allah mengkayakan mereka dari keluasan-Nya. (QS. An-Nisa’ (4):
130).
Ayat kedua dan ketiga dengan jelas mengungkapkan talak menurut Imam
Asy-Syafi’i. Sedangkan oposisinya, berpendapat keduanya merupakan
sindiran karena tidak popular dengan arti talak. Contoh lafal talak seperti: Hai
orang yang tertalak (ُ‫طالِق‬ َ َ ‫)يا‬, wanita tertalak (ٌ‫) ُمطَلَّقَة‬, engkau seorang tertalak (
ِ ‫)أَ ْن‬, dan aku talak engkau‫( ) طَلَ ْقتُ ِك‬.
ٌ ِ‫ت طَال‬
‫ق‬
Semua lafal diatas tegas dan jelas (sharih) wanita tertalak dengan lafal-
lafal tersebut, baik seorang suami berniat talak maupun tidak selama ia
mengerti maksud lafal tersebut dan sengaja melafalkannya. Baik ia
bersungguh-sungguh maupun bercanda, karena sabda Rasulullah SAW:
ُ‫ق َوال َّر ْج َعة‬
ُ ‫اح َوالطَّاَل‬ ٌ ‫ثَاَل‬
ُ ‫ث ِج ُّدهُنَّ َوه َْزلُ ُهنَّ ِج ٌّد النِّ َك‬
Ada tiga perkara, kesungguhannya menjadi sungguh-sungguh dan
bercandanya pun dianggap sungguh-sungguh, yakni talak, nikah, dan
rujuk.
Jika seseorang mengatakan salah satu lafal tersebut kemudian mengatakan
aku bermaksud yang lain, hanya saja lisanku terlanjur mengucapkannya, maka
tidak diterima perkataan orang tersebut karena menyalahi lahirnya. Hal itu
urusan antara dirinya dan Allah karena bisa saja diartikan seperti
pengakuannya, tetapi Rasulullah SAW bersabda: Aku menghukumi yang lahir
dan Allah-lah yang menguasai yang tersembunyi.
Lafal talak sindiran yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau
yang lain. kalimatnya banyak dan tidak terhitung, tetapi berikut ini disebutkan
beberapa contoh saja bukan berarti menjumlah hitungan. Ungkapan kata yang
tidak berarti talak, tidak menyerupainya, dan tidak menunjukkan cerai seperti
perkataan seorang kepada istrinya, misalnya: duduklah, engkau cantik, semoga
Allah memberkahi engkau, dan sebagainya. Dengan menggunakan kata-kata
tersebut, tidak terjadi talak sekalipun berniat talak, kaerena kata-kata tersebut
tidak ada kemungkinan didalamnya makna talak. Andaikan dijatuhkan talak
hanya sekedar niat belaka.
Adapun cerai dengan kata-kata sindiran tidak dianggap sah kecuali dengan
adanya niat, sekalipun yang mengucapkan tadi berkata dengan lafal yang jelas,
tetapi maksudnya bukan untuk mentalak tetapi hanya dimaksudkan telah jatuh
talak.
Berikut ini beberapa contoh talak sindiran, misalnya: engkau bebas,
engkau terputus, engkau terpisah, melanggarlah, bebaskan rahimmu, pulanglah
kerumah orang tuamu, talimu terhadap aku keanehanmu, jauhkan aku,
pergilah, dan lain-lain.
Lafal i’taq (pemerdekaan) sindiran pada talak. Demikian juga sebaliknya,
kata thalaq sindiran bagi pemerdekaan. Jika seseorang berkata kepada istrinya:
“Aku memerdekakan engkau atau engkau merdeka” dan berniat talak maka
terjadilah talak. Demikian juga jika seseorang berkata kepada hambanya:
“Engkau saya talak” dengan berniat talak terjadilah pemerdekaan, dai ia
merdeka.
2. Talak dengan Isyarat

Talak dengan isyarat tidak terlepas dari dua hal, yaitu:


a. Isyarat bagi Orang Bisu

Isyarat bagi orang yang bisu merupakan alat komunikasi dan


menjelaskan makssud hatinya kepada orang lain. karena itu isyarat seperti
ini dipandang nilainya sama dengan kata-kata yang diucapkan dalam
menjatuhkan talak. Jika ia memberikan isyarat yang menunjukkan pada
maksudnya yaitu menghentikan hubungan pasangan suami-istri dan semua
orang paham, maka talak itu sharih. Jika isyarat itu tidak dapat dipahami
melainkan orang-orang yang cerdas saja, ada dua pendapat, adakalanya
sharih dan adakalanya kinayah.
Sebagian ahli fiqih mensyaratkan bahwa isyarat orang bisu itu
dibolehkan apabila ia tidak dapat menulis dan tidak mengetahui tulisan.
Jika ia mengetahui dan mampu menulis, tidak boleh menggunakan isyarat,
sebab tulisan lebih jelas maksudnya daripada isyarat. Dan isyarat tidak
boleh digunakan kecuali kalau benar-benar ia sudah tidak mampu berbuat
lain.
b. Isyarat bagi Orang yang dapat Berbicara

