Anda di halaman 1dari 8

‘AM DAN KHASH 1

Oleh : Arip Purkon

Pendahuluan
Setiap lafaz yang digunakan dalam teks hukum mengandung suatu pengertian
yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan lafaz itu. Ada pula lafaz yang
mengandung beberapa pengertian yang merupakan bagian-bagian dari lafaz itu. Bila
hukum berlaku untuk lafaz itu maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian
yang terkandung di dalamnya. Disamping itu, ada pula suatu lafaz yang hanya
mengandung suatu pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk
pengertian tertentu itu saja. Lafaz yang mengandung beberapa pengertian itu secara
sederhana disebut ‘am atau umum, sedangkan yang hanya mengandung satu pengertian
tertentu disebut khash atau khusus.

Pengertian ‘Am
Manna Khalil al-Qaththan menyebutkan bahwa definisi ‘am adalah :
‫اللفظ المستغرق لما يصلح له من غير حصر‬
yaitu lafaz yang meliputi sesuatu (pengertian) yang pantas baginya tanpa
pembatasan”.(al-Qaththan : 221)
Dari definisi tersebut kita dapat memahami bahwa hakikat dari lafaz ‘am itu
adalah :
a. Lafaz itu hanya terdiri dari satu pengertian secara tunggal.
b. Lafaz tunggal itu mengandung beberapa afrad (satuan pengertian).
c. Lafaz tunggal itu dapat digunakan untuk setiap satuan pengertiannya secara sama
dalam penggunaannya.
d. Bila hukum berlaku untuk satu lafaz, maka hukum itu berlaku pula untuk setiap
afrad yang tercakup di dalam lafaz itu.

1
Makalah dipresentasikan dalam diskusi Mata Kuliah Ulumul Quran di bawah bimbingan Dr. Hj. Faizah
Ali Syibramalisi, MA pada program Pascasarjan UIN Jakarta.

1
Sighat ‘Am
Sighat ‘am ialah lafaz atau ucapan yang digunakan untuk umum. Para ulama
berbeda pendapat dalam hal apakah ada lafaz tertentu yang digunakan untuk
menunjukkan bahwa lafaz itu adalah ‘am. (al-Qaththan : 221)
Abu Hasan al-Asy’ari dan pengikutnya berpendapat bahwa tidak ada sighat
tertentu untuk menunjukkan ‘am. Lafaz yang patut untuk dijadikan ‘am atau khash baru
dapat digunakan untuk maksud ‘am atau khash bila ada qarinah yang memberi petunjuk
untuk salah satu diantaranya. Sebelum adanya petunjuk, kita harus tawaquf dengan
menangguhkan dulu keumuman dan kekhususannya sampai menemukan dalil. Pendapat
ini disetujui oleh Qadhi Abu Bakar al-Baqillani dan ulama kalam Murji’ah. (Amir
Syarifuddin : 49).
Adapun jumhur ulama fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hanbali dan Zahiri)
berpendapat bahwa untuk menunjukkan ‘am itu ada lafaz tertentu yang mengikutinya
walaupun tanpa ada petunjuk dari luar. (Amir Syarifuddin : 49)
Beberapa sighat atau lafaz yang menunjukkan ‘am ini antara lain (al-Qaththan :
221-222) :
1. Lafaz yang dima’rifatkan dengan alif-lam yang maknanya al-jinsiyah, misalnya :
‫إن اإل نسا ن لفي خسر‬
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian”. (Q.S. Al-‘Ashr: 2)
‫ّللا البيع‬
‫و أحل ه‬
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli”. (Q.S. Al-Baqarah : 275)
2. Lafaz nakirah dalam bentuk meniadakan atau larangan, misalnya :
‫فمن فرض فيهن الحج فال رفث والفسوق والجدال في الحج‬
“Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji maka
tidak boleh rafats, bernuat fasiq dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan
haji”. (Q.S. Al-Baqarah : 197)

‫فال تقل لهما أف وال تنهرهما‬


“Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan
menghardiknya”. (Q.S. Al-Isra : 23)

