Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PERKARA PERCERAIAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama
Dosen Pengampu : Fithriyatus Sholihah, S.H.I, M.H

Disusun Oleh :
Lintang Arjunil Wafa 2102016161
Tiara Rizki Febriana 2102016163
M. Rizki Ananda 2102016167

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN WALISONGO
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim atas tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu. Maksudnya adalah UU tidak memperbolehkan
perceraian dengan permufakatan saja antara suami dan isteri. Tuntutan perceraian
harus dimajukan kepada Hakim secara gugat biasa dalam perkara perdata, yang harus
didahului dengan meminta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk
menggugat.
Di dalam UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum
Islam, di kenal 2 macam perceraian, yaitu cerai talaq, dan cerai gugat. Cerai talaq
adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga perkawinan
mereka menjadi putus. Seorang suami yang
bermaksud untuk menceraikannya terlebih dahulu harus mengajukan
permohonan ke pengadilan agama, sedangkan cerai gugat adalah cerai yang
didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan
suaminya menjadi putus. Seorang isteri yang bermaksud bercerai dari suaminya harus
lebih dahulu mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Jika pergaulan suami istri tidak mencapai tujuan perkawinan, maka
akan menimbulkan perpisahan, tidak ada kata sepakat antara suami dan istri, maka
dengan keadilan hukum Allah SWT, jalan keluar dari semua kesulitan ini terbuka,
yaitu pintu perceraian. Semoga dengan adanya jalan ini, akan tercipta ketertiban dan
kedamaian antara kedua belah pihak. Dan masing-masing dari mereka dapat
menemukan pasangan yang cocok dapat mencapai apa yang dicita-citakannya. Tujuan
perceraian ibarat obat dan jalan keluar dari kesulitan yang tidak bisa lagi selain
melalui perceraian. Meskipun demikian talaq masih tetap di benci Allah.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana permohonan cerai talak?
2. Bagaimana cerai gugat (khulu’)?
3. Apa yang dimaksud dengan li’an?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Permohonan Cerai Talak
Talak merupakan suatu bentuk cara memutuskan hubungan perkawinan.Talak
adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan dengan menggunakan lapaz talak
dan sejenisnya. Perceraian juga diartikan sebagai perpisahan suami
dari istrinya dengan alasan diterima syar'i. Talak merupakan perbuatan halal, namun
dibenci oleh Allah swt.
Sedangkan jika berdasarkan KHI atau Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam, talak merupakan ikrar yang dilakukan oleh suami di hadapan pengadilan agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Sehingga bisa disimpulkan,
bahwa talak yang diakui hukum negara merupakan talak yang diucapkan oleh suami
di pengadilan agama.
Aturan hukum mengenai cerai talak sendiri ada pada Pasal 114 KHI yang
menyatakan bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena adanya perceraian yang
bisa terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan cerai.
Agar bisa mengucapkan cerai talak, suami bisa mengajukan permohonan cerai
di pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri beserta alasan agar bisa
dilakukan sidang percerain. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 129 KHI, “Suami yang
akan menjatuhkan talak pada istrinya harus mengajukan permohonan lisan atau
tertulis pada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri dengan alasan
dan meminta supaya diadakan sidang untuk tujuan tersebut”.
B. Cerai Gugat (khulu’)
Al-khulu` berarti meninggalkan dan melepaskan. Salah satu cara melepaskan
ikatan perkawinan yang datangnya dari pihak istri dengan kesediaannya membayar
ganti rugi. Khuluk terkadang dipahami sebagai arti umum, menceraikan dengan
sejumlah harta seperti iwadh oleh istri kepada suaminya untuk menebus dirinya
bahwa ia telah lepas dari ikatan perkawinan. Terkadang juga berarti arti khusus, talak
dasar iwadh sebagai tebusan wanita kata khuluk atau arti seperti mubara'ah.
Definisi ini banyak digunakan oleh para ulama kontemporer. Adapun khuluk
dalam pengertiannya yang khas, menebus cerai dengan lafadz khuluk, pendapat ini
banyak digunakan oleh para ulama salafi. Khuluk adalah perceraian yang didasarkan
pada gugatan pihak istri. Apabila hakim mengabulkannya, penggugat berkewajiban
membayar iwadh, dan talak nya tergolong talak bain. Hal tersebut hanya
bolehdilakukan pada dua keadaan yakni jika dikhawatirkan salah satu dari keduanya
tidak melaksanakan ajaranajaran Allah yakni sesuatu yang difardhukan oleh Allah
dalam pernikahan. Yang kedua, yakni sumpah untuk talak tiga kali atas satu
permasalahan yang wajib baginya maka boleh mengabulkan khuluk wanita tersebut.
Kemudian diperbolehkan mengambil sumpah karena dia hanya dapat melakukan
tindakan pertama.
Dalam KHI pasal 124 disebutkan khuluk harus berdasarkan alasan perceraian
sesuai dengan ketentuan pasal 166. Dalam KHI pasal 166 khuluk dapat terjadi karena
alasan-alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, dan penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman dan penganiayaan berat yang membahayakan
pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Peralihan agama atau murtad.

