1. Kematian
a. Kematian Istri
Suami yang ditinggal mati oleh istrinya, terputuslah hubungan suami istri seketika sejak
kematian istrinya itu. Dalam artian, boleh bagi suami melakukan hal yang sebelumnya
dilarang ketika masih berstatus terikat tali perkawinan. Seperti: menikahi saudari mendiang
istrinya; menikah lagi dengan untuk menggenapkan empat istri.
Tapi, ada hal yang masih boleh dilakukan suami terhadap mendiang istrinya, yaitu
memandikan jenazahnya.
b. Kematian Suami
Istri yang ditinggal mati oleh suaminya, belum terputus total hubungan pernikahan mereka.
Karena, masih ada masa iddah baginya yang wajib dijalani.
Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari atau sampai melahirkan.
Begitu juga wajib bagi wanita ini untuk ihdad (berkabung) selama masa iddah.
Yang dilakukan wanita dalam masa ihdadnya:
Tidak Menerima lamaran/ pinangan
Tidak keluar rumah/ pindah ke rumah lain.
Tidak memakai wangi wangian
Tidak memakai celak (Berhias pada tubuh)
Tidak memakai pakaian berhias/ menarik dipandang
Tidak memakai perhiasan di tubuh, gelang kalung cincin dll.
2. Talak
Hukum Talak:
Hukumnya wajib: Talak karena adanya perpecahan antara suami istri yang sudah
diputuskan oleh utusan kedua belah pihak bahwa mereka harus bercerai; Talaknya
seseorang yang melakukan ila’ (sumpah tidak akan menggauli istrinya) yang sudah
lebih empat bulan, dan tidak mau bayar kaffarat sumpahnya.
1
Hukumnya haram yaitu talak bid’i (bid’ah); Talak dalam keadaan haid; atau ketika
istrinya suci dari haid tapi sudah pernah digauli.
Hukumnya makruh yaitu talak yang tanpa sebab apa-apa, kedua suami istri dalam
keadaan akur.
Hukumnya sunah, bila si istri tidak memiliki sifat ‘iffah (menjaga kehormatan diri);
atau dikhawatirkan kebersamaan mereka berdua tidak bisa melaksanakan kewajiban
syariat; atau kebersamaan mereka berdua memberi dharar kepada si istri.
Bila suami hendak mentalak istrinya, hendaklah dilakukan di waktu yang diizinkan oleh
syariat (dinamakan talak sunni), yaitu ketika istrinya sudah suci dari haid dan belum
digaulinya.
Talak Raj’i adalah talak yang masih berkesempatan si suami untuk ruju’ ke istrinya selama
masih dalam iddah walaupun tanpa melalui izin si istri.
Talak Bain, suami tidak boleh ruju’ kepada mantan istrinya. Dan ini terbagi menjadi dua:
Bain Shugra dan bain kubra
Perbedaan keduanya: Thalak Bain shugra, si suami tidak bisa ruju’ lagi ke mantan istriya
kecuali dengan akad nikah baru. Sedangkan Bain Kubra, si suami juga tidak bisa ruju’ lagi ke
mantan istrinya, kalau masih ingin melangsungkan akad nikah baru harus melewati beberapa
proses, yaitu mantan istrinya sudah selesai iddah, kemudian menikah dengan laki-laki lain,
kemudian ditalak oleh suami barunya itu, kemudian selesai iddah dari talak tersebut, barulah
si wanita ini boleh nikah kembali dengan mantan suami pertamanya.
Talak bain shughra terjadi pada; talak satu dan dua bila si istri sudah selesai dari iddah; talak
istri yang belum pernah digauli sama sekali.
Lafal talak
Shorih yaitu lafal yang tidak bermakna ganda, maka dengan lafal ini talak jatuh walaupun
tidak ada niat dari suami. Seperti ucapan: “Thalak”, “cerai”
Lafal Kinayah, yaitu lafal yang bermakna ganda (bisa berarti cerai bisa berarti bukan), maka
dengan lafal ini baru talak jatuh bila ada niat cerai dari suami. Seperti: Pulang ke rumah
orang tuamu; kamu bebas dll.
2
Thalak bisa jatuh walaupun tanpa sepengetahuan istri, walaupun bukan di pengadilan
Bila si Istri adalah wanita yang memiliki siklus haid secara rutin, maka iddahnya
adalah selesai dari tiga kali haid dihitung dari saat ditalak.
