Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan islam.

Pernikahan juga merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara

kemaslahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan

memperturutkan hawa nafsunya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan bencana

dalam masyarakat.

Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan

pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh

kebahagiaan atau dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah,

warahmah. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang

terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah

yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.

Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang

kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, idah, dan sebagainya.

Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, dan tidak ada

jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain dibolehkan apabila

suami istri sudah tidak dapat melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan

ketentuan agama, seingga tujuan rumah tangga yang pokok yaitu mencapai

kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi.

Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan

perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian

1
dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang

menimpa suami atau istri.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan talak, rujuk, dan iddah ?

2. Ada berapa pembagian talak, rujuk, dan iddah?

3. Apa sajakah syarat dan rukun talak dan rujuk?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian talak, iddah dan rujuk.

2. Untuk mengetahui macam-macam talak,iddah,dan rujuk.

3. Untuk mengetahui syarat dan rukun talak dan rujuk.

2
BAB II

ISI

A. Talak

1. Pengertian Talak

Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “

melepaskan atau meninggalkan atau memutuskan”. Menurut istilah syara’, talak

yaitu melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Al-Jaziry

mendefininsikan: Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi

pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu. Menurut Abu

Zakaria Al-Anshari, talak ialah: melepas tali akad nikah dengan kata talak dan

yang semacamnya.1 Melepaskan ikatan pernikahan, artinya membubarkan

hubungan suami-istri sehingga berakhirlah pekawinan atau terjadi perceraian.

Perceraian dalam bahasa Indonesia dipakai dalam pengertian yang sama

dengan talaq dalam istilah fiqih yang berarti bubarnya pernikahan. Sebagaimana

hukum perkawinan, hukum perceraian dalam islam juga kerap menimbulkan salah

paham, seakan-akan ajaran islam memberikan hak yang lebih besar kepada laki-

laki daripada perempuan. Padahal, betapa hati-hatinya hukum islam mangatur soal

perceraian, dan tidak salah jika dikatakan bahwa tidak ada satu agama atau

peraturan manusiapun yang dapat menyamainya.

2. Macam-Macam Talak

Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak itu, maka talak dibagi

menjadi tiga macam, yaitu:

1
H. Abd. Rahman Ghazaly., Fiqh Munakahat, Cet.I, Kencana, Bogor, 2003, hlm 192

3
a. Talak sunni, yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah.

Dikatakan talak sunni jika memenuhi empat syarat, yaitu:

1) Istri yang ditalak sudah pernah digauli, bila istri yang ditalak belum pernah

digauli, maka tidak termasuk talak sunni.

2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam

keadaan suci dari haid. Menurut ulama Syafi’iyah, perhitungan iddah bagi

wanita berhaid adalah tiga kali suci, bukan tiga kali haid.2 Talak terhadap

istri yang telah lepas haid atau menopause atau belum pernah haid, atau

sedang hamil, atau talak karena suami meminta tebusan (khulu’), atau

ketika istri dalam haid semuanya tidak termasuk talak sunni.

3) Talak itu dijatuhkan ketika istri dalam keadaan suci, baik dipermulaan,

dipertengahan, maupun diakhir suci, kendati beberapa saat lalu datang

haid.

4) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana talak itu

dijatuhkan. Talak ang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan

suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk talak sunni.

b. Talak bid’i, yaitu talak yag dijatuhkan tidak sesuaai atau bertentangan dengan

tuntunan sunnah atau syariah, baik mengenai waktunya msaupun cara-cara

menjatuhkannya, tidak memenuhi syarat-syarat sunni. Ulama sepakat bahwa

talak bad’I dari segi jumlah talak ialah sekaligus, mereka juga sepakat bahwa

talak bid’i itu haram dan melakukannya dosa. Termasuk talak bid’i ialah:

2
Ibid.,

4
1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid, baik pada permulaan

haid maupun dipertengahan haid.

2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri dalam keadaan suci, tetapi pernah

digauli oleh suaminya dalam keadaan suci tersebut.

c. Talak la sunni wala bid’I, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni

dan tidak pula termasuk talak bid’I, diantaranya:

1) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.

2) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid, atau istri

yang telah lepas haid.

3) Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil.

