Anda di halaman 1dari 30

22

BAB II

LANDASAN TEORI TENTANG IDDAH DAN IHDAD

A. PengertianIddah dan Ihdad

1. Pengertian Iddah

Iddah adalah bahasa arab yang berasal dari akar kata adda-

ya‟uddu-„iddatan dan jamaknya adalah „idad yang secara arti kata

(etimologi) berarti: “menghitung” dan “hitungan”. Kata ini digunakan

untuk maksud iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber-

iddah menunggu berlalunya waktu1. Karena masa iddah ini terbatas,

artinya masa menunggu bagi wanita dengan jangka waktu tertentu

menurut ketentuan syariat2. Dalam kamus disebutkan, iddah wanita

berarti hari-hari kesucian wanita dan ppengkabungannya terhadap

suami. Secara umum iddah adalah masa tunggu bagi seorang wanita

atau istri yang ditinggal oleh suaminya, baik ditinggal karena

kematian ataupun karena perceraian. Dalam pendapat lain iddah ialah

1
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara
Fiqh Munakahat Dan Undang Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007),
Hlm 303
2
Mardani, Hukum Keluarga Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2016),
Hlm 173

22
23

“ masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan

oleh suaminya, baik itu cerai hidup atau cerai mati3.

Menurut Imam Hanafi iddah adalah penantian seorang istri

setelah ikatan pernikahannya terputus karena terjadi perceraian

(talak), terjadi wath‟i syubhat atau seorang suami telah meninggal

dunia dalam beberapa waktu yang telah ditentukan olehsyara‟.

Menurut imam Maliki iddah yaitu waktu yang di haramkan bagi

seorang istri untuk menikah lantaran telah terjadi perceraian (talak),

seorang suami telah meninggal dunia, atau pernikahan telah rusak

(fasakh). Menurut imam Syafi‟i iddah merupakan waktu menunggu

bagi seorang istri untuk mengetahui (memastikan) bahwa dalam

kandungan tidak ada janin (bakal anak), atau semata-mata untuk

ta‟abdud (melaksanakan perintah Allah SWT), setelah terjadi talak,

fasakh, wathi syubhat atau suami telah meninggal dunia. Sedangkan

iddah menurut imam Hambali waktu yang telah ditentukan oleh

Syara‟ bagi seorang isteri untuk tidak menikah kembali lantaran telah

terjadi perceraian (talak) atau seorang suami telah meninggal dunia4.

3
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung : Sinar Baru Algensindo) Hlm
414
4
Abdul Manan, Fiqih Lintas Madzhab: Hanafi,Maliki, Syafi‟i,
Hambali, Juz5,( Kediri:Pp.Al Falah Ploso Mojo,2011), Hlm 37
24

Menurut Sayyid Sabiq, iddah berasal dari kata „adada yang

berarti menghitung. Maksudnya, perempuan (isteri) menghitung hari-

harinya dan masa bersihnya.5Iddah dalam istilah agama menjadi

nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak

boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari

suaminya.Iddah ini juga sudah dikenal juga pada zaman Jahiliyyah.

Mereka ini hampir tidak pernah meninggalkan kebiasaan iddah.

Tatkala Islam datang, kebiasaan itu diakui dan tetap dijalankan

karena ada beberapa kemaslahatan didalamnya. Dalam istilah fuqaha‟

iddahadalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain6.

Dari definisi di atas, menurut hemat penulis perempuan yang

ber‟iddah (al-mu‟taddah) dapat dikelompokkan ke dalam dua

macam. Pertama, perempuan yang ber‟iddah karena ditinggal mati

oleh suaminya (al-mutawaffâ „anhâ zawjuhâ). Kedua, perempuan

yang ber‟iddah bukan karena ditinggal mati oleh suaminya atau cerai

hidup. Dapat disimpulkan bahwa „iddah adalah suatu tenggang waktu

tertentu yang harus dihitung oleh seorang perempuan semenjak ia

5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),
Hlm 223
6
Abdul Aziz Muhammad Azzam Dan Abdul Wahab Sayyed
Hawas, Fiqh Munakahat, (Jakarta; Amzah, 2015) Hlm 318
25

berpisah (bercerai) dengan suaminya, baik perpisahan itu disebabkan

karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia dan dalam

masa tersebut perempuan itu tidak dibolehkan kawin dengan laki-laki

lain.

