Anda di halaman 1dari 8

KHULU’

1. Definisi
Dalam realitas kehidupan, ternyata putusnya perkawinan semakin lama semakin menjadi
persoalan dalam masyarakat, karena di samping kasus perceraian semakin banyak, sebabnya pun
semakin beragam dan kompleks. Meskipun diizinkan, perceraian tetaplah suatu perbuatan yang
tidak dianjurkan dalam agama, terutama agama Islam yang menganggap perceraian sebagai
“Perkara halal yang paling dibenci”.
Islam memang mengharapkan agar setiap perkawinan akan langgeng, sehingga berbagai
aturan telah ditetapkan untuk menjaga kelanggengan itu. Seperti; dibimbing untuk memilih
pasangan yang baik, diatur akad nikahnya, diatur pula hak dan kewajiban masing-masing
pasangan, dan diajarkan pula tahapan penyelesaian masalah bila terjadi. Namun demikian, Islam
tidak memungkiri bahwa ada pasangan yang mengalami kesulitan dalam kehidupan berumah-
tangga, sehingga kebersamaan tidak lagi mendatangkan kebahagiaan, malah sebaliknya
menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan.
Karena itu, disamping Islam menyuruh memelihara kelanggengan perkawinan, juga
membuka peluang kecil untuk keluar dari kesulitan perkawinan dengan membolehkan perceraian
bila memang keadaan menuntut. Apabila kesulitan itu ada di pihak suami, dan persoalan itu tidak
bisa terselesaikan, maka ia dibolehkan menempuh jalan “cerai talak”. Sebaliknya, apabila istri
yang merasa tersiksa di rumah tangga karena suaminya, maka ia dibenarkan mengajukan
perceraian atau “khulu‘ Hanya saja, di Indonesia kata khulu’ lebih familiar dengan istilah “gugat
cerai” atau perceraian yang dibeli. 
Khulu’ sendiri secara etimologis berarti “melepaskan” dan Khulu’ secara fiqih adalah
permintaan perceraian yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan sejumlah
uang atau barang kepada sang suami agar suami tersebut menceraikan sang istri. Dan dengan
kata lain, Khulu’ adalah perceraian yang dibeli oleh istri.
Dan menurut Wahbah az-Zuhaili, ahli fikih di Universitas Damascus (Suriah), yang
berlaku luas adalah yang dikemukakan ulama Mazhab karena sangat sesuai dengan pengertian
bahasa dari kata khuluk itu sendiri. Singkatnya, sesungguhnya definisi khusus khulu' membuat
hilang berbagai hak istri. Definisi khulu' menurut pendapat mazhab Maliki adalah, talak
dengan 'iwadh, baik talak ini berasal dari istri maupun dari orang lain yang selain istri yang
terdiri dari wali ataupun orang lain, atau talak yang diucapkan dengan lafal khulu'.
2. Faktor Penyebab
Menurut ulama fikih, penyebab terjadinya khuluk antara lain adalah munculnya sikap
suami yang meremehkan istri dan enggan melayani istri hingga senantiasa membawa
pertengkaran. Dalam keadaan seperti ini Islam memberikan jalan keluar bagi rumah tangga
tersebut dengan menempuh jalan khuluk.
Seperti kasus perceraian lainnya, Khulu’ juga memiliki alasan yang sekilas sama, namun
bedanya Khulu’ harus diminta oleh istri dan harus dibayar. Beberapa alasan yang umum tersebut
yaitu mulai dari:
1. Salah satu pihak melakukan zina (berselingkuh), berjudi, mabuk dan penyakit lain yang sukar
disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggakan rumah tangga selama 2 tahun tanpa alasan yang jelas.
3. Salah satu pihak melakukan penganiaayan berat atau kekejaman yang memahayakan pihak yang
lain.
4. Salah satu pihak mengalami penyakit atau kecacatan yang menghalangi pihak tersebut menjalani
kewajibannya sebagai suami/istri.
5. Peralihan agama atau murtadnya suatu suami/istri dlam rumah tangga
6. Teus terjadinya perselisihan antara suami dan istri dan tidak ada lagi harapan hidup rukun.

3. Jenis
Definisi ini menunjukkan bahwa ada dua macam khulu' yaitu: 
Pertama, yaitu yang mayoritas terjadi adalah yang berdasarkan 'iwadh harta yang berarti
istri menyerahkan iwadh (pembayaran) berupa uang atau barang kepada sang suami. Dengan
kata lain, si istri ataupun orang lain memberikan harta kepada si suami agar menalak si istri. Atau
membuat jatuh hak si istri yang harus dipenuhi oleh si suami, maka dengan khulu' ini jatuh
talak. 
Kedua, talak yang terjadi dengan lafal khulu' meskipun tidak berdasarkan 'iwadh apaapa
yang bisa diartikan bahwa suatu Khulu’ tetap berjalan hingga selesai tanpa sang istri membayar
apa-apa namun Khulu’ tersebut disahkan oleh Lafadz. Misalnya si suami berkata kepada si istri,
"Aku khulu' kamu" atau "Kamu terkhulu'."