Ulama’ berbeda pendapat tentang isyarat orang yang dapat


berbicara:
Pertama: Isyarat talak bagi orang yang dapat berbicara tidak sah talaknya,
karena isyarat yang diterima dan menempati ucapan bagi haknya orang
bisu diposisiksn karena darurat, sedangkan disini tidak ada darurat.
perpindahan orang yang dapat berbicara dari ucapan ke isyarat dipahami
tidak bertujuan talak dan jika bertujuan maka hal tersebut sangat langka
bermaksud memberi pengalaman.
Kedua: Isyarat orang yang dapat berbicara dikategorikan talak sindiran,
karena secara global memberi pemahaman talak.
3. Talak dengan Tulisan/Surat

Talak dapat terjadi dengan tulisan walaupun penulis mampu berkata-


kata. Sebagaimana suami boleh menalaq istri dengan lafal atau ucapan, ia juga
boleh menalaq dengan tulisan.
Fuqaha’ mensyaratkan bahwa tulisan itu hendaknya harus jelas dan
terlukis. Maksudnya jelas adalah jelas tulisannya sehingga terbaca ketika
ditulis dilembaran kertas dan sesamanya. Maksud terlukis adalah tertulis ke
alamat istri. Misalnya suami menulis surst kepada istrinya: “Hai Fulanah
engkau tercerai”. Jika tulisan itu tidak dialamatkan kepada istri maka tidak
tercerai kecuali dengan niat. Misalnya suami menulis diatas kertas:”Engkau
tercerai atau istriku tercerai”. Maka yang seperti ini dianggap tidak sah
talaknya, kecuali dengan niat. Sebab boleh jadi tulisan seperti ini ditulis
dengan tidak sengaja dimaksudkan untuk mentalak, tetapi sekedar berlatih
mengindahkan tulisan misalnya.
4. Talak dengan Mengirimkan Seorang Utusan

Talak dianggap sah dengan mengirim seorang utusan untuk


menyampaikan kepada istrinya yang berada ditempat lain, bahwa ia telah
ditalak. Dalam hal ini utusan tadi bertindak selaku orang yang mentalak.
Karena itu sah-lah talaknya.
5. Talak Bebas dan Bergantung

Shighat talak adakalanya bebas tidak terikat (munjizah), adakalanya


bergantung (mu’allaq),dan adakalanya disandarkan pada masa yang akan
datang. Shighat talak yang bebas adalah Shighat yang tidak bergantung pada
syarat dan tidak disandarkan pada waktu yang kan datang. Ia dimaksudkan
oleh yang mengucapkannya terjadinya talak sekaligus, seperti ucapan
suami:”Engkau tertalak”. Hukum talak ini menjatuhkan talak seketika, kapan
saja diucapkan oleh ahlinya dan pada tempatnya.
Shighat talak bergantung adalah apa yang dijadikan suami untuk
mencapai talak digantungkan pada syarat suatu sifat. Seperti ucapan seorang
suami kepada istri:”Jika engkau pergi ke teather maka engkau tertalak”.
Disyaratkan sah-nya talak bergantung dan terjadinya talak pada tiga perkara:
1. Hendaklah digantungkan pada sesuatu yang belum ada dan mungkin ada
setelah itu. jika digantungkan pada sesuatu yang telah ada pada saat
mengucapkan shighat, ia masuk pada talak bebas, sekalipun bentuknya
bergantung. Misalnya “Jika siang terbit engkau tercerai” diucapkan pada
siang hari yang sudah terbit.
2. Shighat talak diucapkan pada wanita yang menjadi sasaran cerai masih
dalam tanggungannya.
3. Wanita dalam tanggungannya pada saat tercapainya sifat yang digantungi.

Talak bergantung (talak mu’allaq) ada dua bagian;


Pertama, ta’liq qasami, dimaksudkan sebagaimana dalam sumpah,
yakni untuk menekan istri agar mau melakukan sesuatu untuk
meninggalkannya dan atau memperkuat berita. Misalnya ucapan suami kepada
istri: “Jika engkau pergi kerja engkau tertalak”. Hal demikian dimaksudkan
mencegahnya keluar kerja bukan menjatuhkan talak.
Kedua, ta’liq syarthi, dimaksudkan menjatuhkan talak ketika
tercapainya syarat. Misalnya ucapan suami kepada istri: “ Jika engkau
membebaskan aku dari sisa maharmu, engkau tertalak”.
Kedua talak bergantung diatas menyebabkan terjadinya talak, menurut
mayoritas ulama’ jika tercapai apa yang digantunginya.
6. Shighat Talak pada Masa yang Akan Datang

Talak terkadang disandarkan pada masa yang akan datang dengan


tujuan talak kapan waktu itu datang. Seperti perkataan suami kepada
istrinya:”Engkau tertalak besok atau besok awal tahun”. Talak terjadi besok
atau awal tahun apabila wanita itu masih miliknya pada saat datangnya waktu
yang disandarkan tersebu

