Anda di halaman 1dari 8

Nama:

Kelas:
Mapel:

MUJMAL, MUBAYYAN, MURADIF dan MUSYTARAK

A.Mujmal
1. Pengertian Mujmal
Secara bahasa mujmal berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Mujmal ialah suatu lafal yang
belum jelas, yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya apabila tidak ada keterangan lain yang
menjelaskan. Dapat juga dimengerti sebagai lafadh yang global, masih membutuhkan penjelasan
(bayan) atau penafsiran (tafsir). Seperti pada Al-Qur’an Surat An Nur ayat 56, yang masih
memerlukan penjelasan tentang tatacara melaksanakanya.

‫صاَل ةَ َوآتُوا ال َّزكَاةَ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو َل لَ َعلَّ ُك ْم‬


َّ ‫َوأَقِي ُموا ال‬
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat.” (QS. An Nur : 56)
Kata “mendirikan shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui tata
caranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tata caranya. Dan Kata ”menunaikan zakat”
dalam ayat di atas masih mujmal karena belum diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya
masih diperlukan dalil lainnya.
2. Contoh Lafadz Mujmal
Contoh lafadz yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
‫ات يَت ََربَّصْ نَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫و ْال ُمطَلَّق‬...
َ
“Perempuan yang diceraikan suaminya, menantikan iddahnya tiga quru.’”(Q.S. al-Baqarah[2]: 228).
Lafadz quru’ ini disebut dengan mujmal karena mempunyai dua makna, yaitu haid dan suci.
Kemudian mana di antara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan
penjelasan, yaitu bayan. Ini adalah contoh yang ijmal dalam lafadz tunggal.
Contoh dalam lafadz yang murakkah (susunan kata-kata) sebagai berikut:

ِ ‫أَوْ يَ ْعفُ َو الَّ ِذي بِيَ ِد ِه ُع ْق َدةُ النِّك‬...


...‫َاح‬
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan.”(Q.S.Al-Baqarah [2]: 237).
Dalam ayat tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapa yang di maksud orang yang
memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud adalah suami atau wali.
Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan nikah maka
diperlukan penjelasan (bayan).
Selain itu, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang ihtimal (layak) menunjukkan dua
segi, sebagaimana sabda Nabi saw.:
‫ال يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة في جداره‬
Artinya: “janganlah salah seorang di antara kamu menghargai tetangganya untuk meletakkan kayu
pada dindingnya.”

Kata-kata nya padda dindingnya tersebut masih mujmal artinya belum jelas, apakah kembalinya itu
kepada dinding orang itu atau kepada tetangganya

B.Mubayyan
1. Pengertian Mubayyan
Mubayyan artinya yang ditampakkan dan yang dijelaskan, secara istilah berarti lafadh yang
dapat dipahami maknanya berdasar asal awalnya atau setelah dijelaskan oleh lainnya. Al
Bayyan artinya ialah penjelasan, di sini maksudnya ialah menjelaskan lafal atau susunan yang
mujmal.

2. Klasifikasi Mubayyan

A. Mubayyan Muttashil, adalah mujmal yang disertai penjelasan yang terdapat dalam satu
nash. Misalnya dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ (4) : 176,

ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ أُ ْخ‬


‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما تَرَكَ ۚ َوه َُو يَ ِرثُهَا إِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولَ ٌد ۚ فَإِ ْن كَانَتَا‬ َ ‫ك قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل لَ ِة ۚ إِ ِن ا ْم ُر ٌؤ هَلَكَ لَي‬
َ َ‫يَ ْستَ ْفتُون‬