Kompilasi Hukum Islam membedakan antara cerai gugat dan juga khuluk.
Namun demikian, cerai gugat dan juga khuluk mempunyai kesamaan dan perbedaan
di antara keduanya. Persamaanya adalah keinginan untuk bercerain datangnya dari
pihak istri. Sedangkan perbedaannya adalah perceraian tidak selalu harus membayar
uang tebusan atau iwadh, bahwa dalam khuluk , iwadhlah yang menjadi dasar talak.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa khuluk adalah hak talak
yang istri dengan memberikan tebusan kepada suami bisa berupa pengembalian mahar
atau sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, yang mana tebusan
tersebut selanjutnya disebut iwadh, bertujuan agar suami membebaskan (istri) dari
ikatan perkawinan. Adapun khuluk hanya dapat terjadi jikalau dengan persetujuan
dari pihak suami.

C. Li’an
a. Pengertian Li’an
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami
ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia
termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian
kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta
dalam tuduhannya itu. Seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina tanpa
mendatangkan empat orang saksi, maka suami diharuskan bersumpah empat kali dan
yang kelima kali dilanjutkan dengan menyatakan bersedia menerima laknat Allah
apabila tindakannya itu dusta. Istri yang mendapat tuduhan itu bebas dari hukuman
zina kalau mau bersumpah seperti suami di atas empat kali dan yang kelima kalinya
diteruskan bersedia mendapat laknat Allah bila tuduhan suami itu benar. Sumpah
demikian disebut sumpah li’an. Jika suami menuduh istrinya berzina tapi ia tidak
mengakuinya dan suami tidak pula mau mencabut tuduhannya itu, maka Allah
mengharuskan mereka mengadakan li’an.
b. Rukun dan Syarat Li’an
Rukun pertama yaitu suami. Ditinjau dari segi suami itu adalah orang yang
bersumpah untuk menegakkan kesaksian dan dari segi ia adalah orang yang menuduh
orang lain berbuat zina yang untuk itu patut dikenai sanksi fitnah berbuat zina atau
qazaf, maka suami itu harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Ia adalah seorang yang sudah dikenai beban hukum atau mukallaf, yaitu telah
dewasa, sehat akalnya, dan berbuat dengan kesadaran sendiri. Bila suami itu
belum dewasa, atau tidak sehat akalnya atau dalam keadaan terpaksa, maka
sumpah yang disumpahkannya tidak sah dan bila dia menfitnah pun tidak
dikenai sanksi qazaf, dengan demikian, tidak sah li’an yang dilakukannya.
b. Suami itu adalah muslim, adil, dan tidak pernah dihukum karena qazaf. Ini
adalah persyaratan yang dikemukakan oleh sebagian ulama diantaranya : Al-
Zuhriy, Al-Tsawry, al-Awza’iy, Ulama ahlu ra’yi (Hanafiyah) dan satu
riwayat dari Imam Ahmad, sedangkan Ulama lain diantaranya Imam Malik,
Ishaq, al-Hasan, Said bin al-Musayyab dan Imam Ahmad dalam satu riwayat
tidak mensyaratkan demikian, dengan arti li’an dapat dilakukan oleh orang
yang tidak Islam dan tidak memenuhi syarat adil. (Ibnu Qudamah: 51).
c. Suami tidak mampu mendatangkan saksi empat orang untuk membuktikan
tuduhan zina yang dilemparkannya kepada istrinya. Bila seandainya suami
mempunyai bukti yang lengkap tidak boleh menempuh li’an karena li’an itu
adalah sebagai pengganti tuduhan yang dapat dibuktikan.
Rukun yang kedua yaitu istri. Adapun syarat istri yang harus terpenuhi untuk
sahnya li’an yang diucapkan suaminya adalah sebagai berikut:
a. Ia adalah istri yang masih terkait tali perkawinan dengan suaminya. Karena
li’an itu hanya berlaku diantara suami istri dan tidak berlaku untuk yang lain.
b. Ia adalah seorang mukallaf dalam arti sudah dewasa, sehat akal, dan berbuat
dengan penuh kesadaran. Syarat ini ditetapkan karena istri pun akan
melakukan li’an balik sebagai bantahan terhadap apa yang disampaikan oleh
suaminya.
c. Ia adalah seorang yang muhsan, yaitu bersih dari kemungkinan sifat-sifat yang
tercela yang menyebabkan dia pantas untuk dituduh berzina. Syarat ini
ditentukan karena kalau dia tidak muhsan suami yang menuduhnya tidak
berhak dikenai had qazaf atau ta’zir dan oleh karenanya dia perlu melakukan
li’an.

