Anda di halaman 1dari 12

KHULU’ DAN PENYELESAIANNYA

Amalia Adysti1, Arif Rahman Zulti2, Rudi Azhari3, Sumi Lasiani Br Sembiring4,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

12020126195@student.uin-suska.ac.id

12020115829@student.uin-suska.ac.id

12020115742@student.uin-suska.ac.id

12020126496@student.uin-suska.ac.id

ABSTRAK

Khuluk adalah keagungan syariat islam dalam memperjuangkan hak-hak perempuan,


sehingga jika seorang istri kita sangat tersiksa dan tidak ada lagi raa cinta dan kasih sayang
terhadap suaminya, dia bisa menggugat suami. Khulu‟ adalah perceraian yang disertai dengan
jumlah harta iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus dirinya lepas dari
perkawinan. Hukum islam memberi jalan kepada suami untuk menceraikan istrinya dengan
talak. Khulu‟ di batasi oleh syariat terhindar dari bahaya ketika tidak mampu menegakkan
syariat islam. Dan hikmah khulu‟ adalah menghindari bahaya, yaitu saat terjadinya
pertengkaran yang bergejolak dalam hubungan suami istri sampai tidak bisa lagi bersatu
dalam ikatan rumah tangga, maka khulu‟ di perbolehkan.

Kata kunci: Khulu‟, Iwadh, Perceraian

ABSTRACT

1
Mahasiswi jurusan Hukum Keluarga UIN Sultan Syarif Kasim Riau
2
Ibid.,
3
Ibid.,
4
Ibid.,
Khulu' is the greatness of Islamic law in the fight for women's rights, so that if a wife is very tortured
and there is no longer a sense of love and affection towards her husband, she can divorce her husband,
even though divorce is hated by Allah. Khulu' also is divorce accompanied by a number of property as
iwadh given by the wife to the husband in order to redeem themselves loose from marriage. Islamic
law has given way to a wife who wants a divorce by filing khulu' as Islamic law gives way to the
husband to divorce his wife by talak. Khulu' hated by the shari'ah as well as divorce. All sense and
sense of well being refused khulu‟, and only Allah that allow it to avert danger when it is unable to
enforce Islamic laws. And the wisdom of khulu' is to avoid danger, namely the time of the quarrel that
turmoil in a conjugal relationship until they could no longer united in the bonds of the household, then
khulu‟ allowed.

Keywords: Khulu‟, Iwadh, Divorce

Pendahuluan
Perkawinan adalah salah satu pokok yang utama untuk mengatur kehidupan rumah tangga
dan turunan, yang juga adalah merupakan susunan masyarakat kecil dan nantinya akan
menjadi anggota dalam masyarakat yang luas. Tujuan perkawinan tidak bisa terlepas dari
keberadaan manusia sebagai khalifah Allah di mayapada (baca: dunia) yang bertugas untuk
memakmurkan bumi dalam rangka pengabdian kepadaNya. Di antara tujuan perkawinan itu
adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabi‟at kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan
kasih sayang. Atau yang diistilahkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.5

Seandainya dalam pergaulan antara suami isteri itu tidak dapat terealisasi dengan baik,
maka pergaulan keduanya menjadikan sebab perpisahan antara satu sama lainnya dengan kata
lain akan terjadi perceraian. Disebabkan ketiadaan kesepakatan antara suami dan isteri, maka
dengan keadilan Allah SWT. Dibukakanlah suatu jalan keluar dari segala kesukaran itu, yakni
dengan talak atau perceraian. Dan dalam hukum Islam, talak atau perceraian terjadi karena
terjadinya khulu‟, zhihar, ila dan li‟an.6
Perceraian atau talak adalah putusnya hubungan perkawinan suami dan isteri baik dengan
jalan talak, fasakh, maupun khulu‟, sehingga haram kembali hubungan seksual keduanya

5
Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam DEPAG RI, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, (Jakarta: t.tp, 2001), hal. 14.
6
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 220.
sebelum rujuk atau akad nikah baru dalam suatu perkawinan yang sah di depan pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh karena itu dalam tulisan ini
akan dibahas tentang konsep khulu‟dalam perspektif hukum Islam.
A. Pengertian Khulu’
Khulu’ menurut bahasa, dari kata – - yang berarti melepaskan atau
menanggalkan pakaian, atau yang berarti menanggalkan ia akan sesuatu.
7
Diistilahkan dengan melepaskan pakaian sebab al-Qur‟an memberikan nama bagi suami
sebagai pakaian isteri, sebaliknya isteri sebagai pakaian suami. sebagaimana tertera dalam
surat al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi :

