Anda di halaman 1dari 3

Hlmn.

102

H) adalah tokoh-tokoh yang ikut berkontribusi aktif juga sebagai motor dari gerakan dan langkah

tersebut. Sebagaimana Abu Hanifah, ahli fiqh Syria al-Awzai (w. 157 H) juga melakukan

langkah yang serupa. Meski demikian, patut untuk dicatat bahwa mereka semua sebagai

kelompok ahlu al-ra'yi sesungguhnya tidaklah menggunakan model formal dalam penisbahan

tindakan hukumnya kepada sunnah, seperti yang dilakukan oleh generasi sesudahnya.

Upaya mereka belum menghasilkan suatu usaha pemilahan dan pemilihan metode formal

untuk verifikasi validitas dan otentisitas sunnah. Tugas yang terkahir ini kemudian

disempurnakan oleh ulama Irak lainnya, Abu Yusuf (w. 182 H) dan Ahmad bin Hasan al-

Syaibani (w. 189 H). Meski mereka adalah murid Imam Hanafi, tetapi kecenderungannya

kepada konservasi teks-teks hadits, kemudian menrubah arah madzhab ahlu al-ra'yi menjadi

lebih tekstualis. Muhammad Ibnu Idris al-Syafii (wafat 204 H) kemudian menyempurnakan

rintisan mereka di kemudian hari.

Langkah-langkah diatas yang kemudian memperlancar proses pematangan kodifikasi dan

standarisasi sumber-sumber utama hukum Islam, khususnya al-Sunnah. Yang berhasil dihimpun

dalam periode ini adalah, al-Sunnah, fatwa-fatwa sahabat, fatwa-fatwa tabiin dan tabiut tabiin.

Mulai dilakukan tradisi penafsiran alqur'an yang luas, dihimpun hasil pemikiran (fiqih) ulama

mujtahidin, serta berbagai risalah tentang pokok-pokok pemikiran hukum Islam. 1

Hal yang patut dicatat ialah pada masa ini telah muncul dua aliran besar dalam tradisi

pemikiran hukum Islam: ahlu al-hadits (golongan hadist) dan ahlu al-ra'yi (golongan rasio).

Ahlu al-hadits dinisbahkan kepada Imam Malik dan para pengikutnya. Dikatakan demikian

karena mereka lebih banyak mendasarkan upaya penemuan dan pemikiran hukumnya pada
1
Ali M Jafar, Nasyah al-Qawanin, hal. 212-223.
hadits Nabi, bahkan tradisi penduduk Madinah (‘amal ahl Madinah) yang dianggap juga menjadi

bagian dari sunnah. Sementara, golongan yang mengandalkan opini (ahlu al-ra-yi) cenderung

dalam upaya pemikiran dan penemuan hukumnya bersifat rasional dan lebih

Hlmn. 103

dominan dengan upaya penalaran aqliyyah, melalui model penalaran istihsan, istishlah, istishhab

dan mashalih mursalah. Rivalitas kedua aliran tersebut ditandai juga dengan perbedaan

konsentrasi geografis. Ahlu al-hadits terkonsentrasi di Madinah sementara ahlu al-ra'yi secara

dominan berada di Baghdad dan Kufah.

Di tengah situasi rivalitas antara ahlu ra'yu dengan ahlu al-hadits, peran Muhammad Ibnu

Idris al-Syafii tidak dapat diabaikan. Al-Syafii dianggap sebagai arsitek dari berkembangnya

pemikiran hukum Islam yang lebih paradigmatik dan filosofis. Kelak pemikiran itu

dikembangkan dengan nama Ushul fiqh. Meski pada awalnya pemikiran al-Syafii ditolak baik

oleh ahlu ra'yi maupun ahlu al-hadits, tetapi sejarah kemudian membuktikan bahwa model

pemikiran rekonsiliatif al-Syafii yang (disamping mengakui al-Quran dan al-hadits sebagai

sumber hukum, juga mengakui metode qiyas) dapat diterima secara luas. Jika ditelusuri lebih

lanjut, ternyata ini adalah pola pemikiran yang membuka jalan bagi dapat digabungkan dua

aliran besar pemikiran hukum Islam tersebut. 2

Madzab Konvergensi; Teoretisasi Hukum Islam dan Munculnya Ushul fiqh

Imam al-Syafii hidup dalam dua kecenderungan yang mulai berlawanan. Satu pihak,

mulai menggejala asumsi dan praktek yang menisbahkan secara ekstrim segala tindakan dan

pertimbangan hukum mereka kepada hadits-hadits Nabi, di pihak lain mulai mengerasnya

2
Hallaq, Sejarah, hal. 31-51.
penolakan untuk merujuk kepada hadits-hadits tersebut, dengan asumsi bahwa al-Quran lebih

otoritatif dan valid untuk dijadikan rujukan nilai dan praktek hukum.

Menghadapi situasi yang paradoks dan konfliktual tersebut, al-Syafii menulis satu uraian

yang awalnya disebut dengan "al-kitab" kemudian dikenal dengan "al-risalah".

Di dalam karya al-risalahnya, uraian pertama al-Syafii mengokohkan keyakinan tauhid

dan menjadikannya sebagai batu

Hlmn. 104

Anda mungkin juga menyukai