DI SUSUN OLEH:
KELOMPOK 2
SRI HARMITA
SANTI RAMADANI
EKA SYAHRUL RAMADHANA
NANANG
NURUL FADILAH
NUR ISMAYANI
NUR INDRAWAN
Kelompok 2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................6
PENDAHULUAN.....................................................................................................6
A. LATAR BELAKANG....................................................................................6
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................6
C. TUJUAN........................................................................................................7
BAB II.......................................................................................................................8
PEMBAHASAN.......................................................................................................8
A. PENGERTIAN TALAK................................................................................8
B. MACAM-MACAM TALAK..........................................................................9
C. HUKUM TALAK DAN DALIL HUKUMNYA..........................................13
D. RUKUN DAN SYARAT TALAK................................................................17
E. UNGKAPAN CERAI (SHIGHAT THALAQ)...........................................19
F. PENGERTIAN RUJUK DAN MACAM-MACAMNYA...........................24
G. RUKUN DAN SYARAT RUJUK................................................................25
H. TATA CARA RUJUK.................................................................................26
I. HUKUM RUJUK........................................................................................27
J. PENGERTIAN KHULU’...........................................................................27
K. SYARAT DAN RUKUN KHULU’.............................................................28
L. AKIBAT HUKUM KHULU’......................................................................29
M. HUKUM KHULU’......................................................................................31
N. PENGERTIAN FASAKH DAN MACAM-MACAMNYA.........................32
O. HAL-HAL YANG MENYEBABKAN FASAKH.......................................33
P. BENTUK-BENTUK FASAKH...................................................................33
BAB III....................................................................................................................35
PENUTUP...............................................................................................................35
A. KESIMPULAN...........................................................................................35
B. KRITIK DAN SARAN................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Salah satu perceraian yang dibolehkan oleh syariat adalah dengan Talak,
khuluk dan fasakh. Sepintas terlihat bahwa permainan pihak suami terhadap istri
atas hak talak yang dimilikinya, sehingga syari’at khuluk tidak banyak dipahami
dan dipraktekkan dalam kehidupan keluarga muslim. Banyak kalangan menilai
bahwa syari’at telah memberikan porsi hak yang berlebihan kepada suami dalam
ikatan perkawinan. Sehingga kehidupan rumah tangga selalu saja di warnai oleh
hegomoni ,arogansi suami atas istri yang tidak seimbang dalam rumah tangga.
Penilain tersebut merupakan suatu penilaain yang tidak komprehensif di dalam
menafsirkan kandungan teks al-quran maupun hadis yang berkenaan tentang
perceraian. dan akan semakin biasa manakala ayat-ayat tentang perceraian di
dekati melalui perpektif HAM, kesetaraan gender, kebebasan , demokratisasi dll.
Tentu saja penilaian demikian akan memberikan citra buruk terhadap
ajaran Islam tentang perceraian, dan seolah-olah syari’at telah terlanjur
memberikan porsi yang tidak seimbang bagi istri, padahal syari’at telah
meletakkan posisi suami istri dalam bingkai keseimbangan dan keadilan dalam
kehidupan rumah tangga . Bila syari’at telah meletakkan hak talak ada di tangan
suami , maka syari’at khuluk diletakkan di tangan istri. Tentunya semua itu diatur
dalam ketentuan hukum dan perundang-undangan, agar masing-masing orang
tidak begitu seenaknya menggunakan hak yang telah diberikan kepadanya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian talak ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Apa Pengertian talak
A. PENGERTIAN TALAK
B. MACAM-MACAM TALAK
a) Talak ditinjau dari waktu melakukan talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Talak Sunni yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntutan sunnah.
Dikatakan talak sunni jika memenuhi 4 (empat) syarat yaitu :
isteri yang ditalak sudah pernah digauli, bila belum pernah digauli
maka bukan termasuk talak sunni.
isteri dapat segera melakukan menunggu ‘iddah’ suci setelah
ditalak yaitu dalam keadaan suci dari haid
talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik
dipermulaan, dipertengahan maupun diakhir suci, kendati beberapa
saat lalu datang haid.
suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci di mana
talak itu dijatuhkan. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika isteri
dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk
talak sunni.
b. Talak Bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan
dengan tuntutan sunnah dan tidak memenuhi ketentuan syarat-syarat talak
sunni. Termasuk dalam talak bid’i adalah :
b) Talak ditinjau dari jelas tidaknya ucapan talak dibagi menjadi dua macam,
yaitu:
a. Talak Sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata yang jelas dan
tegas, dapat dipahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika
diucapkan, tidak mungkin ada pemahaman lagi. Contoh Talak Sharih
yaitu:
c) Talak ditinjau dari kemungkinan ruju’ atau tidak dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Talak Raj’i yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap isterinya yang
telah digauli, talak yang pertama kali dijatuhkan atau yang kedua kalinya.