Artinya : Mereka (perempuan) adalah Pakaian bagimu (laki-laki), dan kamupun


adalah Pakaian bagi mereka (perempuan).
Menurut para fuqaha secara umum khulu‟ adalah perceraian dengan disertai sejumlah harta
sebagai iwadh (ganti rugi) yang diberikan istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas
dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu‟ mubara‟ah maupun talak. Khulu‟ secara
khusus yaitu talak atas dasar iwadh(ganti rugi) sebagai tebusan dari istri dengan kata-kata
khulu‟ (pelepasan) atau yang semakna dengan mubara‟ah (pembebasan).8
Terdapat pula beberapa perbedaan tentang defenisi khulu‟ yang dikemukakan oleh para
ulama:
1. Menurut pendapat mazhab Hanafi, Khulu‟ itu melepaskan ikatan perkawinan yang
tergantung kepada permintaan isteri dengan lafaz Khulu‟ atau yang semakna dengannya.
akibat akad ini baru berlaku apabila mendapat persetujuan isteri dan mengisyaratkan
adanya ganti rugi bagi pihak suami.
2. Mazhab Syafi‟i Khulu‟ didefenisikan dengan perceraian antara suami isteri dengan ganti
rugi, baik dengan lafaz Thalak maupun dengan menggunakan lafaz Khulu.
3. mazhab Maliki Khulu‟ ialah mendefenisikan Khulu‟ dengan istilah “Thalak dengan ganti
rugi”, baik datangnya dari isteri maupun dari wali dan orang lain artinya “aspek ganti
rugi sangat menentukan akad ini disamping lafaz Khulu‟ itu sendiri menghendaki
terjadinya perpisahan antara suami dan isteri dengan adanya ganti rugi tersebut, menurut

7
A.W. Munawwir, Al-Munawwir: Kamus arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
hal 361.
8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 220.
pendapat ini apabila yang digunakan adalah lafaz Thalak, maka harus disebutkan ganti
ruginya. Tetapi apabila yang digunakan lafadz Khulu‟ maka tidak perlu disebutkan ganti
rugi, karena lafadz Khulu‟ sudah mengandung pengertian ganti rugi.
4. Mazhab Hambali mendefenisikannya dengan ”tindakan suami menceraikan isterinya
dengan ganti rugi yang diambil dari isteri atau orang lain dengan menggunakan lafaldz
khusus.9
Dari defenisi yang dipaparkan diatas kiranya sudah sangat jelas, dengan demikian penulis
dapat mengambil kesimpulan dari beberapa defenisi yang telah penulis sebutkan diatas
bahwa, khulu‟ merupakan perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atas dasar
kehendak istri dengan catatan pihak istri sanggup membayar ganti rugi (Iwadh) kepada pihak
suami, yang dilakukan atas dasar adanya kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah
pihak dengan menggunakan perkataan “cerai” atau “Khulu‟” dari suaminya”.sedangkan
iwadhnya adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai yang dapat dijadikan sebagai mahar,
serta adanya persetujuan mengenai tebusan yang diberikan pihak isteri kepada suami dan
antara kedua belah pihak bersepakat untuk Melakukan Khulu‟.10
Khulu‟ Dimaksudkan untuk mencegah kesewenangan suami dengan hak talaknya, dan
menyadarkan suami bahwa isteri pun mempunyai hak sama untuk mengakhiri perkawinan.
Artinya dalam situasi tertentu, isteri yang sangat tersiksa akibat ulah suami atau keadaan
suami mempunyai hak menuntut cerai dengan imbalan sesuatu. Bahkan khulu‟ dapat
dimintakan isteri kepada suaminya akibat telah hilangnya perasaan cinta dari isteri kepada
suaminya walaupun suami tidak melakukan suatu perbuatan yang menyakiti isterinya. Hak
yang samanya juga dapat dilakukan suami terhadap isterinya, yaitu manakala suami memang
tidak mempunyai lagi perasaan cinta kepada isterinya dengan menjatuhkan talak.11

