Muamalah sendiri adalah tuntunan hidup manusia sebagai makhluk psiko-fisik yang berada di tengah manusia lainnya, merangkum seluruh dimensi sosial manusia termasuk aspek ekonomi, bisnis, tata niaga, politik dan budaya, disamping aspek perkawinan, pewarisan, hukum-hukum publik dan sebagainya. Sebagai pegangan utama dalam pelaksanaan muamalah adalah, bahwa suatu bentuk muamalah boleh dilakukan, sepanjang tidak ada naskah (teks Al-Quran atau Hadits) yang melarangnya. Ketentuan ini dikaitkan dengan kaidah ibadah ghoir mahdlah yaitu semua boleh dilakukan, kecuali yang dilarang Allah dan RasulNya 1. Pernikahan Dalam Islam (Munakahat) a. Kedudukan dan Hukum Pernikahan Manusia sebagai makhluk psiko-fisik dituntut untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan yang berkenaan dengan tuntutan fisiknya maupun tuntutan kebutuhan ruhaninya. Kebutuhan-kebutuhan itu telah Allah sediakan di dunia ini, pemenuhan kebutuhan hidup berlandaskan syari’at sehingga dapat memelihara kehormatan manusia sebagai makhluk Allah yang paling mulia dan menghindarkannya dari dosa dan kehinaan. Tujuan pernikahan adalah sakinah, yaitu terwujudnya ketenangan dan kelapangan jiwa, keleluasaan hidup dan kehidupan, dan terpenuhinya kebutuhan fitrah jasmani dan rohani. Pernikahan sendiri hukumnya adalah sunna rasul, tetapi dilihat dari niat dan kasus yang terjadi, pernikahan digolongkan menjadi lima hukum, yaitu : 1. Wajib, bagi orang yang telah berkeinginan untuk menikah, mampu menanggu risiko dan tanggung jawa serta merasa khawatir dirinya terjerumus ke dalam dosa zina. 2. Sunnah, bagi orang yang berkeinginan untuk menikah, mampu menanggung risiko dan tanggung jawab, tetapi ia tidak khawatir dirinya terjerumus ke dalam dosa zina. 3. Haram, bagi orang yang mengetahui dirinya tidak mampu hidup berumah tangga, melaksanakan kewajibannya sebagi suami-istri dan juga memiliki tujuan ingin menyakiti suami atau istrinya 4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah dann pelayanan selayaknya, sementara ia sendiri belum mempunyai keinginan menikah 5. Mubah, bagi orang yang berkeinginan menikah, tapi mampu menjaga dirinya dari dosa zina.
Fungsi dari pernikahan adalah;
1) Mempertahankan keturunan dalam rangka mendekatkan (taqarrub) kepada Allah, membentengi diri dari dorongan syahwat yang illegal (zina), 2) menenangkan hati, 3) mengatur dan menertibkan hidup melalui istri shalihah. b. Pra Penikahan 1) Memilih calon pasangan Islam mengajarkan aga orang yang ingin berkeluarga memilih calon pasangannya dengan pertimbangan yang matang dan menjadikan agama sebagai bahan pertimbangan utama. 2) Meminang Meminang adalah menunjukkan atau menyatakan permintaan untuk penjodohan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya baik secara langsung maupun tidak langsung(perantara seseorang yang dipercayai). Hukumnya sendiri mubah. Meminang sendiri diperbolehkan dengan syarat perempuanya itu tidak bersuami, tidak dalam keadaan thalak raj’i dan dibawah pinangan orang lain. 3) Perempuan yang haram dinikahi (muhrim) a) Yang haram dinikahi selamanya i. Dengan sebab pertalian saudara atau nashab a. Ibu, termasuk nenek dari ibu dan bapak dan seterusnya ke atas, b. Anak perempuan termasuk cucu-cucu perempuan terus ke bawah, c. Saudara perempuan kandung, seayah atau seibu d. Saudara perempuan bapak, baik kandung maupun seayah atau seibu e. Saudara perempuan ibu, baik kandung