Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Zay Jayyinul Haq

NIM : 19201011039
PRODI : Pendidikan Agama Islam
SEMESTER : 6A
MATKUL : Tafsir 4
DOSEN : H. Aik Ikhsan Anshori, Lc. M. Hum

RESUME MATERI KELOMPOK TAFSIR 3

A. PERTUNANGAN
1. Pengertian, Sebenarnya khitbah atau yang dikenal dengan istilah meminang
berarti seorang laki-laki yang datang meminta kepada seorang perempuan
untuk menjadi istrinya, dengan cara-cara yang umum berlaku dalam
masyarakat tersebut. Selanjutnya jika pihak wanita menerima lamaran pihak
lelaki maka pasangan tersebut dinyatakan telah bertunangan.
2. Syarat Pertunangan, Dalam melaksanakan khitbah atau lamaran ada dua syarat
yang harus dipenuhi yakni :
a) Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah merupakan syarat yang menganjurkan pihak
laki-laki untuk meneliti dahulu wanita yang akan dipinang atau
dikhitbahnya. Syarat ini termasuk syarat yang tidak wajib dilakukan
sebelum meminang seseorang. Khitbah seseorang tetap sah meskipun
tanpa memenuhi syarat mustahsinah. Bagi seorang lelaki ia perlu
melihat dulu sifat dan seperti apa penampilan wanita yang akan
dipinang apakah memenuhi kriteria calon istri yang baik dan sesuai
dengan anjuran Rasulullah dalam hadis berikut ini : “Wanita dikawin
karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu”.(HR Abu
Hurairah). Berdasarkan hadis tersebut maka hendaknya pria
memperhatikan agama sang wanita, keturunan, kedudukan wanita
( apakah sesuai dengan dirinya), sifat kasih sayang dan lemah lembut,
serta jasmani dan rohani yang sehat.
b) Syarat Lazimah
Yang dimaksud syarat lazimah yaitu syarat yang wajib dipenuhi
sebelum peminangan dilakukan dan jika tidak dilakukan maka
pinangannya atau tunangannya tidak sah. Syarat lazimah meliputi:
 Wanita yang dipinang tidak sedang dalam pinangan laki-laki
lain sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis berikut ini:
“Janganlah seseorang dari kamu meminang (wanita) yang
dipinang saudaranya, sehingga peminang sebelumnya
meninggal-kannya atau telah mengizinkannya.” (HR Abu
Hurairah).
 Wanita yang sedang berada dalam iddah talak raj’i. Wanita
yang sedang dalam talak raj’i masih rujuk dengan suaminya
dan dianjurkan untuk tidak dipinang sebelum masa iddahnya
habis dan tidak memutuskan untuk berislah atau berbaikan
dengan mantan suaminya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Al Baqarah ayat 228: “Dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah.” (Al-Baqarah:228).
 Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan dalam masa
iddah atau yang menjalani idah talak ba’in boleh dipinang
dengan sindiran atau kinayah . Hal ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam Al qur’an surat Al baqarah ayat 235: “Dan
tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita - wanita itu
dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan
mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa
kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka
secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada
mereka) Perkataan yang ma’ruf”. (Al-Baqarah:235).

3. Hal yang dibolekan bagi pihak laki-laki dalam meminang diantaranya adalah:
a) Memilih wanita, pihak laki - laki diperbolehkan memilih wanita yang
ingin dijadikannya sebagai istri.
b) Melihat wanita, sebelum meminang wanita, laki - laki harus melihat
wanita yang akan dipinangnya. Melihat wanita yang hendak dinikahi pun
tak boleh bebas seperti melihat mahramnya. Tetap yang boleh dilihat
hanya sebatas yang bukan termasuk aurat sang wanita. Mazhab Hanafiyah,
Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat jika wajah dan kedua tangan hingga
pergelangan adalah bagian yang boleh dilihat oleh sang lelaki.

