Anda di halaman 1dari 10

Mujmal dan Mubayyan

A. MUJMAL
1. Pengertian Mujmal
Mujmal ialah suatu lafadz yang belum jelas,yang tidak dapat menunjukkan arti sebenarnya
apabila tidak ada keterangan lain yang menjelaskan. Penjelasan ini disebut albayan.
Ketidakjelasan ini disebut ijmal.
2. Contoh Lafadz Mujmal
Contoh lafadz yang mujmal, sebagaimana firman Allah:
ِ ُ‫صنَ بَِأ ْنف‬
...‫س ِهنَّ ثَاَل ثَةَ قُ ُرو ٍء‬ ْ َّ‫َوا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَتَ َرب‬
“Perempuan yang diceraikan suaminya, menantikan iddahnya tiga quru.’”(Q.S. al-Baqarah[2]:
228).
Lafadz quru’ ini disebut dengan mujmal karena mempunyai dua makna, yaitu haid dan suci.
Kemudian mana di antara dua macam arti yang dikehendaki oleh ayat tersebut maka diperlukan
penjelasan, yaitu bayan. Ini adalah contoh yang ijmal dalam lafadz tunggal.
Contoh dalam lafadz yang murakkah (susunan kata-kata) sebagai berikut:
ِ ‫َأ ْو يَ ْعفُ َو الَّ ِذي بِيَ ِد ِه ُع ْق َدةُ النِّ َك‬...
...‫اح‬
“Atau orang yang memegang ikatan pernikahan memaafkan.”(Q.S.Al-Baqarah [2]: 237).
Dalam ayat tersebut masih terdapat ijmal tentang menentukan siapa yang di maksud orang yang
memegang kekuasaan atas ikatan pernikahan itu, mungkin yang dimaksud adalah suami atau
wali. Kemudian untuk menentukan siapa diantara kedua itu yang dimaksud pemegang ikatan
nikah maka diperlukan penjelasan (bayan).
Selain itu, ada lagi mujmal pada tempat kembalinya dhamir yang ihtimal (layak) menunjukkan
dua segi, sebagaimana sabda Nabi saw.:
‫ال يمنع أحدكم جاره أن يضع خشبة في جداره‬
“janganlah salah seorang di antara kamu menghargai tetangganya untuk meletakkan kayu pada
dindingnya.”
Kata-kata nya pada dindingnya tersebut masih mujmal artinya belum jelas, apakah kembalinya
itu kepada dinding orang itu atau kepada tetangganya.

B. MUBAYYAN
1. Pengertian Mubayyan
Al-Bayan artinya ialah penjelasan; maksudnya ialah menjelaskan lafadz atau susunan yang
mujmal. Mubayyan ialah lafadz yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari
lainnya. Jelasnya ialah:
‫البيان إخراج الشيء من حيزاإلشكال إلي حيزا لتجلي‬
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang jelas.”
2. Macam-macam Mubayyan:
a. Mubayyan dengan perkataan; sebagaimana firman Allah swt.;
َ ‫صيَا ُم ثَاَل ثَ ِة َأيَّ ٍام فِي ا ْل َح ِّج َو‬
‫س ْب َع ٍة ِإ َذا َر َج ْعتُ ْم ِت ْلكَ َعش ََرةٌ َكا ِملَة‬ ِ َ‫فَ َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد ف‬
“Barang siapa yang tidak dapat membeli binatang kurban hendaklah ia berpuasa tiga hari
dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu kembali;yang demikian itu sepuluh hari
sempurna.” (Q.S.al-baqarah[2]: 196)
Lafadz tujuh dalam bahasa arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan lebih dari tujuh.
Untuk menjelaskan tujuh yang sebenarnya, Allah iringi dengan firmanNya sepuluh hari yang
sempurna. Penjelasan tujuh yang sebenarnya dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
b. Bayan dengan perbuatan; seperti penjelasan Nabi saw. Pada cara-cara sholat dan haji:
‫صلواكمارأيتمو ني أصلي‬
“Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan sholat.”(H.R. Bukhari).
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi saw. Yakni beliau mengerjakan
sebagaimana beliau mengerjakan sambil menyuruh orang menirunya.
c. Bayan dengan isyarat; Misalnya penjelasan Nabi saw. Tentang jumlah hari dalam satu bulan.
Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau dengan mengangkat sepuluh jarinya tiga kali,
yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil membenamkan ibu jarinya pada kali
yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan arab itu kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
d. Bayan dengan meninggalkan sesuatu; misalnya hadits ibnu hibban yang menerangkan:
‫م عدم الوضوءمما مست ا لنار‬.‫كان اخراالمرين منه ص‬
“adalah akhir dua perkara pada Nabi saw. Tidak berwudhu’ karena makan apa yang
dipanaskan api,”
Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi saw tidak berwudhu’ lagi setiap kali
selesai makan daging yang dimasak.
e. Bayan dengan diam; Misalnya tatkala Nabi saw menerangkan wajibnya ibadah haji, ada
seorang yang bertanya ”Apakah setiap tahun ya Rasulullah?”Rasulullah diam tidak menjawab.
Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa haji tidak wajib dilakukan tiap tahun