Ditinjau dari segi tegas tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai

ucapan talak, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai berikut:

a. Talak shaarih, yaitu talak yang dipahami dari makna perkataan ketika

diharapkan dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain.3

Talak shaarih mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas. Imam syafi’I

mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak shaari ada tiga,

yaitu talak, firaq, dan sarah, ketiga kata tersebut disebut dalam Al-Qur’an dan

hadits. Beberapa contoh talak shaari ialah seperti suami berkata kepada

istrinya:

- Engkau saya talak sekarang juga. Engkau saya ceraikan sekarang juga.

- Engkau saya firaq sekarang juga. Engkau saya pisahkan sekarang juga.

3
Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng., Fikih II, Alauddin Press, Makassar, 2010, hlm

149

5
- Engkau saya sarah sekarang juga. Engkau saya lepas sekarang juga.

Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak shaarih

maka menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu

dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.

b. Talak kinayah, yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata sindiran, atau

samar-samar, seperti suami berkata pada istrinya:

- Engkau sekarang telah jauh dari diriku.

- Selesaikan sendiri segala urusanmu.

- Janganlah engkau dekati aku lagi.

- Keluarlah engkau dari rumah ini sekarang juga.

- Pergilah engkau dari tempat ini sekarang juga

- Pulanglah kerumah orang tuamu sekarang juga.

Ucapan-ucapan tersebut mengandung kemungkinan cerai dan mengandung

kemungkinan lain.

Tentang kedudukan talak dengan kata-kata kinayah atau sindiran ini

sebagaimana dikemukakan oleh Taqiyuddin Al-Husaini4, bergantung kepada niat

suami. Artinya, jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan

talak, maka menjadi jatuhlah talak itu, dan jika suami dengan kata-kata tersebut

tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka perkataannya tidak diangggap sebagai

talak.

4
Abd. Rahman Ghazaly., Fiqh Munakahat……, hlm 196

6
Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami

merujuk kembali bekas istri, maka talak dibagi menjadi dua macam, sebagai

berikut:

a. Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istrinya yang telah

digauli bukan karena memperoleh ganti harta dari istri, talak yang pertama kali

dijatuhkan atau yang kedua kalinya.

Para ulama madzhab sepakat bahwa yang dinamakan raj’i ialah talak

dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk)

sepanjang istrinya tersebut masih dalam masa iddah baik istri tersebut bersedia

dirujuk maupun tidak.5

Setelah terjadi talak raj’i maka istri wajib beriddah, bila kemudian suami

hendak kembali kepada bekas istri sebelum berakhir masa iddah, maka hal itu

dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk, tetapi jika dalam masa iddah

tersebut bekas suami tidak menyatakan rujuk terhadap bekas istrinya, maka

dengan berakhirnya masa iddah itu kedudukan talak menjadi talak ba’in.

Kemudian jika sudah berakhirnya masa iddah itu, suami ingin kembali

kepada bekas istrinya maka wajib dilakukan dengan akad nikah baru dan

dengan mahar yang baru pula. Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan

kedua saja, berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 229 yang

artinya : “talak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.”

5
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mahab, Penerbit Lentera, Jakarta, 2008, hal

451.

7
Ayat ini memberi makna bahwa talak yang disyariatkan oleh Allah ialah

talak yang dijatuhkan satu demi satu, tidak sekaligus, dan bahwa suami boleh

memelihara kembali beka istrinya setelah talak pertama dengan cara yang baik,

demikian pula setelah talak kedua. Arti memelihara kembali ialah dengan

merujuknya dan mengembalikannya kedalam ikatan perkawinan dan berhak

mengumpuli dan mempergaulinya dengan cara yang baik. Hak merujuk hanya

terdapat dalam talak raj’I saja.

b. Talak ba’in, yaitu talak yang suami tidak memiliki untuk rujuk kepada wanita

yang ditalaknya.6

Talak ba’in ada dua macam, yaitu Talak ba’in shugro dan talak ba’in

kubro.

1) Talak ba’in shugro ialah talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekaas

suami terhadap istri tetapi tidak menghilangkan kehalalan bekas suami untuk

kawin kembali dengan bekas istri. Artinya, bekas suami boleh mengadakan

akad nikah baru dengan bekas istri, baik dalam masa iddahnya maupun

sesudah berakhir masa iddahnya. Termasuk talak ba’in shugro ialah:

- Talak sebelum berkumpul

- Talak dengan penggantian harta atau yang disebut khulu’

- Talak karena aib atau cacat badan, karena salah seorang dipenjara, talak

karena penganiayaan, atau yang semacamnya.