maupun seayah atau seibu f. Anak perempuan saudara laki-laki (keponakan), dan g. Anak perempuan saudara perempuan ii. Dengan sebab tali pernikahan a. Ibu istri (mertua perempuan) termasuk mertua tiri, b. Anak istri (anak tiri), jika istri telah digauli, c. Istri anak (menantu) termasuk bekas mantu d. Istri bapak (ibu tiri) termasuk bila sudah cerai iii. Dengan sebab pertalian susuan a. Perempuan yang menyusui (ibu susuan) b. Saudara-saudara persusuan, baik kandung. Seayah maupun seibu. b) Yang haram dinikahi sementara 1) Perempuan yang masih berada didalam ikatan pernikahan 2) Thalaq bain kubra 3) Menghimpun dua orang perempuan bersaudara 4) Menghimpun perempuan lebih dari empat 5) Berlainan agama c. Pelaksanaan Pernikahan Syarat-syarat pelaksanaan pernikahan, yaitu : 1) Adanya wali Orang yang bertanggung jawab untuk mengawinka anak gadisnya. Syarat wali, yaitu: laki-laki, Islam, baligh, merdeka, adil, berakal, dan tidak sedang melaksanakan ihram. 2) Sighat nikah atau ijab kabul Penyerahan dari wali perempuan dan penermaan dari pihak pengantin laki-laki 3) Saksi Dua orang laki-laki yang menjadi saksi pernikahan dan bertanggung jawab sah dan tidaknya suatu aqad nikah yang dilaksanakan, dengan syarat saksi : beragama islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, adil. 4) Mas Kawin (mahar) Pemberian laki-laki kepadan perempuan saat pernikahan. Mahar adalah milik perempuan yang tidak isa diminta kembali oleh suaminya, kecuali kalau istrinya merelakannya. d. Putusnya Aqad Pernikahan Putusnya tali pernikahan disebabkan oleh: 1) Kematian Bila salah seorang dia antara suami istri meninggal dunia, maka putuslah ikatan pernikahannya. 2) Thalaq Memutuskan ikatan pernikahan. Talak ini hanya bisa dilakukan oleh seorang suami. Macam-macam Talak : a) Talak raj’i adalah talak, di mana suami boleh merujuk isterinya pada waktu iddah. Talak raj’i ialah talak satu atau talak dua yang tidak disertai uang ‘iwald dari pihak isteri. b) Talak ba’in, ialah talak yang tidak membolehkan rujuk kembali kecuali dengan pernikaha baru. c) Talak sunni,. talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci dan belum dicampuri. d) Talak bid’i, ialah talak yang dijatuhkan suamni ketika istri dalam keadaan haid atau keadaan suci dan telah dicampuri. 3) Khuluk Perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang menginginkan cerai dengan khuluk itu. 4) Syiqaq Perceraian yang diakibatkan oleh pertengkaran diantara suami-istri yang tidak dapat didamaikan lagi. 5) Fasakh Perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama. 6) Pelanggaran Taklik Talak Talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dahulu. a. Meninggalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut; b. Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya; c. Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;\ d. Atau saya membiarkan/tidak memperdulikan isteri saya itu enam bulan lamanya. 7) Ila’ Sumpah untuk tidak bercampur dengan istrinya 8) Zhihar Seorang suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan ibu kandungnya. 9) Li’an Seorang suami yang menuduh istrinya berzina kemudian ia bersumpah akan dilaknat apa bila berbohong. e. Iddah Iddah adalah masa menunggu bagi perempuan yang diceraikan atau ditinggal mati oleh suaminya untuk dapat menikah lagi dengan laki-laki lain. 1) Iddah kematian Isteri yang ditinggal mati suaminya harus menjalani masa iddahnya sebagai berikut: a) Bagi isteri yang tidak sedang mengandung, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. b) Bagi isteri yang sedang mengandung iddahnya adalah sampai melahirkan. 