Adapun syarat li’an yaitu:


1. Sumpah suami sebanyak lima kali, harus bersambung terus, tidak boleh terputus agak
lama.
2. Atas perintah hakim Pengadilan Agama atau wakilnya, sama dengan sumpah dalam
kasus sengketa lain, karena li’an itu lebih banyak dihukumkan sumpah, meskipun
kadang-kadang diartikan juga kesaksian (pembuktian).
3. Hakim mengajari kalimat-kalimatnya kepada suami-istri yang berli’an.
4. Li’an suami menurut ijma’ didahulukan dari li’an istri. Para Ulama ikhtilaf tentang
hukum mendahulukan li’an suami itu.

c. Akibat Hukum Li’an


Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu li’an
menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku
bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai berikut :
a. Gugur had atas istri sebagai had zina.
b. Wajib had atas istri sebagai had zina.
c. Suami istri bercerai untuk selama-lamanya.
d. Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri istrinya.
e. Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya. Perceraian akibat li’an
berlaku untuk selamalamanya. Suami-istri yang berli’an tidak boleh kawin lagi untuk
seumur hidup.
Didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KHUPerdata) menyebutkan:
1. Pasal 280 KUHPerdata: Dengan pengakuan yang dilakukan terhadap seorang anak
luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya.
2. Pasal 281 KUHPerdata: Pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, apabila
yang demikian itu tidak telah dilakukan dalam akta kelahiran si anak atau pada
waktu perkawinan berlangsung, dapat dilakukan dengan tiap-tiap akta otentik.
3. Pasal 284 KUHPerdata: Suatu pengakuan terhadap seorang anak luar kawin,
selama hidup ibunya, pun jika ibu itu, termasuk golongan Indonesia atau golongan
yang dipersamakan dengan itu, tak akan diterima, jika si ibu tidak menyetujuinya.
Didalam KUHPerdata, pada pasal 280, 281 dan pasal 284 di atas, menjelaskan
bahwa jika anak li’an lahir, maka timbullah hubungan perdata antara anak, bapak
dan ibunya. Pengakuan ini harus di catat dalam bukti akta kelahiran yang di buat
oleh pegawai pencatatan sipil. Kemudian, menurut pasal 284, bahwa anak li’an
dapat menjadi hubungan nasabnya dengan bapaknya, jika sang ibunya
mengizinkannya, jika sang ibu tidak mengizinkannya, maka anak tetap di
nasabkan kepada ibunya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Talak merupakan suatu bentuk cara memutuskan hubungan perkawinan.Talak
adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan dengan menggunakan lapaz talak dan
sejenisnya. Sedangkan jika berdasarkan KHI atau Kompilasi Hukum Islam Pasal 117
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 mengenai Penyebarluasan Kompilasi Hukum
Islam, talak merupakan ikrar yang dilakukan oleh suami di hadapan pengadilan agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. 
Khuluk terkadang dipahami sebagai arti umum, menceraikan dengan sejumlah
harta seperti iwadh oleh istri kepada suaminya untuk menebus dirinya bahwa ia telah
lepas dari ikatan perkawinan. Khuluk adalah perceraian yang didasarkan pada gugatan
pihak istri. Yang kedua, yakni sumpah untuk talak tiga kali atas satu permasalahan yang
wajib baginya maka boleh mengabulkan khuluk wanita tersebut.
Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami
ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk
orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai
persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya
itu.
DAFTAR PUSTAKA
Kuzri Ahmad, Perkawinan Sebagai Sebuah Ikatan, (Jakarta : Rajawali Pers,1995)
Rofiq Ahmad, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2015)
Arto, A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017.
A.Rasyid, Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007.

Anda mungkin juga menyukai