F. PENGERTIAN RUJUK DAN MACAM-MACAMNYA


Rujuk merupakan prioritas utama dalam sistem hukum Islam yang
diberikan Allah SWT untuk menyambung kembali tali perkawinan yang nyaris
terputus selama-lamanya. Hal ini diperbolehkan kepada orang lain setelah
berakhirnya masa iddah. Rujuk hanya dilakukan pada talak raj’i, yaitu talak
pertama atau kedua yang dijatuhkan suami kepada istri yang telah digauli. Oleh
sebab itu, rujuk tidak dapat diberikan pada peristiwa talak yang ketiga (ba’in).
Rujuk dilakukan melalui perkataan yang jelas, bukan perbuatan. Para ulama
berbeda pendapat mengenai rujuk yang dilakukan dengan perbuatan. Menurut
Imam Syafi’i, bahwa rujuk tersebut tidak sah. Sedangkan menurut ulama lainnya
mengatakan sah. Rujuk tidak mudah untuk dilakukan. Sebab rujuk sendiri
mempunyai tata caranya dan ada pasal-pasal yang mengatur bagaimana cara
merujuk. Diantara pasal-pasal tersebut ialah: pasal 167 KHI, 168 KHI dan 169
KHI. Seseoarang yang melakukan rujuk dengan tujuan tidak baik, maka
hukumnya adalah haram. Sebab hal tersebut merupakan perbuatan yang dzalim.

Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam


pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah dengan
istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan selama istri
dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk merupakan tindakan
hukum yang terpuji. 
Adapun macam-macam rujuk yaitu:
 Talak satu dan dua
Macam rujuk ini disebut juga dengan istilah rujuk talak raj’i.
Sesuai pula dengan firman Allah SWT.

ِ ‫ُوف أَوْ تَس‬


‫ْري ٌح بِإِحْ َسا ٍن‬ ُ َ‫الطَّال‬
ٌ ‫ق َم َّرتَا ِن فَإ ِ ْم َسا‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang makruf atau menceraikan (talak ketiga) dengan cara
yang baik. (QS. Al-Baqarah : 229).
Dan diperkuat lagi dengan hadist rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh sahabat Umar Radhiyallahu ‘Anhu dan dipastikan status hadisnya
shahih.
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, waktu itu beliau ditanya oleh
seseorang dan ia berkata: “adapun engkau yang telah menceraikan (istri)
baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh
aku merujuk istriku kembali.” (HR. Muslim)
 Talak tiga
Rujuk talak ba’in ini tidak bisa dilakukan meskipun istri masih
dalam masa ‘iddah, seperti halnya rujuk talak raj’i. Akan tetapi, bekas istri
harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain, keduanya sudah
bersetubuh, lalu suami kedua menceraikan wanita tersebut.
Setelah ia diceraikan dan masa ‘iddahnya sempurna, barulah suami
pertama bisa merujuk istrinya kembali.        

G. RUKUN DAN SYARAT RUJUK


1. Rukun Rujuk
Yang termasuk dalam rukun rujuk ialah: keadaan istri disyaratkan
sudah dicampuri oleh suaminya, suami melakukan rujuk atas kehendak
sendiri, rujuk dilakukan dengan sighat (lafal atau perkataan rujuk dari
suami) bukan melalui perbuatan (campur), dan hadirnya saksi.
Mengenai saksi para ulama masih berbeda pendapat, apakah saksi itu
merupakan rukun yang wajib atau hanya sunnah. Sebagian mengatakan
wajib, sedangkan yang lain mengatakan hanya sunnah.
Berbeda-beda pula para ulama mengenai rujuk yang dilakukan
dengan perbuatan. Imam Syafi’i berpendapat hal tersebut tidak sah, yang
berlandaskan pada ayat Allah yang menyuruh bahwa rujuk harus
dilakukan dengan dipersaksikan, sedangkan yang dapat dipersaksikan
hanya dengan sighat (perkataan). Akan tetapi menurut kebanyakaan para
ulama, rujuk dengan perbuatan itu sah (boleh). Mereka beralasan kepada
firman Allah swt yang berbunyi: “Dan suami-suami berhak
merujukinya.” Dalam ayat tersebut tidak ditentukan dengan perkataan
atau perbuatan. Hukum mempersaksikan pada ayat tersebut hanya
sunnah, bukan wajib.
2. Syarat Rujuk
Syarat dalam rujuk yang telah disepakati para ulama ialah ucapan
rujuk mantan suami dan mantan istri. Syarat-syarat tersebut ialah.
a. Laki-laki yang merujuk, adapun syarat bagi laki-laki yang
merujuk itu adalah sebagai berikut: laki-laki yang merujuk
adalah suami bagi perempuan yang dirujuk yang dia menikahi
istrinya itu dengan nikah yang sah, dan laki-laki yang merujuk
itu mestilah seseorang yang mampu melaksanakan pernikahan
dengan sendirinya, yaitu telah dewasa dan sehat akalnya dan
bertindak dengan kesadarannya sendiri. Seseorang yang masih
belum dewasa atau dalam keadaan gila tidak sah ruju’ yang
dilakukannya. Begitu pula bila rujuk itu dilakukan atas paksaan
dari orang lain, tidak sah rujuknya. Tentang sahnya rujuk orang
yang mabuk karena sengaja minum-minuman yang
memabukkan, ulama berbeda pendapat sebagaimana berbeda
pendapat dalam menetapkan sahnya akad yang dilakukan oleh
orang mabuk.
b. Perempuan yang dirujuk, adapun syarat sahnya rujuk bagi
perempuan yang dirujuk itu adalah perempuan itu istri yang sah
dari laki-laki yang merujuk, istri itu telah diceraikan dalam
bentuk talak raj’i. Tidak sah merujuk istri yang masih terikat
dalam tali perkawinan atau telah ditalak namun dalam bentuk
talak ba’in, istri itu masih berada dalam iddah talak raj’i. Laki-
laki masih mempunyai hubungan hukum dengan istri yang
ditalaknya secara talak raj’i, selama berada dalam iddah. Sehabis
iddah itu putuslah hubungannya sama sekali dan dengan
sendirinya tidak lagi boleh dirujuknya, dan istri itu telah
digaulinya dalam masa perkawinan itu. Tidak sah rujuk kepada
istri yang diceraikannya sebelum istri itu sempat digaulinya,
karena rujuk hanya berlaku bila perempuan itu masih berada
dalam iddah, istri yang dicerai sebelum digauli tidak mempunyai
iddah, sebagaimana disebutkan sebelumnya.