‫َي ٍء َعلِي ٌم‬ ِ َ‫َر ِم ْث ُل َحظِّ اأْل ُ ْنثَيَي ِْن ۗ يُبَيِّنُ اللَّهُلَ ُك ْم أَ ْن ت‬
ْ ‫ضلُّوا ۗ َوهَّللا ُ ِب ُك ِّل ش‬ َّ ِ‫ك ۚ َوإِ ْن كَانُوا إِ ْخ َوةً ِر َجااًل َونِ َسا ًء فَل‬
ِ ‫لذك‬ ِ َ‫ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما الثُّلُث‬
َ ‫ان ِم َّما ت ََر‬

Artinya: “ mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah) Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan
mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika
ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari)
saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. An Nisa’ (4) : 176

Lafazh “kalalah” adalah mujmal yang kemudian dijelaskan dalam satu nash; “Mereka meminta fatwa
kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, (yaitu)
jika seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,
maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya dan saudaranya
yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi
jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan.
Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”
Kalalah adalah orang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai anak. Makna inilah yang diambil
oleh Umar bin Khtattab, yang meyatakan: “Kalalah adalah orang yang tidak mempunyai anak.” B.
Mubayyan Munfashil, adalah bentuk mujmal yang disertai penjelasan yang tidak terdapat dalam satu
nash. Dengan kata lain, penjelasan tersebut terpisah dari dalil mujmal.

3.Macam-macam Mubayyan:
a.Mubayyan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
َ ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة أَي ٍَّام فِي ْال َح ِّج َو َس ْب َع ٍة إِ َذا َر َج ْعتُ ْم تِ ْل‬
‫ك َع َش َرةٌ كَا ِملَة‬ ِ َ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
“Barang siapa yang tidak dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari sempurna.” (Q.S.al-
baqarah[2]: 196)
Lafadz tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh. Untuk
menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya sepuluh hari yang sempurna.
Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
b.Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan haji:
‫صلواكمارأيتمو ني أصلي‬
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan sholat.”(H.R. Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan sebagaimana
beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c.Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam satu bulan.
Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat sepuluh jarinya tiga kali, yakni 30
hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir.
Maksudnya bahwa bulan arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d.Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang menerangkan:
‫ مست ا لنار‬¢‫م عدم الوضوءمما‬.‫كان اخراالمرين منه ص‬
“adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa yang dipanaskan api,”
Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi setiap kali
selesai makan daging yang dimasak.
e. Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan wajibnya ibadah haji, ada seorang
yang bertanya ”Apakah setiap tahun ya Rasulullah?”Rasulullah diam tidak menjawab. Diamnya
Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan tiap tahun

C.Muradif
1. Pengertian Muradhif
Dalam bahasa Muradif memiliki arti membonceng, ikut serta atau kata yang searti. Dan secara istilah
Muradif adalah : “Muaradif ialah lafal yang bentuk lafalnya banyak. Tetapi artinya sama”
Muradif ialah beberapa lafadh yang menunjukkan satu arti. Misalnya lafadhnya banyak, sedang
artinya dalam peribahasa Indonesia satu, sering disebut dengan sinonim
ُ ‫اللَّي‬
. ‫ االَ َس ُد‬,‫ْث‬ :singa
‫ المؤ ّدب‬,‫ المعلم‬,‫ المد َرس‬,‫ االستاذ‬: pendidik (guru)
‫ القط‬,ّ‫الهر‬ : kucing
2. Kaidah Muradhif
. ‫ع ُكلٍّ ِمنَ ْال ُم َرا ِدفَي ِْن َم َكانَ ْاآل َخ ِر يَجُوْ ُز إِ َذا لَ ْم يَقُ ْم َعلَ ْي ِه طَالِ ٌع شَرْ ِع ٌّي‬
ُ ‫إِ ْيقَا‬

