Anda di halaman 1dari 18

BENTUK-BENTUK PERCERAIAN MENURUT KITAB FIKIH DAN

PERUNDANGAN INDONESIA
Muhammad Asyraf Alhafiz, Muhammad Rifky Akbar S., Prabasiwi Madianingratri
Sihfitrianto
Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya
alhafizh2205@gmail.com akbarrifky370@gmail.com prabasiwims@gmail.com

Perceraian merupakan bagian dari perkawinan, sebab tidak ada perceraian


tanpa adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan merupakan awal dari hidup
bersama antara hidup seorang pria dengan wanita yang diatur dalam hukum agama
serta peraturan perundang-undangan dalam suatu negara, sedangkan perceraian
merupakan akhir dari kehidupan bersama suami istri tersebut. Setiap orang
menghendaki agar perkawinan yang dilaksanakannya itu tetap utuh sepanjang masa
kehidupannya, tetapi tidak sedikit perkawinan yang dibina dengan susah payah itu
harus berakhir dengan suatu perceraian. Perceraian atau talak dalam hukum Islam
pada prinsipnya boleh tapi dibenci oleh Allah, namun perceraian merupakan solusi
terakhir yang boleh ditempuh manakala kehidupan rumah tangga tidak bisa
dipertahankan lagi. Islam menunjukkan agar sebelum terjadi perceraian, ditempuh
usaha-usaha perdamaian antara kedua belah pihak, karena ikatan perkawinan
adalah ikatan yang paling suci dan kokoh. Sejalan juga dengan prinsip perkawinan
bahwa perceraian harus di persulit, ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang
menyatakan bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan yang halal yang paling
dibenci oleh Allah.

PERCERAIAN DALAM KITAB FIQIH

A. Talak
Talak berasal dari kata bahsa arab “ithlaq” yang berarti Melepaskan atau
meninggalkan. Dalam istilah Fikih berarti pelepasan Ikatan perkawinan yaitu
perceraian anatara suami istri. Dalam Mengemukakan arti talak secara terminologis,

1
ulama mengemukakan Rumusan yang berbeda, namun esensinya sama, yakni
melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafal talak dan sejenisnya.1
Hak menjatuhkan talak dalam Islam berada di tangan suami, Akan tetapi dalam
menjatuhkan talak, suami tidak boleh sewenang-Wenang. Hal ini dikarenakan
suami pernah melakukan janji untuk hidup Bersama dengan seorang perempuan
untuk melalui masa yang lama, Akan tetapi secara tiba-tiba ingin meninggalkan dan
menceraikan Perempuan tersebut tanpa adanya alasan yang jelas.
Talak dilihat dari segi cara menjatuhkannya dibagi menjadi dua sebagai berikut.
1) Talak Sunny
Talak sunny yaitu talak yang dijatuhkan sesuai dengan sunnah atau syariat
Islam,
2) Talak Bid‘i
Talak bid‘i merupakan talak yang dijatuhkan melalui cara-cara yang tidak
sesuai dengan syariat Islam, yaitu:
a. menalak istri dengan tiga kali talak sekaligus;
b. menalak istri dalam keadaan haid;
c. menalak istri dalam keadaan nifas; dan
d. menjatuhkan talak kepada istri yang dalam keadaan suci, tetapi
telah digauli sebelumnya, padahal kehamilannya belum jelas.

Talak dilihat dari segi boleh tidaknya suami istri rujuk dibagi menjadi dua sebagai
berikut.

1) Talak Raj‘i
Talak raj‘i yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri sebanyak satu atau
dua kali. Talak raj‘i menyebabkan suami masih boleh rujuk kepada istrinya
tanpa harus melakukan akad nikah lagi. Rujuk dilakukan dalam masa idah.
Talak raj‘i berakibat pada berkurangnya bilangan talak yang dimiliki suami.
2) Talak Ba‘in

1
Abdul Ghofur Anshori, “Hukum Perkawinan Islam”, t.p, t.t, 105-106.

2
Talak ba‘in yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istri dan suami boleh
kembali kepada istri dengan akad dan mahar baru. Talak ba‘in dibagi menjadi dua,
yaitu talak ba‘in sugra dan talak ba‘in kubra. Talak ba‘in sugra – merupakan talak
yang dijatuhkan suami kepada istri yang belum disetubuhi, talak raj‘i yang telah
habis masa idahnya sementara suami tidak rujuk dalam masa tersebut, dan talak
dengan tebusan (khulu’).
Talak ba‘in kubra yaitu talak yang dijatuhkan suami untuk ketiga kalinya. Seorang
suami yang telah menjatuhkan talak ba‘in kubra tidak boleh rujuk atau menikah
lagi dengan mantan istrinya. Jika suami ingin kembali kepada istri yang telah
ditalak ba‘in kubra, harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut.
a. Mantan istri telah menikah dengan pria lain.
b. Telah dicampuri oleh suami barunya.
c. Telah diceraikan oleh suami barunya.
d. Telah habis masa idah sesudah cerai dengan suami barunya.