4. Syarat-syarat Khulu’
Karena Khulu’ merupakan perceraian yang memisahkan 2 insan, maka sebelum
dilaksanakannya Khulu’, kedua suami dan istri harus terlebih dahulu memenuhi syarat-syarat
Khulu’ yang berlaku agar Khulu’ dapat terlaksana dengan sah dan terlaksana dengan baik serta
mengakhiri perselisihan/permasalahan diantara suami dan istri tersebut:
Bagi suami : suami yang akan menceraikan istrinya dalam bentuk khuluk sebagaimana
berlaku dalam talak, adalah seorang yang ucapannya telah diperhitungkan. Syaratnya adalah akil,
baligh, dan bertindak atas kehendaknya sendiri dengan kesengajaan. Bila suami masih belum
dewasa atau siuami dalam keadaan gila , maka yang akan menceraikan dengan khuluk adalah
walinya. Demikian pula bila keadaan seseorang yang dibawah pengampuan (pengawasan) karena
kebodohannya, maka yang menerima permintaan khuluk istri adalah wali.

Bagi istri : ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah suami , dalam arti istrinya 
atau orang yang telah diceraikan , masih berada dalam iddah roj’i. Istri adalah seorang yang telah
dapat bertindak atas harta, karena untuk keperluan pengajuan khuluk ini, harus menyerahkan
harta. Untuk syarat ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada dibawah
pengawasan , dan sudah cerdas bertindak atas harta.

5. Proses Khulu’
Proses perceraian dengan cara Khulu’ terbagi menjadi 2 yaitu berdasarkan KHI
(Kompilasi Hukum Islam) dan juga mengunakan cara perceraian Khuluk’ dari Mahkamah
Agung.
1. KHI
Kompilasi Hukum Islam (KHI) membedakan cerai gugat dengan khulu’. Namun demikian, ia
mempunyai kesamaan dan perbedaan di antara keduanya. Persamaannya adalah:  keinginan
untuk bercerai datangnya dari pihak isteri. Perbedaannya, yaitu cerai gugat tidak selamanya
membayar ‘iwadh (uang tebusan) yang menjadi dasar terjadinya khulu’ atau perceraian.
Khulu’ yang dimaksud, diatur dalam pasal 148 KHI dengan prosedur sebagai berikut:

1. Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khulu‘, menyampaikan


permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan
atau alasan-alasannya.
2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk
didengar keterangannya masing-masing.
3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khulu‘,
dan memberikan nasehat-nasehatnya.
4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya ‘iwadl atau tebusan, maka Pengadilan
Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan
sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan
kasasi.
5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat 4 yang
berbunyi “Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung
sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum
yang tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang tetap
utuh.”
6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau ‘iwadl, Pengadilan Agama
memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.
2. Mahkamah Agung
Yang membedakan proses Khulu’ Mahkamah Agung dan KHI sebenarnya cukup jelas. Yaitu
KHI mengedepankan aspek akidah dan hukum secara Islam dan Mahkamah Agung lebih
menekankan kepada hukum negara dalam penyelesaiannya dan keterlibatan pihak lebih banyak
dari cara KHI. Berikut adalah proses menurut mahkamah agung.

1. Setelah gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal
istri, sesuai dengan peraturan perundangan, istri maupun suami akan dipanggil oleh Pengadilan
Agama untuk melaksanakan sidang pertama.

2. Dalam sidang pertama jika suami istri hadir , maka majelis hakim akan mendamaikan suami istri
sesuai maksud pasal 130 HIR dan kalau tidak berhasil damai maka suami istri diperintahkan
untuk mengikuti proses mediasi sesuai Perma Nomor 01 tahun 2016 tentang proses mediasi di
Pengadilan.
3. Dalam mediasi harus ada iktikad baik dari suami istri untuk menyelesaikan masalahnya terutama
kalau ada inisiatif istri untuk melakukan perceraian dengan khuluk karenanya,  setelah tidak
berhasil damai,  mediator berusaha mengarahkan agar terjadi kesepakatan tentang tebusannya.

4. Mediator melaporkan secara tertulis kepada ketua majelis hakim tentang pelaksanaan mediasi
apakah berhasil atau tidak.