H. TATA CARA RUJUK


Mengenai tata cara dalam rujuk, ada beberapa pasal yang mengatur tata cara
dalam rujuk. Diantara pasal-pasal yang mengatur tata cara dalam rujuk serta tata
caranya ialah:
Pasal 167 KHI:
1. Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama istrinya ke
Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang
mewilayahi tempat tinggal suami istri dengan membawa penetapan
tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan,
2. Rujuk dilakukan dengan persetujuan istri di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah atau Pembantu Pencatat Nikah,
3. Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang
akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum
munakahat, apakah rujuk yang dilakukan itu masih dalam talak raj’i,
apakah perempuan yang akan dirujuknya itu adalah istrinya,
4. Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang
bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran
Rujuk dan
5. Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah menasehati
suami istri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang
berhubungan dengan rujuk.

I. HUKUM RUJUK
Adapun hukum rujuk, yaitu :
1. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
2. Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
3. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
4. Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan,
5. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk
itu lebih berfaedah bagi keduanya.
J. PENGERTIAN KHULU’

Khulu’ menurut etimologi  berasal dari kata ‫ خلع‬yang berarti melepaskan atau
memisahkan.    ‫“خلع الرجل ثوبه‬Pria itu melepaskan pakaian-nya.” Dan khulu’ disebut
juga Fidyah (Pemberian sebagian besar), Shulh (Pemberian sebagiannya), dan
Mubara’ah (Istri menggugurkan hak yang di miliki dari suami).
Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara
etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Karena seorang wanita
merupakan pakaian bagi lelaki, dan sebaliknya sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Qur’an:
“…mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki), dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka (wanita)…”. (QS. 2:187).
Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di lakukan oleh suami istri
untuk membebaskan istri dari pernikahannya, dengan syarat si istri membayarkan
sejumlah harta (atau maskawin yang dahulu diberikan), lalu suami methalaqnya atau
mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di berikan oleh istri kepada suami supaya
mengkhulu’nya.
Terdapat pada buku lain yakni dalam bukunya Jaih Mubarok yang berjudul
“Modifikasi Hukum Islam”, khulu’ dengan bahasa kiasan. Dalam fikih dikenal istilah
khulu’, secara bahasa, Khulu’ berarti melepas. Sedangkan secara istilah, khulu’ adalah
perceraian yang dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya dengan membayar
tebusan ‘iwadh.
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat suatu yang
menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki untuk itu.
Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu
ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus
perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini juga disebut khulu’.
Menurut pendapat para ulama mengenai khulu’ yang terdapat dalam bukunya
Abdul Rahman yang berjudul “perkawinan dalam syariat islam”, yakni:
Maliki, khulu sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwad” atau “cerai dengan membayar”,
sedangkan menurut ulama Hanafi, berkata bahwa ia menandakan berakhirnya
hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik mengucapkan kata khulu’ ataupun
kata lain yang berarti sama. Dan para ulama syafi’I berkata, “ia merupaan cerai yang
dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu dan dengan mengucapkan kata cerai
atau khulu”. Ia dapat dicapai melalui perintah Qadhi agar si istri membayar/
memberikan sejumlah tertentu kepada suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah
diberikan suaminya sebagai maharnya.