B. Khulu'
Khulu’ (talak tebus) merupakan talak yang diucapkan suami dengan cara istri
membayar ganti rugi atau mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suami.
Khulu’ dilakukan suami atas permintaan istri karena sikap suami yang telah
melanggar ketentuan pernikahan. Jika pernikahan tersebut dipertahankan, akan
menyebabkan tidak tercapainya tujuan pernikahan. Khulu’merupakan salah satu
bentuk keseimbangan hak antara suami istri. Jika suami memiliki hak untuk
menjatuhkan talak, seorang istri memiliki hak untuk menuntut dijatuhkannya talak
jika suami telah melanggar ketentuan pernikahan. Ketika seorang istri mengajukan
khulu’, ia memberikan ganti rugi kepada suami dengan cara mengembalikan
seluruh atau sebagian mahar yang pernah diterimanya. Selain itu, tebusan atau ganti
rugi juga dapat dilakukan dengan harta lain yang bukan mahar. Khulu’ berakibat
pada suami atau istri. Khulu’ mengakibatkan hal-hal sebagai berikut.
1. Terjadinya talak ba‘in jika unsur ganti ruginya terpenuhi dan jika unsur ganti
rugi tidak ada, perceraian ini merupakan talak biasa.

3
2. Mahar yang menjadi tanggungan suami juga gugur dari hak istri jika ganti rugi
khulu’ tersebut bukan mahar.
3. Gugurnya seluruh hak yang berhubungan dengan harta di antara kedua belah
pihak jika harta itu diperoleh setelah khulu’ terjadi.
4. Segala bentuk nafkah yang wajib ditunaikan suami sebelum khulu’ gugur setelah
terjadinya khulu’.
5. Nafkah istri selama masa idah tidak gugur dan wajib dibayarkan suami.
C. Fasakh
Fasakh merupakan salah satu penyebab putusnya pernikahan. Fasakh merupakan
batalnya akad atau lepasnya ikatan perkawinan antara suami istri yang disebabkan
terjadinya cacat atau kerusakan pada akad itu sendiri, atau disebabkan hal-hal yang
datang kemudian yang menyebabkan akad tidak dapat dilanjutkan.
Fasakh yang disebabkan adanya cacat atau kerusakan yang terjadi dalam akad
nikah, seperti berikut.
1. Setelah akad dilakukan, diketahui bahwa pasangan itu ternyata saudara
sekandung, seayah seibu, atau saudara sepersusuan.
2. Seorang anak yang belum balig (lelaki atau perempuan) dinikahkan oleh
walinya yang bukan ayah atau kakeknya kemudian anak ini mencapai usia
balig, ia berhak untuk memilih (hak khiar), perkawinan yang telah diakadkan
itu diteruskan atau dihentikan.

Hak ini dinamakan khiyar bulug (hak pilih setelah seseorang sampai usia balig).
Jika salah seorang di antara anak yang telah balig tersebut memilih untuk tidak
melanjutkan perkawinan tersebut, akad ini dianggap fasakh.

Adapun fasakh yang disebabkan sesuatu yang datang kemudian pada akad
sehingga akad tersebut tidak dapat dilanjutkan seperti berikut.

 Jika suami istri dahulunya non-Islam, kemudian istrinya masuk Islam. Pada
saat itu juga akad tersebut batal karena muslimah dilarang menikah dengan
laki-laki musyrik.
 Jika salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama Islam
untuk selamanya

