Anda di halaman 1dari 19

Tugas Agama Islam

Fasakh
Ila', Li'an, Khulu'
Hadhanah
Nusyuz
Hak dan Kewajiban
Suami-Isteri

Tri Handayani
XII - Administrasi Perkantoran 2

N ovem ber

2013

FASAKH
A. Pengertian Fasakh
Arti fasakh menurut bahasa ialah rusak atau putus. Fasakh berarti memutuskan
pernikahan, perkara ini hanya diputuskan apabila pihak isteri membuat pengaduan kepada
Mahkamah dan Hakim menurut pendapat yang lain fasakh adalah rusak atau putusnya
perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri di sebabkan sesuatu yang
diketahui setelah akad berlangsung.
B. Hukum Fasakh
Fasakh nikah di perbolehkan bagi seorang istri yang mukallaf (balligh dan berakal) kepada
suaminya yang kesulitan harta atau pekerjaan yang halal, sebesar nafkah wajib ukuran minimal
yaitu satu mud atau kesulitan memberikan pakaian wajib ukuran minimal yaitu pakaian utama
yang harus dimiliki. Oleh karena itu fasakh tidak bisa dilakukan lantaran suami tidak bisa
membelikan lauk pauk, meskipun makan tidak terasa enak.
Suami sulit memberikan tempat tinggal atau tidak mampu membayar mahar secara kontan atau
sebagian sebelum menjima istri. Dan fasakh tidak bisa dilakukan setelah istri dijima, sebab
barang yang di pertukarkan telah rusak dan barang yang dibuat menukar telah menjadi utang
dalam tanggungan suami. Dan bagi istri yang masih kecil (belum baligh) walaupun sudah
dijimak boleh memfasakh suaminya jika istri telah beranjak dewasa (baligh) sebab persetubuhan
tersebut tidak dianggap terjadi menurut beberapa ulama.Tapi jika istri telah menerima sebagian
mahar, majka istri tidak boleh memfasakh. Dan yang perlu diperhatikan, bahwa
ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah dapat dibuktikan jika tidak adanya harta suami
dalam jangka waktu tiga hari.
Bagi seorang istri juga tidak boleh memfasakh nikah lantaran suami yang kaya atau cukup tidak
mau memberikan nafkah, baik suami berada di rumah atau tidak ada asalkan kabar beritanya
tidak terputus. Tapi jikalau kabar beritanya terputus dan suami tidak mempunyai harta yang ada
di tempat maka istri boleh memfasakh nikah menurut madzhab yang diperlakukan oleh Ar-RafiI
dan An-Nawawi, sedangkan menurut pendapat al-Maliki dan Ibnu Ziyadz istri boleh memfasakh
jika tidak mendapat nafkah meskipun suami kaya, karena yang ditekankan dalam fasakh adalah
jika terdapat madzarat terhadap istri.
Fasakh lantaran suami tidak mampu memberi nafkah atau mahar, tidak sah dilakukan sebelum
ditetapkan hal itu dengan ikrar suami atau bayinah yang menuturkan kemelaratan suami

sekarang dan istri harus mrmenuhi syarat-syarat fasakh yang berlaku setelah itu qodhi atau
muhakkam wajib menunda fasakh selama tiga hari. Kemudian, setelah masa tiga hari tiga
malam, maka qodhi atau muhakkam pada pertengahan hari keempat boleh memfasakh nikah,
atau setelah masa tiga hari dengan izin qodhi, istri dapat memfasak sendiri dengan ucapannikah
ku fasakh. Tetapi syekh Athiyah Al-Maliki dalam fatwanya berkata: bila ada udzur pada qodzi
atau tidak tidak bisa ditetapkan kemelaratan suami karena tidak adanya saksi, maka istri maka
istri dapat memberikan persaksian tentang keberadaan fasakh nikah dan melaksanakan fasakh
terhadap dirinya sendiri.
C. Sebab dan Akibat Fasakh
Sebab-sebab fasakh:

1. Suami telah menceraikan pemberian nafkah atau tidak memberi nafkah untuknya selama
tiga bulan.
2. Suami telah dihukum penjara selama tiga tahun atau lebih dan hukuman itu telah menjadi
muktamat.
3. Suami tidak menjalankan kewajipan-kewajipannya sebagai seorang suami terhadap isterinya
selama satu tahun dengan tiada sebab yang munasabah.
4. Suami mati pucuk pada masa berkahwin dan terus-menerus begitu.
5. Suami gila atau mengidap penyakit merana yang akan mengambil masa yang panjang untuk
menyembuhkannya atau tiada harapan sembuh dan jika diteruskan perhubungan suami-isteri
akan menjejas kesihatan isteri.
6. Suami berlaku kejam terhadap isteri yaitu seperti:
a. Selalu memukul isteri atau menjadikan kehidupannya sengsara disebabkan oleh
kelakuannya yang kejam sekalipun tanpa menggunakan kekerasan.
b. Bercampur gaul dengan perempuan-perempuan lucah atau hidup dalam kehinaan.
c. Mencoba memaksa isteri supaya hidup lucah.
d. Menghalang isteri daripada melaksanakan perintah agama.
e. Tinggal dan bersekedudukan dengan perempuan lain yang bukan isterinya.
f. Jika suami mempunyai isteri lebih dari satu, suami tersebut tidak melayannya dengan
adil sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam.
7. Kerana sesuatu sebab yang lain yang diakui sah untuk cerai fasakh di bawah hukum Islam.
Akibat Fasakh:
Pisahnya suami istri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak. Sebab talak ada
talak bain dan talak raji. Talak raji tidak mengakhiri ikatan suami istri dengan seketika.
Sedangkan talak bain mengakhirinya seketika itu juga. Dapun faskh, baik karena hal-hal yang
datang belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, nak ia mengakhiri
ikatan pernikahan seketika itu juga. Selain itu, pisahnya suami istri yang diakibatkan talak dapat
mengurangi bilangan talak itu sendiri. Jika suami menalak istrinya dengan talak raji kemudian
kembali pada masa iddahnya, atau akad lagi setelah habis masa iddahnya dengan akad baru,
maka perbuatan terhitung satu talak, yang berarti ai masih ada kesempatan dua kali lagi talak.
Sedangkan pisahnya suami istri karena fasakh, hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak,
meskipun terjadi fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua suami istri tersebut menikah