Muradif dan Musytaraq

a. Pengertian Muradif

Yang dimaksud muradif ialah kalimah yang lafadznya banyak, sedangkan artinya sama
(sinonim), seperti lafadz al-asad dan al-laiits artinya singa.

b. Pengertian Musytarak
Musytarak ialah lafadz yang digunakan untuk dua arti atau lebih dengan penggunaan yang
bermacam-macam. Dalam definisi lain yaitu lafadz yang digunakan dua makna yang berbeda
atau lebih . Seperti lafadh quruu’ yang memiliki arti berdeda, ada yang mengartikan sucian, dan
haidh-an.

Lafadh musytarak diciptakan untuk beberapa makna yang yang penunjuknya kepada makna itu
dengan jalan bergantian, tidak sekaligus.Misalnya lafadh ‘ain yang diciptakan untuk beberapa
makna. Yakni mata untuk melihat, mata air, dan lain sebagainya.Bisa dikatakan penggunaan
kepada arti-arti tersebut adalah tidak sekaligus.

2. Bentuk-bentuk Lafadh Muradif dan Musytarak

Dalam mengetahui bentuk-bentuk lafadh muradif dan musytarak, hal utama yang harus
diperhatikan adalah siyaqul kalamnya. Oleh karena itu kami akan memberikan contoh-contoh
berikut:

a. Contoh lafadh muradif

Dalam al-Qur’an seorang pembaca akan sering menjumpai lafadh-lafadh muradif seperti
berikut :

1) Al-khauf dan khasyah artinya (Takut). Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi
jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat
makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Seperti contoh berikut :

ِ ‫ُوص َل َويَ ْخ َشوْ نَ َربَّهُ ْم َويَخَافُونَ سُو َء ْال ِح َسا‬


‫ب‬ َ ‫صلُونَ َما َأ َم َر هَّللا ُ بِ ِه َأ ْن ي‬
ِ َ‫َوالَّ ِذينَ ي‬

“dan orangg-orang yang menghuungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan
dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut terhadap hisab yang buruk.”

Dalam ayat ini memberitahukan bahwa sesungguhnya al-khasyhah dikhususkan hanya untuk
Allah SWT.sebab lafadh al-khasyah itu berfaedah memuliakan. Sedangkan lafadh al-khouf
berfaedah melemahkan atau dha’if.

2) Asy-syukh dan al-bukhl artinya Pelit atau kikir. Al-Askary juga membedakan al-bukhl dengan
kata adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atau aibnya, namun al-bukhl karena
keadaannya. Seperti contoh berikut :

‫ضنِي ٍن‬ ِ ‫َو َما ه َُو َعلَى ْال َغ ْي‬


َ ِ‫ب ب‬

“Dan dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib.”

Di sini tidak disebutkan dengan lafadh al-bukhl. Di lain waktu juka dikatakan ad-dhanin bi
ilmihi.

3) Hasad dan al-hiqdu (dengki). Seperti pada contoh berikut :

َ َ‫َسيَقُو ُل ْال ُم َخلَّفُونَ ِإ َذا ا ْنطَلَ ْقتُ ْم ِإلَى َمغَانِ َم لِتَْأ ُخ ُذوهَا َذرُونَا نَتَّبِ ْع ُك ْم ي ُِري ُدونَ َأ ْن يُبَ ِّدلُوا كَاَل َم هَّللا ِ قُلْ لَ ْن تَتَّبِعُونَا َك َذلِ ُك ْم ق‬
‫ال هَّللا ُ ِم ْن قَ ْب ُل‬
‫فَ َسيَقُولُونَ بَلْ تَحْ ُسدُونَنَا بَلْ َكانُوا اَل يَ ْفقَهُونَ ِإاَّل قَلِياًل‬

“Orang-orang badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil
barang rampasan: “biarkanlah kami, niscaya kami mengikutimu” mereka hendak merubah janji
Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak boleh mengikuti kami; demikian Allah telah
menetapkan sebelumnya. Mereka mengatakan: “sebenarnya kamu dengki kepada kami. Bahkan
mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.”