2
3. Menggunakan isim maushul, misalnya :
‫والذى قال لوالديه أف لكما‬
“Dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya ‘cis’ bagi kamu berdua”. (Q.S.
Al-Ahqaf : 17)
‫أولئك الذين حق عليهم القول‬
“Mereka itulah orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka’. (Q.S. Al-Ahqaf :
18)
4. Isim Syarat, misalnya :
‫ّللا‬
‫وما تفعلوا من خير يعلمه ه‬
“Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan niscaya Allah mengetahuinya”. (Q.S.
Al-Baqarah : 197)
‫وحيت ما كنتم فولوا وجوهكم شطره‬
“Dan dimana saja kamu berada palingkanlah mukamu ke arahnya”. (Q.S. Al-Baqarah :
144)

5. Isim Jenis yang diidhafatkan pada isim ma’rifat. Misalnya :


‫ّللا في أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيين‬
‫يو صيكم ه‬
“Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka) untuk anak-anak yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. (Q.S. Al-Nisa
: 11)
‫ّللا‬
‫حتى يأتي وعد ه‬
“Sampai datang janji Allah”. (Q.S. Al-Ra’d : 31)

Pembagian ‘Am
‘Am terbagi menjadi tiga bagian (al-Qaththan : 222), yaitu :
1. ‘Am yang maksudnya adalah ‘am, misalnya :
‫كل نفس ذائقة الموت‬
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati’. (Q.S. Al-Anbiya : 35)
2. ‘Am yang maksudnya adalah khusus, misalnya :
‫الذين قال لهم الناس إن الناس قد جمعوا لكم فاخشوهم فزادهم إيمانا‬
‘(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-
orang yang mengatakan sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk

3
menyerang kamu karena itu takutlah kepada mereka. Maka perkataan itu menambah
keimanan mereka”. (Q.S. Ali Imran : 173)

Yang dimaksud dengan al-nas pertama adalah Ibnu Mas’ud dan yang kedua adalah Abu
Sufyan. (al-Suyuthi : 43)
3. ‘Am yang dikhususkan, misalnya :

‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيال‬


“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah”. (Q.S. Ali Imran : 97)

Pengertian Khash
Pengertian khash adalah lawan dari pengertian ‘am. Dengan demikian bila telah
memahami pengertian lafaz ‘am secara tidak langsung juga dapat memahami pengertian
lafaz khash. Karenanya tidak semua penulis yang menguraikan tentang lafaz khash
dalam bukunya, memberikan pengertian lafaz khash itu secara definitive.
Manna Khalil al-Qaththan mendefinisikan khash sebagai :
‫الذى اليستغرق الصالح له من غير حصر‬
yaitu yang tidak meliputi pengertian yang patut baginya tanpa pembatasan. (Al-
Qaththan : 223)
Jadi lafaz khash ini ditentukan untuk menunjukkan satu satuan secara perorangan
seperti “si Fulan”, atau satu satuan secara kelompok seperti “laki-laki” atau beberapa
satuan yang tak terbatas tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya yang masuk dalam
pengertian ‘am.

Pengertian Takhshish
Takhshish adalah :
‫إخراج بعض ما تناوله اللفظ العام‬
yaitu mengeluarkan sebagian dari apa yang dikandung oleh suatu lafaz ‘am. (al-
Qaththan : 223)

4
Jadi takshish itu merupakan penjelasan tentang hukum pada lafaz ‘am yang sejak
semula memang ditentukan untuk sebagian afradnya saja atau dengan kata lain takhshish
itu berarti penjelasan atau menjelaskan. Dalil takhshish biasanya disebut mukhashshish.
Mukhashshish ini ada dua macam yaitu mukhashshish muttashil (yang menyatu dengan
lafaz ‘am) dan mukhashshish munfashil (yang terpisah dari lafaz ‘am).