dengan akad baru lagi, maka suami tetap mempunyai kesempatan tiga kali talak. Selama masa
pelaksanaan fasakh, laki-laki boleh mengambil keputusan akan bercerai atau memberikan nafkah
bila istri tidak rela lagi. Kalau siistri mau menunggu, dan ia rela dengan ada belanja dari
suaminya, maka tidak perlu difasakhkan sebab nafkah itu adalah haknya.
Setelah fasakh itu dilakukan, maka perceraian itu dinakan talak bain. Kalau suami hendak
kembali kepadanya, maka harus dengan nikah lagi dengan akad baru. Sedangkan iddahnya
sebagai iddah talak biasa.
D. Pelaksanaan Fasakh
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau
karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1. Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
- Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau saudara
sesusun pihak suami.
- Suami istri yang masih kecil dan diadakannya nikah oleh selain ayah datuknya. Kemudian
setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya atau mengakhirinya. Cara
seperti ini disebut khiyar baligh.
2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
- Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau
kembali sama sekali, maka akadnya batal (fasakh) karena kemurtatan yang terjadi
belakangan.
- Jika suami yang tadinya fakir masuk Islam, tetapi istri tetap menjadi musyrik, maka
akadnya batal (fasakh). Lain halnya kalau istri orang lain ahli kitab, maka akadnya tetap sah
seperti semula sebab perkawinannya dengan ahli kitab dari semunya dipandang sah.

ILA, LIAN, KHULU


A. Pengertian Ila
Menurut etimologis (bahasa), ila berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah.
Sedangkan menurut terminologis (istilah) ila berarti bersumpah untuk tidak lagi mencampuri
isteri. Jadi ila adalah sumpah seorang suami untuk tidak lagi melakukan hubungan seksual
dengan isterinya. Perbuatan ini adalah kebiasaan jahiliyah untuk menyusahkan pihak isteri
dengan cara bersumpah untuk tidak lagi menjamah isterinya selama satu tahun atau dua tahun.
Perbuatan ini tentu akan menyiksa isterinya dan membuat statusnya menjadi tidak jelas, yaitu
hidup tanpa suami, namun juga tidak dicerai.
Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 226-227 yang berbunyi:

Artinya:
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian
jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Meng-ilaa' isteri maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. dengan sumpah
ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan
turunnya ayat ini, Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi
isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
Menurut Ibnu Abbas, ila berarti sumpah untuk tidak mencampuri isteri selamanya.
Sedangkan menurut Atha mengatakan: ila berarti bersumpah dengan nama Allah. Kemudian,
Ayat ini menunjukkan bahwa `l` dikhususkan bagi para istri. Oleh karena
itu, `l` itu ditetapkan bagi orang-orang yang terkena talak. Maka orang merdeka, hamba, dan
mabuk itu juga dapat menetapkan `l`. Begitu juga orang idiot, dan yang berada dikuasa orang
lain (anak kecil) hanya saja apabila `l` terjadi waktu ia sudah baligh yang tidak gila. Seperti
keterangan di atas, bahwa `l` pada dasarnya adalah sebuah sumpah. Oleh karena itu, konsep
`l` apakah harus ada sumpah atau tidak terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh.
B. Konsekuensi Hukum Ila
1. Kedudukan Isteri sesudah Lewat Masa Empat Bulan
Para Fuqaha Berselisih pendapat mengenai masalah ini. Apakah isteri yang di Ila secara
otomatis tercerai dapat menceraikan dirinya, ataukah tidak. Malik, SyafiI, Ahmad, Abu Tsaur,
Dawud, dan al-Laits berpendapat,bahwa sesudah lewat masa empat bulan, suami bias
menceraikan atau kembali lagi kepada isterinya. Pendapat ini juga dikemukakan oleh oleh Ali
r.a. dan Ibnu Umar r.a. meskipun terdapat riwayat lain darinya, tetapi yang benar adalah
pendapat ini.
Sedangkan Abu Hanifah beserta para pengikutnya dan Tsauri, atau Fuqaha Kufah,
berpendapat bahwa talak jatuh secara otomatis sesudah lewat masa empat bulan, kecuali jika
suami kembali lagi kepada isterinya.
Didalam ayat 226-227 Surat Al-Baqarah, apakah yang dimaksud dengan kata jika
mereka kembali (kepada isterinya) adalah sebelum berakhirnya masa empat bulan ataukah
sesudah berakhitnya. Bagi para Fuqaha yang memahami kata-kata tersebut adalah sebelum
berakhirnya masa empat bulan menetapkan terjadinya Thalak.
Bagi ulama Malikiyah, dalam ayat 226-227 Surat Al-Baqarah terdapat empat dalil, yaitu
pertama, bahwa masa penantian empat bulan itu diberikan kepada suami, bukan kepada isteri.
Kedua, bahwa Allah SWT. Menyandarkan thalak kepada perbuatan suami, sedangkan menurut
ulam Hanafiyah thalaq itu tidak disandarkan kepada perbuatan suami, melainkan sebgai
pelampauan kata-kata majaz dengan meninggalkan kata-kata lahir tidak dibolehkan kecuali
apabila terdapat dalil.