4) As-sabil dan at-thariq (jalan). Seperti pada contoh berikut :

َ‫ت َولِتَ ْستَبِينَ َسبِي ُل ْال ُمجْ ِر ِمين‬


ِ ‫ص ُل اآْل يَا‬
ِّ َ‫َو َك َذلِكَ نُف‬

“Dan demikianlah kami terangkan ayat-ayat al-Qur’an supaya jelas jalan orang-orang yang saleh,
dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.”

b. Contoh lafadh musytarak

Contoh lafadh musytarak yang sering kita jumpai dalam surah al-Baqarah : 288 adalah sebagai
berikut :

‫ات يَت ََربَّصْ نَ بَِأنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬


ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

Lafadh quru’ dalam ayat tersebut, dalam bahasa Arab bias berarti suci dan bias pula berarti masa
haidh.Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk
mengetahui arti yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadhquru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’
yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena
adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida
bahasa arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadh al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu
Hanifah mengartikannya dengan masa haidh. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadh
tsalatsah adalah lafadh yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing
quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan.

3. Implikasi Hukum dan Kaidah-kaidahnya

a. Dilalah muradif

Kaidah yang berkaitan dengan muradif, jumhur ulama’ menyatakan bahwa mendudukkan dua
mmiradif pada tempat yang lain diperbolehkan selama hal itu tidak dicegah oleh syari’.
Kaidahnya adalah sebagai beikut :

‫ايقاع المترادفين فى مكان االخر يجوز اذا لم يقم عليه مانع شرعى‬

“mendudukkan dua muradif pada tempat yang sama diperbolehkan jika tidak ada mani’ syar’iy.”
Al-Quran adalah mukjizat baik dari sudut lafadh maupun artinya.Oleh karena itu tidak
diperbolehkan mengubahnya. Bagi Malikiyah mengatakan bahwa takbir dalam shalat tidak
diperbolehkan kecuali “Allahu Akbar”, sedang Syafi’iyah hanya memperbolehkan “Allahu
Akbar” atau “Allahul Akbar” sedangkan Hanafiyah memperbolehkan semua lafadh yang semisal
dengannya, seperti “Allahul A’dhom”, “Allahul Ajal” dan sebagainya.
(https://rudien87.wordpress.com/2010/11/10/ta%E2%80%99wil-dan-nasakh-muradif-dan-
musytarak/ diakses pada 30 Maret 2016).

b. Dilalah musytarak
Dalam pnggunaan lafadh musytarak, jumhur ulama’ dari golongan Syafi’iyah, Abu Bakar dan
Abu ‘Ali al-Jaba’I memperbolehkan penggunaan musytarak menurut arti yang dikehendaki, atau
berbagai makna.Kaidahnya :

‫استعمال المشترك فى معنييه او معا نيه يجوز‬

“Menggunakan (lafadh) musytarak menurut dua atau beberapa arti itu diperbolehkan.”

Alas an mereka berdasarkan pada surah al-Hajj : 18 sebagaimana berikut :

ِ َّ‫ض َوال َّش ْمسُ َو ْالقَ َم ُر َوالنُّجُو ُم َو ْال ِجبَا ُل َوال َّش َج ُر َوال َّد َوابُّ َو َكثِي ٌر ِمنَ الن‬
‫اس‬ ِ ‫َألَ ْم ت ََر َأ َّن هَّللا َ يَ ْس ُج ُد لَهُ َم ْن فِي ال َّس َما َوا‬
ِ ْ‫ت َو َم ْن فِي األر‬
‫ق َعلَ ْي ِه ْال َع َذابُ َو َم ْن يُ ِه ِن هَّللا ُ فَ َما لَهُ ِم ْن ُم ْك ِر ٍم ِإ َّن هَّللا َ يَ ْف َع ُل َما يَ َشا ُء‬
َّ ‫َو َكثِي ٌر َح‬

“Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian
besar daripada manusia?dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan
Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya
Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

Lafadh yasjudu bisa diartikan menempelkan dahi ke bumi, bias diartikan tunduk. Dan seperti
pada surah al-Ahzab : 56 sebagaimana berikut :

‫إن هللا ومالئكته يصلون على النبي ياأيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما‬

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Arti lafadh yushalluuna bila datang dari Allah berarti memberikan rahmat, bila dating dari
malaikat berarti memintakan ampunan (istighfar) dan bila dari manusia biasa berarti do’a

Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, Abu Hasyim, Abu Hasan al-Bashri dan ulama’ lainnya
berpendapat sebaliknya.Yakni pemakaian lafadh musytarak untuk dua atau beberapa maknanya
itu tidak diperbolehkan
Mutlak Dan Muqoyyad
A. Mutlaq
Kata mutlaq secara sederhana berarti tiada terbatas. Dalam bahasa Arab, kata‫ مـطـلـــق‬berarti yang
bebas, tidak terikat.
ْ ‫ق َما َد َّل عَل َى فَ ْر ٍد اَ ْوَأ ْف َرا ٍدشَاِئــــ َعـ ٍة بِد ُْو ِن قَـ ْيــــ ٍد ُم‬
‫ستَقِــ ٍّل لَ ْفــــــظا‬ ُ َ‫اَ ْل ُم ْطل‬
“Mutlaq adalah perkataan yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa
ikatan bebas menurut lafal.”
Contoh dari lafal mutlaq adalah dalam firman Allah swt (QS. Al-mujadilah [58]: 3) yang
menjelaskan tentang kifarat bagi seseorang yang telah melakukan perbuatan zihar terhadap
istrinya:
َّ ‫ساِئ ِه ْم ثُ َّم يَ ُعودُونَ لِ َما قَالُوا فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ِمنْ قَ ْب ِل َأنْ يَتَ َما‬
]3 :‫سا} [المجادلة‬ َ ِ‫{والَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِمنْ ن‬ َ
Kata roqobah (seorang budak) pada ayat tersebut tidak diikuti oleh kata yang menerangkan jenis
budak yang disyaratkan untuk dimerdekakan sebagai kifarat zihar, sehingga ayat ini
berlaku mutlaq. Oleh karena itu, pengertian ayat ini adalah kewajiban untuk memerdekakan
seorang budak dengan jenis apapun juga, baik yang mukmin ataupun yang kafir tanpa adanya
ikatan.
B. Muqoyyad
Secara sederhana, muqoyyad berarti terikat, atau yang mengikat, yang membatasi. Secara
etimologi, muqoyyad adalah suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang
tidak tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri berupa perkataan. Pengertian
lain, muqoyyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan
yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat, syarat,
dan ghayah. Sebagai contoh adalah firman Allah swt dalam (QS. al-Nisa’ [4]: 92),
tentang kifarat bagi seseorang yang membunuh tanpa sengaja, yaitu:
...‫ َوت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة‬...
Artinya:
“…maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin…”
Dalam ayat tersebut, kata roqobah adalah kata yang berlaku muqoyyad karena ia dibatasi dengan
kata mu’minah. Hal ini berarti bahwa tidak sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam
permasalahan kifaratbagi orang yang membunuh tanpa sengaja ini, tetapi budak itu haruslah
budak yang mukmin.

Kaedah-kaedah Mutlak Dan Muqoyyad


1. Hukum mutlaq. Lafal mutlaq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya:
ْ ‫ق يَ ْبقَى َعلَى ِإ‬
.‫طاَل قِ ِه َمالـَـ ْم يَقُ ْم َدلِــْي ٌل َعلَى تَ ْقـِـي ْي ِد ِه‬ ْ ‫اَ ْل ُم‬
ُ َ‫ـطل‬