B. Dasar Hukum Khulu’


Dalam hal pihak isteri yang tidak melaksaanakan kewajiban-kewajibannya maka suami
dengan hak yang dipunyainya dapat menthalak isterinya, apabila ia berpendapat bahwa ia
tidak sanggup untuk melangsungkan dan melanjutkan perkawinan dengan isterinya itu.
Kemudian sebaliknya apabila yang tidak sanggup itu adalah pihak isteri, maka untuk
melepaskan diri dari tindakantindakan kekejaman suami yang tidak disenanginya dan sudah

9
Fitriah, Proses Penyelesaian Khulu’ di Pengadilan Agama Menurut Perspektif Hukum Islam,
(Pekanbaru : 2014), hal 27-28
10
Wahbah az-Zuhaili, Fiqh Islam , (Jakarta:Gema Insani, 2011), Jilid 9, hal 418-419.
11
, Asy-Syar‟iyyah Vol. 1 No. 1, Juni 2016.hal 223
tidak dapat ditolelir lagi tindakan itu, istri diperbolehkan dan diperkenankan oleh agama
untuk meminta Khulu’ dari suaminya, yaitu isteri menyatakan kepada suami bahwa ia
bersedia membayar sejumlah uang atau barang kepada suaminya (‘iwadh) asalkan suami
berkehendak untuk mengabulkan perceraiannya.12

Para ulama Fiqh mengatakan bahwa Khulu' itu mempunyai tiga hukum tergantung kondisi
dan situasinya. Ketiga hukum dimaksud adalah:
1. Mubah. Isteri boleh-boleh saja untuk mengajukan Khulu' manakala ia merasa tidak
nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat-sifat buruk suaminya,
atau dikhawatirkan tidak memberikan hak-haknya kembali atau karena ia takut ketaatan
kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah.
Dalam kondisi seperti ini, Khulu' bagi si isteri boleh dan sah-sah saja, sebagaimana
firman Allah:

Artinya: "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah: 229).
Demikian juga berdasarkan hadits berikut ini:
Artinya: "Dari Ibnu Abbas, bahwasannya isteri Tsabit bin Qais datang kepada Nabi saw
sambil berkata: "Ya Rasulullah, Saya tidak mendapati kekurangan dari Tsabit bin Qais,
baik akhlak maupun agamanya. Hanya saja, saya takut saya sering kufur (maksudnya
kufur, tidak melaksanakan kewajiban kepada suami dengan baik) dalam Islam.
Rasulullah saw lalu bersabda: "Apakah kamu siap mengembalikan kebunnya?" Wanita
itu menjawab: "Ya, sanggup. Saya akan mengembalikan kebun itu kepadanya".
Rasulullah saw lalu bersabda (kepada Tsabit): "Terimalah kebunnya itu dan ceraikan
dia satu kali cerai". (HR. Bukhari)
2. Haram. Khulu'' bisa haram hukumnya apabila dilakukan dalam dua kondisi berikut ini:
1) Apabila si isteri meminta Khulu' kepada suaminya tanpa ada alasan dan sebab yang
jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat
dijadikan dasar oleh isteri untuk mengajukan Khulu'. Hal ini didasarkan kepada firman
Allah berikut ini:

12
Muhammad Jawal Muqhniyah, Fiqh Lima Mazhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hambali),
terjemahan. Masykur AB dkk, cet-1, (Jakarta: Lentera,2002), hal 456.
Artinya: " Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu
berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri)
tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya
tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" (QS. Al-Baqarah:
229).
Berdasarkan hadits berikut ini :
Tsauban berkata, Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang mana saja yang meminta
cerai kepada suaminya tanpa alasan yang jelas, maka haram baginya untuk mencium
wangi surta" (HR. Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).
2) Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak-hak si isteri dengan
maksud agar si isteri mengajukan Khulu', maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila
Khulu' terjadi, si suami tidak berhak mendapatkan dan mengambil 'iwadh, uang
gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdosa. Dalam hal ini Allah
berfirman:

ARTINYA : Dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil


kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata" (QS. An-Nisa: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti di atas lantaran si isteri berbuat zina misalnya,
maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil 'iwadh
tersebut.
3. Sunnah. Khulu' juga bisa sunnah hukumnya apabila, menurut Hanabilah, si suami tidak
melaksanakan hak-hak Allah, misalnya si suami sudah tidak pernah melaksanakan shalat
wajib, puasa Ramadhan atau yang lainnya, atau apabila si suami melakukan dosa besar,
seperti berzina, nyandu dengan obat-obat terlarang dan lainnya. Sebagian ulama lainnya
menilai bahwa untuk kondisi seperti ini, Khulu' bukan lagi sunnah, akan tetapi wajib
hukumnya.13
4. Wajib. Apabila permintaan istri karena suami tidak mau memberi nafkah, atau menggauli
13
https://www.anekamakalah.com/2012/09/makalah-khulu-gugatan-cerai.html?m=1
istri menjadi tersiksa. Maka hukum khulu‟ pun menjadi wajib.14
Hukum asal khulu‟ ada yang berpendapat haram dan ada yang mengatakan makruh, dan
ada yang mengatakan haram kecuali karena darurat.15
C. Rukun Khulu’
1. Al-mukhala' (yang dikhulu‟ yaitu suami). Syarat suami sah talaknya yaitu baliqh, berakal,
dan berdasarkan pilihan sendiri sebagaimana keterangan dalam talak. Khulu‟ tidak sah dari
seorang suami yang masih anak kecil, suami gila dan terpaksa, seperti talak mereka 16. Dalam
hal ini ada kaidah yang mengatakan: "man jaza thalakuhu, jaza Khulu' uh (Barangsiapa yang
boleh mentalak, boleh juga untuk mengKhulu' nya)".
2. Al-mukhtali'ah (wanita yang mengKhulu', yakni isteri) Bagi isteri yang hendak
mengKhulu'' disyaratkan hal-hal berikut:
A) Hendaknya dia itu adalah isterinya yang sah secara syar'i. Hal ini karena Khulu' bertujuan
untuk mengkahiri ikatan pernikahan, maksudnya posisinya sebagai isteri. Ikatan ini baru
dapat pudar manakala dihasilkan dari pernikahan yang sah. Apabila dari pernikahan yang
tidak sah, maka si isteri tidak ada hak untuk mengajukan Khulu'.
B) Isteri yang mengajukan Khulu' hendaknya orang yang dipandang sah untuk melaksanakan
tasharruf (penggunaan) harta juga dipandang sah untuk berderma. Hal ini dengan melihat
wanita tersebut sudah baligah, berakal dan dapat dipercaya. Apabila wanita tersebut belum
baligh atau orang yang tidak waras akalnya, maka Khulu'nya tidak sah. Karena baik orang
gila maupun anak kecil bukan termasuk orang yang dipandang sah untuk melakukan derma
dan menggunakan hartanya.
3. Iwadh (ganti rugi). Iwadh adalah sejumlah harta yang diambil oleh suami dari isterinya
karena si isteri mengajukan Khulu'. Syarat dari iwadh ini hendaknya harta tersebut layak
untuk dijadikan sebagai mas kawin. Semua hal yang dapat dijadikan mas kawin, maka dapat
pula dijadikan sebagai Iwadh dalam Khulu' (ma jaza an yakuna mahran, jaza an yakuna
badalal Khulu').
4. Shigat Khulu'. Shigat Khulu' maksudnya adalah kata-kata yang harus diucapkan sehingga
terjadinya akad Khulu'. Shigat ini mencakup dua hal, Ijab dari salah satu pihak dan Qabul dari
pihak lainnya. Dengan demikian, Shigat Khulu' ini adalah kata-kata yang dapat digunakan