K. SYARAT DAN RUKUN KHULU’

Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi
karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang
hampir keseluruhannya menjadi perbincangan dikalangan ulama. Adapun yang
menjadi syarat khulu’ itu adalah:
1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan
3. Uang tebusan atau iwadh, dan
4. Alasan untuk terjadinya khulu’
a. Suami. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu.,
sebagaimana yang berlaku dalam thalaq adalah seseorang yang ucapannya
telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, baligh, dan bertindak
atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan.
b. Istri yang di khulu’. Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya
disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti,
istrinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam iddah
raj’iy.
2) Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk
pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia
harus seorang wanita yang telah baligh, berakal, tidak berada di dalam
pengampuan, dan sudah cerdas dalam bertindak atas harta.

Khulu’ boleh terjadi dari pihak ketiga, seperti walinya dengan


persetujuan istri. Khulu’ ini disebut khulu’ ajnabi. Pembayaran iwadh
dalam khulu’ seperti ini ditanggung oleh pihak ajnabi tersebut.
3) Adanya uang tebusan, atau ganti rugi atau iwadh.
4) Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang dalam
ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Menurut
ulama ucapan khulu’ terdapat dua macam. Pertama, menggunakan
lafadz yang jelas dan terang atau shahih. Kedua, menggunakan lafadz
kinayah yaitu lafadz lain yang tidak langsung berarti perceraian tapi
dapat digunakan untuk itu.
5) Adanya alasan untuk terjadinya khulu’

L. AKIBAT HUKUM KHULU’

Perceraian yang dilakukan dengan putusnya Pengadilan Agama adalah


perceraian yang dilakukan berdasarkan suatu gugatan perceraian oleh istri. Tatacara
perceraian yang berhubungan dengan gugatan, dilakukan sebagaimana pasal 28 PMA
Nomor 3 Tahun 1975. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya terhitung
sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap.
Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat
dirujuk.
1. Khulu’ Tanpa Alasan
Khulu’ hanya  di bolehkan kalau ada alasan yang benar . seperti: suami
cacat badan, buruk akhlaqnya, tidak memberi nafkah lahir batin, dan tidak
memenuhi kewajiban terhadap istrinya,  sedangkan istri khawatir akan melanggar
hukum Allah. Dalam keadaan seperti ini maka istri tidak wajib memenuhi hak
suami. Maka jika tidak ada alasan yang benar, maka tidak di perbolehkan oleh
syariah.
Sebagaimana hadis yang di riwayatkan oleh Ibnu Majah dan Tirmidzi: 
Dari Tsauban ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:
“ Setiap wanita yang minta Thalaq kepada suaminya tanpa alasan yang di
benarkan agama, maka haram baginya mencium semerbak (wanginya)
surga.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).

Dari tsauban ra. dari Rasulullah saw bersabda:


“Wanita-wanita yang melakukan khulu’ adalah wanita-wanita munafiq”(HR.
Tirmidzi).

2. Iddah perempuan yang di khulu’

Menurut pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling shahih
dari Ahmad bin Hambal, dan juga pendapat Ishaq bin Rahawaih, bahwa
perempuan yang di Khulu’ iddah-Nya satu kali Haid. Sebagaimana hadis Tsabit,
beliau bersabda kepadanya:
“menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit beriddah dengan
satu kali haid dan di “Ambillah miliknya  (Istri Tsabit) untuk mu (tsabit) dan
mudahkanlah urusannya, lalu ia kembalikan kepada keluarganya” (HR. Nasa’i).
3. Sighat khulu’

Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga


terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak
dan Qabul dari pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-
kata yang dapat digunakan sebagai Ijab-Qabul dalam Khulu'. Pada dasarnya,
shigat ini harus dengan kata-kata. Namun, untuk kondisi yang tidak
memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh dengan
isyarat yang dapat dipahami.
a) Jumhur ulama membolehkan sighah khulu’ di ucapkan dengan kata jelas atau
kiasan, seperti khulu’ atau fasakh seperti‫ بارئتك‬ (Aku melepaskan- Mu) dan
suami berkata kepada istrinya ‫ذا‬uu‫ي بك‬u‫ك نفس‬uu‫بعت‬  “Aku menjual diri-Ku dengan
sekian”  lalu istri berkata ‫تريت‬uu‫اش‬  “ Aku membeli-Mu” Atau suami berkata
demikian  ‫ذا‬uu‫ك بك‬uu‫تريت طالق‬uu‫اش‬   “Belilah thalaq-Mu dengan sekian”  lalu Istri
berkata  ‫قبلت‬  “Aku terima”
Khulu tidak syah bila di lakukan secara Mu’athah (serah terima), yaitu
dengan cara istri memberikan tebusan kepada suami dan berpisah tanpa
keduanya mengucapkan sighat apapun.
b) Imammiyah berpendapat bahwa khulu’ tidak syah bila menggunakan kata
kiasan. Mereka hanya mensyahkan sighat dengan kata khulu’ dan thalaq,
keduanya bisa di ucapkan sekaligus atau salah satu dari keduanya. Misalnya:
Istri berkata ‫بذلت كذا لتطلقني‬  “Aku serahkan sekian demi engkau menthalaq-Ku”
lalu suami berkata:  ‫فأنت طالق‬  ‫” خعلتك على ذلك‬aku mengkhulu’-Mu atas hal itu
maka kamu tercerai”

M. HUKUM KHULU’

Khulu’ itu perceraian kehendak istri. Hukumnya menurut jumhur ulama


adalah boleh atau mubah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an dan
hadis nabi. Adapun dasarnya Firman Allah swt dalam surat Al- Baqarah ayat 229:

“ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”.

