Anda di halaman 1dari 7

Nama : Namira Salsabila

NIM : 19808144046

Kelas : Manajemen F19

RESUME PAI BAB TENTANG PERNIKAHAN DALAM ISLAM

 Konsep Pernikahan Dalam Islam


Pernikahan dalam islam diartikan sebagai menyatunya sepasang laki-laki dan
perempuan melalui akad nikah dengan syarat dan rukun nikah yang berlaku.
Pernikahan dalam UU pernikahan dijelaskan sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki
dan perempuan dengan tujuan membentuk rumah tangga berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Sedangkan dalam hukum islam, pernikahan merupakan ibadah
dalam melaksanakannya dan untuk mentaati perintah Allah. Konsep pernikahan
dalam islam dijelaskan dalam surat Ar-Ruum/30 : 30. Konsep-konsep pernikahan
dalam islam antara lain sebagai berikut :
1. Islam menganjurkan menikah
Dengan menikah, maka seseorang telah memenuhi separuh dari agamanya.
Hal tersebut diriwayatkan dalam Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim.
2. Islam tidak menyukai membujang
Rasulullah memerintahkan untuk menikah dan tidak melarang keras kepada
orang yang tidak mau menikah.
3. Tata cara pernikahan dalam islam
a) Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan menikahi seorang muslimah hendaknya
meminang terlebih dahulu, dan dalam islam melarang seorang muslim
meminang wanita yang sedang dipinang orang lain.
b) Akad Nikah
Adanya suka sama suka, Ijab qubul, mahar, wali, dan saksi-saksi.
c) Walimah
Hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin serta
hendaknya mengundang orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin.
 Hukum Pernikahan Dalam Islam
Hukum pernikahan dalam islam dapat digolongkan dalam 5 kategori yaitu wajib,
sunnah, haram, makruh, dan mubah. Hukum tersebut digolongkan berdasarkan
keadaan dan kemampuan seseorang untuk menikah.
a) Wajib
Wajib hukumnya jika seseorang memiliki kemampuan untuk
membangun rumah tangga serta tidak dapat menahan dirinya daari hal
yang menjurus pada perbuatan zina.
b) Sunnah
Hukumnya sunnah jika seseorang memiliki kemampuan untuk
menikah atau sudah siap untuk membangun rumah tangga akan tetapi
ia dapat menahan dirinya dari sesuatu yang mampu menjerumuskannya
dalam perbuatan zina
c) Haram
Hukumnya haram jika dilaksanakan oleh orang yang tidak memiliki
kemampuan atau tanggung jawab untuk memulai suatu kehidupan
rumah tangga. Jenis pernikahan yang diharamkan dalam islam adalah
pernikahan sedarah dan pernikahan beda agama.
d) Makruh
Hukumnya makruh jika dilaksanakan oleh orang yang memiliki cukup
kemampuan untuk berumah tangga serta dapat menahan dirinya dari
perbuatan zina.
e) Mubah
Hukumnya mubah atau boleh dilaksanakan jika seseorang memiliki
kemampuan untuk menikah namun dapat tergelincir dalam perbuatan
zina jika tidak melakukannnya atau menikah hanya untuk memenuhi
syahwatnya saja.

 Hukum Pernikahan di Indonesia


1. Hukum Pernikahan Adat
Hukum perkawinan adat hanya berlaku bagi orang-orang indonesia asli.
Menurut hukum adat, perkawinan bukan hanya mengenai orang-orang yang
bersangkutan (sebagai suami istri), namun juga kepentingan seluruh keluarga
dan bahkan masyarakat adat. Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat
untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan
atau keibuan atau keibu bapakan, untuk kebahagian rumah keluarga/kerabat,
untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk
mempertahankan kewarisan (Hilman Hadikusuma, 1990: 23).
2. Hukum Pernikahan Islam
Hukum perkawinan Islam berlaku bagi orang-orang indonesia asli yang
beragama islam.

 Tujuan Pernikahan Dalam Islam


1. Menjaga diri dari perbuatan maksiat.
2. Mengamalkan ajaran Rasulullah SAW.
3. Memperbanyak jumlah umat Islam.
4. Mendapat kenyamanan.
5. Membina Rumah Tangga Yang Islami & Menerapkan Syari’at.
6. Untuk membentengi akhlak.
7. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
8. Untuk mendapatkan keturunan yang saleh.