Bila si Istri adalah wanita yang tidak memiliki siklus haid, baik karena tidak bisa haid
sama sekali ataupun karena sudah menopause. Maka, masa iddahnya adalah selama
tiga bulan.
Bila si istri yang ditalak sedang dalam keadaan hamil, maka masa iddahnya sampai
melahirkan.
3. Khulu’
Khulu’ yang biasa disebut dengan gugat cerai adalah perpisahan antara suami-isteri dengan
pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya.
Diharamkan Khulu’ dan keharaman ini dari sisi suami, yaitu apabila suami sengaja
menyusahkan isteri tanpa ada kesalahan dari si istri, dengan cara memutus hubungan
komunikasi dengannya, atau tidak memberikan hak-haknya dengan tujuan agar sang
isteri menggugat cerai dan membayar tebusan.
Dimakruhkan , jika isteri menggugat cerai padahal hubungan rumah tangga mereka
dalam keadaan tenteram tanpa pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut.
Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya khulu’. Bahkan ada yang
berpendapat, dalam keadaan ini haram minta khulu’.
Dibolehkan (mubah) Khulu’ bila istri sudah benci tinggal bersama suaminya sehingga
ia takut berdosa jika tidak dapat menunaikan hak suaminya.
Diwajibkan minta khulu bila si suami sudah meninggalkan kewajiban Syariat yang
bisa menyebabkan kekufuran, misalnya si suami tidak pernah melakukan shalat,
padahal telah diingatkan.
Ucapan perpisahan/ perceraian dalam proses khulu’ dilakukan oleh suami. Hakim atau qadhi
dalam hal ini bisa ikut andil untuk menentukan diperintahkannya suami untuk khulu atau
tidak.
3
Apabila sudah terjadi khulu dan sudah terjadi serah terima bayaran dari pihak istri ke suami,
maka terjadilah perpisahan yang tidak boleh lagi bagi si suami untuk ruju’ (seperti talak bain
shughra).
Si istri yang dikhulu’, bila ingin menikah lagi dengan laki-laki lain harus menyelesaikan masa
iddahnya.
Jumlah pemberian dari istri kepada suami boleh sebesar mahar atau kurang atau lebih.
4. Fasakh
Fasakh adalah batalnya atau rusaknya hubungan pernikahan.
Kedua: dalam fasakh, suami tidak bisa ruju’ ke istrinya, sedangkan dalam talak masih ada
kesempatan ruju’ dalam talak satu dan dua.
Ketiga: Fasakh tidak ada hitungannya, berapa kalipun bisa terjadi
Keempat: Talak adalah hak suami, tidak perlu keputusan hakim. Sedangkan fasakh terjadi
karena sebab syar’i (adanya keharusan berpisah menurut hukum syariat) ataupun karena
keputusan hakim.
4
Kelima: Talak yang terjadi sebelum digauli, si mantan istri berhak menerima separuh mahar.
Sedangkan fasakh yang terjadi sebelum digauli, maka si mantan istri tidak berhak
mendapatkan mahar apapun.
5. Li’an
Li’an terjadi karena suami menuduh istri berbuat sedangkan dia tidak memiliki empat orang
saksi yang menguatkan tuduhannya itu, sedangkan istri menolak tuduhan dan atau
pengingkaran tersebut.
Tata cara Li’an diatur sebagai berikut:
i. Suami bersumpah empat kali dengan berkata “saya bersaksi dengan nama Allah
bahwa istri saya ini berzina”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata: “laknat Allah
atas dirinya, apabila tuduhan tersebut dusta.”
ii. Istri menolak tuduhan tersebut dengan sumpah empat kali berkata “saya bersaksi
dengan nama Allah bahwa tuduhannya itu tidak benar”, diikuti sumpah kelima
dengan kata-kata: “ Murka Allah atas dirinya, bila tuduhan tersebut benar.”
iii. Lian ini dilakukan di depan hakim
2. Pengharaman selamanya, keduanya dipisahkan dan keduanya tidak boleh menikah kembali
selamanya.
3. Suami istri tersebut terbebas dari hukuman. Si suami terbebas dari hukuman cambukan 80
kali dan si istri terbebas dari hukuman rajam atau cambukan 100 kali.
4. Anak yang lahir dari proses li’an ini dinisbatkan kepada ibunya saja