Ketiga, bahwa firman Allah dan jika mereka berazam (berkehendak kuat) talak, maka
sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha mengetahui. Itu berarti terjadinya thalak
dengan cara yang dapat didengar, yaitu dijatuhkannya talak dengan kata-kata, bukan dengan
berakhirnya masa empat bulan.
Keempat, bahwa huruf fa (kemudian) pada kata-kata fa in fa-uu (kemudian jika mereka
itu kembali) menunjukan arti berurutan. Oleh karena itu menunjukan bahwa kembali
dilakukan setelah berakhir masa empat bulan itu. Berarti bisa jadi, Ulama Malikiyah
menyamakan masa empat bukan dengan masa iddah. Sedangkan abu Hanifah menyamakan masa
tersebut dengan masa empat bulan itu dengan masa iddah talak yang dapat dirujuk (raji).
2. Bentuk Sumpah Ila
Menurut Imam al-Syfi di dalam qaul jaddnya, bahwa `l` tidak dapat jatuh kecuali
disertai dengan sumpah kepada Allah sahaja, karena ada sabda Nabi SAW
. Menurut Hanafiyyah dan Mlikiyyah; `l` sah dengan sumpah atas nama Tuhan, atau
sumpah meninggalkan seksual dengan talak atau memerdekakan atau dzihr. Mlikiyyah
menambah; `l` tidak disyaratkan sumpah di dalam `l`. Apabila seorang lelaki menolak untuk
berhubungan seksual dengan tujuan menyakiti perempuan tanpa ada uzur, walaupun tanpa
sumpah, maka dia telah melakukan `l` karena terdapat dlarar. Selain dari ini, Imam al-Rz
berpendapat bahwa ayat ini menetapkan bahwa `l` itu sah sama ada lelaki tersebut dalam
tingkah ridha atau marah. Sedangkan menurut Imam Mlik; `l` hanya sah tatkala dalam
keadaan marah melihat secara lahirnya ayat.
Sedangkan mengenai Ila tanpa sumapah, menenai persoalan ini suami tidak menggauli
isteri tanpa sumpah, jumhur fuqaha berpendapat bahwa suami tidak tidak terkena hukum ila.
Sedangkan malik berpendapat bahwa suami terkena hukum ila. yakni apabila suami sengaja
bermaksud merugikan isteri dengan tidak menggaulinya, meski ia bersumpah tidak akan
menggaulinya.
Jadi jumhur fuqoha memegangi ayat tentang ila sedangkan Malik memegangi
penegertian ila , karena hukum ila itu mengikat suami hanya hanya karena ia bermaksud tidak
akan menggauli isterinya, baik dengan sumpah maupun tidak.
3. Masa Ila
Ila pada masa jahiliyah, masa tunggunya satu sampai dua tahun; kemudian Allah SWT
membatasi waktunya agar semua pihak memperoleh kelapangan, yaitu empat bulan. Kurang dari
masa itu bukan ila.
Menurut Malik mengatakan bahwa ila harus lebih lama dari empat bulan, sebab
menurutnya masa kembali pada isteri itu dilakukan sesudah lewat masa empat bulan. Sedangkan
Abu Hanifah berpendapat masa ila itu hanya empat bulan saja, sebab menurutnya kembali
kepada itu dilakukan pada masa empat bulan itu juga.
Dari Ibnu Abbas r.a. diriwayatkan bahwa orang yang bersumpah illa ialah orang yang
bersumpah tidak akan menggauli isteri untuk selamanya.
4. Macam Thalaq Akibat Ila

Adapun thalaq yang jatuh karena ila , As-SyafiI dan Malik berpendapat bahwa
thalaqnya adalah RajI, karena menurut mereka tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa Thalaq
yang thalaq karena illa adalah Bain.
Sedangkan Abu Hanifah dan Abu Tsaur berpendapat bahwa thalaq tersebut adalah Bain.
apbila thalaq tersebut rajI, maka kerugian yang menimpa isteri tidak hilang karena suami dapat
memaksa isterinya untuk dirujuk.
Dengan demikian, adanya perbedaan pendapat tentang thalaq yang jatuh karena Ila itu
ditujukan karena kemaslahatan ila. Bagi para Fuqaha yang lebih menguatkan aturan pokok
mengatakan, thalaq tersebut raji. sedangkan foqoha yang lebih segi kemaslahatan mengatakan ,
thalaq tersebut adalah Bain.
Jika suami enggan untuk mrnjatuhkan thalaq, maka penguasa atau Hakim dapat
melakukan tindakan perceraian sebagi realisasi kemaslahatan umum. Ini dikarenakan karena
menurut para fuqaha yang memperhatikan kerugian yang bakal menimpa isteri Karen Ila.
Persoalan, apakah Ila itu dapat berulang. Malik berpendapat, apa bila suami merujuk
isterinya kemudian tidak menggaulinya, berarti ia mengulang ilanya. Menurut pendapatnya hal
ini berlaku pada thalak Raji dan thalaq Bain sekaligus. Sedangkan menurut Abu hanifah
disertai dengan pendapat As-Syafii bahwa illa tidak berulang karena hanya dengan tidak
menggauli isterinya ketika sudah rujuk, kecuali dengan pengulangan sumpah.
5. Iddah bagi Isteri yang di Ila
Mengenai masalah ini Jumhur Fuqaha berpendapat ia harus menjalani iddah. Jabir bin
Zaid berpendapat, ia tidak wajib iddah, jika ia telah haid selama masa empat bulan. Pendapat ini
di pegangi oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a. alasannya, karena
maksud iddah adalah untuk mengetahui kekosongan rahim.
6. Kafarat melanggar Ila
Jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selam empat bulan atau
lebih, kemudian baru satu bulan dia menggauli isterinya, maka dituntut untuk menunaikan
kafaratnya, yaitu kafarat pelanggaran terhadap sumpah, melalui: member makan, pakaian kepada
10 orang miskin atau memerdekakan aeorang hamba sahaya atau berpuasa tiga hari berturutturut. Hal ini sesuai dalam firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 89, yang berbunyi:

Artinya: Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud
(untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu
sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin,
Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang
demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpahsumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah
Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).
A.

Pengertian Lian
Kata lian menurut bahasa berarti allanu bainatsnaini fa shaidan (saling melaknat yang
terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang, menurut istilah syari, lian ialah sumpah dengan
redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwa isterinya telah berzina atau ia menolak bayi yang
lahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa
tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong, diantara definisi yang
representatif, yang mudah diingat adalah: sumpah suami yang menuduh istrinnya berbuat zina,
sedangkan dia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi.
Dalam definisi yang sederhana tersebut terdapat beberapa kata kunci yang akan menjelaskan
hakikat dari perbuatan lian itu, yaitu sebagai berikut:
1. Kata sumpah. Kata ini menunjukkan bahwa lian itu adalah salah satu bentuk dari
sumpah atau kesaksian kepada Allah yang jumlahnya lima kali. Empat yang pertama
kesaksian bahwa ia benar dengan ucapannya dan kelima kesaksian bahwa laknat Allah
atasnya bila ia berbohong.
2. Kata suami yang dihadapkan pada Istri. Hal ini mengandung Arti bahwa Lian
berlaku antara suami-istri, dan tidak berlaku diluar lingkungan keduannya. Orang yang
tidak terikat dalam tali pernikahan saling melaknat tidak disebut istilah Lian.
3. Kata menuduh berzina, yang mengandung arti bahwa sumpah yang dilakukan oleh
suami itu adalah bahwa istrinnya itu berbuat zina, baik ia sendiri mendapatkan istrinnya
berbuat zina atau meyakini bayi yang dikandung istrinnya bukanlah anaknya. Bila
tuduhan yang dilakukan suami itu tidak ada hubungannya dengan zina atu anak yang
dikandung, tidak disebut dengan Lian.
4. Kata suami tidak mampu mendatangkan empat orang saksi. Hal ini mengandung arti
bahwa seandainnya dengan tuduhannya itu suami mampu mendatangkan empat orang
saksi sebagaimana dipersyaratkan waktu menuduh zina, tidak dinamakan dengan Lian,
gtetapi melaporkan apa yang terjadi untuk diselesaikan oleh Hakim.
Pada dasarnya apabila ada seorang suami dengan nyata-nyata melihat istrinya melakukan
perzinaan secara langsung sang suami tidak bisa langsung memvonis sang istri melakukan
perbuatan zina, akan tetapi dia harus mendatangkan 4 orang saksi untuk kehati-hatian dan juga
sumpah yang harus diucapkan oleh pihak suami dan istri, karena semua itu telah diatur dalam
Islam, agar lebih dimengerti lagi mengenai bagaimana Lian itu dan hokum-hukum penyelesaian
yang telah ditetapkan oleh Islam, berikut akan kami ulas dalam makalah kami.

Pada dasarnya bila seseorang menuduh perempuan baik-baik berbuat zina dan tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi, meski dikenai haad qazaf, yaitu tuduhan zina tanpa
saksi. Had qadzaf itu adalah 80x Dera. Hal ini dijelaskan Allah dalam surat an-Nur ayat 4.
Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian
isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman
dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan lian.

Adapun prosesi Lian itu secara menyeluruh adalah sebagaimana dijelaskan Allah dalam surat
an-Nur (24) ayat 6-9.

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai
saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah)
yang kelima: bahwa lanat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah
Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang
kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS
An-Nuur: 6-9).
B.

Kekuatan Hukum Lian

Apabila suami isteri melakukan mulaanah atau lian, maka berlakukan pada keduanya
hukum-hukum berikut ini :
1. Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist: Dari Ibnu Umar r.a , ia berkata, Nabi saw
memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaum Anshar, dan menceraikan
antara keduanya.
2. Keduanya haram ruju untuk selama-lamanya. Dari Sahl bin Sad ra, ia berkata, Telah berlaku
sunnah Nabi saw tentang suami isteri yang saling bermulaanah di mana mereka diceraikan
antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju buat selama-lamanya.
3. Wanita yang bermulaanah berhak memiliki mahar. Dari Ayyub bin Said bin Jubair, ia
bercerita: Saya pernah bertanya kepada Ibnu Umar ra, (Wahai Ibnu Umar), bagaimana
kedudukan seorang suami yang menuduh isterinya berbuat serong? Jawab Ibnu Umar, Nabi
saw pernah menceraikan antara dua orang yang bersaudara (yaitu suami isteri) dari Bani Ajlan,