2. Pengertian Ihdad

Ihdad yaitu masa berkabung bagi seorang istri yang ditinggal

mati suaminya. Masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari atau selama

menjalani masa iddah7. Sedangkanihdad secara etimologi adalah

menahan, mencegah atau menjauhi. Secara definitif, sebagaimana

tersebut dalam beberapa kitab fikih, adalah “menjauhi sesuatu yang

dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa iddah”,

mencegah, di antara pencegahan itu adalah mencegah perempuan dari

berhias. Hal yang termasuk dalam pengertian ihdad adalah

menampakkan kesedihan. Adapunihdad secara terminologi adalah

antisipasi seorang perempuan dari berhias dan termasuk di dalam

pengertian tersebut adalah masa tertentu atau khusus dalam kondisi

tertentu, dengan larangan-larangan seperti, bercelak mata, berhias

7
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), Hlm
302
26

diri, keluar rumah kecuali dalam keadaan terpaksa8. Menurut Abu

Yahya Zakaria al-Anshary, ihdad berasal dari kata ahadda, dan

kadang-kadang bisa juga disebut al-Hidad yang diambil dari kata

hadda. Secara etimologi (lughawi) ihdad berarti al-Man‟u (cegahan

atau larangan). Sedangkan menurut Abdul Mujieb, bahwa yang

dimaksud dengan ihdad adalah masa berkabung bagi seorang isteri

yang ditinggal mati suaminya. Masa tersebut adalaha empat bulan

sepuluh hari disertai dengan larangan-larangannya, antara lain:

bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan

terpaksa9. Adapun mengenai untuk siapa, atau atas dasar apa

seseorang melakukan ihdad hampir semua ulama berpendapat bahwa

ihdadhanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah

yang sah dan yang meninggal dalam masa perkawinannya dan tidak

berlaku untuk lainnya.

8
Ibid
9
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), Hlm 342
27

3. Macam- Macam Iddah

Ada beberapa macam iddah, yaitu iddah karena perceraian

dan iddah karena kematian suami10:

a. Iddah karena perceraian

Iddah karena perceraian memiliki dua kategori yang masing-

masing memiliki hukum sendiri. Yang pertama adalah perempuan

yang diceraikan dan belum disetubuhi. Dalam hal ini ia tidak wajib

menjalani masa iddah, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat al-

Ahzab 49:

ِ ‫فَ َ ا َ َ ُّى ُو َّلي أ َ ْ َ ْ ِ ِم ْي َ َّل ْ ُ ُ ى ُو َّلي ُ َّل ْا ُ ْ ِمنَا‬


‫ا َ َ ْ ُ ُ ِإذَ آ َمنُى اَّل ِييَ أَيُّ َها يَا‬

ْ ُ َ‫َج ِ ال َ َ ً ا َو َ ِ ّ ُ ى ُو َّلي فَ َ ِ ّعُى ُو َّلي َ ْع َ ُّو َ َها ِ َّل ٍة ِم ْي َ َ ْ ِه َّلي ا‬

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi


perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah
dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-
baiknya”( Al-Ahzab 49) 11

10
Diolah Dari Berbagai Sumber
11
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah Al-
Ahzab Ayat 49
28

Kategori kedua adalah perempuan yang diceraikan dan sudah

disetubuhi. Bagi perempuan yang dalam kategori seperti ini, dia

memiliki dua keadaan: yang pertama, perempuan itu dalam keadaan

hamil. Masa iddah baginya adalah sampai melahirkan kandungannya.

Allah Swt berfirman:

َ ُ ‫ِم ْي اَ ُ يَ ْ عَ ْ َّلاَ يَ َّل ِ َو َم ْي َ ْ َ ُه َّلي يَ َ ْعيَ أ َ ْ أ َ َج ُ ُه َّلي ْا َ ْ َ ا ِا َوأ‬


ُ‫ووا‬

ِ ِ ‫يُ ْ ً أ َ ْم‬

Artinya:"Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah


mereka itu adalah sampai mereka melahirkan
kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada
Allah niscaya Allah menjadikannya baginya kemudahan
dalam urusannya."

Apabila perempuan ditalak raj'i oleh suaminya, kemudian

suaminya meninggal selama ia masih masa iddah, maka perempuan

itu iddahnya seperti perempuan yang ditinggal mati suaminya.

Karena ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih

sebagai istrinya. Kecuali kalau ditinggal mati sedang dalam keadaan

mengandung, maka iddahnya memilih yang terpanjang dari kematian

suaminya, atau malahirkan. Demikian pendapat yang mashur, yang

kedua perempuan itu tidak dalam keadaan hamil. Dalam keadaan


29

seperti ini, dia tidak luput dari dua kemungkinan. Pertama, dia masih

menstruasi. Dalam keadaan ini iddahnya adalah tiga kali menstruasi.