4
D. Li’an
Li‘an merupakan tuduhan melakukan zina dari seorang suami terhadap istrinya.
Li‘an bisa berbentuk tuduhan suami terhadap istri bahwa istri telah melakukan zina,
sementara ia tidak bisa mendatangkan empat orang saksi. Dapat berbentuk
penolakan bahwa anak yang dikandung istri bukan anaknya. Li‘an mengakibatkan
terjadinya perceraian antara suami istri untuk selamanya. Jika setelah bercerai
tuduhan suami tidak benar, menurut jumhur ulama mereka tidak boleh menikah
untuk selamanya.
E. Zhihar
Dzihar secara etimologis adalah bentuk kata masdar dari kata adz-dzahru yang berarti
punggung. Zhihar berarti ucapan seorang laki-laki kepada istrinya, “Kamu bagiku seperti
punggung ibuku.” Ia dikhususkan dengan kata punggung karena punggung adalah tempat
untuk naik. Sedangkan secara epistemologi zhihar berarti seorang laki-laki yang
menyamakan istrinya dengan ibunya atau wanita yang mahram baginya. Misalnya suami
berkata kepada istri, “Bagiku kamu adalah ibuku atau saudariku” atau dengan membuang
kalimat ‘bagiku’.
Mazhab Hanafi mendefinisikan zhihar dengan ‘penyerupaan seorang muslim terhadap
istrinya atau mengungkapkan salah satu anggota tubuh istrinya, atau bagian yang luas
dari si istri dengan perempuan lain yang diharamkan bagi suami untuk selama-lamanya.’
Sedangkan madzhab Maliki mengatakan bahwa zhihar adalah ‘penyerupaan orang
muslim yang mukalaf, orang yang halal baginya yang berupa istri atau budak perempuan,
atau bagian tubuhnya dengan perempuan yang haram untuk dinikahi olehnya, atau
dengan punggung perempuan yang bukan istrinya (ajnabiyah) meskipun di ta’liq dengan
waktu.’2
Mazhab Syafi’i mendefinisikan zhihar dengan ‘penyerupaan istri yang tidak dithalaq
ba’in oleh suaminya dengan punggung perempuan yang tidak halal baginya untuk
selama-lamanya.’ Sedangkan mazhab Hambali mendefinisikannya sebagai ‘perbuatan
suami yang menyerupakan istrinya atau sebgian tubuh istrinya dengan punggung

2
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Daarul Kotob Al-Islami, jilid 7, 2008), 209

5
perempuan yang diharamkan untuknya selama-lamanya, seperti ibunya, saudarinya
senasab maupun sesusuan, atau ibu mertuanya. Atau ia samakan istrinya dengan
punggung wanita yang harom untuk sementara waktu denganya, seperti saudari kandung
istri, bibinya dari pihak bapak maupun ibu; atau ia serupakan istrinya dengan laki-laki
atau dengan anggota tubuh ayahnya, walaupun tanpa menggunakan bahasa Arab.’
Hukum zhihar adalah haram menurut kesepakatan ulama. Menurut Al-Khatib Asy-
syarbini, bahwasannya zhihar tergolong perbuatan yang menjerumuskan pelakunya
dalam dosa besar.8 Secara tegas Allah menyifati mereka dalam surat Al- Mujadalah ayat
2:
ۤ
َ ِِّ‫اَلَّ ِذيْنَ ي ُٰظ ِه ُر ْونَ ِم ْن ُك ْم ِ ِّم ْن ن‬
‫س ۤا ِٕى ِه ْم َّما ه َُّن ا ُ َّمهٰ تِ ِه ْۗ ْم ا ِْن ا ُ َّمهٰ ت ُ ُه ْم ا ََِّّل الـِ ْي َولَدْنَ ُه ْۗ ْم َواِنَّ ُه ْم لَ َيقُ ْولُ ْونَ ُم ْنك ًَرا ِ ِّمنَ ْال َق ْو ِل‬
‫َو ُز ْو ًر ْۗا َوا َِّن ّٰللاَ لَعَفُ ٌّو َغفُ ْور‬

Artinya : “Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap


istrinya sebagai ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka
hanyalah perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar
telah mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya
Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun”.

Dan juga firmanNya dalam surat Al-Ahzab ayat 4 yang menyangkal penyerupaan
istri dengan ibu :

‫َما َجعَ َل ّٰللاُ ِل َر ُج ٍل ِ ِّم ْن قَ ْلبَي ِْن فِ ْي َج ْوفِ ٖه َۚو َما َجعَ َل ا َ ْز َوا َج ُك ُم ال ۤـِٕ ْي ت ُ ٰظ ِه ُر ْونَ ِم ْن ُه َّن ا ُ َّمهٰ ِت ُك ْم َۚو َما َجعَ َل اَدْ ِعيَ ۤا َء ُك ْم‬
َّ ‫ا َ ْبن َۤا َء ُك ْۗ ْم ٰذ ِل ُك ْم قَ ْولُ ُك ْم بِا َ ْف َوا ِه ُك ْم َْۗوّٰللاُ يَقُ ْو ُل ْال َح َّق َوه َُو يَ ْهدِى ال‬
‫سبِ ْي َل‬

Artinya : “Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia
tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang
demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang
sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)”.