dan Beliau bersabda (kepada keduanya), Allah mengetahui bahwa seorang di antara kalian
berdua pasti berbohong, karena itu adakah di antara kalian yang mau bertaubat? Ternyata
mereka berdua enggan (memenuhi tawaran Beliau). Nabi bersabda lagi, Allah mengetahui
bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu, adakah di antara kalian
yang mau bertaubat? Ternyata mereka enggan, lalu Nabi pun bersabda, Allah mengetahui
bahwa salah seorang di antara kalian berdua pasti bohong, karena itu adakah di antara kalian
yang mau bertaubat? Namun mereka berdua enggan (untuk memenuhi tawaran Beliau). Maka
selanjutnya Beliau menceraikan antara keduanya. Ayyub berkata, Kemudian Amr bin Dinar
mengatakan kepadaku, Sesungguhnya di dalam hadist tersebut ada sebagian yang saya
perhatikan belum engkau sampaikan, yaitu laki-laki yang bermulaanah itu menanyakan, Mana
hartaku (maharku)? Dijawab (oleh Nabi saw), Tidak ada harta (mahar) bagimu. Jika kamu
jujur, berarti kamu sudah pernah bercampur dengannya; jika kamu bohong, maka ia (mahar) itu
kian jauh darimu.
4. Anak yang lahir dari isteri yang bermulaanah, harus diserahkan kepada sang isteri (ibunya).
Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mulaanah
antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami) dipisahkan dari anaknya, lantas
Beliau menceraikan antara mereka berdua, kemudian anak itu Rasulullah serahkan kepada
isterinya.
5. Isteri yang bermulaanah berhak menjadi ahli waris anaknya dan begitu juga sebaliknya.
Dari Ibnu Syihab dalam hadist Sahl bin Saad, ia berkata Menurut Sunnah Nabi saw, sesudah
suami isteri yang bermulaanah dicerai, padahal sang isteri hamil maka anaknya dinisbatkan
kepada ibunya. Kemudian sunnah Beliau saw berlaku mengenai hak warisnya, dimana ia (ibu
tersebut) berhak menjadi ahli waris anaknya dan anaknya pun berhak menjadi ahli warisnya
sesuai apa yang telah Allah tetapkan untuknya.
C.

Hukum dan Dasar hukum Lian


Dari penjelasan ayat-ayat yang disebutkan diatas dapat disimpulkan bahwa hukum lian
bagi suami yang yakin atau berat dugaannya akan kebenaran tuduhannya adalah mubah atau
boleh. Namun bila suami tidak kuat dugannya atas kebenaran tuduhannya itu, maka hokum lian
itu baginnya adalah haram.

D.

Tujuan dan hikmah hukum


Adapun tujuan dari diperbolehkannya lian tersebut adalah untuk memberikan kemudahan
kepada suami yang yakin akan kebenaran tuduhan zina yang dilakukannya, sedangkan dia secara
hokum formal tidak dapat berbuat apa-apa dalam membuktikan kebenarannya. Hikmahnya
adalah melepaskan ancaman dari suami yang yakin akan kebenarannya, yang hokum formal
tidak dapat membantunnya.

E.

Akibat Lian
Bila setelah prosesi lian sebagaimana disebutkan diatas, berlakulah akibat
hukum sebagai berikut:
1. Suami yang mengucapkan lian bebas dari ancaman had qazaf dalam arti tuduhan yang
dilemparkan itu dinyatakan benar.
2. Perzinaan yang dituduhkan suami berarti betul terjadi atau ternyata secara hokum istri telah
berzina.

3. Hubungan nasab antara suami yang men-lian dengan anak yang dikandung istrinya itu
terputus dan untuk selanjutnya nasab anak dihubungkan kepada ibunya.
4. Istri yang di-lian bebas ancaman had zina,dangan begitu secara hokum dia tidak betul
berbuat zina.
5. Perkawinan di antara keduanya putus untuk selamanya. Tentang berlaku perceraian untuk
selamanya berdasarkan kepada hadis tentang kasus lian yang berasal dari sahl bin said yang
di keluarkan abu daud yang berbunyi:
Tidak berlaku sunnah tentang suami istri yang saling melian bahwa keduanya tidak boleh
bertemu untuk selamanya
Juga Hadits Nabi yang berasal dari Ibnu Umar muttafaq alaih yang bunyinya.
Bahwasannya Rosul Allah berkata kepada dua orang yang telah saling melian: Allah yang
akan menetapkan hokum diantara kamu, salah seorang diantara kamu adalah bohong dan tidak
ada jalan untukmu kepadannya.
Dari proses peradilan tersebut nyatalah bahwa apa yang dihasilkanoleh pengadilan adalah
kebenaran secara formal, bukan kebenaran secara hakiki karena menurut hakikinya pasti salah
seorang di antara keduanya itu berbohong. Dalam hal ini hanya allah yang tahu dan dia yang
akan mengadili secara materil.

A. Pengertian Khulu
Dari segi bahasa arab ertinya: cabut, tanggal seperti menanggalkan baju, pakaian dan
sebagainya. Pengertian ini berdasarkan firman Allah Surah Al-Baqarah: ayat 187, yang
berbunyi: Mereka itu (isteri-isteri) adalah pakaian kamu dan kamu (suami-suami) adalah
pakaian mereka.
Dari ayat tersebut dapat dipahamkan bahawa isteri-isteri itu dianggap pakaian untuk suami dan
suami-suami merupakan pakaian untuk isteri-isteri, oleh yang demikian sekiranya berlaku
khulu, seolah-olahnya suami isteri itu masing-masing telah meninggalkan atau mencabut
pakaiannya. Dari segi syara artinya : perceraian yang diminta oleh isteri kepada suaminya
dengan bayaran.