Macam-Macam Takhshish
Takhshish muttashil ada lima macam, yaitu :
1. Pengecualian (al-istitsna), misalnya :
‫إن اإلنسان لفى خسر إال الذين أمنوا وعملواالصالحات‬
“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang yang
beriman dan beramal shaleh”. (Q.S. Al-‘Ashr: 2-3)
‫ثم رددناه أسفل سافلين إال الذين أمنوا و عملواالصالحات‬
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka) kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh”. (Q.S. Al-Tin : 4-5)

2. Sifat, misalnya :
‫وربائبكم الالتى فى حجوركم من نسائكم الالتى دخلتم بهن‬
“Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri-istri yang telah kamu
campuri”. (Q.S. Al-Nisa : 23)
‫فمن ما ملكت أيمانكم من فتياتكم المؤمنا ت‬
“Maka (boleh mengawini) wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki”.
(Q.S. Al-Nisa : 25)

3. Syarat, misalnya :
‫كتب عليكم إذا حضر أحد كم الموت إن ترك خيراالوصية للوالدين و األقربين بالمعروف‬
“Diwajibkan atas kamu apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut
jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf”. (Q.S. Al-baqarah : 180)

‫وإذا ضربتم فىاألرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصالة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا‬
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar sembahyang jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. (Q.S. Al-Nisa :
101)

5
4. Limit waktu (al-ghayah), misalnya :
‫وال تحلقوا رؤوسكم حتى يبلغ الهدى محله‬
“Dan janganlah kamu mencukur kepalamu sebelum kurban sampai di tempat
penyembelihannya”. (Q.S. Al-Baqarah : 196)
‫وال تقربوهن حتى يطهرن‬
“Dan janganlah kamu mendekati mereka”. (Q.S. Al-baqarah : 122)

5. Bagian sebagai pengganti keseluruhan (badal ba’dh min al-kul), misalnya :


‫وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيل‬
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu bagi orang-orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah”. (Q.S. Ali Imran : 97)

Adapun takhshish munfashil ada 4 macam, yaitu :


1. Takhshish al-Quran dengan al-Quran, misalnya :
‫والمطلقات يتربصن بأنفسهن ثالثة قروء‬
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
(Q.S. Al-Baqarah : 228)

Ditakhshish dengan ayat :


‫وأوالت األحمال أجلهن أن يضعن حملهن‬
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka
melahirkan kandungannya”. (Q.S. Al-Thalaq : 4)

2. Takhshish al-Quran dengan sunah, misalnya :


‫ّللا في أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيين‬
‫يو صيكم ه‬
“Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka) untuk anak-anak yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. (Q.S. Al-Nisa
: 11)

Ditakhshish dengan hadits :


‫ال يرث القاتل‬
“Pembunuh tidak mendapat warisan”.

6
3. Takhshish al-Quran dengan ijma, misalnya :
‫ّللا في أوالدكم للذكر مثل حظ األنثيين‬
‫يو صيكم ه‬
“Allah mensyariatkan bagimu (pembagian pusaka) untuk anak-anak yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”. (Q.S. Al-Nisa
: 11)
Ditakhshish dengan ijma bahwa hamba sahaya tidak mendapat warisan.
4. Takhshish al-Quran dengan qiyas, misalnya :
‫الزانية و الزانى فاجلدوا كل واحد منهما مائة جلدة‬
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali”. (Q.S. Al-Nur : 2)

Ditakhshish dengan qiyas yaitu bahwa seorang hamba sahaya laki-laki (abid) yang
berzina mendapat hukuman setengah dari orang merdeka berdasarkan qiyas kepada
hukuman bagi hamba sahaya perempuan yang berzina dalam ayat :
‫فعليهن نصف ما على المحصنات من العذاب‬
“Maka atas mereka separo hukum dari hukum wanita-wanita merdeka yang berzina”.
(Q.S. Al-Nisa : 25)

Dalam masalah takhshish ini, para ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa
sesuatu yang qath’i tidak boleh ditakhshish kecuali dengan yang qath’i juga. (Al-Zuhaili
: 252-252). Demikian, wallahu a’lam.

7
DAFTAR BACAAN

Djalal, Abdul, Ulumul Quran, Surabaya : Dunia Ilmu.

Al-Qaththan, Manna al-Khalil, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran

Al-Suyuti, Jalaluddin, Al-Itqan fi Ulum al-Quran

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 2001.

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut : Daar al-Fikr, 1986.

Anda mungkin juga menyukai