14
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 224.
15
Ibid., (hal 225).
16
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Munakahat : Khitbah, Nikah dan Talak, (Jakarta: Imprint
Bumi Aksara, 2015), hal 300.
sebagai Ijab Qabul dalam Khulu'. Pada dasarnya, Shigat ini harus dengan kata-kata. Namun,
untuk kondisi yang tidak memungkinkan, seperti karena bisu misalnya, maka shigatnya boleh
dengan isyarat yang dapat dipahami.17
D. Status Khulu’
1. jumhur ulama‟ berpendapat bahwa perceraian yang diakibatkan oleh khulu‟ merupakan
talak bā‟in dan tidak memerlukan keputusan hakim. Dengan demikian, jika pasca
terjadinya khulu‟ kedua pasangan ingin rujuk, maka harus melalui pernikahan baru
sekalipun dalam masa „iddah.18
2. Sebuah riwayat menyebutkan bahwa syafi‟i memasukkannya dalam kategori fasakh.
Riwayat lain dari Imam Syafi‟i menyebutkan bahwa khulu‟ adalah talak kināyah, jika
yang bersangkutan menghendaki talak, maka terhitung talak, jika tidak, maka termasuk
fasakh. Namun, dalam qawl jadīd-nya, ia menyebutnya sebagai talak.19
3. Hambali membaginya menjadi dua. Pertama, jika khulu‟ menggunakan lafaz ṣarīḥ (tegas
dan jelas) seperti khulu‟ atau mufādah, atau yang menggunakan lafaz kināyah seperti
mubāra‟ah dan tidak diniatkan talak, maka statusnya adalah fasakh dan tidak
mempengaruhi bilangan talak. Tetapi jika diniatkan talak, maka statusnya adalah talak. 20
Ulama yang berpendapat bahwa khulu‟ termasuk kategori talak berargumen bahwasanya
fasakh terjadi bukan karena ikhtiyār (pilihan), sementara khulu‟ terjadi akibat pilihan dan
kehendak yang bersangkutan. Oleh sebab itu, ia termasuk kategori talak. Adapun ulama yang
berpendapat bahwa khulu‟ termasuk dalam kategori fasakh mengemukakakan alasan,
bahwasanya Q.S al-baqarah [2]:229 berbicara tentang jumlah talak (yang dapat dirujuk),
yakni dua kali yang dilanjutkan dengan penjelasan tentang khulu‟kemudian dalam ayat
berikutnya (Q.S. al-baqarah [2]:230) al-Qur‟an berbicara tentang talak ke-tiga yang tidak
dapat dirujuk sebelum menikah dengan orang lain Seandainya khulu‟ termasuk talak, berarti
talak yang tidak dapat dirujuk yang disebut dalam ayat berikutnya (Q.S. al-baqarah [2]:230)
bukanlah talak ketiga, melainkan talak keempat. Pendapat ini dibantah oleh jumhur. Dalam
pandangan mereka, ayat tersebut (Q.S. al-baqarah [2]:229) memuat tentang khulu‟ untuk
menunjukkan bahwa khulu‟ termasuk bagian dari talak, bukan sesuatu yang berada di luar
talak. Alasan terakhir yang dikemukakan kelompok ini adalah bahwa fasakh terjadi dengan

17
http://mbahrudisblog.blogspot.com/2009/05/al-khulu-gugatan-cerai-dalam-islam.html
18
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. 4, 3151.
19
Ibnu Rushd, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, 50.
20
al-Zuḥailī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, vol. 4, 3151-2.
dilandasi saling rida antar kedua belah pihak dengan dikiyaskan pada fasakh-nya jual beli,
sementara khulu‟ terjadi karena tuntutan salah satu pihak.21
E. Masa Iddah Wanita Yang Mengajukan Khulu’
Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat. Menurut Jumhur ulama, Iddah
wanita yang mengajukan Khulu' sama dengan Iddahnya wanita yang ditalak yaitu tiga kali
quru', tiga kali haid. Di antara dalilnya adalah:
1. Khulu' adalah talak dan karenanya masuk ke dalam keumuman ayat berikut ini:
َ ‫َو ْان ُم‬
)222 :‫طهَّقَبثُ ٌَخ ََر َّبصْهَ ِبأ َ ْوفُ ِس ِه َّه ث َ ََلثَتَ قُ ُروءٍ (انبقرة‬
Artinya: "Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'"
(QS. Al-Baqarah: 228).
2. Khulu' adalah perceraian setelah dukhul, maka Iddahnya adalah tiga kali haid
sebagaimana dengan yang selain Khulu'.
3. Dalam sebuah riwayat dikatakan:
]‫ عذة انمطهقت)) [رواي مبنك بسىذ صحٍح‬,‫ ((عذحهب أي انمخخهعت‬:‫عه وبفع عه ابه عمر قبل‬
Artinya: Dari Nafi' dari Ibn Umar berkata: "Iddahnya wanita yang mengajukan Khulu' sama
dengan Iddahnya wanita yang ditalak (yaitu tida kali haid)" (HR. Malik dengan sanad
Shahih).
Pendapat kedua mengatakan bahwa Iddahnya adalah satu kali haid. Pendapat ini adalah
pendapatnya Utsman bin Affan, Ibn Umar, Ibn Abbas, Ibn Taimiyyah dan yang lainnya. Di
antara alasannya adalah:
- Dalam sebuah riwayat dikatakan:
‫ ((ال عذة عهٍك إال‬:‫ مبرا عهً مه انعذة؟ فقبل‬:ً‫ اخخهعج مه زوجى ثم جئج عثمبن فسأنخ‬:‫عه انربٍع بىج معىر قبنج‬
]‫أن حكىوى حذٌثت عهذ بً فخمكثى حخى ححٍضى حٍضت)) [رواي ابه أبً شٍبت بسىذ صحٍح‬
Artinya: "Dari ar-Rabi' bint Mu'awwadz berkata: "Saya mengajukan Khulu' dari suami
saya. Lalu saya datang kepada Utsman bin Affan sambil bertanya: "Apa Iddah saya?"
Utsman menjawab: "Tidak ada Iddah bagi kamu kecuali jika kamu tidak menikah lagi
dengannya (dengan suaminya itu), maka tinggallah (ber-Iddahlah) selama satu kali haid)"
(HR. Ibn Abi Syaibah dengan sanad Shahih).
- Demikian juga dengan riwayat berikut:
‫أن امرأة ثببج به قٍس اخخهعج مىً فجعم انىبً ملسو هيلع هللا ىلص عذحهب حٍضت [رواي أبى داود بسىذ‬:ً‫ وحسى‬,‫والبً داودوانخرمذي‬
]‫حسه‬