6
Semua ulama sepakat bahwasannya kafarat zhihar ada tiga bentuk yang ditunaikan
salah satunya sesuai urutan. Pertama, memerdekakan budak, kedua, berpuasa dua
bulan berturut-turut, dan ketiga, memberi makan enampuluh orang miskin. Dalil-
dalil yang menjadi dasar kafarat terdiri dari dua macam:

Pertama, Allah berfirman dalam QS. Al –Mujadalah : 3-4, yang artinya :

َ ِِّ‫َوالَّ ِذيْنَ ي ُٰظ ِه ُر ْونَ ِم ْن ن‬


ُ ‫س ۤا ِٕى ِه ْم ث ُ َّم يَعُ ْود ُْونَ ِل َما قَالُ ْوا فَتَحْ ِري ُْر َرقَبَ ٍة ِ ِّم ْن قَ ْب ِل اَ ْن يَّت َ َم ۤاس َّْۗا ٰذ ِل ُك ْم ت ُ ْو َع‬
‫ظ ْونَ ِب ٖ ْۗه َوّٰللاُ ِب َما‬
‫ت َ ْع َملُ ْونَ َخ ِبيْر‬

Artinya : “Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa
yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepadamu, dan Allah Maha teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”. (ayat 3)

ْ ‫ش ْه َري ِْن ُمتَت َابِ َعي ِْن ِم ْن قَ ْب ِل ا َ ْن يَّت َ َم ۤاس َّْۗا فَ َم ْن لَّ ْم يَ ْست َِط ْع فَا‬
ِ‫ِطعَا ُم ِس ِتِّيْنَ ِم ْس ِك ْينً ْۗا ٰذلِكَ ِلتُؤْ ِمنُ ْوا بِاّلل‬ َ ‫صيَا ُم‬ ِ َ‫فَ َم ْن لَّ ْم يَ ِجدْ ف‬
‫س ْو ِل ٖ ْۗه َوتِ ْلكَ ُحد ُْود ُ ّٰللاِ َْۗو ِل ْل ٰك ِف ِريْنَ َعذَاب ا َ ِليْم‬
ُ ‫َو َر‬

Artinya : “Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka


(dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi
barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah agar kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-
hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab
yang sangat pedih”. (ayat 4)

Mengenai syarat dalam penunaian kafarat, Hanafiyah mengatakan bahwa tolak


ukur ketidak mampuan melaksanakan kafarat puasa adalah ketiadaan kemampuan
berpuasa. Apabila ia menderita sakit yang tidak mungkin sembuh, maka hendaknya
ia menuanaikan puasa, jika ia meninggal sedangkan puasanya belum genap dua
bulan, maka ia telah terbebas dari kafaratnya. Sedangkan Hanabilah mengatakan,
bahwa tolak ukur ketidak mampuan dalam pelaksanaan kafarat puasa terdiri dari

7
lima kategori. Pertama, adalah sakit keras. Kedua, karena sangat tua yang
menyebabkannya tidak mampu. Ketiga, ada kekhawatiran bertambahnya sakit atau
bertambah lama masa penyembuhannya. Keempat, tidak dapat menahan hasrat jima’
kepada istrinya. Kelima, puasanya akan mengganggu pekerjaan yang menjadi
sandaran bagi kehidupannya atau keluarganya.

Sedangkan Syafi’iyah mengatakan bahwasannya kategori tidak mampu dalam


penunaian puasa kafarat adalah salah satu dari empat perkara. Pertama, adanya
penyakit yang memakan waktu lebih dari dua bulan untuk sembuh. Kedua,
ditakutkan sakitnya bertambah parah apabila melakukan puasa. Ketiga, akan timbul
suatu bahaya yang besar dengan puasanya selam enampuluh hari tersebut. Keempat,
ia tidak dapat menahan hasrat seksualnya terhadap istrinya. Malikiyah mengatakan
bahwasannya ketidakmampuan menuanaikan kafarat puasa terhitung apabila pelaku
lemah dalam berpuasa.

F. Ila’
Secara bahasa kata ila’ berarti bersumpah takkan melakukan sesuatu,
sedangkan menurut syara’ yang dimaksud ila’ ialah bersumpah takkan
menyetubuhi istri. Al-Juzairi memberi keterangan bahwa kata ila’ secara bahasa
lebih umum dari pengertian secara syara’, di mana syara’ menkhususkan hanya
terhadap soal watha’ dari suami kepada istrinya. Dengan demikian sumpah tidak
makan, minum atau lainnya tidak termasuk sumpah itu. Sumpah ila’ adalah sumpah
yang bersangkutan dengan hubungan suami istri dan dapat diambil kesimpulan
bahwa sumpah ila’ adalah sumpah suami yang tidak akan menggauli istrinya dan
oleh islam dibatasi sumpahnya tersebut hanya selama empat bulan.
Sebenarnya sumpah ila’ sudah ada sejak zaman jahiliyyah, yang pada masa itu
sumpah ila’ merupakan tradisi seorang suami yang bersumpah untuk tidak
menggauli istrinya dengan tujuan agar istrinya merasa terkatung-katung seperti
seorang perempuan yang tidak mempunyai suami dan merasa tersiksa dengan
keadaan demikian tersebut dengan tidak membatasi waktu dalam bersumpah untuk
tidak menggauli istrinya tersebut. Kemudian seiring dengan perubahan dan
kemajuan yang dibawa oleh nabi Muhammad saw, terjadi pula perubahan pada