2) Iddah talak Isteri yang bercerai dengan suaminya dengan jalan talak, iddahnya dalah sebagai berikut: a) Untuk isteri yang dicerai dalam keadaan mengandung maka iddahnya adalah sampai melahirkan kandungannya. b) Istri yang masih mengalami haid (menstruasi), iddahnya adalah tiga kali suci; termasuk suci pada saat terjadi talak, asal sebelumnya tidak dilakukan hubungan suami-isteri (QS. Al-Baqarah : 228). c) Isteri yang tidak pernah atau tidak dapat lagi mengalami haid iddahnya adalah tiga bulan. d) Bagi isteri yang belum pernah dikumpuli dan kemudian ditalak, isteri tersebut tidak perlu menjalani masa iddah f. Hikmah Pernikahan 1. Menikah akan meninggikan harkat dan martabat manusia. Menikah menjadikan harkat dan martabat manusia-manusia yang menjalaninya menjadi lebih mulia dan terhormat. Manusia secara jelas akan berbeda dengan binatang apabila ia mampu menjaga hawa nafsunya melalui pernikahan. 2. Menikah memuliakan kaum wanita. Banyak wanita-wanita yang pada akhirnya terjerumus pada kehidupan hitam hanya karena diawali oleh kegagalan menikah dengan orang-orang yang menyakiti kehidupan mereka. Menikah dapat memuliakan kaum wanita. Mereka akan ditempatkan sebagai ratu dan permaisuri dalam keluarganya. 3. Menikah adalah cara untuk melanjutkan keturunan. Pasangan yang shaleh diharapkan mampu melanjutkan keturunan yang shaleh pula. Dari anak-anak yang shaleh ini akan tercipta sebuah keluarga shaleh, selanjutnya menjadi awal bagi terbentuknya kelompok-kelompok masyarkat yang shaleh sebagai cikal bakal kebangkitan Islam di masa mendatang. 4. Wujud kecintaan Allah SWT. Pada mahkluk-NYa untuk dapat menyalurkan kebutuhan biologis secara terhormat dan baik. Dia memberikan cara kepada mahkluk-Nya untuk dapat memenuhi kebutuhan manusiawi seorang mahkluk. Di dalam wujud kecintaan itu, dilimpahkan banyak keberkahan dan kebahagiaan hidup yang dirasakan melalui adanya tali pernikahan. Allah menjadikan mahkluk-Nya berpasang- pasangan dan ditumbuhkan padanya satu sama lain rasa cinta dan kasih sayang. B. Hukum Waris Peraturan tentang pembagian harta peninggalan (pusaka) ini dinamai hokum waris atau hukum faraidl. Faraidl dalam istilah mawaris dikhususkan untuk suatu bagian ahli waris yang telah ditentukan besar kecilnya oleh syara’, sedangkan ilmu faraidl dita’rifkan sebagai berikut : “ilmu fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka”. Berkenan dengan pengurusan harta peninggalan apabila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda, keluarganya wajib menyelesaikan kewajiban sang mayat yang berhubungan dengan hartanya. Pengurutan hak-hak yang harus dibayarkan itu diatur sebagai berikut : 1. Didahulukan membiayai perawatan jenazah daripada hutang-hutangnya, 2. Didahulukan pelunasan hutang-hutang daripada pelaksanaan wasiat 3. Didahulukan membayar wasiat daripada mempusakakan harta peninggalan kepada ahli waris. Seseorang yang berhak mempusakai dan menerima pusaka disebabkan adanya kaitan sebagai berikut : 1. Perkawinan 2. Kekerabatan 3. Wala’ Dapat diambil beberapa poin untuk menjelaskan mengenai pembagian harta waris dalam Islam. 