21
Ibnu Rushd, Bidāyat al-Mujtahid, vol. 2, 50.
Artinya: "dan Bagi Abu Dawud dan Tirmidzi dan ia hasankan, bahwasannya isteri Tsabit
bin Qais mengajukan Khulu'' dari suaminya. Rasulullah saw lalu menjadikan Iddahnya
satu kali haid" (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan).
- Ibnu Qayyim dalam hal ini berkata dalam bukunya Zadul Ma'ad (V/197): "Iddah wanita
yang mengajukan Khulu' satu kali haid, ini lebih mendekati kepada maksud syara. Karena
Iddah itu dijadikan tiga kali haid dengan maksud untuk memperpanjang kesempatan
untuk rujuk, sehingga si suami dapat merujuknya selama masa Iddah tadi. Apabila sudah
tidak ada kesempatan untuk rujuk, maka maksudnya adalah untuk membersihkan rahim
saja (bara'atur rahm) dari kehamilan, dan hal itu cukup dengan satu kali haid saja"22
F. Cara Penyelesaian Khulu’
Mahkamah Agung dalam menangapi masalah penyelesaian perceraian dengan khuluk ini
dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II 2013 151
menyatakan bahwa:
Talak khuluk merupakan gugatan istri untuk bercerai dari suaminya dengan tebusan. Proses
penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus
diputus oleh hakim.
Amar putusan talak khuluk bunyi : “Menjatuhkan talak satu khul'i ( nama---bin---) terhadap
Penggugat ( nama---binti ----) dengan iwadh berupa uang sejumlah Rp-----( tulis dengan
huruf ---). tentang Iwadh tersebut dapat pula berupa uang , rumah atau benda lainnya secara
bersama.
Dari muatan pasal 148 KHI dan perbandingannya dengan pedoman Mahkamah Agung
dalam Buku II 2013 halaman 151 tentu yang tepat dan relistis dalam prosesnya agar
mengikuti petunjuk Mahkamah Agung, karena itu penulisan cerita untuk pasal 148 KHI
meskipun Mahkamah Agung sendiri menggunakan istilah Talak Khuluk, berikut ini tahapan
yang harus dilakukan pihak istri dalam mengajukan perceraian dengan khuluk yaitu :
Diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri, sesuai
dengan peraturan perundangan, istri maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan Agama
untuk melaksanakan sidang pertama. Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka
majelis hakim akan mendamaikan suami istri sesuai dengan pasal 130 HIR dan jika tidak
menyenangkan maka suami istri diperintahkan untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma

22
Muhammad Jawal Muqhniyah, Fiqh Lima Mazhab (Ja’fari, Maliki, Hanafi, Syafi’I, Hambali),
terjemahan. Masykur AB dkk, cet-1, (Jakarta: Lentera,2002), hal 459.
Nomor 01 tahun 2016 tentang proses mediasi di Pengadilan.
Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk menyelesaikan masalahnya
terutama jika ada inisiatif istri untuk melakukan perceraian dengan khuluk karenanya, setelah
tidak berhasil damai, mediator berusaha mengarahkan agar terjadi kesepakatan tentang
tebusannya.
Mediator dilaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim tentang pelaksanaan
mediasi apakah berhasil atau tidak.
Jika masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi maupun dalam
persidangan maka prosesnya dilakukan sebagaimana mestinya memeriksa perkara cerai gugat
dengan tahapan-tahapan jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan
musyawarah hakim untuk membacakan putusan.
Tidak sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung yang langsung berlaku putusannya,
eksekusi dan tidak perlu ada suami sehingga cara seperiti inilah yang dipilih Mahkamah
Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan keputusannya sudah tercapai mengapa harus
ada ikrar mungkin itu pertimbangan Mahkamah Agung kenapa tidak tercapai proses 148 KHI.
23

