A. Pengertian Aswaja
Kata Ahl al-Bayt yang dimaksud dalam ayat ini adalah keluarga
Rasulullah; artinya bahwa Allah secara khusus membersihkan keluarga
Rasulullah dari syirik dan kufur.
Mu’tazilah bukan paham yang populer dikalangan rakyat biasa yang terbiasa
dengan pemikiran yang sederhana. Karena persoalan itu muncullah term
Ahlussunnah wal Jama’ah yang berarti golongan yang berpegang teguh
pada Sunnah (tradisi) dan merupahan faham mayoritas ummat.
Jika ditelusuri secara teoritis, definisi dari istilah sunni atau Aswaja
akan sulit didapatkan secara pasti dan konsensus. Hal ini salah satunya
disebabkan karena adanya perbedaan dalam menggunakan istilah sunni
secara akademik dan politik.
Tercatat ada 3 hadits, dua diriwayatkan oleh Imam Turmidzi dan satu
oleh Imam Tabrani. Dalam hadits ini diceritakan bahwa umat Yahudi akan
terpecah ke dalam 71 golongan, Nasrani menjadi 72 golongan, dan Islam
dalam 73 golongan.
Semua golongan umat Islam itu masuk neraka kecuali satu. "Siapa mereka
itu, Rasul?" tanya sahabat. "Ma ana ‘Alaihi wa Ashabi," jawab Rasul.
Pada suatu ketika timbul masalah antara guru dan murid, tentang
seorang mu’min yang melakukan dosa besar. Pertanyaan yang diajukannya,
apakah dia masih tetap mu’min atau tidak? Jawaban Al-Imam Hasan Al-
Bashry, “Dia tetap mu’min selama ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
tetapi dia fasik dengan perbuatan maksiatnya.” Keterangan ini berdasarkan
Al-Qur’an dan Al-Hadits karena Al-Imam Hasan Al-Bashry
mempergunakan dalil akal tetapi lebih mengutamakan dalil Qur’an dan
Hadits.
Dalil yang dimaksud, sebagai berikut; pertama, dalam surat An-Nisa’: 48;
Pada era Abu Hasan al-As’ari dan Abu Mansur al-Maturidi inilah
konsepsi aswaja sebagai kelompok pemikiran sudah mulai tersistematisir.
Pada era berikutnya istilah aswaja dalam lapangan teologi Islam semakin
mapan,
Dalam doktrin al-Asy’ari ada beberapa hal, yaitu: Pertama, posisi akal
(‘aql) dan nash (naql). Menurut al-Asy’ari iman (‘aqidah) yang mantap
haruslah berdasarkan pada ilmu pengetahuan. Iman tanpa ilmu seperti
orang yang lumpuh sedangkan ilmu tanpa iman seperti orang buta. Di
samping itu, dalil-dalil naqli baru dapat dipahami dengan benar jika ditunjang
oleh ilmu. Menurutnya “aqal dan naql bukanlah hal yang harus
dipertentangkan, tetapi ‘aqal seharusnya dipergunakan untuk memahami
naql”. Kedua, Al-Asy’ari menolak ajaran Mu’tazilah yang tidak mengakui
sifat-sifat Allah yang berbeda dengan dzatnya. Ketiga, al-Asy’ari menolak
faham Mu’tazilah tentang keadilan yang wajib bagi Allah. Menurut al-Asy’ari
kekuasaan Allah bersifat mutlak, sehingga tidak ada sesuatupun yang wajib
bagi Allah. Sedangkan menurut Mu’tazilah, Allah berkewajiban
mendatangkan yang baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Allah
berkewajiban menurunkan lutf bagi manusia. Lutf adalah semua hal yang
akan membawa manusia pada ketaatan dan yang akan menjauhkan
manusia dari maksiat, oleh karena itu Allah berkewajiban menurunkan Nabi
atau Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.
dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan
sebagai Manhaj Al-Fikri atau metode berpikir.