2) Talak ba’in kubro yaitu talak yang menghilangkan pemilikan bekas suami

terhadap beks istri serta menghilangkan kehalalan bekas suami untuk kawin

6
Ibid., hlm 452

8
kembali dengan bekas istrinya, kecuali setelah bekas istri itu kawin dengan

laki-laki lain, telah berkumpul dengan suami kedua itu serta telah bercerai

secara wajar dan telah selesai menjalankan masa iddahnya. Talak ba’in kubro

terjadi pada talak yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam

surah Al-Baqarah ayat 230 yang artinya:

“kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua ), maka

perempuuaan itu tidak halal lagi baginya, sampai dia kawin dengan suami

yang lain.”

3. Rukun dan Syarat Talak

Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan

terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur yang dimaksud.

Rukun talak ada empat, yaitu:

a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak

menjatuhkannya, selain suami tidak berhak untuk menjatuhkan talak.

Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak disyaratkan:

- Berakal

- Baligh

- Atas kemauan sendiri

b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri

sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan istri orang lain. Untuk

sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai berikut.

- Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.

9
- Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akadperkawinan

yang sah.

c. Sighat talak, ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang

menunjukkan talak, baik itu shaarih (jelas), maupun kinayah (sindiran), baik

berupa ucapan lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan

suruhan orang lain.

d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang

dimaksudkan ole hang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain.

Oleh karena itu salah ucap yang dimaksud untuk talak, dipandang tidak jatuh

talak.

4. Talak di Tangan Suami

Hukum Islam menetapkan hak talak bagi suami dan suamilah yang

memegang kendali talak, karena suami dipandang telah mampu memelihara

kelangsungan hidup bersama. Suami diberi beban membayar mahar dan memikul

nafkah istri dan anak-anaknya. Hal tersebut menjadi pengikat bagi suami ntuk

tidak menjatuhkan talak dengan sesuka hati.

Al Jurjawi mengemukakan bahwa wanita itu biasanya lebih mudah

goncang pendapatnya menghadapi uji coba dan kesulitan hidup, kurang teguh

dalam menghadapi hal-hal yang tidak disenangi. Biasanya wanita lebih mudah

gembira dan mudah menjadi susah. Menjadikan hak talak ditangan suami akan

lebh melestarikan hidup suami istri ketimbang hak talak itu ditangan istri.

Demikian pula istri, maka persoalannya menjadi lebih buruk dan lebih

fatal, karena jika terjadi perselisihan sedikit saja maka istri akan cepat-cepat

10
menjatuhkan talak. Oleh karena itu, dijadikannya talak ditangan suami

mengandung hikmah yang besar. Kendati talak ditangan suami saja masih banyak

istri ang mengajukan gugatan cerai lewat pengadilan agama, apalagi jika istri

diberi hak menjatuhkan talak, maka bencana perceraaian akan melanda dimana-

mana.

5. Persaksian Talak

Menurut pendapat jumhur fuqaha’ baik salaf maupun khalaf menjatuhkan

talak tidak perlu saksi, karena talak itu sebagian dari hak suami maka tidak perlu

bukti atau saksi untuk melaksanakan haknya.7 Karena talak itu menjadi hak suami

sehingga suami berhak untuk sewaktu-waktu menggunakan haknya tanpa harus

menghadirkan dua orang saksi, dan sahnya talak itu tidak bergantung pada

kehadiran saksi.

Ibdul Qayyim berkata bahwa talak itu menjadi hak bagi orang yang

menikahi, karena itulah suami yang berhak menahan istri, yakni merujuknya.8

Suami tidak memerlukan persaksian untuk menggunakan haknya. Tidak ada

riwayat dari Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sesuatu yang menjadi dalil dan

alas an disyyariatkannya persaksian talak.

6. Hukum Menjatuhkan Talak

Syariat Islam menjadikan pertalian suami istri dalam ikatan perkawinan

sebagai pertalian yang suci dan kokoh, sebagaimana Al-Qur’an memberi istilah

7
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab., Fikih Munakahat, AMZAH,

Jakarta, 2014, hlm. 277


8
Abd. Rahman Ghazaly., Fiqh Munakahat……, hlm 209.

11
pertalian itu mitsaq ghaliz (janji kukuh). Firman Allah dalam QS. An-Nisa:21

yang artinya: “ Dan mereka (istri-istrimu)telah mengambil dari kamu janjia yang

kuat.”. Oleh karena itu, suami istri wajib memelihara hubungan tali pengikat

perkawinan itu, dan tidak sepantasnya mereka berusaha merusak dan memutuskan

tali pengikat tersebut.

Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah

termasuk perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah. Rasulullah SAW

bersabda “perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan talak.”

Hadis ini menjadi dalil bahwa diantara jalan halal itu ada yang dimurkai Allah

jika tidak dipergunakan sebagimana mestinya. Hadits ini juga menjadi dalil bahwa

suami wajib selalu menjauhkan diri dari menjatuhkan talak selagi masih ada jalan

untuk menghidarinya. Suami hanya dibenarkan menjatuhkan talak jika terpaksa,

tidak ada jalaan lain untuk menghindarinya, dan talak itulah salah satunya jalan

terciptanya kemaslahatan.

Istri yang meminta talak kepada suaminya tanpa sebab dan alas an yang

dibenarkan adalah perbuatan tercela. Sebagimana sabda Rasulullah Saw. yang

berbunyi “manakala istri menuntut cerai dari suaminya tanpa alasan, maka

haram baginya bau surga”.

Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak oleh

suami. Yang paling tepat diantara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan

bahwa suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat.

12
Diantara darurat yang membolehan suami menjatuhkan talak ialah

keraguan suami terhadap perilaku istri, tertanamnya rasa tidak senang dihati

suami terhadap Istri.

Adapun sebab dan alasan untuk menjatuhkan talak itu ada kalanya

menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi wajib, adakalanya menjadi haram,

adakalanya menjadi mubah, dan adakalanya menjadi sunnah.9

Talak menjadi wajib bagi suami atas prmintaan istri dalam hal suami tidak

mampu menunaikan hak-hak istri serta menunaikan kewajibannya sebagai suami,

seperti suami tidak mampu mendatangi istri. Talak itu diharamkan jika dengan

talak itu kemudian suami berlaku serong, baik dengan bekas istrinya ataupun

dengan wanita lain, suami diharamkan menjatuhkan talak jika hal itu

mengakibatkan suami jatuh pada perbuatan haram.

Talak menjadi mubah hukumnya ketika ada keperluan untuk itu yakni

karena jeleknya perilaku istri, bukannya sikap istri terhadap suami, atau suami

menderita mudharat lantaran tingkah laku istri, atau suami tidak mencapai tujuan

perkawinan dari istri. Adapun talak disunnahkan jika suami tidak sanggup lagi

membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkahnya).10 Talak juga disunnahkan

apabila istri rusak moralnya, berbuat zina, atau melanggar larangan-larangan

agama, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban agama, seperti shalat, puasa, istri

tidak bersifat ‘afifah (menjaga diri, berlaku hormat).

9
Ibid., hlm 214.
10
Beni Ahmad Saebeni., Fiqh Munakahat (Buku II), Cet VI (Edisi Revisi), CV pustaka

Setia, Bandung, 2001, hlm. 64

13
7. Hikmah Talak

Allah Yang Maha Bijaksana menghalalkan talak tetapi membencinya,

kecuali untuk kepentingan suami, istri atau keduanya, atau untuk kepentingan

keturunanya. Adapun beberpa hikmah dari talak adalah sebagai berikut.

a. Kemandulan.

Jika seorang laki-laki mandul, maka ia tidak akan mempunyai anak

padahal anak merupakan keutamaan. Begitu pula perempuan apabila

mandul, maka keberadaannya bersama suami akan mengeruhkan

kejernihan kehidupan. Maka talak mempunyaai faedah, bagi suami bila

istri mandul dan begitupun sebaliknya. Sebab diantara tujuan pernikahan

adalah untuk memperoleh keturunan.

b. Terjadinya perbedan dan pertentangan kemarahan, dan segala yang

mengingkari cinta diantara suami istri. Kalau cinta kasih sudah hilang,

akan berubahlah pilar-pilar pernikahan.

B. Iddah

1. Pengertian Iddah

Iddah berasal dari kata adad yang artinya menghitung. Maksudnya adalah

perempuan atau istri menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut

istilah, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak

boleh menikah setelah bercerai atau ditinggal mati suaminya.

14
Jadi, iddah adalah satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan,

baik cerai hidup atau mati, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya

telah berisi atau kosong dari kandungan.

2. Macam-Macam Iddah

Iddah terbagi atas beberapa macam diantaranya ialah:

a. Iddah Talak
Iddah talak artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Para ulama

madzhab sepakat bahwa yang ditalak sebelum dicampuri dan sebelum melakukan

khalwat, tidak mempunyai iddah.