Kesimpulan
Khulu‟ merupakan perceraian yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya atas dasar
kehendak istri dengan catatan pihak istri sanggup membayar ganti rugi (Iwadh) kepada pihak
suami, yang dilakukan atas dasar adanya kesepakatan dan persetujuan antara kedua belah
pihak dengan menggunakan perkataan “cerai” atau “Khulu‟” dari suaminya”.sedangkan
iwadhnya adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai yang dapat dijadikan sebagai mahar,
serta adanya persetujuan mengenai tebusan yang diberikan pihak isteri kepada suami dan
antara kedua belah pihak bersepakat untuk Melakukan Khulu‟.
Khulu‟ hukumnya boleh menjadi wajib, haram, makruh, dan mubah, sesuai dengan
kondisinya. Hukum asal khulu‟ ada yang berpendapat haram dan ada yang mengatakan
makruh, dan ada yang mengatakan haram kecuali karena darurat.
Ulama yang berpendapat bahwa khulu‟ termasuk kategori talak berargumen bahwasanya
fasakh terjadi bukan karena ikhtiyār (pilihan), sementara khulu‟ terjadi akibat pilihan dan
kehendak yang bersangkutan. Adapun ulama yang berpendapat bahwa khulu‟ termasuk dalam
23
https://www.pa-blitar.go.id/informasi-pengadilan/164-penyelesaian-perceraian-dengan-khulu-dan-
akibat-hukumnya.html
kategori fasakh mengemukakakan alasan, bahwasanya Q.S al-baqarah [2]:229 berbicara
tentang jumlah talak (yang dapat dirujuk), yakni dua kali yang dilanjutkan dengan penjelasan
tentang khulu‟kemudian dalam ayat berikutnya (Q.S. al-baqarah [2]:230) al-Qur‟an berbicara
tentang talak ke-tiga yang tidak dapat dirujuk sebelum menikah dengan orang lain
Seandainya khulu‟ termasuk talak, berarti talak yang tidak dapat dirujuk yang disebut dalam
ayat berikutnya (Q.S. al-baqarah [2]:230) bukanlah talak ketiga, melainkan talak keempat.
Rukun Khulu‟: Al-mukhala' (yang dikhulu‟ yaitu suami), Al-mukhtali'ah (wanita yang
mengKhulu', yakni isteri), Iwadh (ganti rugi), sighat khulu‟.
Proses penyelesaian gugatan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur cerai gugat dan harus
diputus oleh hakim.

Daftar Pustaka .
Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh Islam Wa Adilatuhu. Terj. Abdul Hayyie al- Kattani, dkk. Cet I.
Jakarta: Gema Insani, 2011
Aziz muhammad azzam, Abdul, Fiqh Munakahat : Khitbah, Nikah, Talak, Impirint Bumi
Aksara, Jakarta, 2015
Fitriah, Proses Penyelesaian Khulu‟ di Pengadilan Agama Menurut Perspektif Hukum Islam,
Pekanbaru : 2014
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2008.
http://mbahrudisblog.blogspot.com/2009/05/al-khulu-gugatan-cerai-dalam-islam.html
https://www.pa-blitar.go.id/informasi-pengadilan/164-penyelesaian-perceraian-dengan-khulu-
dan-akibat-hukumnya.html
https://www.anekamakalah.com/2012/09/makalah-khulu-gugatan-cerai.html?m=1
Mughniyyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Lentera, Jakarta, 2008.
Munawwir, A.W., Al-Munawwir: Kamus arab Indonesia, Pustaka Progresif, Surabaya, 1997.
Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muktashid, Darr el-Fikri, Beirut, tth.
Sabiq, Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Daar al-Fikr, Beirut, 1983
Suhendra, Darmiko.Khulu‟ Dalam Persfektif Hukum Islam, Vol. 1 No. 1, Juni 2016.

Anda mungkin juga menyukai