B. Dalil Harus Khulu


Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah: ayat 229, berbunyi Tidak halal bagi kamu
mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka sesuatu, kecuali jika takut keduaduanya bahawa mereka kedua tidak menurut perintah-perintah Allah maka tidaklah berdosa
kedua-duanya tentang barang yang dibuat tebusan oleh perempuan itu.
Sabda Rasulullah SAW dalam Riwayat Al-Bukhari: Ambillah kebun yang dijadikan maskahwin
itu dan ceraikanlah dia. Haditsh ini ditujukan oleh Rasulullah SAW terhadap Sabit bin Qais
yang mana isterinya bernama Habibah bte Sahal Al-Nasari memohon cerai di samping
mengembalikan semua maskahwinnya kepada Sabit bin Qais, tebusan talaq yang dilakukan oleh
isteri Sabit ini adalah merupakan tebusan talaq yang pertama kali berlaku di dalam Islam.

C. Rukun Khulu
1.
2.
3.
4.

Isteri
Suami
Bayaran
Sighah (lafaz).

D. Beberapa Perkara yang Berhubungan dengan Khulu


1. Isteri yang menebus talaq itu tidak boleh dirujuk semula, kecuali dengan akad nikah yang
baharu serta memenuhi syarat-syaratnya.
2. Bayaran tebus talaq itu tidak dihadkan sedikit atau banyak, berhutang atau tunai, wang
atau barang-barang lain, malah terpulanglah kepada persetujuan dan kerelaan suami isteri
itu asalkan bayaran itu dari sesuatu yang berfaedah.
3. Tebus talaq boleh dilakukan bila-bila masa sahaja, boleh dilakukan di masa perempuan
sedang suci atau haid, berlainan dengan talaq biasa, diharamkan di waktu haid dan di
waktu suci yang disetubuhi di ketika suci itu, kerana tebus talaq ini adalah dari kemahuan
dan kerelaan perempuan itu sendiri.
4. Jika talaq secara paksa tidak sah, maka begitu juga tebus talaq tidak boleh dipaksa, malah
mestilah dengan persetujuan suami isteri, tetapi dalam pada itu kalau pihak suami
berdegil dan berkeras tidak mahu sedangkan ianya mesti dilakukan, untuk mengelakkan
kemudharatan atau kesengsaraan yang dialami oleh isteri. Dalam hal ini pihak qadhi
boleh bertindak.
5. Cara melafazkan tebus talaq, seperti kata suami: Saya ceraikan awak dengan bayaran
dua ratus ringgit lalu isteri menjawab : saya terima dengan bayaran tersebut, atau
kata isteri : ceraikan saya dengan bayaran dua ratus ringgit jawab suami: saya
ceraikan awak dengan bayaran tersebut.

E. Hikmah Khulu
Kalau talaq merupakan suatu perkara yang dibenci oleh syara, begitulah juga
khulu, kerana kedua-duanya ini mempunyai erti yang sama iaitu memutuskan ikatan
perkahwinan, tetapi oleh kerana beberapa sebab yang tidak dapat diatasi maka syara
membenarkan dan mengharuskan talaq, begitu juga tebusan talaq, cuma tebusan talaq itu
selalunya adalah kemahuan isteri-isteri. Di sini bolehlah dibuat kesimpulan tentang hikmahhikmah yang diharuskan khulu:
1. Perbalahan atau pergaduhan yang berlaku di antara suami isteri itu tidak dapat diperbaiki
lagi.
2. Untuk mengelakkan kemudharatan yang diamali oleh isteri bila hidup dengan suamisuami yang tidak bertanggungjawab.
3. Bila isteri tidak sanggup lagi hidup dengan suami dan inginkan berpisah dari suaminya.

4. Bila kedua-duanya tidak dapat lagi memohon syarat-syarat berumahtangga sebagai suami
isteri.

hadhanah
A. Pengertian Hadhanah
Kata hadhanah adalah bentuk mashdar dari kata hadhnu ash-shabiy, atau mengasuh atau
memelihara anak. Mengasuh (hadhn) dalam pengertian ini tidak dimaksudkan dengan
menggendongnya dibagian samping dan dada atau lengan.
Secara terminologis, hadhanah adalah menjaga anak yang belum bisa mengatur dan merawat
dirinya sendiri, serta belum mampu menjaga dirinya dari hal-hal yang dapat membahayakan
dirinya. Hukum hadhanah inihanya dilaksanakan ketika pasangan suami istri bercerai dan
memiliki anak yang belum cukup umur untuk berpisah dari ibunya. Hal ini diseabkan karena
sianak masih perlu penjagaan, pengasuhan, pendidikan, perawatan dan melakukan berbagai hal
demi kemaslahatannya. Inilah yang dimaksu dengan perwalian (wilayah).
B. Hukum Hadhanah
Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih memerlukan
pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan,
sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap
diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya.
Hadhanah sangat terkait dengan tiga hak:
- Hak wanita yang mengasuh.
- Hak anak yang diasuh.
- hak ayah atau orang yang menempati posisinya.
Jika masing-masing hak ini dapat disatukan, maka itulah jalan yang terbaik dan harus ditempuh.
Jika masing-masing hak saling bertentangan, maka hak anak harus didahulukan daripada yang
lainnya. Terkait dengan hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
1. Pihak ibu terpaksa harus mengasuh anak jika kondisinya memang memaksa demikian
karena tidak ada orang lain selain dirinya yang dipandang pantas untuk menasuh anak.

