Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perceraian adalah suatu hal yang terkadang tidak dapat dihindari dalam
kehidupan berumah tangga. Dalam konteks agama Islam, perceraian diatur
dengan ketentuan-ketentuan yang jelas dalam hukum syariah. Salah satu
aspek penting yang terkait dengan perceraian dalam agama Islam adalah masa
idah, yang menjadi bagian integral dari proses perceraian.

Masa idah memiliki makna yang mendalam dalam Islam, bukan hanya
sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi, tetapi juga sebagai periode
introspeksi dan pertimbangan bagi kedua belah pihak yang bercerai. Selain
itu, masa idah juga memiliki tujuan untuk melindungi hak-hak perempuan
yang telah bercerai.

Dalam makalah ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai konsep


perceraian dan masa idah dalam agama Islam, serta bagaimana ketentuan-
ketentuan tersebut diatur dalam hukum syariah. Semoga makalah ini dapat
memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai topik yang penting ini
dalam konteks agama Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Perceraian dan hukum perceraian?
2. Apa pengertian masa iddah ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian perceraian dan hokum perceraian
2. Untuk mengetahui pengertian masa iddah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Hukum Perceraian


1. Pengertian Perceraian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perceraian berasal dari
kata cerai artinya pisah, putus hubungan sebagai suami istri, talak.
Perceraian artinya perpisahan, perihal bercerai (antara suami istri),
perpecahan.
Di dalam buku Fiqih Munakahat (Tihami dan Sahrani, 2009: 229)
Talak (perceraian) secara bahasa dan teks dalam nash yang bermakna talak
berawal dari kata tha-la-ka (‫ )طهك‬dengan bentuk masdar (‫ )طالق‬dengan
maksud ithlak (‫ )إطالق‬artinya lepasnya suatu ikatan perkawinan dan
berakhirnya hubungan perkawinan.

2. Dasar Hukum Talak (Perceraian)


Memang tidak terdapat dalam al-Qur‟an ayat-ayat yang menyuruh
atau melarang eksistensi perceraian itu, sedangkan untuk perkawinan
ditemukan beberapa ayat yang menyuruh melakukannya. Meskipun
banyak ayat al-Qur‟an yang mengatur talak tetapi isinya hanya sekedar
mengatur bila talak itu terjadi, meskipun dalam bentuk suruhan atau
larangan. Kalau mau mentalak seharusnya sewaktu istri itu berbeda dalam
keadaan yang siap untuk memasuki masa iddah, seperti dalam firman
Allah dalam surat At-Thalaq ayat 1:
‫يَاأَيُّهَا انىَّبِي إِ َذا طَهَّ ْمتُ ُم انىِّ َسآ َء فَطَهِّمُىه َُّه نِ ِع َّدتِ ِه َّه‬
“Hai Nabi bila kamu mentalak istrimu, maka talaklah dia sewaktu masuk
ke dalam iddahnya”.

2
Demikian pula dalam bentuk melarang, seperti firman Allah dalam
surat al-Baqarah ayat 232:
َ ‫ضلُوهُنَّ أَن َينكِحْ َن أَ ْز َو‬
َّ‫اجهُن‬ ُ ْ‫َوإِ َذا َطلَّ ْق ُت ُم ال ِّن َسآ َء َف َب َل ْغ َن أَ َج َلهُنَّ َفالَ َتع‬
“Apabila kamu mentalak istrimu dan sampai masa iddahnya, maka
janganlah kamu enggan bila dia nikah suami yang lain”.
Meskipun tidak ada ayat al-Qur‟an yang menyuruh atau melarang
melakukan talak yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu
termasuk perbuatan yang tidak disenangi Nabi. Hal ini mengandung arti
perceraian itu hukumnya makruh. Adapun ketidak senangan Nabi kepada
perceraian itu terlihat dalam hadisnya dari Ibnu Umar. Menurut riwayat
Abu Daud, Ibnu Majah dan disahkan oleh Hakim. Sabda Nabi:

ُ ‫َّللاِ تَ َعانَى انطَّ َال‬


‫ق‬ َّ ‫أَ ْبغَضُ ْان َح َال ِل إِنَى‬
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak”.