Ayat diatas yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh.
Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut
'iwadh.

Riwayat Ibnu Abbas ra.

Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin Syammas
datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “ Ya Rasulullah, aku tidak
membenci Tsabit (suami) bukan karena agamanya dan bukan (pula) karena
perangainya (akhlaq), melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian
Rasulullah bersabda: “ Maka maukah engkau mengembalikan kebun kepadanya
(maksudnya harta yang pernah dahulu di berikan) ? Jawabnya,” Ya (mau)”
kemudian ia mengembalikan kepadanya dan selanjutnya Rasulullah
memerintahkan suaminya (Tsabit) agar menceraikanya” (HR. Al- Bukhari).

Kata-kata “sesungguhnya aku khawatir kufur” maksudnya, tidak suka


mendurhakai suami dan meninggalkan kewajiban akibat tidak cinta lagi
terhadapnya.
Namun demikian, khulu’ baru boleh dilakukan apabila betul-betul ada
alasan yang memaksa, seperti kalau suami itu cacat tubuhnya, buruk akhlaqnya,
suka menyakiti istri dan tidak menunaikan kewajiban sebagai suami, atau dengan
bersuamikan dia wanita itu khawatir lalai akan perintah Allah swt. Jadi kalau
tidak ada alasan yang memaksa, hal itu tentu tidak di bolehkan.
Demi menghindari masalah bila terjadi ketidak cocokkan antara suami istri
karena hal fisik, agama atau selainnya. Karena itu, semua ulama fiqh
membolehkannya.

N. PENGERTIAN FASAKH DAN MACAM-MACAMNYA


Menurut bahasa kata "fasakh" berasal dari bahasa Arab ‫ فسخا‬- ‫ يفسخ‬-‫فسخ‬
yang berarti batal atau rusak. Sedang menurut istilah dapat diartikan sebagai
berikut :
Menurut DR. Ahmad al Ghundur Fasakh adalah batal akad
(pernikahan) dan hilangnya keadaan yang menguatkan kepadanya. Menurut
Sayyid Sabiq Memfasakh adalah membatalkannya dan melepaskan ikatan
pertalian antara suami-isteri., Menurut Ensiklopedi Islam fasakh ialah pemutusan
hubungan pernikahan oleh hakim atas permintaan suami atau isteri atau
keduanya akibat timbulnya hal-hal yang dirasa berat oleh masing-masing atau
salah satu pihak suami-isteri secara wajar dan tidak dapat mencapai tujuan dari
sebuah pernikahan yang di inginkan oleh suami dan istri.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan jikalau pengertian fasakh nikah
adalah suatu bentuk perceraian yang diputuskan oleh hakim karena dianggap
pernikahan itu memberatkan salah satu pihak baik istri atau laki laki atau bahkan
kedua belah pihak.
Adapun Macam-macam Fasakh terbagi menjadi dua yaitu :
1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah :
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa isteri merupakan saudara
sepersusuan suami (rada’ah).
b. Pernikahan yang dilaksanakan saat suami isteri masih kecil. Yang
menikahkan keduanya adalah wali selain ayah dan kakeknya.
Kemudian setelah dewasa keduanya berhak memilih untuk
meneruskan ikatan perkawinannya itu atau mengakhirinya. Khiyar ini
dinamakan khiyar al-bulugh. Jika keduanya lebih memilih untuk
mengakhiri ikatan suami isteri, maka hal ini disebut fasakh al-aqdi.
c. Fasakh, karena keduanya dinikahkan pada saat salah seorang dari
keduanya atau kedua-duanya sedang sakit.
d. Fasakh karena pasangan yang tidak se-kufu (imbang).
e. Fasakh karena mahar yang diberikan tidak sesuai dengan mahar pada
umumnya (mahar misli).
2. Fasakh yang dianggap tidak membatalkan akad sejak semula, namun timbul
cacat yang tidak diduga dikemudian hari, menyebabkan keberlangsungan
akad tidak lestari :
a. Apabila salah seorang dari suami isteri murtad atau keluar dari Islam
dan tidak mau kembali sama sekali, maka akad pernikahannya
menjadi batal (Fasakh) karena kemurtadan tersebut, yaitu murtad
yang terjadi setelah sekian lama dari pernikahan.
b. Jika suami yang tadinya kafir itu kemudian masuk Islam, tetapi istri
masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap menjadi musyrik, maka
akad pernikahan yang dulu telah dilaksanakan,menjadi batal
(Fasakh). Lain halnya, jika istrinyaitu seorang ahli kitab, maka
akadnya tetap sah seperti semula. Sebab perkawinan lelaki muslim
dengan wanita ahli kitab adalah sah dari sejak semula.
c. Salah seorang istri nabi melakukan hubungan intim dengan mertua
atau anak tirinya.