2. Ibu tidak boleh dipaksa mengasuh anak jika kondisinya memang tidak mengharuskan
demikian. sebab mengasuh anak itu adalah haknya dan tidak ada mudharat yang
dimungkinkan akan menimpa sianak karena adanya mahram lain selain ibunya.
3. Seorang ayah tidak berhak merampas anak dari orang yang lebih berhak mengasuhnya
(ibu) lalu memberikannya kepada wanita lain kecuali ada alsan syari yang
memperbolehkannya.
4. Jika ada wanita yang bersedia menyusui selain ibu si anak, maka ia harus menyusui
bersama (tinggal serumah) dengan si ibu hingga tidak kehilangan haknya mengasuh
anak.

B.

Status Hukum Dan Dasar Hadhanah Akibat Perceraian

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib
memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti
umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah
(2) ayat 233:
(223 ).
Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dn pakaian untuk anak dan istrinya
Begitu juga dalam Al-Quran yang lain yaitu: Surat At-Tahrim ayat 06:
(6 )
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu..
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih
terkait dalam tali perkawinan saja, akan tetapi juga berlanjut setelah terjadinya perceraian dalam
perkawinan. Nabi Muhammad bersabda:
(
Barang siapa memisahkan antara seorang ibu dengan anaknya, maka Allah akan memisahkan
antara dia dan keaksih-kekasihnya pada hari kiamat. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam
hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebuthadhin dan anak yang diasuh
disebut mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya

tugas mengasuh itu. Dalam masa ikatan perkawinan ibu dan ayah secara bersama berkewajban
untuk memelihara anak hasil dari perkawinan itu. Setelah terjadinya perceraian dan keduanya
harus berpisah, maka ibu atau ayah berkewajiban memelihara anaknya secara sendiri-sendiri.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan tugas yang
berat itu, oleh karenanya belum diketahui kewajiban dan tindakan yang
dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu berbuat untuk
dirinya sendiri dan dengan keadaanya itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk
orang lain.
3. Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas
pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak
yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang
diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan secara baik, dengan meninggalkan dosa besar dan
menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak
konsisten dalam beragama. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat
diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1. Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam

mengurus

hidupnya sendiri.
2. Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat
sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat
sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapapun.

nusyuz
Nusyuz ialah Isteri yang derhaka atau ingkar kepada suami tanpa alasan yang munasabah
mengikut hukum syarak.

A. Sebab-Sebab
1. Isteri keluar dari rumah tanpa pengetahuan atau tanpa izin daripada suaminya.
2. Isteri menolak ajakan suami ke tempat tidur.
3. Isteri bersikap kasar terhadap suaminya.

4. Isteri tidak mengikut perintah suami yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

B. Akibat daripada perbuatan nusyuz ialah:


1. Isteri hilang haknya sebagai isteri.
2. Suami tidak lagi bertanggungjawab memberi nafkah kepadanya.
3. Isteri tidak berhak mendapat layanan dan keadilan daripada suaminya.
4. Isteri tidak boleh membuat tuntutan daripada suaminya.

Sabda Rasulullah S.A.W


Riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim Maksudnya: Daripada Abu Hurairah r.a daripada Nabi
S.A.W bersabda: Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur lalu dia menolak,
sehingga suami marah, maka para malaikat akan melaknatnya hingga ke subuh.
Cara-cara mengatasi perbuatan nusyuz ialah:
1. Suami hendaklah memberi nasihat kepada isterinya dengan cara yang bijaksana dan
menerangkan terhadap kesalahan yang telah dilakukan oleh isterinya.
2. Sekiranya cara tersebut tidak berkesan, suami hendaklah mengasingkan diri daripada
isterinya tidak lebih daripada tiga hari.
3. Jika cara yang pertama dan kedua tidak memberi apa-apa perubahan kepada isteri, suami
boleh memukulnya dengan tujuan untuk mengajar tetapi bukan untuk mencederakannya.
Cara memukul yang diharuskan ketika terjadi Nusyuz ialah:
1. Tidak keterlaluan sehingga boleh mencederakannya.
2. Tidak memukul di bahagian-bahagian yang sensitif.
3. Memukul dengan tujuan untuk mengajar dan menginsafkannya.
4. Memukul dengan menggunakan alat yang tidak berbahaya.

Hak dan kewajiban suami-istri


Pada dasarnya kebahagiaan sebuah rumah tangga banyak ditentukan oleh pelaksanaan yang baik
dan kewajiban suami istri serta seluruh anggota keluarganya yang saling bertanggung jawab.
Misalnya , suami bertanggung jawab atas istri dan anak-anaknya sesuai dengan sabda Rasulullah
yang artinya Dan jika engkau bepergian dipeliharanya hArta engkau dan dijaganya darinya.
Jadi bila seorang suami sedang melaksanakan tugas, pergi atau dalam perjalanan maka seorang
istri berkewajiban memelihara hartanya.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa Allah SWT mensyariatkan perkawinan karena tujuan
yang tinggi yang tidak mungkin dicapai kecuali apabila pergaulan suami istri dilakukan dengan
baik dengan menjalankan kewajiban masing-masing dengan penuh konsekwen dan istiqomah.
1. Suami harus memberikan mahar pada istrinya dan itu menjadi milik istrinya yang dapat
dipergunakan terhadap apa yang dikehendakinya.
2. Suami wajib memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya.
3. Kewajiban istri adalah memenuhi segala perintah suami , selama sang suami berada dijalan
Allah dan Syariat Islam.
4. Istri tidak boleh durhaka kepada suami, menolak ajakan suami, perpaling dari melayani suami
didalam kehidupan berumah tangga.
5. Istri wajib menjadi selimut Aib , rahasia, kekurangan maupun hal-hal yang bersifat pribadi
termasuk hartanya.