“Mendudukkan dua muradhif itu pada tempat yang sama itu diperbolehkan jika tidak ditetapkan oleh
syara’.”
Mempertukarkan dua muradif satu sama lain itu diperbolehkan jika dibenarkan oleh syara’. Namun
kaidah ini tidak berlaku bagi Al Qur’an, karena ia tidak boleh diubah. Bagi mazhab malikiah, takbir
shalat tidak boleh dilakukan kecuali dengan lafal “Allah akbar.” Imam Syafi’i membolehkan dengan
lafal “Allahu Akbar”. Sementara imam Abu Hanifah membolehkan lafal “Allah Akbar” diganti
dengan lafal “Allah Al-Azim” atau “Allah Al-Ajal”. Ulama’ yang tidak membolehkan beralasan
karena adanya halangan syar’i yaitu bersifat ta’abudi (menerima apa adanya tidak boleh diubah).
Sedang yang membolehkan, beralasan karena adanya kesamaan makna dan tidak mengurangi maksud
ibadah tersebut.
Contoh lafadh Muradif
Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti berikut :
1) Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi
jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

ِ ‫ُوص َل َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَخَافُونَ سُو َء ْال ِح َسا‬


‫ب‬ َ ‫صلُونَ َما أَ َم َر هَّللا ُ بِ ِه أَ ْن ي‬
ِ َ‫َوالَّ ِذينَ ي‬
“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan
mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”
Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk Allah
SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf berfaedah
melemahkan atau dha’if.
2) Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl
dengan kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-
bukhl karena keadaannya. Seperti contoh berikut :
‫ين‬
ٍ ِ ‫ضن‬ ِ ‫َو َما هُ َو َعلَى ْال َغ ْي‬
َ ِ‫ب ب‬
“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”
Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi ilmihi.
3) Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

َ‫َسيَقُو ُل ْال ُمخَ لَّفُونَ إِ َذا ا ْنطَلَ ْقتُ ْم إِلَى َمغَانِ َم لِتَأْ ُخ ُذوهَا َذرُونَا نَتَّبِ ْع ُك ْم ي ُِري ُدونَ أَ ْن يُبَ ِّدلُوا كَاَل َم هَّللا ِ قُلْ لَ ْن تَتَّبِعُونَا َك َذلِ ُك ْم قَا َل هَّللا ُ ِم ْن قَ ْب ُل فَ َسيَقُولُون‬
‫بَلْ تَحْ ُسدُونَنَا بَلْ كَانُوا اَل يَ ْفقَهُونَ إِاَّل قَلِياًل‬

“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil
barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji Allah.
Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan
sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan mereka tidak
mengerti melainkan sedikit sekali.”
4) As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

َ‫ت َولِتَ ْستَبِينَ َسبِي ُل ْال ُمجْ ِر ِمين‬


ِ ‫ص ُل اآْل يَا‬
ِّ َ‫َو َك َذلِكَ نُف‬
“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan
supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”

D. Musytarak
1. Pengertian Musytarak
Musytarak secara bahasa berarti berserikat, berkumpul. Dalam ushul fiqh yang dimaksud dengan
Musytarak adalah :
ُ ْ‫لَلَّفَظُ ْال َموْ ضُو‬
‫ع لِ َحقِ ْيقَتَي ِْن ُمحْ تَلِفَتَي ِْن اَوْ اَ ْكثَر‬
“lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda”
Musytarak ialah satu lafadh yang menunjukkan dua makna atau lebih. Maksudnya satu lafadh
mengandung maknanya yang banyak atau berbeda-beda. Adapun definisi yang diketengahkan oleh
para ulama’ ushul adalah antara lain:
‫اح ُد ال َّدالُّ َعلَى َم ْعنَيَ ْي ِن ُم ْختَلِفَي ِْن أَوْ أَ ْكثَ َر َدالَلَةً َعلَى ال َّس َوا ِء ِع ْن َد أَ ْه ِل تِ ْلكَ اللُّ َغ ِة‬ َ ُ‫اللَّ ْفظ‬
ِ ‫الو‬
“Satu lafadh (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang
sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
Kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut
secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. Seperti kata ‫ قرء‬yang dalam
pemakaian bahasa arab dapat berarti masa suci dan bisa pula masa haidh, lafadh ‫ عين‬bisa berarti mata,
sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai dan emas, kata ‫ يد‬musytarak antara tangan
kanan dan kiri, kekuasaan kata ‫ سنة‬dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun
masehi.