Walaupun hukum asal dari talak itu adalah makruh, namun melihat
keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak itu adalah
sebagai berikut:
1) Nadab atau sunnah, yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah
tidak dapat dilanjutkan dan seandainya dipertahankan juga
kemudaratan yang lebih banyak akan timbul;
2) Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi
perceraian dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan
perceraian itu sedangkan manfaatnya juga ada kelihatannya;
3) Wajib atau mesti dilakukan yaitu perceraian yang mesti
dilakukan oleh hakim terhadap seseorang yang telah bersumpah
untuk tidak menggauli istrinya sampai masa tertentu, sedangkan
ia tidak mau pula membayar kafarat sumpah agar ia dapat
bergaul dengan istrinya. Tindakan itu memudharatkan istrinya;
4) Haram talak itu dilakukan tanpa alasan, sedangkan istri dalam
keadaan haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli.

3
3. Talak (perceraian) Berdasarkan Sifat
a. Talak Raj'i
Talak raj'i meliputi talak satu dan talak dua. Sepasang suami istri yang
melakukan talak raj'i dibolehkan rujuk kembali sebelum masa iddah
berakhir.

b. Talak Ba'in
Talak ba'in adalah talak yang menghalangi suami untuk rujuk. Talak ini
dapat dibedakan menjadi dua, antara lain adalah:

Talak ba'in kubra adalah talak yang dilakukan suami kepada istri untuk
ketiga kalinya. Apabila talak ini sudah dijatuhkan, maka suami tidak
boleh rujuk dan tidak boleh menikah lagi sebelum istrinya menikah
kembali dengan laki-laki lain dan sudah dicampuri, kemudian
diceraikan oleh suami keduanya.

Talak ba'in sugra menjadi talak yang sudah tidak boleh dirujuk kembali.
Hanya saja, mantan istri tersebut bisa dinikahi kembali dengan akad
serta mas kawin baru. Selain itu, mantan istri juga tak perlu menikah
terlebih dahulu dengan orang lain. Talak ini mencakup talak satu dan
dua yang sudah habis masa iddahnya, khuluk, serta talak terhadap istri
yang belum digauli.

B. Pengertian Masa Iddah

Sebagaimana diketahui, wanita memiliki masa iddah, yakni masa


tunggu tertentu setelah ditinggal wafat atau diceraikan suaminya. Pada masa
ini pula, suami yang mencerainya bisa kembali atau rujuk kepadanya, tanpa
memerlukan akad baru, selama talak yang dijatuhkan berupa talak raj„i (bisa
dirujuk). Kaitan dengan masalah iddah ini, Syekh Abu Bakar ibn Muhammad
al-Husaini dalam kitab Kifâyatul Akhyâr (Terbitan: Darul Khair, Damaskus,

4
Tahun 1994, Cetakan Pertama, jilid 1, halaman 423 dst.), telah
menguraikannya kepada kita. Berikut adalah uraian ringkasannya. “Iddah
adalah nama masa tunggu tertentu bagi seorang wanita guna mengetahui
kekosongan rahimnya. Kekosongan tersebut bisa diketahui dengan kelahiran,
hitungan bulan, atau dengan hitungan quru‟ (masa suci).”
Selanjutnya, secara global wanita yang menjalani masa iddah terbagi
menjadi dua:
1. wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal wafat suami, dan
2. wanita yang menjalani masa iddah bukan karena ditinggal wafat, seperti
dicerai, baik yang sudah bergaul suami-istri ataupun belum.

Masing-masing dari keduanya terbagi lagi menjadi dua keadaan,


pertama dalam keadaan hamil dan kedua tidak dalam keadaan hamil.
Kemudian kondisi tidak hamil terbagi lagi menjadi dua: haid dan tidak
haid. Dengan memperhatikan sebab dan kondisinya, maka wanita yang
menjalani masa iddah secara umum terbagi menjadi enam kondisi: (1) wanita
yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil, (2) wanita yang
ditinggal wafat suami dan tidak dalam keadaan hamil, (3) wanita yang dicerai
suami dalam keadaan hamil, (4) wanita yang dicerai suami, tidak dalam
keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, (5)
wanita yang dicerai tidak dalam keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-
istri, dan belum haid atau sudah berhenti haid (menopouse), (6) wanita yang
dicerai namun belum pernah bergaul suami-istri. Hanya saja oleh para ulama,
bagian terakhir ini seringkali tidak dimasukkan ke dalam pembagian utama
wanita yang beriddah.

Pertama, wanita yang ditinggal wafat suami dan dalam keadaan hamil,
maka iddahnya adalah hingga melahirkan. Tidak ada bedanya, apakah
kelahirannya kurang atau lebih dari masa iddah pada umumnya. Misalnya,
seminggu setelah ditinggal wafat suaminya, sang wanita melahirkan. Maka
habislah masa iddah wanita tersebut. Hal ini berdasarkan keumuman makna
َ َ‫والت ْاْلَحْ َما ِل أَ َجهُه َُّه أَ ْن ي‬
ayat yang menyatakan: ‫ض ْعهَ َح ْمهَه َُّه‬ ُ ُ‫ َوأ‬Dan perempuan-

5
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya, (Q.S. al-Thalaq [65]: 4).