8
ketentuan sumpah ila’ yang oleh risalahnya yang berupa wahyu diberi batasan
tenggang waktu empat bulan.3
Dasar hukum ila’ terdapat dalam al-qur’an surat al-baqarah ayat 226 :

‫ُّص اَ ْر َب َع ِة ا َ ْش ُه ۚ ٍر فَا ِْن فَ ۤا ُء ْو فَا َِّن ّٰللاَ َغفُ ْور َّر ِحيْم‬
ُ ‫س ۤا ِٕى ِه ْم ت ََرب‬
َ ِِّ‫ِللَّ ِذيْنَ يُؤْ لُ ْونَ ِم ْن ن‬

Artinya : “Kepada orang-orang yang meng-ilaa’ isterinya diberi tangguh empat


bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para ulama’ pun sepakat, apabila ada suami meninggalkan istrinya dalam batas
lebih dari empat bulan, tidak juga disebut ila’ kecuali kalau dia bersumpah. Oleh
karena itu, ada kaitannya dengan wajib kafarat, dan istrinya tidak tertalak karena
ditinggalkan itu. Adapun mengenai iddah bagi istri yang di-illa’, menurut para
ulama bila seorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya, kemudian masa illa’
yaitu empat bulan telah berlalu, apakah istri yang di-ila’ harus menjalani iddah atau
tidak, maka jumhur ulama’ berpendapat bahwa ia harus menjalani iddah. Jabir bin
said berpendapat bahwa tidak wajib atasnya iddah jika telah berhaid tiga kali
selama masa empat bulan.

Pendapat ini dipegangi oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh ibnu
abbas ra, alasannya maksud diadakannya iddah untuk mengetahui kosongnya rahim,
sedangkan kekosongan rahim ini sudah dapat diketahui dari masa tersebut.

Apabila seorang bersumpah tidak akan mendekati istrinya, tetapi dalam masa
empat bulan dia menyentuh istrinya itu, maka hentikanlah masa ila’nya dan dia
wajib membayar kafarat yamin (denda melanggar sumpah), tetapi kalau sampai
habis masa empat bulan itu dia tidak bersenggama dengan istrinya, maka jumhur
ulama berpendapat bahwa istri berhak meminta kepada suaminya akan
menyenggamainya atau mentalaknya.

3
Zurifah Nurdin, “Zihar dan Ila’ dalan Kajian Sosiologis, Filosofis, Normatif, Yuridis, Psikologis, dan Ekonimis”,
Majalah Informasi, Edisi 1 2014, 17.

9
PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN KHI

A. Cerai talak
Dalam istilah umum, perceraian adalah putusnya hubungan atau ikatan perkawinan
antara seorang pria atau wanita (suami-isteri). Sedangkan dalam syari’at Islam
peceraian disebut dengan talak, yang mengandung arti pelepasan atau pembebasan
(pelepasan suami terhadap isterinya). Dalam fikih Islam, perceraian atau talak
berarti “bercerai lawan dari berkumpul”. Kemudian kata ini dijadikan istilah oleh
ahli fikih yang berarti perceraian antar suami istri.4
Dapat dipahami bahwa perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara
suami-isteri dalam rangka membina rumah tangga yang utuh, kekal dan abadi,
sehingga antara keduanya tidak halal lagi bergaul sebagaimana layaknya suami-
isteri. Cerai talak sendiri diartikan dalam kompilasi hokum islam Seorang suami
yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan
maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
Perceraian berdasarkan pasal 114 KHI yaitu putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak, atau berdasarkan gugatan perceraian.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, talak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu:
1. Talak raj’i, yaitu talak yang diperbolehkan bagi laki-laki untuk kembali
kepada istrinya, sebelum habis masa iddah tanpa mahar baru dan akad baru
(pasal 118 KHI);
2. Talak ba’in, yaitu talak yang ketiga kalinya atau talak sebelum istri dicampuri
atau talak dengan tebusan istri kepada suami. Talak ini terbagi atas 2 (dua)
macam, yaitu:
a. Talak ba’in shugra adalah talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi jika ingin
kembali, boleh dengan akad nikah baru meskipun dalam masa iddah, yang
termasuk talak ini adalah talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan

4
Linda Azizah, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Al-‘Adalah, (Vol. 10, No. 4, Juli
2012), 418

10
tebusan atau khuluk, serta talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama
(pasal 119 KHI);
b. Talak ba’in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya, yang
menyebabkan tidak dapat rujuk kembali dan tidak dapat dinikahkan
dengan akad baru bersama mantan suaminya, kecuali apabila pernikahan
itu terjadi setelah istri menikah dengan oranglain dan kemudian cerai, dan
habis masa iddahnya (pasal 120 KHI).
B. Cerai Gugat
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian
(KHI Pasal 114). Talak adalah perceraian karena suami atau kuasa hukumnya yang
mengajukan permohonan cerai kepada Pengadilan. Sedangkan cerai gugat yaitu
gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri atau kuasa hukumnya kepada
Pengadilan yang daerahnya meliputi tempat kediaman penggugat.5
Dalam KHI alasan cerai gugat harus sama dengan alasan perceraian, karena cerai
gugat adalah salah satu bentuk dari perceraian. Pada pasal 116 KHI dijelaskan
beberapa alasan atau alasan-alasan perceraian yang akan diajukan kepada
pengadilan untuk di proses dan ditindak lanjuti. Adapun alasan-alasan tersebut
adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan
sebagainya yang sukar di sembuhkan.
b. Salah pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa
izin pihak laindan tanpa alasan yang sah atau vkarena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah pihak mendapat hukuman penjara selama lima tahun atau hukuman
yang lebih berat selama perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang
membahaya kan pihak lain.

5
Isnawati, “Tingginya Angka Cerai Gugat (Khulu’) di Indonesia”, Jurnal Al-‘Adalah, (Vol. 12, No. 1 ,Juni 2014),
195

11
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami-isteri.
f. Antara suami-isteri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar ta’lik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.

C. Khulu
Khulu‟, pengertian Khulu‟ menurut bahasa, kata khulu‟ dibaca dhomah huruf
kha yang bertiitik dan sukun lam dari kata khila‟ dengan dibaca fathah artinya
naza‟ (mencabut), karena masing-masing dari suami istri mencabut pakaian yang
lain seperti firman Allah dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah 187 :
‫ه َُّن ِل َباس لَّ ُك ْم َوا َ ْنت ُ ْم ِل َباس لَّ ُه َّن‬
Artinya : Mereka itu adalah pakaian, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. (QS.
Al-Baqarah: 187).6
Pengertian Khulu‟ secara umum adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta
sebagai „iwadh yang diberikan oleh isteri kepada suaminya untuk menebus diri agar
terlepas dari ikatan perkawinan. Perceraian antara suami dan isteri akibat khulu‟,
suami tidak bisa meruju‟ isterinya pada masa „iddah.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun
demikian, ia mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya
adalah: keinginan untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Perbedaannya, yaitu cerai
gugat tidak selamanya membayar ‘iwadl (uang tebusan) yang menjadi dasar terjadinya
khulu’ atau perceraian. Khulu’ yang dimaksud, diatur dalam pasal 148 KHI dengan
prosedur sebagai berikut:
1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‘,
menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi
tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya
untuk didengar keterangannya masing-masing.
6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Diponegoro, 2003).

12
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang
akibat khulu‘, dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl atau tebusan, maka
Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk
mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu
tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat
5.
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau ‘iwadl,
Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
Dari uraian di atas, nampak perbedaan antara cerai gugat dan khulu’. Namun, Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tidak
membedakan antara keduanya sehingga tidak membicarakannya. Karenanya
penyelesaian berdasarkan pasal 148 KHI yang semula perkara cerai gugat dengan
khuluk setelah ada putusan Pengadilan Agama lalu eksekusinya mengacu pada pasal
131 ayat 5 yaitu suami mengikrarkan talaknya terhadap istri.
D. Li’an
Li’an diambil dari kata al-la’nu yang berarti jauh dan laknat atau kutukan. Disebut
demikian karena suami yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum
dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selamanya atau karena yang
bersumpah li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima
laknat Allah jika pernyataanya tidak benar. Menurut istilah li’an adalah sumpah yang
diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali
kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada
sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah
jika dia berdusta.
Adapun dasar hukum Li’an firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah An-Nisa Ayat 6 :
‫َوا ْبتَلُوا ْاليَ ٰتمٰ ى َحت ٓى اِذَا بَلَغُوا النِِّكَا ۚ َح فَا ِْن ٰانَ ْست ُ ْم ِ ِّم ْن ُه ْم ُر ْشدًا فَادْفَعُ ْٓوا اِلَ ْي ِه ْم ا َ ْم َوالَ ُه ْم ۚ َو ََّل تَأ ْ ُكلُ ْو َها ٓ اِس َْرافًا‬
ِ ‫ف ۚ َو َم ْن َكانَ فَ ِقي ًْرا فَ ْليَأ ْ ُك ْل ِب ْال َم ْع ُر ْو‬
‫ف ْۗ فَ ِاذَا دَفَ ْعت ُ ْم اِلَ ْي ِه ْم اَ ْم َوالَ ُه ْم‬ ْ ‫ارا ا َ ْن يَّ ْكبَ ُر ْوا ْۗ َو َم ْن َكانَ َغنِيًّا فَ ْليَ ْست َ ْع ِف‬
ً َ‫َّو ِبد‬
‫فَا َ ْش ِهد ُْوا َعلَ ْي ِه ْم ْۗ َوك َٰفى ِباّللِ َح ِس ْيبًا‬
Artinya : Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah.