“Mutlaq itu ditetapkan berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang
membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
artinya:
َ ِ‫ َوُأ َّم َهاتُ ن‬...
...‫ساِئ ُك ْم‬
“…dan ibu-ibu dari istri-istrimu…”
Ayat ini mengandung arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat atau membatasi kata ibu
mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi, baik istrinya (anak dari ibu mertuanya)
itu sudah dicampurinya atau belum.
2. Hukum muqoyyad. Lafal muqoyyad tetap dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang
me-mutlaq-kan. Kaidahnya:
.‫اَ ْل ُمـقَــَّي ُد باَقِ ٌى َعلَى تَ ْقيِــ ْي ِد ِه َمالـَـ ْم َيقُ ْم َدلِــْي ٌل َعلَى ِإ ْطــــاَل قِ ِه‬
Artinya:
“Muqoyyad itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan
kemutlakannya.”
Contoh: (QS. Al-Mujadalah [58]: 3-4):
َّ ‫ساِئ ِه ْم ثُ َّم يَ ُعودُونَ لِ َما قَالُوا فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ِمنْ قَ ْب ِل َأنْ يَتَ َما‬
( ‫سا َذلِ ُك ْم تُو َعظُونَ ِب ِه َوهَّللا ُ بِ َمــا تَ ْع َملُــونَ َخبِــي ٌر‬ َ ِ‫َوالَّ ِذينَ يُظَا ِهرُونَ ِمنْ ن‬
َ
ُ ‫سـ ِكينًا ذلِـ َك لِتُْؤ ِمنُــوا بِاهَّلل ِ َو َر‬
‫سـولِ ِه‬ ْ ‫سـتِّينَ ِم‬ ْ َ
ِ ‫سـتَ ِط ْع فِإط َعــا ُم‬ َ ‫َأ‬
َّ ‫ش ْه َر ْي ِن ُمتَتَابِ َع ْي ِن ِمنْ قَ ْب ِل نْ يَتَ َما‬
ْ َ‫سا ف َمنْ لَ ْم ي‬ َ ‫صيَا ُم‬ ِ َ‫) فَ َمنْ لَ ْم يَ ِج ْد ف‬3
)4( ‫اب َألِي ٌم‬ ٌ ‫َوتِ ْل َك ُحدُو ُد هَّللا ِ َولِ ْل َكافِ ِرينَ َع َذ‬
artinya:
“ (3) Orang-orang yang menzihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik kembali apa
yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4) Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka
(wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa
yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah
supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang melakukan zihar terhadap
istrinya adalah memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau kalau tidak
mampu, maka ia harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena ayat ini telah dibatasi
kemut}laqannya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3. Hukum muthlaq yang sudah dibatasi. Lafal mutlaq jika telah ditentukan batasannya, maka ia
menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
.‫ق الَ يَ ْبقَى َعلَى ِإ ْطاَل قِ ِه ِإ َذا يَقُ ْو ُم َدلِــْي ٌل َعلَى تَ ْقـِـي ْي ِد ِه‬
ُ َ‫اَ ْل ُمـ ْطل‬
Artinya:
“Lafal mutlaq tidak boleh dinyatakan mutlaqkarena telah ada batasan yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 11).
..‫صي‬
ِ ‫صيَّ ٍة يُو‬
ِ ‫ ِمنْ بَ ْع ِد َو‬...
artinya:
“…sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”.
Kata wasiat pada ayat ini masih bersifat mutlaq dan tidak ada batasan berapa jumlah wasiat yang
harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini dibatasi ketentuannya oleh hadits yang menyatakan
bahwa wasiat yang paling banyak adalah sepertiga dari jumlah harta warisan yang ada. Dengan
demikian, maka hukum mutlaq pada ayat tersebut dibawa kepada yangmuqoyyad. Sebagaimana
hadits Nabi Muhammad saw.
ُ ُ‫ث َوالثُّــل‬
)‫ث َكبِــــ ْي ٌر (رواه البخــارى ومســلم‬ ُ ُ‫س ْو َل هللاِ قَا َل اَلثُّــل‬
ُ ‫فَِإنَّ َر‬
“Wasiat itu adalah sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum muqoyyad yang dihapuskan batasannya. Lafal muqoyyad jika dihadapkan pada dalil
lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia menjadi mutlaq. Kaidahnya:
‫اَ ْل ُمـقَــَّي ُد الَ يَ ْبقَى َعلَى تَ ْقيِــ ْي ِد ِه ِإ َذا يَقُ ْو ُم َدلِــْي ٌل َعلَى ِإ ْطــــاَل قِ ِه‬
“Muqoyyad tidak akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan
kemutlaqannya.
Contoh: (QS. Al-Nisa’ [4]: 23).
َ َ‫ساِئ ُك ُم الالتِي د ََخ ْلتُ ْم بِ ِهنَّ فَِإنْ لَ ْم تَ ُكونُوا د ََخ ْلتُ ْم بِ ِهنَّ فَال ُجن‬
..‫اح َعلَ ْي ُك ْم‬ َ ِ‫ َو َربَاِئبُ ُك ُم الالتِي فِي ُح ُجو ِر ُك ْم ِمنْ ن‬...
“…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri,
tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya…”
Ayat tersebut menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan karena
anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini telah dibatasi
oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang sebagai batasan
yang muqoyyad sedang batasan pertama hanya sekedar pengikut saja, karena lazimnya anak tiri
itu mengikuti ibu atau ayah tirinya. Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah
diceraikan, maka anak tiri tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena
batasan muqoyyadnya telah dihapus sehingga menjadi mutlaq kembali
Pada prinsipnya, para ulama bersepakat bahwa hukum dari lafal mutlaq itu wajib diamalkan
kemutlaqannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlaqannya. Begitupun dengan lafal-
lafal muqoyyad yang berlaku kemuqoyyadannya. Namun, pada kasus-kasus tertentu, terdapat
berbagai dalil syara’ dengan lafal yang mutlaq disatu tempat, sedang ditempat lain
menunjukkan muqoyyad. Pada permasalahan seperti ini, ada empat alternatatif kaidah yang dapat
digunakan, yaitu:
1. Hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlaq dibawa kepada muqoyyad. Kaidahnya:
ُ ‫ب َو ْا‬
‫لحـــــ ْك ِم‬ َّ ‫ق يُ ْح َمـ ُل عَل َى اَ ْل ُمـقَــَّي ِد ِإ َذااتَّفَــقَافِى ال‬
ِ َ‫ســب‬ ُ َ‫اَ ْل ُمـ ْطل‬
“Mutlaq itu dibawa pada muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Maidah’ [5]: 3).
..‫ُح ِّر َمتْ َعلَ ْي ُك ُم ا ْل َم ْيتَةُ َوال َّد ُم َولَ ْح ُم ا ْل ِخ ْن ِزي ِر‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”
Pada ayat ini, kata (‫ )الـدم‬atau darah adalah lafal mutlaq yang tidak diikat oleh sifat atau syarat
apapun. Namun pada ayat lain, dalam firman Allah swt, (QS. Al-An’am [6]: 145) disebutkan:
‫وحا َأ ْو لَ ْح َم ِخ ْن ِزي ٍر‬ َ ‫قُ ْل ال َأ ِج ُد فِي َما ُأو ِح َي ِإلَ َّي ُم َح َّر ًما َعلَى‬
ْ ‫طا ِع ٍم يَ ْط َع ُمهُ ِإال َأنْ يَ ُكونَ َم ْيتَةً َأ ْو َد ًما َم‬
ً ُ ‫سف‬
“Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi.”
Dalam ayat ini, kata ‫الدم‬, atau darah diberi sifat dengan masfuh(mengalir). Namun, hukum dalam
kedua ayat ini adalah sama, yaitu sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang menimbulkan
hukumnya juga sama, yaitu “darah”. Oleh karena itu dibawalah yang mutlaq pada
yangmuqoyyad, dalam artian; hukum yang dalam lafal mutlaq harus dipahami menurut yang
berlaku pada lafal muqoyyad. Dengan demikian, kata “darah” pada lafal mutlaq, harus diartikan
dengan “darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat pada lafal muqoyyad. Dari kedua ayat
tersebut, terlihat jelas bahwa materi dan hukumnya sama, maka selain darah yang mengalir
menjadi halal, misalnya hati atau limpa