Hanafi, malik dan Hambali mengatakan: apabila suami telah berkhalwat

dengannya, tetapi dia tidak sampai mencampurinya, lalu istrinya tersebut ditalak

maka istrinya tersebut harus menjalani iddah persis seperti istri yang telah

dicampuri.11

Iddah Talak pun di bagi menjadi dua yaitu:

1) Perempuan yang masih haid. Iddahnya adalah tiga kali suci atau tiga kali

haid, sesuai dengan Firman Allah dalam Surat Al Baqarah ayat 228 :

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali

quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah

dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan

suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka

(para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang

seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi

11
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,…..hlm. 464

15
Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan

Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

2) Perempuan yang belum haid atau tidak lagi haid (menopause). Iddahnya

adalah tiga bulan sesuai dengan Firman Allah dalam Surat At Talaq ayat 4:

“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara

perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),

Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-

perempuan yang tidak haid”.

Adapun untuk permpuan yang dikhulu’, iddahnya adalah satu kali haid.12

b. Iddah Hamil

Iddah Hamil adalah iddah yang terjadi apabila perempuan yang diceraikan

itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan kandungannya.Firman

Alloh swt. Dalam Surat At Talaq ayat 4:

“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai

mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada

Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

c. Iddah Wafat

Para ulama madzhab sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati

suaminya, sedangkan dia tidak hamil, adalah 4 bulan sepuluh hari, baik wanita

12
Beni Ahmad Saebeni., Fiqh Munakahat (Buku II),……hlm.137

16
tersebut sudah dewasa maupun masih anak-anak, dalam usia menopause atau

tidak, sudah dicampuri atau belum.13

Firman Allah swt dalam Surat Al Baqarah ayat 234: “Orang-orang yang

meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para

isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian

apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan

mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa

yang kamu perbuat”.

Madzhab empat mengatakan, Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati

suaminya adalah sampai dia melahirkan bayinya, sekalipun baru beberapa saat

sesudah ditinggal mati suaminya itu, di mana dia sudah boleh menlakukan

pernikahan lagi sesudah lepas kehamilannya.

3. Hikmah Iddah

Adapun hikmah iddah adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui tentang istri yang diceraikan itu ( cerai hidup atau cerai

mati) hamil atau tidaknya. Dengan ini akan terhindar dari bercampur aduk

keturunan, apabila bekas istri tersebut menikah lagi dengan laki-laki lain.

b. Untuk memperpanjang masa rujuk. Jika cerai itu talak raj’i. dengan adanya

masa yang paanjang dan lama dapat memberi peluang kepada suami untuk

berfikir dan mengkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu

dengan ini akan rujuk kembali.

13
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,…..hlm.469

17
c. Menjungjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-

orang arif mengkaji

d. masalahnya, dan memberikan waktu berpikir panjang.

C. Rujuk

1. Pengertian Rujuk

Menurut bahasa arab, kata ruju’ berasal dari kata raja’a – yarji’u –rujk’an

yang berarti kembali, dan mengembalikan. Menurut syara’, rujuk adalah

mengembalikan istri yang masih dalam iddah talak, bukan talak ba’in, pada

pernikahan semula, sesuai dengan peraturan yang ditentukan. Dalam istilah para

ulama madzhab, rujuk adalah menarik kembali wanita yang ditalak dan

mempertahankan (ikatan) perkawinannya.14

Ulama Hanafiaah memberikan makna ruju’ sebagaimana di kemukakan

oleh Abu Zahrah sebagai berikut:“Rujuk ialah melestarikan perkawinan dalam

masa iddah talak (raj’i)”. Sedangkan menurut Asy Syafi’i: “Rujuk ialah

mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri ditengah-tengah

iddah setelah terjadinya talak (raj’i)”. Dapat dirumuskan bahwa ruju’ ialah

“mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i

yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah,

dengan ucapan tertentu”.

Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 228 yang artinya:

“Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka

(para suami) menghendaki islah. ”

14
Ibid., hlm. 481

18
Maksud dari ayat diatas, adalah apabila seorang telah menceraikan

istrinya, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan

syarat bila keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali ( islah ). Dengan

pengertian bahwa mereka benar-benar sma-sama saling mengerti dan penuh rasa

tanggung jawab antara satu dengan yang lainnya. Tetapi jika suami

mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan

sebaliknya untuk menganiaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk

menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain. Maka suami tersebut, tidak

berhak untuk merujuk istrinya.