B. HUKUH NIKAH DAN NIKAH MUHALIL


1. Hukum Nikah
Firman Allah SWT dalam Surat An-Nur ayat 32:

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan


orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui”.
Tafsir Ringkas Kemenag RI:
Setelah uraian tersebut, datanglah perintah untuk menikah sebagai salah satu
cara memelihara kesucian nasab. Dan nikahkanlah, yaitu bantulah supaya bisa
menikah, orang-orang yang masih membujang di antara kamu agar mereka dapat
hidup tenang dan terhindar dari zina serta perbuatan haram lainnya, dan bantulah
juga orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki
dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada
mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya; tidak akan
berkurang khazanah-Nya seberapa banyak pun Dia memberi hamba-Nya keka-
yaan, lagi Maha Mengetahui.
Menikah merupakan ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan,
Rasulullah SAW menyebutkan bahwa pernikahan adalah salah satu upaya untuk
menyempurnakan agama. Untuk itulah, menikah tidak boleh dilakukan secara
sembarangan karena ini merupakan bentuk ibadah terpanjang dan selayaknya
dapat dijaga hingga maut memisahkan.
Meski dianjurkan, namun hukum nikah bisa berubah menurut kondisinya.
Dalam kondisi tertentu, hukum menikah bisa menjadi wajib, sunah, makruh,
mubah, dan haram.
a) Wajib, Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang telah
memiliki kemampuan untuk berumah tangga, baik secara fisik maupun
finansial, serta sulit baginya untuk menghindari zina. Orang tersebut
diwajibkan menikah karena dikhawatirkan jika tidak, maka ia bisa
melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam Islam.
b) Sunnah, Dasar hukum nikah menjadi sunah jika seseorang sudah mampu
dan siap membangun rumah tangga, tapi dia dapat menahan diri dari
segala perbuatan yang menjerumuskannya pada zina. Meskipun demikian,
Islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika sudah memiliki
kemampuan sebab pernikahan merupakan salah satu bentuk ibadah kepada
Allah.
c) Mubah, Hukum nikah juga bisa menjadi mubah atau boleh dilakukan.
Dikatakan mubah jika ia menikah hanya untuk memenuhi syahwatnya saja
dan bukan bertujuan untuk membina rumah tangga sesuai syariat Islam,
tapi dia juga tidak dikhawatirkan akan menelantarkan istrinya.
d) Makruh, Selanjutnya ialah hukum nikah makruh. Hal ini terjadi jika
seseorang memang tidak menginginkan untuk menikah karena faktor
penyakit ataupun wataknya. Dia juga tidak memiliki kemampuan untuk
menafkahi istri dan keluarganya sehingga jika dipaksakan menikah,
dikhawatirkan orang tersebut tak bisa memenuhi hak dan kewajibannya
dalam rumah tangga.
e) Haram, Hukum nikah juga bisa menjadi haram jika seseorang tidak
memiliki kemampuan atau tanggung jawab untuk membangun rumah
tangga. Misalnya, tidak mampu berhubungan seksual atau tak memiliki
penghasilan sehingga besar kemungkinannya dia tidak bisa menafkahi
keluarganya kelak. Selain itu, hukum nikah jadi haram jika pernikahan itu
dilakukan dengan maksud untuk menganiaya, menyakiti, dan
menelantarkan pasangannya.
2. Nikah Muhalil
Firman Allah SWT dalam Surat Al Baqarah ayat 230:

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua),


maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang
lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa
bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika
keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
Tafsir Ringkas Kemenag RI:
Kemudian jika dia memilih untuk menceraikan istri-nya setelah talak yang
kedua, yakni pada talak ketiga yang tidak lagi memberinya kesempatan untuk
rujuk, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dan
melakukan hubungan suami-istri dengan suami yang lain. Kemudian jika suami
yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa dan halangan bagi keduanya,
yakni suami pertama dan mantan istrinya, untuk menikah kembali dengan akad
yang baru, setelah ia selesai menjalani masa idahnya dari suami kedua. Hal ini
dapat ditempuh jika keduanya berpen-dapat akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah dengan menjalani hidup baru yang lebih baik sesuai dengan aturan
yang ditetapkan Allah. Apabila keduanya ragu untuk kembali dengan baikbaik
maka niat untuk kembali hidup bersama hendaknya dibatalkan. Itulah ketentuan-
ketentuan Allah tentang hukum talak, rujuk, dan khulu’ yang dite-rangkan-Nya
kepada orang-orang yang berpengetahuan agar mereka memahami dan
memperhatikan hukum-hukum Allah
Pernikahan dapat menjadi terlarang atau bahkan dosa. Misalnya, nikah secara
muhallil. Muhallil adalah sebutan bagi orang yang menikahi seorang perempuan
yang telah ditalak tiga oleh suami sebelumnya dengan niat bukan untuk membina
rumah tangga. Niatnya hanya untuk menceraikan si perempuan itu setelah
menggaulinya agar si suami yang pertama bisa menikahinya kembali. Imam adz-
Dzahabi dalam kitabnya, al-Kabaair, menggolongkan perbuatan nikah muhallil
sebagai salah satu dosa besar.