Hak Bersama Suami Istri


1. Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21).
2. Hendaknya saling mempercayai dan memahami sifat masing-masing pasangannya. (An-

Nisa: 19 Al-Hujuraat: 10).


3. Hendaknya menghiasi dengan pergaulan yang harmonis. (An-Nisa: 19)
4. Hendaknya saling menasehati dalam kebaikan. (Muttafaqun Alaih)

Adab Suami Kepada Istri .


1. Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (Ataubah: 24).
2. Seorang istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah clan Rasul-Nya. (AtTaghabun: 14).
3. Hendaknya senantiasa berdoa kepada Allah meminta istri yang sholehah. (AI-Furqan: 74).
4. Diantara kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi nafkah (makan,
pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, Berlaku adil jika beristri lebih dari
satu. (AI-Ghazali).
5. Jika istri berbuat Nusyuz, maka dianjurkan melakukan tindakan berikut ini secara
berurutan: (a) Memberi nasehat, (b) Pisah kamar, (c) Memukul dengan pukulan yang tidak
menyakitkan. (An-Nisa: 34) Nusyuz adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam
hal ketaatan kepada Allah.
6. Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah, yang paling baik akhlaknya dan
paling ramah terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
7. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan hartanya untuk istri dan anaknya.Ath-Thalaq: 7
8. Suami dilarang berlaku kasar terhadap istrinya. (Tirmidzi)
9. Hendaklah jangan selalu mentaati istri dalam kehidupan rumah tangga. Sebaiknya
terkadang menyelisihi mereka. Dalam menyelisihi mereka, ada keberkahan. (Baihaqi, Umar
bin Khattab ra., Hasan Bashri)
10. Suami hendaknya bersabar dalam menghadapi sikap buruk istrinya. (Abu Yala)
11. Suami wajib menggauli istrinya dengan cara yang baik. Dengan penuh kasih sayang, tanpa
kasar dan zhalim. (An-Nisa: 19)
12. Suami wajib memberi makan istrinya apa yang ia makan, memberinya pakaian, tidak
memukul wajahnya, tidak menghinanya, dan tidak berpisah ranjang kecuali dalam rumah
sendiri. (Abu Dawud)

13. Suami wajib selalu memberikan pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan
menyuruhnya untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34, At-Tahrim : 6,
Muttafaqun Alaih)
14. Suami wajib mengajarkan istrinya ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum
haidh, istihadhah, dll.). (AI-Ghazali)
15. Suami wajib berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa: 3)
16. Suami tidak boleh membuka aib istri kepada siapapun. (Nasai)
17. Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada suami), maka suami wajib mendidiknya
dan membawanya kepada ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
18. Jika suami hendak meninggal dunia, maka dianjurkan berwasiat terlebih dahulu kepada
istrinya. (AI-Baqarah: 40)

Adab Isteri Kepada Suami


1. Hendaknya istri menyadari clan menerima dengan ikhlas bahwa kaum laki-Iaki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa: 34)
2. Hendaknya istri menyadari bahwa hak (kedudukan) suami setingkat lebih tinggi daripada
istri. (Al-Baqarah: 228)
3. Istri wajib mentaati suaminya selama bukan kemaksiatan. (An-Nisa: 39)
4. Diantara kewajiban istri terhadap suaminya, ialah:
a. Menyerahkan dirinya
b. Mentaati suami
c. Tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya
d. Tinggal di tempat kediaman yang disediakan suami
e. Menggauli suami dengan baik. (Al-Ghazali)
5. Istri hendaknya selalu memenuhi hajat biologis suaminya, walaupun sedang dalam
kesibukan. (Nasa i, Muttafaqun Alaih)
6. Apabila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur untuk menggaulinya, lalu sang
istri menolaknya, maka penduduk langit akan melaknatnya sehingga suami meridhainya.
(Muslim)
7. Istri hendaknya mendahulukan hak suami atas orang tuanya. Allah swt. mengampuni dosadosa seorang Istri yang mendahulukan hak suaminya daripada hak orang tuanya. (Tirmidzi)
8. Yang sangat penting bagi istri adalah ridha suami. Istri yang meninggal dunia dalam
keridhaan suaminya akan masuk surga. (Ibnu Majah, TIrmidzi)

9. Kepentingan istri mentaati suaminya, telah disabdakan oleh Nabi saw.: Seandainya
dibolehkan sujud sesama manusia, maka aku akan perintahkan istri bersujud kepada
suaminya. (Timidzi)
10. Istri wajib menjaga harta suaminya dengan sebaik-baiknya. (Thabrani)
11. Istri hendaknya senantiasa membuat dirinya selalu menarik di hadapan suami. (Thabrani)
12. Istri wajib menjaga kehormatan suaminya baik di hadapannya atau di belakangnya (saat
suami tidak di rumah). (An-Nisa: 34)
13. Ada empat cobaan berat dalam pernikahan, yaitu: (1) Banyak anak (2) Sedikit harta (3)
Tetangga yang buruk (4) lstri yang berkhianat. (Hasan Al-Bashri)
14. Wanita Mukmin hanya dibolehkan berkabung atas kematian suaminya selama empat bulan
sepuluh hari. (Muttafaqun Alaih)
15. Wanita dan laki-laki mukmin, wajib menundukkan pandangan mereka dan menjaga
kemaluannya. (An-Nur: 30-31)

Anda mungkin juga menyukai