Rujuk merupakan hak suami. Bila ia benar bermaksud baik, ia boleh

mempergunakan haknya itu dan sah hukumnya. Suka atau tidak sukanya istri

tidak menjadi halangan untuk sahnya rujuk.

2. Rukun dan Syarat Rujuk

Mengenai rukun rujuk dapat dikemukakan sebagai berikut:


a. Ada suami yang merujuk

b. Ada istri yang di rujuk dan sudah dicampuri

c. Dengan pernyataan ijab qabul, Misal, “Aku rujuk engkau pada hari ini”

Sementara mengenai syarat-syarat rujuk, sebagai berikut:

a. Adanya saksi

Fuqaha berbeda pendapat mengenai adanya saksi dalam rujuk, apakah ia

menjadi syarat sahnya atau tidak. Imam Maliki berpendapat bahwa saksi

dalam rujuk adalah disunnahkan, sedangkan Imam Syafi’i mewajibkan

adanya saksi.

19
b. Rujuk dengan kata-kata / pergaulan

Berkenaan dengan cara merujuk terdapat juga perbedaan pendapat:

- Pendapat pertama, mengatakan bahwa rujuk dengan pergaulan, istri hanya

dianggap sah apabila diniatkan untuk merujuk. Karena bagi golongan ini,

perbuatan disamakan dengan kata-kata dan niat. Demikian menurut

pendapat Imam Malik. Perbedaan pendapat antara keduanya tersebut

karena Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa rujuk itu mengakibatkan

halalnya pergaulan, karena disamakan dengan istri yang terkena ila’ (

sumpah tidak akan menggauli istrinya ), disamping karena hak milik atas

istri belum terlepas darinya , sehingga terdapat hubungan saling mewarisi

antara keduanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa menggauli

istri yang ditalak raj’i adalah haram . Oleh karena itu diperlukan niat.

- Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa rujuk itu dipersamakan

dengan perkawinan, dan Allah swt memperintahkan untuk diadakan

persaksian, sedang persaksian hanya terdapat pada kata-kata.

c. Istri telah dicampuri

Jika istri yang dicerai belum pernah dicampuri, maka tidak sah rujuk, tetapi

harus dengan perkawinan baru lagi. Sesuai dengan Firman Allah swt dalam

QS. Al-Ahzab : 49, yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-

perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu

mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu

20
yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan

lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya".

d. Istri baru dicerai dua kali

“Dan tidak sah pula merujuk istri yang diceraikan dengan talak tiga ; tidak

sah menikahinya lagi kecuali setelah tahlil.” QS. Al-Baqarah: 230

e. Jika istri telah dicerai tiga kali, maka tidak sah rujuk lagi. Hal ini telah di

jelaskan dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 230 yang artinya:

“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka

perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang

lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada

dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali

jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.

Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau)

mengetahui”.

Ada lima syarat jika suami telah menjatuhkan talak tiga dan ingin kembali

ke istrinya yaitu :

a) Sudah habis masa iddah perempuan dari suami yang menalaknya .

b) Perempuan itu sudah pernah menikah dengan laki-laki selain suami yang

menlaknya , dengan pernikahan yang sah.

c) Suami lain (bukan yang pertama ) sudah menggaulinya dan mengenainya

yaitu sekira sudah memasukkan hasyafah ke vagina , tidak cukup

memasukkan ke duburnya , dengan syarat alat laki-laki tersebut harus

tegang serta yang memasukkan adalah orang yang mampu menjimaknya.

21
d) Suami ( bukan yang menalak ) sudah menalak bain kepadanya.

e) Sudah Habis masa iddahnya dari suami yang lain.

4. Tata Cara Rujuk Di Tinjau Dari Segi Agama Dan Hukum Negara.

Tentang tata cara pelaksanaan rujuk fiqih lebih banyak memuat hukum

secara materil dan hampir tidak membicarakan tata cara atau hukum acaranya,

dengan demikian aturan yang terdapat dalam KHI merupakan pelengkap dari

aturan yang di tetapkan didalam fiqih.

Orang yang akan melakukan rujuk di dalam agama, suami cukup dengan

mengucapkan shigat ruju’ kepada sang istri seperti “aku merujuk mu” itu sudah

sah. Akan tetapi ketika pengucapan rujuk itu seorang suami tidak boleh

mengucapkan “aku merujukmu, kalau kamu mau”, artinya suami yang akan

merujuk istrinya kata rujuknya harus pasti.