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah 228:

ُ َ ‫ۚ ُ ُ ٓوو ٍة َ َ َ َ ِ َ نُ ِ ِه َّلي يَ َ َ َّل ْيَ َو ْا ُ َ َّل‬

Artinya:“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru'. ”12( al-Baqarah 228)

b. Iddah Wanita Yang Kehilangan Suami

Bila ada seorang yang kehilangan suaminya, dan tidak diketahui

dimana suaminya itu berada, apakah ia telah mati atau masih hidup,

maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya. Sesudah itu

hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.

‫ َا َا َ ْن ُ ّاُ َ ِ َ ُ َ َ َ ْي‬:‫ا َيُّ َ ا ْم َ أ َ ٍة‬


ْ َ َ َ‫َ ْ ٍة َيْيَ َ ْو َج َهااَ ْ ف‬

َ َ ْ َ ُ ِ َ ‫ُ َّل ِ نِ ْيَ ُو َىفَ ِا َّل َها َ ْن‬

( ‫َ ِ ّ ُ َّل َو ِ ْش ً َ ْ ُه ٍة َ ْع َ ُّ َ ْ َ َع َ )مااك و‬

Artinya:"Dari Umar r.a. berkata: "bagi perempuan yang kehilangan


suaminya, dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada,
sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun,
12
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah Al
Baqarah Ayat 228
30

kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari,


barulah ia boleh menikah."(HR.Malik)13.

c. Iddah karena kematian

Dalam kasus ini ada dua kemungkinan yang dapat terjadi,

yaitu, pertama perempuan yang ditinggal mati suaminya itu tidak

dalam keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah empat bulan

sepuluh hari di sertai dengan ihdad (berkabung), baik dia telah

melakukan hubungan badan dengan suaminya yang telah meninggal

itu maupun belum. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah 234:

َ‫أ َ ْ ُه ٍة أ َ ْ َعَ َ ِ َ ْنُ ِ ِه َّلي َي َ َ َّل ْيَ أ َ ْ َو ًجا َويَ َ ُ و َ ِم ْن ُ ْ يُ ََىفَّل ْى َ اَّل ِيي‬

ً ‫ َو َ ْش‬.

Artinya:“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan


meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari”14(al-Baqaharah:234)

13
Abuu Malik Kamal Bin As-Sayyid Salam, Shahih Fiqih Sunnah Jilid 4,
(Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006) Hlm 559
14
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah Al-
Baqarah Ayat 234
31

Kedua, Perempuan yang ditinggal mati suaminya itu dalam

keadaan hamil. Masa iddah baginya adalah sampai dia melahirkan

kandungannya.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Thalaq 4:

ُ َ‫ِم ْي اَّل ۥُ يَ ْ عَ َّلاَ َي َّل ِ َو َمي َ ْ َ ُه َّلي يَ َ ْعيَ أ َ أ َ َج ُ ُه َّلي ْا َ ْ َ ا ِا َوأ ُ ۟ووا‬

‫يُ ْ ً أ َ ْم ِ ِۦ‬

Artinya:“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah


mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya
Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”(at-
thalaq:4)15

Ketentuan hukum ini didasarkan pada riwayat dari al-Miswar

Ibnu Makhramah tentang Su‟aibah al-Aslamiyyah yang tengah dalam

keadaan nifas setelah ditinggal mati suaminya. Suaibah lalu menemui

Rasulullah SAW dan meminta izin pada beliau untuk menikah lagi.

Beliau lantas mengizinkannya dan dia pun kemudian menikah.

Sebelum iddah itu sampai, hukumnya haram bagi perempuan itu

menikah16. Allah SWT berfirman:

15
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah At-
Thalaq Ayat 4
16
Diolah Dari Berbagai Sumber
32

ُ ِ ‫فِي َما يَ ْع َ ُ َّلاَ أ َ َّل َو ْ َ ُ ى أ َ َج َ ُ ْا‬


‫َاا يَ ْ ُ َ َ َّل ا ِنّ َااِ ُ ْ َ َ َ ْع ِز ُمى َو َو‬

ْ ُ ِ ُ‫أ َ ْ ن‬

‫فَا ْ َ ُ و ُ َ ِ ٌر َنُى ٌر َّلاَ أ َ َّل َو ْ َ ُ ى‬

Artinya:"Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk


berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan
ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu, maka takutlah kepada-Nya"(Al-Baqarah:235)17

B. Hukum Iddah dan Ihdad

1. Hukum Iddah

Hukum iddah adalah wajib sebagaimana firman Allah di

dalam surah al-Baqarah ayat 228:

ُ‫َّلاُ َ َ َ َما َي ْ ُ ْ يَ أ َ ْ اَ ُه َّلي َي ِ ُّ َوو ُ ُ و ٍة َال َ َ ِ َ ْنُ ِ ِه َّلي َي َ َ َّل ْيَ َو ْا ُ َ َّل َاا‬