Kemudian fasakh yang dianggap tidak membatalkan akad sejak


semula, dibagi menjadi dua macam :
a. Fasakh yang berimplikasi terhadap batal atau rusaknya akad
pernikahan secara selamanya (Muabbad).[10] Maka tidak boleh
bagi seorang laki-laki menikahi istrinya lagi setelah peristiwa
fasakh ini, dikarnakan fasakh tersebut terjadi akibat dari faktor–
faktor yang berimplikasi pada keharaman menikah diantara
keduanya untuk selama-lamanya, misalnya salah seorang suami
istri melakukan hubungan persetubuhan dengan mertua atau anak
tirinya.
b. Fasakh yang menghalang-halangi hubungan nikah dan
mengharamkannya dengan keharaman yan bersifat temporal
(muaqqotan). Demikian itu dikarenakan fasakh tersebut terjadi
akibat keharaman yang bersifat temporal pula. Oleh karena itu,
ketika penghalangnya sudah hilang atau sembuh maka
diperbolehkan kembali untuk menyambung hubungan pernikahan
tersebut.

O. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN FASAKH

Fasakh adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat


pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang
datang kemudian yang menyebabkan akad pernikahan tersebut
tidak dapat dilanjutkan.
1) Fasakh yang disebabkan rusaknya atau terdapatnya cacat dalam akad
nikah, antara lain sebagai berikut :
a) Setelah pernikahan berlangsung, di kemudian hari diketahui bahwa
suami isteri adalah saudara sekandung, seayah seibu atau saudara
sepersusuan.
b) Apabila ayah atau kakek menikahkan anak laki-laki atau perempuan
di bawah umur dengan orang yang juga di bawah umur. Maka setelah
kedua anak ini dewasa mereka berhak untuk memilih melanjutkan
pernikahan tersebut atau menghentikan pernikahan itu. Apabila
anak itu menghentikan pernikahan tersebut, maka dinamakan fasakh.
Hak pilih seperti ini oleh ulama fiqih tersebut khiyar al-bulugh.
2) Fasakh yang disebabkan ada penghalang (mani' al-huruf) setelah
berlangsungnya pernikahan misalnya antara lain sebagai berikut :
a) Salah seorang di antara suami isteri itu murtad (keluar dari agama
Islam).
b) Apabila pasangan suami isteri tersebut dahulunya menganut agama
non Islam. Kemudian isterinya memeluk agama Islam maka dengan
sendirinya akad pernikahan itu batal. Apabila suaminya yang masuk
Islam sedangkan wanita tersebut kitabiyah (yahudi atau nasrani) maka
pernikahan tersebut tidak batal.

P. BENTUK-BENTUK FASAKH

Bentuk-bentuk fasakh yang terjadi dengan sendirinya di antaranya


sebagai berikut :
1) Fasakh terjadi karena rusaknya akad pernikahan yang diketahui setelah
pernikahan berlangsung, seperti pernikahan tanpa saksi dan mengawini
mahram.
2) Fasakh terjadi karena isteri dimerdekakan dari status budak.
Sedangkan suaminya tetap berstatus budak.
3) Fasakh terjadi karena pernikahan yang dilakukan adalah nikah mut'ah.
4) Fasakh terjadi karena mengawini wanita dalam masa iddah.
Adapun fasakh yang memerlukan campur tangan hakim antara lain
sebagai berikut :
1) Fasakh disebabkan isteri merasa tidak kafaah dengan suaminya.
2) Fasakh disebabkan mahar isteri tidak dibayar penuh sesuai dengan
yang dijanjikan.
3) Fasakh akibat salah seorang suami/isteri menderita penyakit gila.
4) Fasakh terjadi karena isteri yang musyrik tidak mau masuk Islam
setelah suaminya masuk Islam, sedangkan wanita tersebut menuntut
perceraian dari suaminya.
5) Fasakh disebabkan salah seorang suami/isteri murtad dan menjadi
musyrik/musyrikah.
6) Fasakh terjadi karena li'an.
7) Fasakh disebabkan adanya cacat baik pada suami maupun pada isteri.
8) Menurut jumhur ulama, hakim juga harus campur tangan dalam
fasakh yang disebabkan suami tidak mampu memberi nafkah, baik
pangan, sandang, maupun papan.
9) Fasakh karena suami dipenjara.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari pembahasan isi makalah ini adalah:
1. Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan. Sedangkan menurut syara’
ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.
2. Berikut ini adalah beberapa macam talak menurut beberapa tinjauan:
a. Macam-macam talak ditinjau dari waktu melakukan yaitu: Thalaq sunni dan
thalaq bid’i Talak ditinjau dari jelas tidaknya ucapan yaitu: Sharih dan
kinayah
b. Talak ditinjau dari kemungkinan ruju’ atau tidak yaitu:Thalaq raj’i dan
thalaq ba’in
c. Talak ditinjau dari cara menyampaikan yaitu: dengan ucapan, tulisan,
isyarat , dan dengan utusan.
3. Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang hukum talak. Pendapat yang paling
benar diantara semua itu adalah yang mengatakan “terlarang”, kecuali karena
alasan yang benar.
4. Diantara rukun-rukun talak adalah adanya: a. Suami, b. Istri, c. Shighat
thalaq dan, d. Qhosdu.
5. Diantara beberapa shighat thalaq (ungkapan) adalah: dengan kata-kata,
dengan isyarat, dengan tulisan/Surat, serta dengan mengirimkan seorang
utusan.
6. Seorang suami apabila sudah mengumpuli istrinya maka ia berhak tiga kali
talak. Para ulama’ sepakat, suami dilarang mentalak istrinya tiga kali
berturut-turut dalam masa satu kali suci.
7. Berikut ini adalah beberapa akibat talak dalam talak raj’i, apabila masa iddah
telah habis maka tidak boleh ruju’ dan berarti perempuan itu telah ter talak
ba’in. Dalam talak ba’in suami harus melakukan akad nikah baru jika ingin
kembali.
8. Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam
pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah
dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan
selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk
merupakan tindakan hukum yang terpuji.