Apapun ia, tentunya menjadi sebuah hal yang unik dan menarik untuk
dibicarakan. Betapa tidak? Ketika para intelektual muda NU bergeliat
mencari makna kebenaran Ahlu Sunnah wa al-Jama’ah yang dikultuskan
dan menjadi unthoughtable para kiai justru akhirnya merasa terancam
eksistensinya. Ada apa dibalik semua ini? Said Aqil Siradj, seorang pemikir
muda NU yang banyak menyoroti tentang hal ini dan akhirnya mendapatkan
nasib yang sama dengan sesama intelektualis mendasarkan bahwa
hapuslah asumsi awal yang menyatakan ini sebagai madzhab pokok.
bersifat sosial maupun dalam konteks politik sekalipun. Ini penting karena
seringkali tindakan atau sikap yang diambil dalam berinteraksi di dunia ini
disusupi oleh kepentingan sesaat dan keberpihakan yang tidak seharusnya.
walaupun dalam kenyataannya sangatlah sulit atau bahkan mungkin tidak
ada orang yang tidak memiliki keberpihakan sama sekali, minimal
keberpihakan terhadap netralitas. Artinya, dengan bahasa yang lebih
sederhana dapat dikatakan bahwa memandang dan menposisikan segala
sesuatu pada proporsinya masing- masing adalah sikap yang paling bijak,
dan bukan tidak mengambil sikap karena itu adalah manifestasi dari sikap
pengecut dan oportunis.
Dengan adanya transisi Aswaja dari madzhab menjadi Manhaj Al-Fikri
sebenarnya memberikan udara segar bagi kita mengapa? Karena dengan
demikian nantinya kita akan dapat menghasilkan pandangan-pandangan
yang tentu relevan dengan keadaan yang sedang kita alami pada masa
sekarang, bukan hanya itu hal ini membuka pintu kretivitas umat. Tapi perlu
kita sadari dengan adanya transisi ini, kita dituntut untuk lebih giat,
termotivasi dalam usaha kita tafaquh fi al-din, agar nantinya apa yang kita
hasilkan benar-benar membawa kemashlahatan bagi umat.
1. Tawwasuth (Moderat)
Di bidang fiqih atau hukum Islam kita juga mendapatkan Abu Hanifah,
Malik bin Anas, Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal sebagai para pemikir yang
moderat. Mereka berempat dengan ciri khasnya masing-masing membangun
konsep fiqih Islam yang di dasarkan kepada Al-quran dan hadits, namun
2. Tasammuh (Toleran)
Kita bisa menengok sejarah, bagaimana sikap para imam yang telah
disebutkan di atas terhadap para penentang dan ulama-ulama lain yang
berbeda pendapat dengan mereka. Para Imam tidak pernah menyerukan
pelaknatan dan pengadilan kepada mereka, selama ajaran mereka tidak
mengancam eksistensi agama Islam. Lihat pula bagaimana sikap Wali
Sanga terhadap umat beragama lain (Hindu-Budha) yang sudah lebih dulu
ada di Jawa. Yang terpenting bagi mereka adalah menciptakan stabilitas
masyarakat yang dipenuhi oleh kerukunan, sikap saling menghargai, dan
hormat-menghormati.
3. Tawwazun (Seimbang)
kepada rakyat yang tidak mampu sebagai modal usaha dan investasi.
Sehingga dalam waktu tiga tahun saja telah terbangun struktur ekonomi
yang stabil dan kesejahteraan hidup terjamin. Dalam wilayah ekologi,
tawazun meniscayakan pemanfaatan alam yang tidak eksploitatif (israf) dan
merusak lingkungan. Banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan sikap
ramah terrhadap lingkungan. Larangan menebang pohon waktu berperang
misalkan, atau anjuran untuk reboisasi (penghijauan) hutan. Begitu juga
ketika para intelektual muslim semacam al-Khawarizmi, al-Biruni, dan yang
lain menjadikan alam sebagai sumber inspirasi dan lahan penelitian ilmu
pengetahuan.
4. Ta’addul (Adil)