Setelah terjadi talak raj’i, maka isteri wajib ber iddah, bila kemudian
suami hendak kembali kepada isteri sebelum berakhir masa iddah, maka
hal itu dapat dilakukan dengan jalan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah
tersebut suami tidak menyatakan rujuknya, maka talak tersebut berubah
menjadi talak bain dengan berakhir iddahnya.: kemudian jika sesudah
berakhir iddahnya itu suami ingin kembali kepada bekas isterinya, maka
wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan dengan mahar yang baru
pula. Talak raj’i hanya terjadi dengan talak yang pertama dan kedua saja.
b. Talak Ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk bagi bekas suami
terhadap bekas isterinya. Untuk mengembalikan bekas isteri ke dalam
ikatan perkawinan harus melalui akad nikah baru lengkap dengan rukun
dan syarat-syaratnya. Adapun talak ba’in dibagu menjadi dua:
c. Talak dengan isyarat yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh
suami yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara dapat
dipandang sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan
menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu, isyarat baginya sama
dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan talak,
sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud talak atau
mengakhiri perkawinan.
d. Talak dengan utusan yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada
isteri melalui perantaraan orang lain
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Diantara rukun talak adalah:
a. Suami: Islam memberikan hak talak hanya kepada laki-laki saja. Karena ia
yang lebih bersikeras untuk melanggengkan tali perkawinannya yang dibiayai
dengan hartanya, sehingga jika ia hendak cerai atau kawin lagi ia perlu
membiayainya lagi dengan jumlah yang lebih besar. Selain itu, laki-laki
menurut kadar dan tabiatnya bersifat lebih sabar menghadapi perangai istrinya
yang tidak disukainya. Ia juga tidak terburu-buru untuk bercerai karena rasa
marah atau kejelekan istrinya. Sedangkan perempuan biasanya lebih cepat
marah, kurang pertimbangannya, tidak menanggung biaya-biaya perceraian
dengan segala akibatnya dan tidak pula mengeluarkan belanja seperti yang
diwajibkan kepada laki-laki.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang makruf atau menceraikan (talak ketiga) dengan cara
yang baik. (QS. Al-Baqarah : 229).
Dan diperkuat lagi dengan hadist rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh sahabat Umar Radhiyallahu ‘Anhu dan dipastikan status hadisnya
shahih.
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, waktu itu beliau ditanya oleh
seseorang dan ia berkata: “adapun engkau yang telah menceraikan (istri)
baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW menyuruh
aku merujuk istriku kembali.” (HR. Muslim)
Talak tiga
Rujuk talak ba’in ini tidak bisa dilakukan meskipun istri masih
dalam masa ‘iddah, seperti halnya rujuk talak raj’i. Akan tetapi, bekas istri
harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain, keduanya sudah
bersetubuh, lalu suami kedua menceraikan wanita tersebut.
Setelah ia diceraikan dan masa ‘iddahnya sempurna, barulah suami
pertama bisa merujuk istrinya kembali.
I. HUKUM RUJUK
Adapun hukum rujuk, yaitu :
1. Wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia
sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak,
2. Haram, apabila rujuknya berniat menyakiti istri,
3. Makruh, kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya,
4. Mubah, ini adalah hukum rujuk yang asli dan,
5. Sunnah, apabila suami bermaksud untuk memperbaiki istrinya atau rujuk
itu lebih berfaedah bagi keduanya.
J. PENGERTIAN KHULU’
Khulu’ menurut etimologi berasal dari kata خلعyang berarti melepaskan atau
memisahkan. “خلع الرجل ثوبهPria itu melepaskan pakaian-nya.” Dan khulu’ disebut
juga Fidyah (Pemberian sebagian besar), Shulh (Pemberian sebagiannya), dan
Mubara’ah (Istri menggugurkan hak yang di miliki dari suami).
Khulu’ yang terdiri dari lafadz kha-la-‘a yang berasal dari bahasa Arab secara
etimologi berarti menanggalkan atau membuka pakaian. Karena seorang wanita
merupakan pakaian bagi lelaki, dan sebaliknya sebagaimana dinyatakan dalam Al-
Qur’an:
“…mereka (wanita) adalah pakaian bagimu (lelaki), dan kamu pun adalah pakaian
bagi mereka (wanita)…”. (QS. 2:187).