 Hukum Perceraian Dalam Islam


“Perceraian” dalam istilah ahli fiqh disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka
ikatan, “membatalkan perjanjian”. Furqah berarti bercerai lawan dari usyrah yang
berarti berkumpul. Kedua makna ini dijadikan istilah oleh ahli fiqh yang berarti
perceraian antara suami istri. Perceraian merupakan suatu hal yang sedapat mungkin
untuk dihindari, kecuali dalam keadaan terpaksa.
1. Dasar Hukum Perceraian
a) Dasar Al-Quran, meliputi :
 Surat Al-Talaq ayat 1
 Surat Al-Baqarah ayat 227
b) Dasar Hadis
 Hadis Riwayat Abu Dawud
2. Macam dan Bentuk Perceraian
a) Macam-macam Perceraian
Dalam pasal 38 Undang-Undang Pernikahan menyatakan pernikahan
dapat putus karena :
 Kematian
 Perceraian
 Keputusan pengadilan

Perceraian ditinjau dari segi keadaan istri pada waktu talak itu diucapkan oleh
suami, ada dua macam :
 Talak Sunni, suami saat menjatuhkan talak kepada istrinya, istri
tidak dalam keadaan haid.
 Talak Bid'iy, suami menjatuhkan talak kepada istrinya saat
dalam keadaan istri sedang haid.
Perceraian ditinjau dari segi jelas tidaknya lafad talak dibagi menjadi dua
macam, yaitu :

 Talak shorih, talak yang di ucapkan dengan lafadh yang jelas


maknanya tentang perceraian.
 Talak Kinayah, talak yang diucapkan dengan lafadh tidak jelas
atau dengan melalui sindiran.

Sedangkan perceraian yang ditinjau dari segi akibat menjatuhkannya dibagi


menjadi dua macam, yaitu:

 Talak Ba’in, Talak yang tidak dapat dirujuk kembali. Talak


ba’in juga dibagi menjadi dua bagian yaitu:
 Talak ba’in sughra, Talak yang telah dijatuhkan oleh
suami kepada istrinya yang tidak dapat dirujuk kembali.
 Talak ba’in kubra, Talak yang berakibat hilangnya hak
bekas suami untuk merujuk dalam masa iddah maupun
sesudah masa iddah habis.
 Talak Raj'I, talak yang suami memiliki hak untuk kembali
kepada istrinya tanpa melalui akad nikah baru.
b) Bentuk-bentuk perceraian
Ditinjau dari segi tata cara di pengadilan agama, maka bentuk
perceraian dibedakan dua macam, yaitu:
 Cerai Talak, putusnya perkawinan dengan alasan tertentu
dikehendaki suami.
 Cerai Gugat, putusnya perkawinan dengan gugatan perceraian
yang dilakukan oleh istri.
c) Gugat Cerai Istri
 Fasakh, pengajuan cerai tanpa adanya kompensasi dari istri ke
suami akibat beberapa perkara.
 Khulu’, perceraian yang merupakan buah kesepakatan antara
suami dan istri dengan adanya pemberian sejumlah harta dari
istri kepada suami.
d) Hukum Perceraian
 Perceraian Wajib, perceraian bisa memiliki hukum wajib, jika
pasangan suami istri tersebut tidak lagi bisa berdamai.
 Perceraian Sunah, perceraian menjadi sunnah hukumnya adalah
ketika seorang suami tidak mampu menanggung kebutuhan
istrinya.
 Perceraian Makruh, suami tidak memiliki sebab yang jelas
mengapa harus menceraikan istrinya, jika rumah tangga mereka
sebenarnya masih bisa diselamatkan.
 Perceraian Mubah, suami sudah tidak lagi memiliki keinginan
nafsunya atau ketika istri belum datang haid atau telah putus
haidnya.
 Perceraian Haram, seorang suami menceraikan istrinya pada
saat si istri sedang haid atau nifas.
e) Rukun Perceraian
 Rukun Perceraian untuk Suami
Perceraian akan menjadi sah, apabila seorang suami berakal
sehat, baligh dan dengan kemauan sendiri.
 Rukun Perceraian untuk Istri
Seorang istri akan sah perceraiannya, jika akad nikahnya
dengan suami sah dan dia belum diceraikan dengan talak tiga
oleh suaminya.
 Hak Anak Dalam Agama Islam
a) Hak Mendapatkan Perlindungan
b) Hak untuk Hidup dan Tumbuh-kembang
c) Hak Mendapatkan Pendidikan
d) Hak Mendapatkan Nafkah dan Waris
e) Hak Mendapatkan Perlakuan