2. Berbeda sebabnya namun sama hukumnya. Pada permasalahan ini, jumhur syafi’iyyah
menyatakan bahwa yang mutlaq dibawa pada yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah
dan Malikiyyah mayoritas menetapkan bahwa hukum mutlaq dan muqoyyad masing-masing
tetap pada posisinya.
Kaidahnya:
‫ب‬ َّ ‫اختَـــلَفـَـــافِى ال‬
ِ َ‫ســب‬ ُ َ‫اَ ْل ُمـ ْطل‬
ْ ‫ق يُ ْح َمـ ُل عَل َى اَ ْل ُمـقَــَّي ِد َوِإ ِن‬

“Mutlaq itu dibawa ke muqoyyad jika sebabnya berbeda.”


Contoh: (QS. Al-Mujadlah [58]: 3) yang menjelaskan bahwa kifarat zihar adalah
“memerdekakan budak” tanpa ada batasan “mukmin” atau tidak. Sementara pada ayat lain,
dijelaskan bahwa bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah
memerdekakan budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. Al-Nisa’ [4]: 92)
.‫ َو َمنْ قَتَ َل ُمْؤ ِمنًا َخطًَأ فَت َْح ِري ُر َرقَبَ ٍة ُمْؤ ِمنَ ٍة‬...
“…dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman...”
Kedua ayat diatas berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedangkan sebabnya
berlainan, yang pertama karena zihar sementara yang lain karena pembunuhan tidak sengaja. Al-
Syafi’iyyah mengatakan bahwa lafal mutlaq pada kifarat zihar itu harus dibawa kepada
yangmuqoyyad tanpa memerlukan dalil lain dengan argumentasi bahwa Kalamullah itu satu
zatnya, tidak berbilang. Karena itu, jika Allah telah menentukan syarat “iman”
dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti ketentuan inipun berlaku pula pada kifarat
zihar, yaitu membebaskan budak yang mukmin. Sementara Hanafiyyah dan Malikiyyah
mengatakan bahwakifarat zihar ialah sembarang budak.
3. Berbeda hukum namun sama sebabnya, maka mutlaq dibawa pada muqoyyad.Kaidahnya:
ْ ‫ق اَل يُ ْح َمـ ُل عَل َى اَ ْل ُمـقَــَّي ِد ِإ َذ‬
ُ ‫ااختَـــلَفـَـــا فِى ْا‬
‫لحـــــ ْك ِم‬ ُ َ‫اَ ْل ُمـ ْطل‬
“Mutlaq itu tidak dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
contoh: kata “tangan” dalam perintah wudhu dan tayammum. Membasuh tangan dalam perintah
wudhu dibatasi sampai dengan siku, sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-Maidah [5]: 6)
ِ ِ‫سلُوا ُو ُجو َه ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ا ْل َم َراف‬
..‫ق‬ َّ ‫يَا َأيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ال‬
ِ ‫صال ِة فَا ْغ‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Dalam perintah tayammum, tidak dijelaskan batasan membasuh tangan, tetapi
berlaku mutlaq. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Nisa’ [4]: 43).
..‫س ُحوا ِب ُو ُجو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم‬
َ ‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم‬
َ ‫فَتَيَ َّم ُموا‬...
“…maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu…”
Kedua ayat diatas mengandung sebab yang sama yaitu membasuh tangan, tetapi hukumnya
berbeda yaitu membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan hanya menyapu tangan
secara mutlaq pada tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan secara masing-masing
karena tidak saling membatasi.
4. Berbeda sebab dan hukumnya, maka mutlaq tidak dibawa pada muqoyyad.Masing-masing
berdiri sendiri. Kaidahnya:
ُ ‫ب َو ْا‬
‫لحـــــ ْك ِم‬ ِ َ‫ســب‬ ْ ‫ق اَل يُ ْح َمـ ُل عَل َى اَ ْل ُمـقَــَّي ِد ِإ َذ‬
َّ ‫ااختَـــلَفـَـــافِى ال‬ ُ َ‫اَ ْل ُمـ ْطل‬
“Mutlaq tidak dibawa ke muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Maidah [5]: 6) tentang perintah wudhu. Pada ayat tersebut kata “tangan”
disebutkan dengan batasan yaitu sampai siku. Sementara pada ayat lain yang menjelaskan
tentang hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku mutlaq tanpa menyebutkan batasan.
Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38)
..‫سا ِرقَةُ فَا ْقطَ ُعوا َأ ْي ِديَ ُه َما‬
َّ ‫ق َوال‬
ُ ‫سا ِر‬
َّ ‫َوال‬
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya …”

Kedua ayat diatas memiliki sebab dan hukum yang berbeda. Ayat pertama menyebutkan
keharusan mencuci tangan secara muqoyyad sampai siku dalam masalah wudhu untuk
melakukan shalat. Sementara ayat kedua menyebutkan keharusan memotong tangan
secara mutlaq dalam sanksi hukum terhadap pencuri. Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa
kedua ayat ini berlaku sendiri-sendiri, lafal yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya,sementara
yang muqoyyad, tetap pada kemuqoyadannya.

Anda mungkin juga menyukai