Khulu’ menurut terminologi adalah akad yang di lakukan oleh suami istri
untuk membebaskan istri dari pernikahannya, dengan syarat si istri membayarkan
sejumlah harta (atau maskawin yang dahulu diberikan), lalu suami methalaqnya atau
mengkhulu’nya. Juga berarti tebusan yang di berikan oleh istri kepada suami supaya
mengkhulu’nya.
Terdapat pada buku lain yakni dalam bukunya Jaih Mubarok yang berjudul
“Modifikasi Hukum Islam”, khulu’ dengan bahasa kiasan. Dalam fikih dikenal istilah
khulu’, secara bahasa, Khulu’ berarti melepas. Sedangkan secara istilah, khulu’ adalah
perceraian yang dilakukan oleh seorang istri terhadap suaminya dengan membayar
tebusan ‘iwadh.
Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat suatu yang
menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki untuk itu.
Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu
ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutus
perkawinan itu. Putusnya perkawinan dengan cara ini juga disebut khulu’.
Menurut pendapat para ulama mengenai khulu’ yang terdapat dalam bukunya
Abdul Rahman yang berjudul “perkawinan dalam syariat islam”, yakni:
Maliki, khulu sebagai “Al-Thalaq bil ‘Iwad” atau “cerai dengan membayar”,
sedangkan menurut ulama Hanafi, berkata bahwa ia menandakan berakhirnya
hubungan perkawinan yang diperkenankan, baik mengucapkan kata khulu’ ataupun
kata lain yang berarti sama. Dan para ulama syafi’I berkata, “ia merupaan cerai yang
dituntut pihak istri dengan membayar sesuatu dan dengan mengucapkan kata cerai
atau khulu”. Ia dapat dicapai melalui perintah Qadhi agar si istri membayar/
memberikan sejumlah tertentu kepada suaminya, tidak melebihi dari apa yang telah
diberikan suaminya sebagai maharnya.
Di dalam khulu’ terdapat beberapa unsur yang merupakan rukun yang menjadi
karakteristik dari khulu’ itu dan di dalam setiap rukun terdapat beberapa syarat yang
hampir keseluruhannya menjadi perbincangan dikalangan ulama. Adapun yang
menjadi syarat khulu’ itu adalah:
1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan uang tebusan
3. Uang tebusan atau iwadh, dan
4. Alasan untuk terjadinya khulu’
a. Suami. Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu.,
sebagaimana yang berlaku dalam thalaq adalah seseorang yang ucapannya
telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, baligh, dan bertindak
atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan.
b. Istri yang di khulu’. Istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya
disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam arti,
istrinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam iddah
raj’iy.
2) Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena untuk
pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat ini ia
harus seorang wanita yang telah baligh, berakal, tidak berada di dalam
pengampuan, dan sudah cerdas dalam bertindak atas harta.
Menurut pendapat Utsman, Ibnu Abbas dan riwayat yang paling shahih
dari Ahmad bin Hambal, dan juga pendapat Ishaq bin Rahawaih, bahwa
perempuan yang di Khulu’ iddah-Nya satu kali Haid. Sebagaimana hadis Tsabit,
beliau bersabda kepadanya:
“menjawab: Baik, lalu Rasulullah saw menyuruh istri Tsabit beriddah dengan
satu kali haid dan di “Ambillah miliknya (Istri Tsabit) untuk mu (tsabit) dan
mudahkanlah urusannya, lalu ia kembalikan kepada keluarganya” (HR. Nasa’i).
3. Sighat khulu’
M. HUKUM KHULU’
“ Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya”.
Ayat diatas yang menjadi dasar hukum khulu' dan penerimaan 'iwadh.
Kulu' Yaitu permintaan cerai kepada suami dengan pembayaran yang disebut
'iwadh.
Artinya: “Dari Ibnu Abbas ra. ia berkata: Istri Tsabit bin Qais bin Syammas
datang kepada Rasulullah saw. lalu berkata, “ Ya Rasulullah, aku tidak
membenci Tsabit (suami) bukan karena agamanya dan bukan (pula) karena
perangainya (akhlaq), melainkan sesungguhnya aku khawatir kufur.” Kemudian
Rasulullah bersabda: “ Maka maukah engkau mengembalikan kebun kepadanya
(maksudnya harta yang pernah dahulu di berikan) ? Jawabnya,” Ya (mau)”
kemudian ia mengembalikan kepadanya dan selanjutnya Rasulullah
memerintahkan suaminya (Tsabit) agar menceraikanya” (HR. Al- Bukhari).
P. BENTUK-BENTUK FASAKH
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari pembahasan isi makalah ini adalah:
1. Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan. Sedangkan menurut syara’
ialah melepaskan taali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami istri.