5. Kalau masalah tebusan tidak terjadi sekepakatan baik dalam mediasi maupun dalam persidangan
maka prosesnya dilakukan sebagaimana memeriksa perkara cerai gugat dengan tahapan-tahapan
jawab menjawab, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan dan musyawarah hakim untuk
membacakan putusan.

6. Berbeda dengan  penyelesaian menurut Mahkamah Agung yang langsung memberlakukan


putusannya,  memudahkan eksekusi dan tidak perlu ada ketergantungan suami sehingga cara
seperiti inilah yang telah dipilih Mahkamah Agung, kan sudah jelas tujuan perceraian dengan
khuluk sudah tercapai kenapa harus ada ikrar suami itulah mungkin pertimbangan Mahkamah
Agung kenapa mengesampingkan proses.

6. Hukum Khulu’
Sama seperti halnya pernikahan, Khulu’ pun memiliki hukumnya sendiri
berdasarkan ayat Al-Qur’an, Hadist, Haram serta wajib serta kapan dan apa sebab
terjadinya hukum-hukum yang berlaku tersebut. Tapi terlebih dahulu kita bahas
tentang hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.

1- Ayat Al-Qur’an

‫َت بِ ِه تِ ْلكَ حُ دُو ُد هَّللا ِ فَاَل تَ ْعتَدُوهَا‬


ْ ‫فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum

Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk

menebus dirinya” (QS. Al Baqarah: 229).


Bayaran ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang

menunjukkan dibolehkannya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu

dijalankan. (Tafsir As Sa’di, hal. 93).

2- Dalil dari hadits

‫ُول‬ ْ َ‫س ِإلَى النَّبِ ِّى – صلى هللا عليه وسلم – فَقَال‬
َ ‫ت يَا َرس‬ ٍ ‫ْس ْب ِن َش َّما‬ ِ ِ‫ت ا ْم َرَأةُ ثَاب‬
ِ ‫ت ْب ِن قَي‬ ِ ‫س رضى هللا عنهما قَا َل َجا َء‬
ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬
» ُ‫ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا ِ – صلى هللا عليه وسلم – « فَتَ ُر ِّدينَ َعلَ ْي ِه َح ِديقَتَه‬. ‫ ِإالَّ َأنِّى َأخَافُ ْال ُك ْف َر‬، ‫ق‬ ٍ ِ‫هَّللا ِ َما َأ ْنقِ ُم َعلَى ثَاب‬
ٍ ُ‫ت فِى ِدي ٍن َوالَ ُخل‬
‫ َوَأ َم َرهُ فَفَا َرقَهَا‬، ‫ت َعلَ ْي ِه‬
ْ ‫ فَ َر َّد‬. ‫ت نَ َع ْم‬
ْ َ‫ فَقَال‬.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa istri Tsabit bin Qais bin Syammas

pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata pada beliau shallallahu ‘alaihi

wa sallam, “Wahai Rasulullahm aku tidaklah menjelekkan agama dan akhlak Tsabit. Namun aku

cuma khawatir jadi kufur.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu

kembalikanlah kebun miliknya.” Istrinya menjawab, “Iya kalau begitu.” Istrinya pun

mengembalikan kebun tersebut pada Tsabit. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun

memerintah pada Tsabit, akhirnya mereka berdua berpisah. (HR. Bukhari no. 5276).

3. Mubah (Diperbolehkan).

Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan

takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-

batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah

Subhanahu wa Ta’ala.

ْ ‫فَِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل يُقِي َما ُحدُو َد هَّللا ِ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ْي ِه َما فِي َما ا ْفتَد‬
‫َت بِ ِه‬
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum

Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk

menebus dirinya” [Al-Baqarah /2 : 229]

4. Haram

a). Dari Sisi Suami.

Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan

sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan

kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan

kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan

dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

ِ َ‫ْض َما آتَ ْيتُ ُموه َُّن ِإاَّل َأ ْن يَْأتِينَ بِف‬


‫اح َش ٍة ُمبَيِّنَ ٍة‬ ِ ‫ضلُوه َُّن لِت َْذهَبُوا بِبَع‬
ُ ‫َواَل تَ ْع‬

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari

apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang

nyata” [An-Nisa/4 : 19]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut.

Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan

dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas”[13]

b). Dari Sisi Isteri

Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi

perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan
syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah

Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

‫س فَ َح َرا ٌم َعلَ ْيهَا َراِئ َحةُ ْال َجنَّ ِة‬


ٍ ْ‫ت َزوْ َجهَا طَالَقًا فِي َغي ِْر َما بَا‬
ْ َ‫َأيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة َسَأل‬

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram

baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan

Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035]

5. Sunnah

Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri

disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal.

6. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya
terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan
Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat
menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita
tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau
mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga
kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari
suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak
patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur.

Anda mungkin juga menyukai