13
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta
anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu)
mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan
barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut.
Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan li‟an sebagai berikut :
 Pasal 125 KHI, li‟an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami istri untuk
selama-lamanya.
 Pasal 126 KHI, li‟an terjadi karena suami menuduh istri berbuat zina dan atau
mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan
istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.7
Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, BAB IX ,
menjelaskan tentang li‟an secara global yang tercantum dalam pasal 44, yaitu sebagai
berikut :
a. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari
pada perzinaan tersebut.
b. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepntingan. Yang menjadi permasalahannya yaitu, bagaimanakah yang di
maksud dengan lian menurut Hukum Islam, kemudian bagaimana li‟an menurut
Hukum Positif, apakah ada persamaan atau perbedaan. Inilah yang mendorong
penulis untuk
E. Faskh
Fasakh. Sepertinya halnya talak, fasakh juga berakibat pada putusnya hubungan
perkawinan. Secara harfiah fasakh berarti “membatalkan suatu perjanjian” atau menarik
kembali suatu penawaran.8

7
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), h. 143.
8
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996), 83.

14
Faskh yang mengatur tentang fasakh telah diberikan secara terperinci oleh para ulama
sebagai berikut :
 Fasakh menurut madzhab Hanafi adalah dalam kasus berikut :
1) Perpisahan karena murtadnya kedua suami istri tersebut.
2) Perceraian disebabkan rusaknya (fasad) perkawinan itu.
3) Batal karena tidak terdapat kesamaan status (kufu) atau suami tidak dapat
dipertemukan.
 Fasakh menurut madzhab syafi’i dan Hambali adalah sebagai berikut :
1) Perpisahan karena cacatnya salah seorang dari pasangan tersebut
2) Perceraian disebabkan berbagai kesulitan suami
3) Bubar dikarenakan li’an
4) Salah seorang dari suami istri itu murtad
5) Rusaknya perkawinan
6) Tiadanya kesamaan status (kufu)
 Fasakh menurut madzhab Maliki terjadi dalam kasus berikut :
1) Terjadinya li’an
2) Rusaknya perkawinan
3) Murtadnya dari salah seorang suami atau istri
CONTOH KASUS
Contoh kasus yang kami ambil adalah cerai fasakh. Fasakh adalah
membatalkan, dan dalam perkawinan fasakh berarti membatalkan perkawinan.
Contoh yang kami ambil adalah jika ada suami dan istri, salah satu pasangannya
mengalami sakit jiwa yang mengakibatkan tidak bisa melaksanakan kewajibannya
terhadap pasangannya maka hal tersebut bisa dijadikan alasan untuk membatalkan
perkawinannya. Hal ini ditulis dalam peraturan perundang-undangan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19 huruf (e) dan KHI Pasal 116 huruf (e)
yang berbunyi “Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri”. Cacat badan atau
penyakit merupakan kekurangan yang dimiliki oleh suami atau istri yang bisa
berupa penyakit fisik maupun rohani. Pemohon yang melakukan permohonannya
harus membuktikan dalam siding pengadilan fasakh karena cacat atau penyakit

15
yang dilakukan di hadapan Hakim Pengadilan. Dalam persidangan, pemohon dapat
memberikan bukti berupa surat-surat data diri dan berbagai surat yang diperlukan
juga saksi yang dapat memberikan kesaksian atas alasan fasakh yang ia lampirkan.
HASIL DISKUSI
Pertanyaan pertama diajukan oleh Wildan Achsan Aziz yaitu Fasakh,
zhihar dan ila' adalah beberapa macam perceraian, yang ditanyakan bagaiman
praktek dari tiga macam perceraian dalam proses pengadilan agama, apakah
langsung dicerai gugat?
Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia mempunyai
kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah: keinginan
untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak
selamanya membayar ‘iwadl (uang tebusan) yang menjadi dasar terjadinya
khulu’ atau perceraian. Khulu’ yang dimaksud, diatur dalam pasal 148 KHI
dengan prosedur sebagai berikut: Seorang isteri yang mengajukan gugatan
perceraian dengan jalan khulu‘, menyampaikan permohonannya kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau
alasan-alasannya.Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil
isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing. Dalam
persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat
khulu‘, dan memberikan nasehat-nasehatnya. Setelah kedua belah pihak sepakat
tentang besarnya ‘iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan
penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang
Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding
dan kasasi. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam
pasal 131 ayat 5. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan
atau ‘iwadl, Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara
biasa. Dari uraian di atas, nampak perbedaan antara cerai gugat dan khulu’.
Namun, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tidak membedakan antara keduanya sehingga tidak
membicarakannya. Karenanya penyelesaian berdasarkan pasal 148 KHI yang