‫إِ ْ ذَاِكَ فِي ِ َ ِ ّو َّلِي أ َ َ ُّ َو ُعُىاَ ُ ُه َّلي ا ِ ِ َو ْا َ ْى ِ ِ َّل‬


ِ َ ْ َ ‫ااِ يُ ْ ِم َّلي ُ َّلي إِ ْ أ‬
‫ام ِه َّلي فِي‬

‫صال ً ا أ َ َ ُو‬ ِ ُ ‫َو َّلاُ َ َ َج ٌر َ َ ْ ِه َّلي َو ِا ِ ّ َجا ِا ِ ْاا َ ْع‬


ْ ِ‫وو َ َ ْ ِه َّلي اَّل ِي ِم ْ ُ َواَ ُه َّلي إ‬

‫َ ِ ٌر َ ِز ٌر‬
‫يز‬

Artinya:“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri


(menunggu) tiga kali quru‟. Tidak boleh mereka
17
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah Al-
Baqarah Ayat 235
33

menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam


rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suaminya lebih berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki
islah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan
tetapi, para suami mempunyai suatu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana”(Al-Baqarah :228)18

Az-Zamakhsyari berkata:“Ayat ini berbentuk kalimat berita

dalam makna perintah.”Asal perkataan.“Hendaklah wanita-wanita itu

menunnggu mengeluarkan perintah dalam bentuk kalimat berita

bermakna penguat perintah dan memberi isyarat termasuk sesuatu

yang waib diterima dengan segera agar dipatuhi. Seakan-akan mereka

telah patuh terhadap perintah menunngu kemudian Allah

memberitakannya apa adanya. Perumpamaannya perkataan mereka: “

Semoga Allah merahmatmu” kalimat ini dikeluarkan dalam bentuk

berita karena percaya terkabulnya, seolah telah ada rahmat kemudian

diberitakan. Ibnu Katsir berkata “Berkabung itu suatu ungkapan,

yang intinya ialah: tidak berhias dengan wangi-wangian dan tidak

memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik laki-laki. Dan

18
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah Al-
Baqarah Ayat 228
34

berkabung itu wajib atas perempuan yang kematian

seorangsuami”19. Ketentuan masa iddah telah diatur dalam pasal 11

ayat 1 undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 bahwa “Bagi

seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu

tunggu”. Dalam PP No. 9 Tahun 1975, telah di jelaskan tentang

jangka waktu tunggu yaitu pada pasal 39 20:

Pasal 39

1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud


dalam Pasal 11 ayat(2) Undang-undang ditentukan
sebagai berikut:
a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu
tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan
3 (tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90
(sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang
bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c) Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut
dalam keadaan hamil,waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan
karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan
bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

19
Muhammad Ali As – Shobuni, Rowangul Bayan Tafsirul Ayatil
Ahkam Minallqur‟An, Hlm.286
20
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Kombpilasi Hukum Islam, (Jakarta: Gramedia Press, 2014) Pasal 39
Tentang Waktu Tunggu, Hlm 46
35

3) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang


waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
kematian suami

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 153 ayat 4disebutkan

tentang ketentuan masa tunggu bagi perkawinan yang putus karena

perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan

Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang

waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. Dan apabila bagi istri

yang pernah haidl sedang pada waktu menjalani Iddah tidak haidl

karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci, sebagaimana

yang telah diatur dalam Pasal 153 ayat 5 Kompilasi Hukum Islam.

Sedangkan haidl keadaan pada ayat 5 Pasal 153 Kompilasi Hukum

Islam bukan karena menyusui, maka di dalam ayat 6 Pasal 153

Kompilasi Hukum Islam Iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila

dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaidl kembali, maka iddahnya

menjadi tiga kali waktu suci. Selain dari pada pasal 153 Kompilasi

Hukum Islam, pada Pasal selanjutnya juga membicarakan tentang hal

yang sangat bekrkaitan berupa isteri yang tertalak raj'i kemudian


36

dalam waktu iddahmenjalani sebagaimana dimaksud dalam ayat 2

huruf b, ayat 5 dan ayat 6 Pasal 153 KHI, ditinggal mati oleh

suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari

terhitung saat matinya bekas suaminya. Apabilabagi janda yang putus

perkawinannya karena khulu', fasakh dan li'an berlaku iddah talak

sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 155 KHI21 .