2. Berikut ini adalah beberapa macam talak menurut beberapa tinjauan:
a. Macam-macam talak ditinjau dari waktu melakukan yaitu: Thalaq sunni dan
thalaq bid’i Talak ditinjau dari jelas tidaknya ucapan yaitu: Sharih dan
kinayah
b. Talak ditinjau dari kemungkinan ruju’ atau tidak yaitu:Thalaq raj’i dan
thalaq ba’in
c. Talak ditinjau dari cara menyampaikan yaitu: dengan ucapan, tulisan,
isyarat , dan dengan utusan.
3. Para Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang hukum talak. Pendapat yang paling
benar diantara semua itu adalah yang mengatakan “terlarang”, kecuali karena
alasan yang benar.
4. Diantara rukun-rukun talak adalah adanya: a. Suami, b. Istri, c. Shighat
thalaq dan, d. Qhosdu.
5. Diantara beberapa shighat thalaq (ungkapan) adalah: dengan kata-kata,
dengan isyarat, dengan tulisan/Surat, serta dengan mengirimkan seorang
utusan.
6. Seorang suami apabila sudah mengumpuli istrinya maka ia berhak tiga kali
talak. Para ulama’ sepakat, suami dilarang mentalak istrinya tiga kali
berturut-turut dalam masa satu kali suci.
7. Berikut ini adalah beberapa akibat talak dalam talak raj’i, apabila masa iddah
telah habis maka tidak boleh ruju’ dan berarti perempuan itu telah ter talak
ba’in. Dalam talak ba’in suami harus melakukan akad nikah baru jika ingin
kembali.
8. Rujuk dalam pengertian etimologi adalah kembali, sedangkan dalam
pengertian terminologi adalah kembalinya suami kepada hubungan nikah
dengan istri yang telah dicerai raj’i bukan cerai ba’in, dan dilaksanakan
selama istri dalam masa iddah. Dalam hukum perkawinan islam rujuk
merupakan tindakan hukum yang terpuji.
9. Khulu’ dapat diartikan talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya atas
permintaan istri dengan pembayaran sejumlah harta kapada suami.
Mengkhulu’ istri dapat dilakukan sewaktu-waktu.
10. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Dasar dari
kebolehannya terdapat dalam Al-Qur’an Al-Baqarah ayat 229 dan hadis nabi.
11. Tujuan dari kebolehan khulu’ adalah untuk menghindarkan si istri dari
kesulitan dan kemudaratan. Sedangkan hikmah dari hukum khulu’ adalah
tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri.
12. Selain itu khuluk mempunyai rukun dan syarat khuluk. Dan khlu’ itu dapat
dilakukan sendiri antara suami dan istri dan tidak harus di depan hakim atau
oleh hakim.
13. Menurut bahasa kata "fasakh" berasal dari bahasa Arab فسخا- يفسخ- فسخyang
berarti batal atau rusak. Sedangkan menurut istilah fasakh adalah suatu
bentuk perceraian yang diputuskan oleh hakim karena dianggap pernikahan
itu memberatkan salah satu pihak baik istri atau laki laki atau bahkan kedua
belah pihak.
14. Fasakh adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad
nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian.
15. Beberapa bentuk fasakh diantaranya: Fasakh yang terjadi dengan sendirinya
dan fasakh yang memerlukan campur tangan hakim.
16. Perbedaan talak dan fasakh:
a. Talak ialah pembubaran ikatan perkawinan dengan lafal talak. Sedangkan
fasakh memutuskan pernikahan tanpa menjatuhkan talak.
b. Perceraian boleh dilakukan dengan lafal sharih (jelas) dan lafaz kinayah
(sindiran), begitu juga perceraian boleh dilakukan dengan talak raj’i atau talak
ba’in. Sedangkan pembubaran perkawinan secara fasakh hanya boleh
diputuskan oleh hakim di mahkamah.
c. Berpisahnya suami istri akibat talak tidak mengakhiri ikatan suami istri secara
seketika, karena ada masa iddah, kecuali pada thalaq ba’in. Sedangkan
fasakh baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya
syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan
seketika itu.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Haji Rahmat. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2008. Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.
Nuruddin, Haji Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Mujieb, M. Abdul dkk. 1994. .Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rahman, Abdul. 1996. Perkawinan Dalam Syariat Islam. jakarta: Rineka Cipta.
cet.2.
Ramulyo, Moh. Idris. 2004. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
cet.5.
Sabiq, Sayid. 1990. Fiqh Al-Sunnah. Penerjemah Dr. M. Thalib. Bandung: Al-
Ma’arif. jil. 8.