Kedua, wanita yang ditinggal wafat suaminya dan tidak dalam


keadaan hamil, atau dalam keadaan hamil namun bukan dari suaminya yang
meninggal, maka masa idahnya adalah 4 bulan 10 hari. Tidak ada perbedaan
antara wanita yang belum haid, masih mengalami haid, atau sudah berhenti
haid (menapouse). Pun tidak ada bedanya apakah sudah pernah bergaul
suami-istri atau belum. Hal ini berdasarkan ayat yang menyatakan: َ‫َوانَّ ِريه‬
ً‫ يُتَ َىفَّىْ نَ ِم ْى ُك ْم َويَ َرزُونَ أَ ْش َواجا ً يَتَ َسبَّصْ هَ بِؤ َ ْوفُ ِس ِه َّه أَزْ بَ َعةَ أَ ْشه ٍُس َو َع ْشسا‬Orang-orang yang
meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para
istri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari, (Q.S.
al-Baqarah [2]: 234).

Ketiga, wanita yang dicerai suami dalam keadaan hamil, maka


iddahnya hingga melahirkan, sebagaimana dalam keadaan hamil yang
ditinggal wafat suaminya. Keempat, wanita yang dicerai suami, tidak dalam
keadaan hamil, sudah pernah bergaul suami-istri, dan sudah/masih haid, maka
iddahnya adalah tiga kali quru. ‫ات يَتَ َسبَّصْ هَ بِؤ َ ْوفُ ِس ِه َّه ثَ َالثَةَ لُسُو ٍء َو َال يَ ِحمُّ نَه َُّه أَ ْن‬
ُ َ‫َو ْان ُمطَهَّم‬
‫َّللاُ فِي أَزْ َحا ِم ِه َّه‬
َّ ‫ك‬َ َ‫ يَ ْكتُ ْمهَ َما َخه‬Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang
diciptakan Allah dalam rahimnya, (Q.S. al-Baqarah [2]: 228).

Para ulama berbeda pendapat tentang makna quru. Para ulama al-
Syafi‟i memaknai quru dengan masa suci. Dan masa iddah dihitung dari masa
suci saat diceraikan. Sedangkan jika diceraikan sedang haid, maka masa
iddah dihitung sejak masa suci setelah haid itu.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan bahwa talak dan masa
iddah merupakan dua aspek penting dalam konteks perceraian dalam agama
Islam. Talak sebagai proses perceraian harus dilakukan dengan penuh
pertimbangan dan kehati-hatian sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan dalam hukum syariah. Sementara itu, masa iddah memegang peran
penting dalam memberikan perlindungan dan kesempatan bagi kedua belah
pihak untuk mempertimbangkan kembali keputusan perceraian.

Konsep talak dan masa iddah juga menunjukkan bahwa Islam memberikan
perhatian besar terhadap keberlangsungan pernikahan dan kesejahteraan
keluarga. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam mengenai hukum-
hukum terkait talak dan masa iddah sangatlah penting dalam menjaga
kedamaian dan keberlangsungan rumah tangga.

Diharapkan melalui makalah ini, pembaca dapat memperoleh pemahaman


yang lebih baik mengenai proses perceraian, talak, dan masa iddah dalam
agama Islam. Semoga kesadaran akan pentingnya merawat hubungan suami
istri dan menjaga keutuhan keluarga dapat semakin ditingkatkan dalam
masyarakat yang menjunjung nilai-nilai agama.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa, dalam tulisan ini terdapat banyak
kekurangan. Disamping itu juga terbatas karena hanya merupakan makalah,
yang tidak mungkin memuat segala hal mengenai pembahasan sebagaimana
dalam judul. Dengan demikian, kiranya ke depan ada studi lanjut yang dapat
memaparkan sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan lebih baik dan
konprehensip.

7
DAFTAR PUSTAKA

Fiqih Munakahat (Tihami dan Sahrani, 2009: 229)


Yushar, Nunung. (2017). Perceraian Dalam Islam (Fiqhi).
Tihami dan Sohari Sahrani. (2009). Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Hassan Ayyub, Fikih Keluarga, alih bahasa; M. Abdul Ghoffar, Jakarta: Pustaka
AlKautsar, 2011, h. 310.

Anda mungkin juga menyukai