2.Hukum Ihdad

Ihdad disyariatkan dalam islam berdasarkan firman Allah

SWT dalam surah at-Thalaq (65) ayat 1:

ُّ ِ ‫َو َ َّل ُ ْ َّلاَ َو َّل ُى ْا ِع َّل َ َوأ َ ْ ُ ى ِا ِع َّل ِ ِه َّلي فَ َ ِ ّ ُى ُو َّلي ا ِنّ َا َ َ َّل ْ ُ ُ إِذَ انَّل‬
‫ي أَيُّ َها يَا‬

‫ُ ُى ِ ِه َّلي ِم ْي ُ ْ ِ ُجى ُو َّلي‬ ‫ش ٍة يَ ْ ِ يَ أ َ ْ إِو يَ ْ ُ جْ يَ َوو‬


َ ِ ‫َّلاِ ُ ُو ُ َو ِ ْكَ ُم َ ِّنَ ٍة ِنَا‬

‫أ َ ْم ً ذَاِكَ َ ْع َ يُ ْ ِ ُ َّلاَ اَعَ َّل َ ْ ِ ي َو َ ْن َ ُ َ َ َ فَ َ ْ َّلاِ ُ ُو َ يَ َعَ َّل َو َم ْي‬

Artinya:“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka


hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) idahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu
iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
janganlah mereka (di izinkan) keluar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-
hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-

21
Kompilasi Hukum Islam.(Bandung:Nuansa Aulia.2013) Pasal 153-155
Tentang Waktu Tungu, Hlm 375-376
37

hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim


terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru “( At-
Thalaq:1)22

Ihdadberarti keadaan perempuan yang tidak menghias

dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya

atau keluarganya23.Ihdad di tinjau dari sudut syar‟i dibagi menjadi

dua, yaitu ihdad wanita yang ditinggal mati suaminya dilakukan

selama masa iddah atau selama empat bulan sepuluh hari, namun bagi

selain suami, ihdad hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam

ajaran fikih konvensional,ihdadhanya berlaku bagi istri yang

ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang

ditinggal mati istrinya. ihdad juga tidak dapat dikenakan kepada istri

yang ditalak raj‟i dan talak bâ`in. Kaum muslimin telah sepakat

bahwaihdad (bekabung) wajib hukumnya atas wanita muslimah yang

merdeka dan dalam keadaan iddah kematian suaminya24.

Imam Malik berpendapat bahwa ihdaddiwajibkan atas

perempuan muslimah dan ahli kitab, baik yang masih kecil maupun

22
Al-Quran Al-Karim, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar:2011) Surah At-
Thalaq Ayat1
23
Ibnu Qudamah, Al-Muqni‟ Fiy Fiqh Imam Al-Sunnah Ahamd Ibn Hanbal
Al-Syaibaniy Juz Iii (Riyadl: Maktabah Al-Riyadl Al-Haditsah, 1980) Hlm. 289-291
24
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit
38

sudah dewasa. Mengenai hamba perempuan yang ditinggal mati oleh

orang tuannya, baik ia sebagai ummul walad (hamba perempuan yang

telah memperoleh anak dari tuannya) atau bukan, maka menurut

Imam Malik, tidak wajib ihdadatasnya. Pendapat ini juga

dikemukakan oleh para fuqaha amshar (fuqaha negeri-negeri besar).

Pendapat Imam Malik yang terkenal mengenai ahli kitab ditentang

oleh Ibnu Nafi‟ dan Asyhab (dua orang di antara pengikut Imam

Malik). Tetapi, pendapat keduanya ini juga diriwayatkan oleh

keduanya dari Imam Malik, dan orang pengikut Imam Malik juga

dikemukakan oleh Imam Syafi‟i, yakni bahwasanya tidak ada

kewajiban ihdad perempuan ahli kitab25. Fuqahâ` dari madzhab

Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil(belum baligh) tidak

wajib melakukanihdad, karena ia tidak mukallaf. Sedangkan menurut

madzhab Syafi‟i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib perempuan

kitâbiyyah dan dzimmiyah, madzhab Hanafi berpendapat bahwa

perempuantersebut tidak wajib melakukan ihdad,sebagaimana

shaghirah, karena tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab

Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan kitâbiyyah dan

dzimmiyah yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim

25
Abdul Rahman Ghozali,Op.Cit. Hlm 303
39

memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan yang beragama

Islam. Perempuan yang dinikahi dengan nikah fâsid (pernikahan yang

salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib melakukan ihdad26.

Mengenai silang pendapat fuqaha‟ berkenaan dengan

masalah ihdad maka imam Malik berpendapat bahwa tidak

adaihdadkecuali pada iddah kematian suami. Imam Abu Hanifah dan

At-Tsauri berpendapat bahwa ihdad karena iddah talak ba‟in wajib

hukumnya.Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat bahwa

hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi memandangnya wajib

karena perbuatan itu merupakan ungkapan rasa berduka atas

hilangnya karunia Allah SWT. dalam bentuk perkawinan diri istri.