2. Kaidah Musytarak

ِ ‫اِ ْستِ ْع َما ُل ال ُم ْشتَ َر‬


‫ك فِى َم ْعنَ ْي ِه اَوْ َم َعانِ ِه يَجُوْ ُز‬
“Penggunaan musytarak menurut makna yang dikehendaki ataupun untuk beberapa maknanya itu
diperbolehkan.”
Jadi, menetapkan salah satu makna dari suatu lafadh musytarak tidak dibatasi. Beberapa makna
musytarak tersebut boleh dipergunakan. Contohnya, kata “sujud”. Kata ini bisa berarti meletakkan
kepala di tanah dan bisa pula berarti inqiyad (kepatuhan). Lihat misalnya, firman Allah Swt dalam Al-
Qur’an Surat Al Hajj ayat 26

ِ ‫َوإِ ْذ َبو َّْأنَا إِل ِ ب َْرا ِهي َم َم َكانَ ْالبَ ْي‬


, ‫ت أَ ْن اَل تُ ْش ِر ْك بِي َش ْيئًا َوطَهِّرْ بَ ْيتِ َي ِللطَّائِفِينَ َو ْالقَائِ ِمينَ َوالرُّ َّك ِع ال ُّسجُو ِد‬
“Dan ingatlah ketika kami tempatkan Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan), ‘Janganlah
engkau mempersekutukan dengan apa pun dan sucikanlah rumahKu bagi orang-orang yang tawaf, dan
orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang rukuk dan sujud’.” (QS Al Hajj : 26)
Jumhur Ulama’ termasuk Imam Syafi’i, Qodi Abu Bakar dan Al Juba’i berpendapat bahwa
pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa makna hukumnya boleh, dengan alasan Firman
Allah SWT., dalam Al-Qur’an Surat Al Hajj ayat 18
ِ َّ‫ض َوال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر َوالنُّجُو ُم َو ْال ِجبَا ُل َوال َّش َج ُر َوال َّد َوابُّ َو َكثِي ٌر ِمنَ الن‬
‫اس‬ ِ ْ‫ت َو َم ْن فِي اأْل َر‬
ِ ‫أَلَ ْم ت ََر أَ َّن هَّللا َ يَ ْس ُج ُد لَهُ َم ْن فِي ال َّس َما َوا‬
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah sujud apa yang ada di langit dan di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar manusia?” (QS. Al-Haj : 18)
Lafadh ‫ ْسجُد‬itu mempunyai dua arti yang sama-sama hakiki yaitu tunduk dan meletakkan dahi di
bumi. Bagi makhluk-makhluk yang tidak berakal seperti matahari, bulan, bintang, gunung, pohon dan
binatang melata, kata sujud berarti tunduk, tetapi bagi manusia yang berakal sujud berarti meletakkan
dahi di atas bumi. Apabila arti sujud ini hanya tunduk maka Allah SWT tidak mengakhiri firman-Nya
ِ ‫ َكثِ ْي ٌر ِمنَ الن‬. oleh karena itu, imam Syafi’i mengartikan kata “mulamasah” dalam firman Allah
dengan ‫َاس‬
SWT: ‫ اوْ لَ َم ْستُ ُم النِّ َساء‬dengan arti menyentuh dengan tangan dan menyentuh dengan bersetubuh secara
bersama-sama.
3. Sebab-sebab terjadinya Lafadh Musytarak
a. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan
terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata ‫ يد‬, dalam satu kabilah, kata ini
digunakan menunjukkan arti “hasta secara sempurna” (‫)كله ذراع‬. Satu kabilah untuk menunjukkan (
‫)الساعدوالكف‬. Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus “telapak tangan”.
b. Terjadinya makna yang berkisar/ keragu-raguaan ‫ تردد‬antara makna hakiki dan majaz. C. Terjadinya
makna yang berkisaran/keragu-raguaan ‫ تردد‬antara makna hakiki dan makna istilah urf. Sehingga
terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan
dalam istilah syara’. Seperti lafadh ‫الصالة‬yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam
istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita maklumi.