1. Ahli Waris yang Mendapat ½ a) Suami yang istrinya meninggal. Syaratnya adalah ia tidak memiliki keturunan (laki-laki atau perempuan), walaupun keturunan tersebut adalah anak tiri. b) Anak kandung perempuan. Syaratnya adalah ia tidak memiliki anak laki-laki dan anak perempuan tersebut adalah anak tunggal. c) Cucu Perempuan dari keturunan anak laki-laki. Syaratnya adalah cucu tersebut tidak memiliki anak laki-laki, merupakan cucu tunggal (satu-satunya), dan tidak memiliki anak perempuan ataupun anak laki-laki. d) Saudara kandung perempuan. Syaratnya saudara tersebut adalah seorang diri dan tidak memiliki saudara lain. Ia pun tidak memiliki ayah atau kakek atau keturunan (anak laki-laki ataupun perempuan). e) Saudara perempuan yang seayah. Syaratnya adalah ia tidak memiliki saudara (hanya seorang diri) dan tidak memiliki saudara kandung. Ia pun tidak memiliki ayah atau kakek. 2. Ahli Waris yang Mendapat ¼ a) Suami yang ditinggalkan istrinya. Syaratnya adalah istri memiliki anak atau cucu dari keturunan laki-lakinya. Cucu tersebut bias dari darah dagingnya atau tidak. b) Istri yang ditinggal suaminya. Syaratnya adalah suami tidak memiliki anak atau cucu 3. Ahli Waris yang mendapat 1/8 a) Istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki keturunan baik laki-laki atau perempuan, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan. 4. Ahli Waris yang mendapat 2/3 a) Dua orang anak kandung perempuan atau lebih yang tidak memiliki saudara laki-laki b) Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki yang dengan syarat bahwa pewaris tidak memiliki anak kandung dan tidak mempunyai saudara laki-laki c) Dua saudara perempuan atau lebih dengan syarat bahwa pewaris tidak memiliki anak, tidak memiliki ayah atau kakek, dan tidak memiliki saudaralaki-laki d) Dua perempuan yang satu ayah dengan syarat tidak memiliki anak, ayah, atau kakek. Ia tidak memiliki saudara laki-laki seayah dan tidak memiliki saudara kandung 5. Ahli Waris yang mendapat 1/3 a) Ibu yang tidak memiliki anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki- laki. Ia tidak memiliki dua atau lebih saudara kandung atau tidak kandung. b) Saudara perempuan dan laki-laki yang seibu, tidak memiliki anak, ayah, atak kakek. Jumlah saudara seibu tersebut adalah dua oranng atau lebih. c) Anak dalam kandungan tergolong ahli waris dan menerima pusaka apabila dilahirkan dalam keadaan hidup, maka sebaiknya apabila keadaan demikian, sebaiknya harta pusaka tidak dibagikan dulu sampai anak yang ada dalam kandungan dilahirkan agar dapat secara jelas diketahui bagiannya, laki-laki atau perempuan, sendiri atau kembar. 6. Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah menurut syari’at. Para ahli sepakat bahwa anak seperti itu tidak dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak sah kalau anak itu dilahirkan kurang dari 6 bulan dari akad perkawinan. 7. Adapun anak li’an adalah anak yang dihukumi tidak bernasab dengan ayahnya setelah terjadi tuduh menuduh zina antara kedua suami istri menurut sifat-sifat yang telah di jelaskan di dalam Al-Quran. Kedua anak tersebut terputus hubungan nasabnya dengan ayahnya, tetapi petalian nasabnya dengan ibunya masih tetap utuh. Oleh karena itu mereka mempusakai orang tuanya dari pihak ibu dan keluarga-keluarga ibunya, bukan dari pihak keluarga bapaknya. Dari adanya ahli waris yang diketahui dalam islam, maka kita bias membagikan harta waris yang ada tanpa muncul perselisihan dan mengindari fitnah dalam islam.