 Hak Waris Dalam Islam


Bentuk warisan tersebut bisa bermacam-macam, antara lain pusaka, surat wasiat, dan
harta. Biasanya dibuat ketika pemilik masih hidup, lalu dibagikan ketika ia meninggal
dunia. Jika wujud warisan tersebut berupa harta, ada dua jenis yang bisa dibagikan
kepada ahli waris.Pertama adalah harta bergerak—berupa kendaraan, sertifikat
deposito, dan logam mulia.Sebaliknya, kekayaan tidak bergerak berbentuk rumah,
tanah, serta utang.
a) Dasar Hukum Waris
Hukum waris dalam ilmu hukum merujuk pada ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pengaturan mengenai
hukum waris tersebut dapat dijumpai dalam pasal 830 sampai dengan pasal
1130 KUH Perdata.
b) Cara mendapat warisan dalam KUH Perdata
 Secara ab intestato (ahli waris menurut undang-undang), yang
berhak menerima bagian warisan adalah para keluarga sedarah,
baik sah maupun di luar kawin dan suami atau isteri yang hidup
terlama.
 Secara testamentair (ahli waris karena ditunjuk dalam suatu
wasiat = testamen ), pemilik kekayaan membuat wasiat dimana
para ahli warisnya ditunjuk dalam suatu wasiat/testamen.
c) Asas-asas Hukum Kewarisan KUH Perdata
 Adanya Saisine bagi ahli waris
 Asas Kematian
 Asas Individual
 Asas Bilateral
 Asas Penderajatan
d) Unsur – Unsur dalam Hukum Harta Waris
 Pewaris
Pewaris merupakan sebutan untuk orang yang memberikan warisan.
pemberian warisan tidak hanya berupa harta, tetapi juga utang dan
berbagai kewajiban lainnya kepada ahli waris. Menurut Islam, syarat
kematian pewaris ada tiga, yaitu hakiki, hukmi, dan taqdiry. Pewaris
disebut mati hakiki apabila kematiannya bisa dibuktikan dan
disaksikan oleh minimal dua orang.
 Terdapat Harta Warisan
Unsur berikutnya dalam pewarisan adalah harta murni dari pewaris.
Harta tersebut meliputi semua kekayaan yang dimiliki oleh pemberi
warisan sejak masih hidup sampai dengan meninggal dunia.
 Ada Ahli Warisnya
Ahli waris dimaknai sebagai penerima harta warisan yang sah secara
hukum berdasarkan amanat pemiliknya.

Ahli waris menurut hukum waris adat dibedakan dalam tiga sistem
kekeluargaan, yaitu patrilineal, matrilineal dan parental. Ahli waris dalam sistem
patrilineal ini yaitu sebagai berikut :

 Anak laki-laki
 Anak angkat
 Ayah dan ibu serta saudara-saudara sekandung
 Keluarga terdekat dalam derajat tidak tertentu
 Persekutuan adat
Ahli waris dalam sistem kekeluargaan parental adalah anak laki-laki
dan anak perempuan dengan hak yang sama atas harta warisan dari
orang tuanya, sebagai berikut :
 Anak laki-laki dan anak perempuan
 Orang tua apabila tidak ada anak
 Saudara-saudara apabila tidak ada orang tua
 Apabila tidak ada ahli waris, harta warisan diserahkan ke desa
 Anak angkat hanya berhak mewarisi harta pencaharian dari
orang tua angkatnya

Anda mungkin juga menyukai