C. AKAD NIKAH
1. Pengertian, Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan pernikahan dalam bentuk Ijab dan Qabul. Dalam pernikahan yang
dimaksud dengan "ijab qabul" adalah seorang wali atau wakil dari mempelai
perempuan mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya atau
perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki
yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan
menyatakan menerima pernikahannya itu disertai dengan ritual jabat tangan
sebagai simbol kesungguhan dari niat baik tersebut.
2. Syarat-syarat akad nikah
a) Syarat perwalian, Adapun syarat wali nikah menurut Imam Abu Suja’ dalam
Matan al-Ghâyah wa Taqrîb:
 Islam
 Baligh
 Berakal
 Lelaki
 Adil
Yang berhak menjadi wali adalah para pewaris ‘ashabah dari calon
mempelai wanita. Urutan penyebutan dalam keterangan Abu Sujak itu
merupakan urutan prioritas yang berhak menjadi wali nikah. Urutannya
adalah:
 Ayah
 Kakek dari pihak ayah
 Saudara lelaki kandung (kakak atau adik) dari mempelai wanita yang
tunggal ayah dan ibu
 Saudara lelaki mempelai wanita yang tunggal ayah namun beda ibu
 Paman atau saudara lelaki ayah.
Ayat al-Qur’an mengenai syarat akad nikah:

Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa


iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya[146], apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka
dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang
beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik
bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al Baqarah ayat 232).
Tafsir Ringkas Kemenag RI:
Setelah pada ayat sebelumnya Allah menjelaskan perihal wanita-
wanita yang dicerai sebelum idahnya habis, maka pada ayat ini Allah
menjelaskan status mereka setelah habis masa idahnya. Dan apabila kamu,
para suami, menceraikan istri-istri kamu lalu sampai idahnya habis, maka
jangan kamu, mantan suami dan para wali atau siapa pun, halangi atau paksa
mereka yang ditalak suaminya untuk kembali rujuk. Biarkanlah ia menetapkan
sendiri masa depannya untuk menikah lagi dengan calon suaminya,6 baik
suami yang telah menceraikannya atau pria lain yang menjadi pilihannya,
apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik.
Wanita yang dicerai suaminya dan telah habis masa idahnya mempunyai hak
penuh atas dirinya sendiri, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah, “Janda
lebih berhak atas dirinya daripada orang lain atau walinya.” Itulah yang
dinasihatkan kepada orangorang di antara kamu yang beriman kepada Allah
dan hari akhir. Apabila mengikuti petunjuk-petunjuk dan nasihat tentang
pemenuhan hak wanita yang diceraikan untuk kembali kepada suaminya atau
memilih pasangan baru, itu lebih suci bagimu dan lebih bersih terhadap
jiwamu. Dan Allah mengetahui sesuatu yang dapat membawa kemaslahatan
bagi hamba-Nya, sedangkan kamu tidak mengetahui di balik ketentuan hukum
yang ditetapkan Allah. Wali atau mantan suami tidak boleh memaksa
perempuan itu baik untuk rujuk dengan mantan suaminya dengan ketentuan
harus memperbarui nikahnya, maupun menikah dengan laki-laki lain.
3. Mahar,
a) Pengertian, Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada
calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak
bertentangan dengan hukum Islam. Meskipun wajib diberikan,
menyerahkan mahar pernikahan bukan merupakan rukun dalam
perkawinan. Firman Allah SWT dalam Qur’an surat An- nisaa ayat 4:

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu


nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.
Tafsir Ringkas Kemenag RI:
Dan apabila telah mantap dalam menetapkan pilihan dan siap untuk
menikah dengan wanita pujaan kamu, maka berikanlah maskawin yakni
mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang
penuh kerelaan, karena mahar merupakan hak istri dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh suami terhadapnya. Suami tidak boleh berbuat
semenamena terhadapnya atas dasar pemberian tersebut. Kemudian, jika
mereka, para istri menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu
dengan senang hati sebagai hadiah untuk kalian, maka terimalah hadiah itu
dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. Dengan demikian,
pemberian itu halal dan baik untuk kalian.
b) Pernikahan Tanpa Mahar, sebagaimana firman allah SWT dalam Qur’an
Surat An-nisaa ayat 25:

Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak


cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia
boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu
miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari
sebahagian yang lain[285], karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan
mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang
merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan
apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka
melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman
dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan
mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada
kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan
kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Tafsir Ringkas Kemenag RI:
Dan barang siapa di antara kamu, wahai kaum muslim, yang tidak
mempunyai biaya yang dapat dipergunakan sebagai perbelanjaan untuk
menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka dihalalkan menikahi
perempuan yang beriman dari hamba sahaya yang bukan kamu miliki
tetapi dimiliki oleh saudaramu sesama muslim. Allah mengetahui
keimanan yang ada dalam hati-mu sekalian. Janganlah kamu selalu
mempersoalkan masalah keturunan, karena sebagian dari kamu adalah
saudara dari sebagian yang lain sama-sama keturunan Adam dan Hawa.
Karena itu, bila kamu benar-benar tidak mampu menikahi perempuan-
perempuan merdeka, maka nikahilah mereka, yakni perempuan-
perempuan hamba sahaya itu, dengan izin tuan yang memiliki-nya dan
berilah mereka maskawin yang pantas sesuai dengan yang berlaku di
kalangan masyarakat dan kondisi hamba sahaya pada waktu itu, yang tidak
memberatkan kamu dan tidak pula merugikan si perempuan dan tuannya,
karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara kesucian
diri mereka, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil
laki-laki lain sebagai piaraannya yang mereka sembunyikan. Apabila
mereka telah berumah tangga atau bersuami, tetapi masih saja melakukan
perbuatan keji dengan berbuat zina yang terbukti secara hukum, maka
berilah hukuman bagi mereka yang besarnya setengah dari apa, yakni
hukuman perempuan-perempuan yang merdeka dan bersuami. Kebolehan
menikahi hamba sahaya itu adalah izin bagi orang-orang yang takut
terjatuh terhadap kesulitan dalam upaya menjaga diri dari perbuatan zina.
Tetapi jika kamu bersabar dengan cara menahan diri agar tidak berzina
atau menikahi hamba sahaya, itu lebih baik bagimu daripada menikahi
mereka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
c) Banyaknya Mahar, Sebagaimana firman Allah SWT dalam Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 236:

Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika


kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu
berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu
menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya
(pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan
ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Tafsir Ringkas Kemenag RI:
Pada ayat berikut Allah menjelaskan hukum terkait perceraian antara
suami dan istri yang belum dicampuri dan belum ditetapkan maskawinnya.
Tidak ada dosa atau tidak apa-apa bagimu, wahai para suami, jika kamu
menceraikan istri-istri kamu yang belum kamu sentuh, yakni belum kamu
campuri, atau belum kamu tentukan maharnya, untuk tidak memberikan
maharnya. Dan hendaklah kamu beri mereka mut’ah, yaitu sesuatu yang
diberikan sebagai penghibur kepada istri yang diceraikan, selain nafkah.
Bagi yang mampu dianjurkan memberi mut’ah menurut kemampuannya
dan bagi yang tidak mampu tetap dituntut untuk memberi mut’ah menurut
kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut dan tidak
menyakiti hatinya atau menyinggung perasaannya. Yang demikian itu
merupakan kewajiban bagi orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan
yang dibuktikan dengan selalu siap berkorban.

Anda mungkin juga menyukai