Rujuk juga bisa dilakukan dengan perbuatan, namun beberapa ulama’

berbeda pendapat, jumhur ulama’ termasuk imam syafi’i dan imam ahmad

berpendapat, bahwa ruju’ harus dilakukan dengan perbuatan, ucapan dan tidak

dapat hanya dengan perbuatan, kecuali bila ia bisu, maka rujuk itu dilakukan

dengan isyarat yang dapat dipahami.

Namun ulama’ banyak berpendapat mengenai perbuatan rujuk, menurut

Hanafi, Maliki dan Hambali, rujuk itu boleh di lakukan dengan perbuatan, yaitu

dengan mencampuri bekas istri dan tidak perlu diikrarkan dengan lisan, mereka

berpendapat demikian dengan alasan karena bekas istri itu pada hakikatnya masih

menjadi istri bagi suaminya, dan waktu iddah itu adalah waktu memilih, rujuk

22
atau cerai terus, sedang memilih itu boleh dilakukan dengan perkataan atau

perbuatan.15

Prespektif UU No 1/1974 tampaknya UUP tidak mengatur masalah rujuk,

demikian pula halnya di dalam PP No.9 tahun 1975. Kendati demikian jauh

sebelum kelahiran UUP, didalam UU No.32 Tahun1954 yo UU No.22 tahun

1946, sudah dibuat aturan-aturan mengenai, pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Tata cara rujuk yang di jelaskan dalam KHI terdapat pada pasal 167 yang

berbunyi sebagaimana berikut:

a) Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama-sama ke pegawai

pencatatan nikah atau Pegawai Pembantu Pencatat Nikah yang mewilayahi

tenmpat tinggal istri dengan membawa penetapan terjadinya talak dan surat

keyterangan lain yang diperlukan.

b) Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan Pegawai

Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu Pencatatan Nikah.

c) Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu Pegawai Pencatatan

Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan meruju’ itu

memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah ruju’

yang akan di lakukan itu masih ‘iddah talak raj’i, apakah perempuan yang

akan dirujuk itu adalah istrinya.

15
H. Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam, menurut syafi’i, hanafi, maliki

dan hambali, Cet.XI, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1401, hlm.144-145.

23
d) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang

bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani buku pendaftaran rujuk.

e) Setelah rujuk itu dilaksanakan, pegawai pencatat nikah atau pembantu

pegawai pencatat nikah menasehati suami istri tentang hukum-hukum dan

kewajiban mereka yang berhubungan.

Kemudian tata cara pelaksanaan rujuk di dalam KHI dilanjutkan dengan

pasal 168 dan kemudian pasal 169, selebihnya pasal tentang rujuk mengarah pada

teknis pelaksanaan serta teknis administrasi, disamping itu tentu saja harus

terpenuhinya persyaratan normatif, yang berkenan dengan kondisi si istri, seperti

benar tidanya dia sebagai istri, masih atau lewatnya ‘iddah si istri.

Dari beberapa uraian pelaksanakaan rujuk baik menurut perspektif agama

Ataupun KHI ada perbedaan mengenai persetujuan istri, didalam agama yang

penjelasannya telah disebut di lembar sebelumnya “istri yang dirujuk meski ia

tidak tahu bahwa dirinya dirujuk , rujuk itu tetap sah”, karena ruju’ itu merupakan

hak suami yang digunakan tanpa sepengetahuan orang lain, termasuk istrinya.

Sedangkan dalam KHI terlaksananya rujuk itu harus dengan persetujuan sang

istri, itu dibuktikan dalam KHI pasal 167 ayat (2)” Ruju’ dilakukan dengan

persetujuan istri dihadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pegawai Pembantu

Pencatatan Nikah”. Dan juga dalan pasal 165 yang berbunyi “rujuk yang

dilakukan tanpa persetujuan bekas istri dapat dinyatakan tidak sah dengan

putusan pengadilan agama”.

Jadi rujuk yang di lakukan didalam KHI harus melewati beberapa cara,

sedangkan di dalam agama asalkan suami sudah merujuk istrinya baik dengan

24
perbuatan ataupun ucapan itu sudah sah, tanpa harus pegawai pencatat nikah atau

pembantu pegawai pencatat nikah.