4. Ketentuan Hukum Lafadh Musytarak


a. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan
istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada indikasi-indikasi yang
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadh tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan
adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu
arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah
lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi
tertentu masyarakat arab pada saat turunnya nash tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadh lafadh tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu
artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.

5. Contoh Lafadh Musytarak


Dalam Al-Qur’an banyak contoh-contoh musytarak, yang antara lainnya firman Allah Swt dalam Al-
Qur’an Surat Al Baqarah ayat 222,
ُ ‫طهُرْ نَ ۖ فَإِ َذا تَطَهَّرْ نَ فَأْتُوه َُّن ِم ْن َحي‬
‫ْث أَ َم َر ُك ُم‬ ْ َ‫يض ۖ َواَل تَ ْق َربُوه َُّن َحتَّ ٰى ي‬
ِ ‫يض ۖ قُلْ ه َُو أَ ًذى فَا ْعت َِزلُوا النِّ َسا َء فِي ْال َم ِح‬
ِ ‫َويَسْأَلُونَكَ ع َِن ْال َم ِح‬
َ‫هَّللا ُ ۚ إِ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ التَّوَّابِينَ َويُ ِحبُّ ْال ُمتَطَه ِِّرين‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab
itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah : 22)
Lafadh ‫ المحيض‬dapat berarti masa/waktu haidh (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah
haidh (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidh.
Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap
menggauli istri-istrinya dalam waktu haidh. Sehingga yang dimaksud lafadh ‫ المحيض‬diatas adalah
bukanlah waktu haidh akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidh (qubul).
Contoh lain sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an Surat Al Baqara
‫صْ نَ بِأَنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.” (QS. Al Baqarah :
228)
Lafadh quru’ dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidh.
Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetahui
makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut. Para ulama’ berbeda pendapat dalam
mengartikan lafadh quru’tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan
masa suci.
Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan :
tsalatsah) yang menurut kaidah bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci).
Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan
bahwa lafadh tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya
masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’
diartikan haidh. Sebab jika lafadh quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga).
Dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 229,

ِ ‫ُوف أَوْ تَس‬


‫ْري ٌح بِإِحْ َسا ٍن‬ ¢ٌ ‫َان ۖ فَإِ ْم َسا‬
ٍ ‫ك بِ َم ْعر‬ ُ ‫الطَّاَل‬
ِ ‫ق َم َّرت‬
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik”. (QS. Al-Baqarah : 229)
Dalam ayat tersebut di atas lafadh al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu “melepaskan tali
ikatan hubungan suami istri yang sah”, bukan diartikan secara bahasa yang berarti “melepaskan tali
ikatan secara mutlaq”.
Seperti dalam hal lain.“Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Lafadh ‫ الصالة‬pada ayat tersebut
dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’
yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. Berikut ini contoh lafadh ‫ الصالة‬yang
diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah Swt dalam Al-Qur’an Surat Al
Ahzab ayat 56,

َ ‫صلُّونَ َعلَى النَّبِ ِّي ۚ َيا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا‬


‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما‬ َ ُ‫إِ َّن هَّللا َ َو َماَل ئِ َكتَهُ ي‬
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al
Ahzab : 56)
Lafadh ‫ الصالة‬pada ayat tersebut bukan bermakna shalat dalam ibadah tertentu, akan tetapi
mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa. Karena ‫ الصالة‬dalam ayat tersebut dinisbatkan
kepada Allah Swt dan para malaikat. Sedangkan shalat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada
manusia.

Anda mungkin juga menyukai