Karena itu, kewajiban melaksanakan ihdad, juga berlaku terhadap

perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi menyamakan

kedudukannya dengan istri yang suaminya wafat. Akan halnya imam

syafi‟i, maka ia hanya menganggap berihdad bagi wanita yang

ditalak, tetapi ia tidak mewajibkannya27.

26
Abd Al-Barr Al-Namiriy, Al-Kafiy Fiy Fiqh Ahl Al-Madinah Al-Malikiy (
Beirut: Dar Al-Kutub, 1992) Hlm. 292.
27
Abdul Rahman Ghozali,Op.Cit. Hlm 304
40

Fuqahâ` lainnya berpendapat bahwa ihdad bagi perempuan

seperti itu tidak wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk

kawin lagi dengan suaminya itu, jika terlebih dahulu ia kawin dengan

laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di samping itu, ia juga

memiliki masa„iddah yang sama dengan istri yang dijatuhi talak raj‟i.

Sedangkan anjuran untuk melakukan ihdad selama masa „iddah talak

bâ`in hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari fitnah

yang mungkin muncul jika ia berhias diri, karena selama berada

dalam masa „iddah ini padahakikatnya ia masih berada dalam status

perkawinan28, Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal

tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik

untuk melakukan rujû‟, Dengan perkataan lain, iddah dalam thalak

raj‟i merupakan momen refleksi bagi suami dan istri untuk

mempertimbangkann apakah akan melanjutkan pernikahan atau

betul-betul akan mengakhiri pernikahan.

Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 170 ayat 1 BAB XIX

tentang masa berkabung, menjelaskan tentang kewjiban masa

berkabung seorang isteri yang ditinggal mati suaminya

28
Taqiyuddin Al-Husainiy, Kifayah Al-Akhyar Fiy Hall Ghayah Al-
Ikhtishar, (Beirut: Dar Al-Fikr, Tanpa Tahun,) Hlm. 134
41

Pasal 170

1. Istri yanng di tinggal mati suamiya, wajib melaksanakan


masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut
berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah”

Menurut hemat penulis dapat disimpulkan, bahwa wanita

(istri) memiliki kewajiban melaksanakan iddah serta ihdad karena

ditinggal mati oleh suaminya selama empat bulan sepuluh hari. Hal

ini merupakan suatu kondisi di mana isteri harus menahan diri atau

berkabung selama empat bulan sepuluh hari. Selama masa itu, isteri

hendaknya menya-takan dukanya dengan tidak berhias, tidak bercelak

mata dan tidak boleh keluar rumah. Cara ini bertujuan hanya untuk

menghormati kematian suami. Apabila masa iddah telah habis, maka

tidak ada larangan untuk berhias diri, melakukan pinangan, bahkan

melangsungkan akad nikah. Dalam konteks istri yang ditinggal mati

oleh suaminya, masa iddah sertaihdad (berkabung) itu penting dilalui

agar tidak timbul fitnah di masyarakat. Masa ihdad sebenarnya adalah

wujud dari kesedihan si isteri atas musibah yang menimpa dirinya,

cukup beralasan di dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 170 ayat 1

yang telah tercantum diatas.


42

C. Hikmah Iddah dan Ihdad

1. Hikmah Iddah

Pemberlakuan iddah bagi perempuan adalah sebuah

hukum baku yang telah ditetapkan dalam Al-qur‟an, akan tetapi

hikmah yang terkandung di dalamnya tidak dijelaskan secara

terperinci oleh Al-qur‟an. Sebenarnya hikmah iddah bukan hanya

berfungsi untuk perempuan saja, tetapi juga berfungsi untuk laki-

laki, sehingga sebenarnya laki-laki juga harus menjalankan Syibhul

iddah seperti yang dilakukan perempuan. Hikmah- hikmah iddah

tersebut diantaranya adalah:

a. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan,

sehingga tidak tercampur antara keturunan seseorang dengan

yang lainnya. Hikmah ini bersifat biologis dan mutlak hanya

berlaku bagi perempuan, selain perempuan tidak mungkin

terkena hukumiddah.

b. Memberi kesempatan kepada suami isteri yang baru saja

bercerai untuk kembali rukun dan membina rumah tangga

mereka kembali jika itu yangterbaik.