16
semula perkara cerai gugat dengan khuluk setelah ada putusan Pengadilan
Agama lalu eksekusinya mengacu pada pasal 131 ayat 5 yaitu suami
mengikrarkan talaknya terhadap istri.
Pertanyaan kedua disampaikan oleh Purwonengrum Damayanti, yaitu jika
seorang anak yang belum balig (lelaki atau perempuan) dinikahkan oleh walinya
yang bukan ayah atau kakeknya kemudian anak ini mencapai usia balig, ia
berhak untuk memilih (hak khiar), perkawinan yang telah diakadkan itu
diteruskan atau dihentikan.
Jawaban dari pertanyaan tersebut jika akad tersebut ingin diteruskan,
maka tidak perlu melakukan akad kembali karena akad pertama tetap sah, namun
jika akad tersebut tidak dilakukan oleh bukan walinya atau bukan ayah atau
kakeknya, maka ia harus melakukan akad kembali jika ingin meneruskan
perkawinannya.
Pertanyaan terakhir dari Qurrotul Uyuniyyah, yaitu bagaimana menurut
pendapat pemakalah mengenai sebuah Hadits yg menyatakan bahwa "Ada 3 hal
yang seriusnya serius, dan bercandanya dianggap serius, yaitu : nikah, cerai, dan
rujuk”, sedangkan ada yang menyatakan juga bahwa segala sesuatu yang
bercanda itu tidak sah karena tidak terdapat niat yang kuat?
Jawaban dari pertanyaan tersebut karena ucapan dari 3 hal tersebut
dianggap sakral dan suci, bahkan pada saat kita menikah itu harus
mempersiapkan diri baik secara kondisi tubuh harus fit maupun psikis kita juga
harus sehat supaya tidak ada kesalahan satu pun pada saat menikah. Begitu pun
juga perceraian dan talak karena ketika suami mengucapkan talak kepada suami
maka jatuhnya bisa perceraian.
KESIMPULAN
Bentuk putusnya pernikahan karena riddah perspektif Imam Syafi’i adalah
melalui fasakh setelah berakhirnya masa iddah istri karena adanya berbeda agama
antara pasangan suami istri sehingga mewajibkannya difasakh. Adapun putusnya
pernikahan karena riddah dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai
alasan perceraian dengan ketentuan riddah yang menimbulkan ketidakrukunan.
Ketentuan antara fiqh Imam Syafi’i dan KHI terhadap riddah yang terjadi dalam

17
pernikahan sejalan yaitu pernikahan diputus karena adanya perbedaan agama.
Akibat hukum dari riddah dalam pernikahan perspektif Imam Syafi’i adalah
pernikahan itu putus melalui fasakh setelah iddah berlalu, istri harus menjalani
masa iddah, status anak dari pernikahan yang terjadi dari riddah dalam pernikahan
tetap berstatus anak yang sah sehingga tetap benasab ke ayahnya. Suami dan istri
tidak bisa saling mewarisi jika telah terjadi riddah,begitu pula orang tua dan anak
juga tidak dapat saling mewarisi karena adanya perbedaan agama. Adapun akibat
hukum perspektif KHI adalah pernikahan putus karena perceraian, sehingga bila
istri yang menggugat maka perceraian menjadi cerai gugat dan jika suami yang
mengajukan menjadi cerai talak. Mewajibkan istri beriddah, hak asuh anak atuh
kepada orang tua yang beragama Islam untuk memelihara keselamatan akidah
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam...., 105-106.
Abdul Manan dan Fauzan, Pokok-pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan
Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 28
Abdul Rahman, Perkawinan dalam Syari’at Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta,
1996), 83.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika
Pressindo, 2010), h. 143.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Diponegoro, 2003).
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut: Daarul Kotob Al-Islami, jilid 7, 2008), 209
Isnawati, “Tingginya Angka Cerai Gugat (Khulu’) di Indonesia”, Jurnal Al-
‘Adalah, (Vol. 12, No. 1 ,Juni 2014), 195
Kamal Mukhtar, Azas-azas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Yogyakarta: Bulan
Bintang, 1993), hlm. 157
Linda Azizah, “Analisis Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Al-
‘Adalah, (Vol. 10, No. 4, Juli 2012), 418
Zurifah Nurdin, “Zihar dan Ila’ dalan Kajian Sosiologis, Filosofis, Normatif,
Yuridis, Psikologis, dan Ekonimis”, Majalah Informasi, Edisi 1 2014, 17.

18

Anda mungkin juga menyukai