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Talak

Talak terambil dari kata “ithlaq” yang menurut bahasa artinya “

melepaskan atau meninggalkan”. Menurut istilah syara’, talak yaitu melepas tali

perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri. Talak terdiri atas beberapa

macam, diantaranya:

a) Ditinjau dari segi waktu dijatuhkannya talak, talak dibagi menjadi tiga

macam yaitu talak sunni, talak bid’i, dan talak la sunni wala bid’i.

b) Ditinjau dari segi tegas tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai

ucapan talak, talak terbagi menjadi dua, yaitu talak shaarih dan talak

kinayah.

c) Ditinjau dari segi ada atau tidak adanya kemungkinan bekas suami

merujuk kembali bekas istri, talak dibagi menjadi talak raj’i dan talak

bai’n.

 Adapun syarat dan rukun talak adalah sebagai berikut.

a) Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak

menjatuhkannya.Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak

disyaratkan:

- Berakal

- Baligh

- Atas kemauan sendiri

26
b) Istri. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai

berikut.

- Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami.

- Kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akadperkawinan

yang sah.

c) Sighat talak, ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya

yang menunjukkan talak.

d) Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang

dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak.

 Hukum menjatuhkan talak.

Menjatuhkan talak tanpa alasan dan sebab yang dibenarkan adalah

termasuk perbuatan tercela, terkutuk dan dibenci oleh Allah. Para fuqaha berbeda

pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak oleh suami. Yang paling tepat

diantara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan bahwa suami diharamkan

menjatuhkan talak kecuali karena darurat.

2. Iddah

Iddah berasal dari kata adad yang artinya menghitung. Maksudnya adalah

perempuan atau istri menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Menurut

istilah, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak

boleh menikah setelah bercerai atau ditinggal mati suaminya.

Iddah terbagi atas beberapa macam diantaranya ialah iddah talak, iddah

hamil, dan iddah wafat. Adapun hikmah iddah adalah sebagai berikut.

27
- Untuk mengetahui tentang istri yang diceraikan itu ( cerai hidup atau cerai

mati) hamil atau tidaknya.

- Untuk memperpanjang masa rujuk.

- masalahnya, dan memberikan waktu berpikir panjang.

3. Rujuk

Menurut syara’, rujuk adalah mengembalikan istri yang masih dalam iddah

talak, bukan talak ba’in, pada pernikahan semula, sesuai dengan peraturan yang

ditentukan. Rukun dan Syarat Rujuk

Mengenai rukun rujuk dapat dikemukakan sebagai berikut:


d. Ada suami yang merujuk

e. Ada istri yang di rujuk dan sudah dicampuri

f. Dengan pernyataan ijab qabul, Misal, “Aku rujuk engkau pada hari ini”

Sementara mengenai syarat-syarat rujuk, sebagai berikut:

f. Adanya saksi

g. Rujuk dengan kata-kata / pergaulan

h. Istri telah dicampuri

i. Istri baru dicerai dua kali

j. Jika istri telah dicerai tiga kali, maka tidak sah rujuk lagi.

5. Tata Cara Rujuk Di Tinjau Dari Segi Agama Dan Hukum Negara.

Orang yang akan melakukan rujuk di dalam agama, suami cukup dengan

mengucapkan shigat ruju’ kepada sang istri seperti “aku merujuk mu” itu sudah

sah. Akan tetapi ketika pengucapan rujuk itu seorang suami tidak boleh

28
mengucapkan “aku merujukmu, kalau kamu mau”, artinya suami yang akan

merujuk istrinya kata rujuknya harus pasti.

Prespektif UU No 1/1974 tampaknya UUP tidak mengatur masalah rujuk,

demikian pula halnya di dalam PP No.9 tahun 1975. Kendati demikian jauh

sebelum kelahiran UUP, didalam UU No.32 Tahun1954 yo UU No.22 tahun

1946, sudahdibuat aturan-aturan mengenai, pencatatan nikah, talak dan rujuk. Tata

cara rujuk di jelaskan dalam KHI terdapat pada pasal 167.

29
DAFTAR PUSTAKA

Aroeng, Andi Nurmaya dan Sabri Samin. 2010. Fikih II. Makassar:

Alauddin Press.

Ghazy, H.Abd. Rahman. 2003. Fiqh Munakahat.Bogor: Kencana

Mugniyah, Muhammad Jawad. 2008.Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Penerbit

Lentera.

Saebeni, Beni Ahmad. 2001.Fiqh Munakahat (Buku II). Bandung: CV

Pustaka Setia.

Wahab, Abdul dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. 2014.Fiqih

Munakahat. Jakarta: Amzah.

30

Anda mungkin juga menyukai