43

c. Menjunjung tinggi masalah perkawinan, yaitu agar dapat

menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya dan

memberikan tempo berpikir panjang. Jika tidak diberi

kesempatan demikian, maka tak ubahnya seperti anak-anak kecil

bermain, sebentar disusun, sebentar lagidirusaknya.

d. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua

suami isteri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya. Jika

terjadi sesuatu yang mengharuskan putusnya ikatan tersebut,

maka untuk mewujudkan tetap terjaganya kelanggengan tersebut

harus diberi tempo beberapa saat memikirkannya dan

memperhatikan apakerugiannya.

e. Karena ibadah (Ta‟abudi) yaitu mengikuti perintah Allah seperti

yang dijelaskan dalam Al-Qur‟an29.

2. Hikmah Ihdad

Pembahasanihdad memang tidak selebar pembahasan iddah,

akan tetapi ihdad pun juga memiliki beberapa hikmah diantaranya

ialah :

29
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Diterjemahkan Muhammad Thalib,
Fiqih Sunnah (Bandung ; Alma‟Arif,1987),Hlm.140 - 141
44

a. Memberikan alokasi waktu yang cukup untuk turut berduka cita

atau berkabung dan sekaligus menjaga timbul fitnah.

b. Untuk memelihara keharmonisan hubungan keluarga suami yang

meninggal dengan pihak istri yang ditinggalkan dan keluarga

besarnya.

c. ihdaduntuk menampakan kesedihan dan kedukaan atas kematian

suaminnya, dan ukuran untuk bersedih karena yang lainnya.

Selain cerai mati, maka talak dalam bentuk apapun tidak

membutuhkan ihdad. Hal in sesuai dengan wanita - wanita yang

hidup pada masa Rosul dan Khilfah Rasyidin tidak pernah

melakukan ihdad selain cerai mati30.

D. Larangan Wanita Pada Masa Ihdad

Para fuqaha‟ berpendapat bahwa wanita yang sedang

berihdad dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik

perhatian laki-laki kepadanya, seperti perhiasan intan dan celak,

kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang

pula memakai pakaian yang dicelup dengan warna, kecuali warna

30
Syaikh Hasan Ayub, Fikih Keluarga, ( Jakarta : Pustaka Al- Kautsar,
2006) Hlm 372
45

hitam. Karena Imam Malik tidak memakhruhkan pakaian berwarna

hitam bagi wanita yang sedang berihdad31.

Selama berkabung, perempuan tidak boleh memakai

wewangian, celak pacar (pewarna kuku), bedak, pakaian berwarna

dan perhiasan. Namun dari sisi lain, para ulama memandang bahwa

perempuan boleh mengenakan pakaian berwarna putih dan boleh

memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mandi dan meminyaki

rambut, dengan tujuan menjaga kesehatan, bukan untuk berhias32.

Jika seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mengetahui bahwa

ihdadwajib dilakukan selama masa „iddah, namun ia tidak

melakukannya, maka tindakannya termasuk mendurhakai Allah33.

Menurut Sayyid Abu Bakar al-Dimyati, definisiihdad adalah:

“Menahan diri dari bersolek/berhias pada badan”. Dengan redaksi

sedikit berbeda, Wahbah al-Zuhaili memberikan definisi tentang

makna ihdad: “ihdad ialah meninggalkan harum-haruman, perhiasan,

celak mata dan minyak, baik minyak yang mengharumkan maupun

31
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit
32
„Athif Lamadhoh, Fikih Sunnah Untuk Remaja, (Jakarta: Cendekia
Sentra Musliam, 2007), Hlm 258
33
Wahbah Al-Zuhailiy, Al-Fiqh Al-Islamiy Wa Adillatuhu, Juz Vii (
Damaskus: Dar Al-Fikr, 1996 ) Hlm. 662
46

yang tidak.”Selanjutnya, sebagaimana definisi kedua di atas, Wahbah

al-Zuhaili menegaskan maksud meninggalkan harum-haruman,

perhiasan, celak mata, dan minyak adalah khusus yang berkaitan

dengan anggota badan perempuan. Karena itu, perempuan yang

sedang dalam keadaan ihdad tidak dilarang memperindah tempat

tidur, karpet, gorden dan alat-alat rumah tangganya. Ia juga tidak

dilarang duduk di atas kain sutera34. Para fuqaha‟ memberikan

rukhsah (keringanan) dengan membolehkan pemakaian celak karena

terpaksa (karena sakit mata, misalnya). mengenai pemakaian celak

ini, sebagian fuqaha‟ mempersyaratkan bahwa hendaknya hal itu

bukan sebagai perhiasan, sedangkan sebagian lainnya tidak

mempersyaratkan demikian. Sementara segolongan lainnya

mempersyaratkan pemakaiannya di malam hari, bukan di siang hari35.

Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang

ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan

ihdad dengan cara menjauhi hal-hal berikut:

34
Tihami Dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah
Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), Hlm 343
35
Abdul Rahman Ghozali,Op.Cit. Hlm 304
47

a. Memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh

ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab

Syafi‟i;

b. Memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih;

c. Memakai pakaian yang berbau wangi;

d. Memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak,

misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih

menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian

yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki,

pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali

jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk

mempercantik diri;

e. Memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk

keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya

sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa

perempuan yang sedang melakukan ihdad tidak boleh melakukan

pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi

pembuat atau pedagang minyak wangi;


48

f. Meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian

maupun tidak mengandung wewangian;

g. Memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut

ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh

dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap

tidak dibenarkan;

h. Mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan

pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits

riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i

dan Ahmad ibn Hanbal36.

Di samping itu, larangan lain dalam ihdad adalah larangan

untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan

untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah.

Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT

pada Surat al-Thalâq (65) ayat 1 tersebut di atas. Hadits-hadits yang

ada hanya menyebutkan hal-hal yang dipandang dapat mempercantik

diri pada masa Rasulullah SAW. Sesungguhnya, hal ini berkaitan erat

dengan penilaian dan adat istiadat („uruf) yang berkembang pada

36
Wahbah Al-Zuhailiy, Loc.Cit
49

setiap masyarakat. Ringkasnya, pendapat para fuqaha‟ berkenaan

dengan hal-hal yang harus diajuhi oleh wanita yang berihdad adalah

saling berdekatan, dan pada prinsipnya adalah semua perkara yang

dapat menarik perhatian kaum lelaki kepadanya37. Adapun larangan

yang harus dijauhi ketika melakukan ihdadadalah : Pertama, Berhias,

tidak diperbolehkan bagi seorang istri yang sedang ihdaduntuk

berhias diri dengan memakai pakaian yang umumnya (adat setempat)

dianggap sebagai sarana berhias, atau sekedar memakai cincin yang

terbuat dari emas atau perak. Sebagian ulama mazhab Syafi‟i seperti

imam Ibn Hajar menyampaikan, bahwa seorang istri yang sedang

ihdadboleh memakai sebuah cincin yang terbuat dari emas atau

perak. Kedua, memakai wewangian, tidak diperbolehkan bagi

seorang istri yang sedang ihdad memakai segala bentuk wewangian,

baik dipakai di badan atau dipakaian, karena hal tersebut di anggap

sebagai bentuk taraffuf (enak-enakan) yang sangat tidak layak bagi

seorang istri yang sedangihdad38.

Syeikh Abdullah Bin Baz berkata : wanita yang sedang

berkabung diperbolehkan untuk mandi dengan air, sabun, kapan saja

37
Abdul Rahman Ghozali, Loc.Cit
38
Abdul Manan, Fiqh Lintas Madzhab:Hanafi,Maliki,Syafi‟i,Hambali, Juz
5, (Kediri:Pp.Al Falah Ploso Mojo,2011) Hlm 99-100
50

ia mau, ia berhak untuk mengajak bicara kerabat-kerabatnya dan

orang lain yang ia kehendaki, ia boleh duduk bersama para

mahramnya, menghidangkan kopi dan makanan untuk mereka dan

sebagainya. Ia boleh bekerja dirumahnya,dipekarangan, diatap

rumahnya baik siang maupun malam dalam semua pekerjaan rumah

seperti, memasak, menjahit, menyapu, mencuci baju, memberi

makanan binatang ternak dan sebagainya sebagai mana dilakukan

oleh wanita yang tidak berkabung dia boleh berjalan disaat terang

bulan dalam keadaan tidak menutupi wajahnya sebagaimana wanita

lainnya. Dan juga boleh melepas kerudung jika tidak ada orang lain

kecuali hannyamahramnnya39.

Dewasa ini, beberturan dengan hal pekerjaan, cara

ihdadwanita ialah, bagi wanita yang berprofesi diluar rumah seperti

dokter, perawat dan lain-lain, maka mereka boleh keluar rumah untuk

menunaikan kewajibannya. Demikian pula mereka berhadapan

dengan orang banyak, maka boleh baginya memakai parfum

39
Abdullah Bin Baz, Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Jilid 2, (Jakarta: Daar
El Haq 2001).Hlm. 234
51

sekedarnya, serta ia boleh memakai aksesoris alakadarnya asal tidak

dimaksudkan berhias dan pamer40.

Menurut hemat penulis adanya perbedaan pendapat ulama

mengenai tata cara melakukanihdad di atas, seperti tentang jenis dan

warna pakaian yang boleh dipakai perempuan berkabung, disebabkan

karena adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang dapat

dianggap mempercantik diri dan menjadi daya tarik perempuan.

40
Abu Yazid,Fiqh Realitas (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005),Hlm 330

Anda mungkin juga menyukai