9. Khulu’ dapat diartikan talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya atas
permintaan istri dengan pembayaran sejumlah harta kapada suami.
Mengkhulu’ istri dapat dilakukan sewaktu-waktu.
10. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 229 dan hadis nabi.
11. Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan si istri dari
kesulitan dan kemudaratan. Sedangkan hikmah dari hukum khulu’ adalah
tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri.
12. Selain itu khuluk mempunyai rukun dan syarat khuluk. Dan khlu’ itu dapat
dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan hakim atau
oleh hakim.
13. Menurut bahasa kata "fasakh" berasal dari bahasa Arab ‫ فسخا‬- ‫ يفسخ‬-‫ فسخ‬yang
berarti batal atau rusak. Sedangkan menurut istilah fasakh adalah suatu
bentuk perceraian yang diputuskan oleh hakim karena dianggap pernikahan
itu memberatkan salah satu pihak baik istri atau laki laki atau bahkan kedua
belah pihak.
14. Fasakh adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad
nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian.
15. Beberapa bentuk fasakh diantaranya: Fasakh yang terjadi dengan sendirinya
dan fasakh yang memerlukan campur tangan hakim.
16. Perbedaan talak dan fasakh:
a. Talak ialah pembubaran ikatan perkawinan dengan lafal talak. Sedangkan
fasakh memutuskan pernikahan tanpa menjatuhkan talak.
b. Perceraian boleh dilakukan dengan lafal sharih (jelas) dan lafaz kinayah
(sindiran), begitu juga perceraian boleh dilakukan dengan talak raj’i atau talak
ba’in. Sedangkan pembubaran perkawinan secara fasakh hanya boleh
diputuskan oleh hakim di mahkamah.
c. Berpisahnya suami istri akibat talak tidak mengakhiri ikatan suami istri secara
seketika, karena ada masa iddah, kecuali pada thalaq ba’in. Sedangkan
fasakh baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya
syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan
seketika itu.

B. KRITIK DAN SARAN


Berdasarkan apa yang telah kami jelaskan dalam makalah mengenai
pernikahan ini pasti ada kekurangan maupun kelebihannya. Mudah-mudahan
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat menambah wawasan
pembaca mengenai pernikahan berdasarkan Islam. Adapun kritik maupun saran
dapat disampaikan ke penulis agar dapat memperbaiki makalah ini baik dari segi
penulisan, materi, maupun tata bahasa yang disampaikan. Penulis mengharapkan
pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah yang telah dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani. 1994. Komplikasi Hukum Islam dan Tata Hukum


Indonesia.  Jakarta: Gema Insani Press.

Hakim, Haji Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2008. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.

Nuruddin, Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.

Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. 1981. Fiqh Wanita. Penerjemah Anshori Umar


Sitanggal. Semarang: Asy-Syifa’.

Al-Khalafi, Abdul ‘Azhim bin Badawi. 2006. Al-Wajiz. Penerjemah Ma’ruf Abdul


Jalil. Jakarta: Pustaka Al-Sunnah.
Annati, Muhammad Ibrahim. 2007. Fiqh Perbandingan Lima Madzhab. Penerjemah
Ibnu Bafaqih, Alwi. Jakarta: Cahaya. jil. 3.

Mujieb, M. Abdul dkk. 1994. .Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. jakarta: Rineka Cipta.
cet.2.

Ramulyo, Moh. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
cet.5.

Rusyd, Ibnu. 2007. Bidayatul Mujtahid. Penerjemah Fathur Rakhman. Jakarta:


Pustaka Azzam.

Sabiq, Sayid. 1990. Fiqh Al-Sunnah. Penerjemah Dr. M. Thalib. Bandung: Al-
Ma’arif. jil. 8.

Anda mungkin juga menyukai