Anda di halaman 1dari 10

Pengertian Mujmal

Mujmal menurut bahasa ada beberapa arti menghimpun (‫)الجمع‬, samar (‫ )الشبهة‬dan tidak diketahui
artinya, (‫ )المبهم‬yakni kata yang memiliki makna global atau umum. Secara istilah berarti: lafadz yang
maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu maknanya atau menjelaskan
tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.

Penyebab Mujmal

Lafal-lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk
mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya, lafal quru’ dalam firman Allah surah al-
baqarah ayat 228[3] :

‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بَِأ ْنفُ ِس ِه َّن ثَاَل ثَةَ قُرُو ٍء‬
ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬

Artinya : wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.

Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam syafi’I berpendapat ahwa lafal quru’ berarti suci
sedangkan imam abu hanifa berpendapat bahwa quru’ berarti haid.

suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil. Misalnya, kata (‫ )الهلوع‬pada firman allah surah
al-maarij ayat 19-20 :

‫ق هَلُوعًا ِإ َذا َم َّسهُ ال َّشرُّ َج ُزوعًا َوِإ َذا َم َّسهُ ْالخَ ْي ُر َمنُوعًا‬
َ ِ‫ِإ َّن اِإْل ْنسَانَ ُخل‬

Artinya : Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan
ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir.

Pada ayat 19 diatas terdapat lafal (‫ )الهلوع‬yang tidak dapat dipahami karena termasuk lafal asing sehingga
Allah menjelaskan dengan ayat selanjutnya.

Lafadz itu mengandung makna yang tidak jelas atau tidak tertentu kualitasnya. Misalnya, surat al-an’am
ayat 141 :

‫و أتوا حقه يوم حصد‬

Artinya: dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya

Lafadz ‘hak’ dalam ayat ini, sekalipun maknanya secara umum bisa dimengerti, namun jenis dan kualitas
hak tersebut tidak jelas. Oleh karena itu diperlukan dalil lain yang akan menjelaskannya.

Masuknya huruf istitsna’ (pengecualian) yang kualitas pengecualiannya tidak jelas ke dalam suatu
kalimat. Misalnya, surat al-maidah ayat 1 :

‫ص ْي ِد َوَأ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم ۗ ِإ َّن هَّللا َ يَحْ ُك ُم َما ي ُِري ُد‬ ْ َّ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأوْ فُوا بِ ْال ُعقُو ِد ۚ ُأ ِحل‬
َّ ‫ت لَ ُك ْم بَ ِهي َمةُ اَأْل ْن َع ِام ِإاَّل َما يُ ْتلَ ٰى َعلَ ْي ُك ْم َغ ْي َر ُم ِحلِّي ال‬
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak,
kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika
kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.

Kalimat “ kecuali yang akan dibacakan padamu “ merupakan kalimat yang mujmal yang tidak jelas
maksudnya. Akan tetapi, kalimat mujmal itu langsung dijelaskan oleh Allah SWT dalam surat al-Maidah
ayat 3. Oleh sebab itu apa yang dimaksud oleh Allah SWT dengan kalimat “ kecuali yang akan dibacakan
padamu” adalah jenis binatang-binatang yang haram dimakan yang dicantumkan dalam surat al-Maidah
ayat 3 tersebut.

Lafadz-lafadz mujmal

Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama lafadz mufrad dan kedua
lafadz murakkab.

Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-lafadz mufrad juga dilihat dari
segi jenis ada tiga macam:

Isim artinya nama atau nama benda.

Contoh: ‫مختار‬boleh sebagai pelaku (fa’il), dalam hal ini diartikan dengan “orang yang memilih”, dan
boleh juga sebagai maf’ul (tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang
dipilih”.

Fi”il artinya kata kerja.

Contoh: ‫عسعس‬boleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti “kembali’ atau “pulang”. ‫باع‬
boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”.

Hukum menggunakan mujmal

Hukum mujmal yaitu kita bersikap tawaqquf (diam) dalam menentukan maksud tersebut maka tidak
boleh mengamalkannya kecuali jika ada penjelasan dari syâri’. Jika penjelasan tersebut sempurna dan
jelas maka lafal hukum mujmal berpindah ke hukum mufassar dan hukumnya berlaku. Seperti lafal
shalat, zakat dan haji. Tetapi jika penjelasan tersebut tidak sempurna dan adanya kesamaran maka
berpindah ke hukum musykil.
Pengertian Al-Mubayyan (Al-Mubayyin)

Mubayyan secara bahasa (etimologi) : (‫ )المظهر والموضح‬yang ditampakkan dan yang dijelaskan. Sedangkan
secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai
berikut :“Mubayyan adalah lafaz yang jelas (maknanya) dengan sendirinya atau dengan lafadz
lainnya”. Ada yang mendifinisikan Mubayyan sebagai berikut:

‫ إما بأصل الوضع أو بعد التبيي‬،‫ما يفهم المراد منه‬

Artinya :“Apa yang dapat difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah adanya
penjelasan.”

dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan al-Mubayyan adalah suatu lafal atau perkataan yang jelas
maksudnya setelah mendapatkan penjelasan dari lainnya,baik dari Allah langsung atau melalui
penjelasan sunnah Rasulullah SAW. Dalam hubungannya dengan mubayyan, maka dapat dipahami tiga
hal, yaitu;

Mubayyan (yang dijelaskan)

Mubayyin (yang menjelaskan) dan

Bayan (penjelasan).

Bentuk-bentuk Mubayan[7]

Penjelasan denga kata-kata (‫)بيان بالقول‬

Contoh, firman Allah yang berbunyi:

١٩٦: ‫فصيام ثالثة ايام في الحج وسبعة اذا رجعتم تلك عشرة كاملة… البقرة‬

Artinya :“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itulah
sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-Baqarah: 196).

Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’ pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan dari tiga dan
tujuh hari yang disebutkan sebelum itu
Penjelasan dengan perbuatan (‫)بيان بالفعل‬

Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan perbuatan
beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:

‫ حديث‬. ‫صلوا كما رايتمواني اصلي‬

Artinya : Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat. (hadis)

Penjelasan dengan tulisan/surat (‫)بيان بالكتاب‬

Contoh, seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan dengan surat-
surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di waktu itu.

Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (‫)بيان باالشارة‬

Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan, dengan mengucapkan

‫ حديث‬.‫ وهكذا‬،‫ وهكذا‬،‫الشهر هكذا‬

Artinya : Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian (hadist).

Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan mengangkat semua jari tangan,
dan sedang waktu mengucapkan “sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut
merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh Sembilan hari. Yang
demikianlah penjelasan dengan isyarat.

Penjelasan dengan meninggalkan (‫)بيان بالترك‬

Contoh, seperti yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:


‫ ابن حبان‬. ‫كان اخراج المرين من رسول هللا عليه وسلم عدم الوضوء مما مست النار‬

Artinya : Adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu (lagi) setelah makan
sesuatu yang dibakar. (Hadist Ibnu Hibban)

Pendapat Ulama tentang Mubayan

Ahlur Rayi’ :

Penerangan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi tiga :

Bayan Taqrir, yaitu keterangan yang didatangkan oleh As-Sunnah untuk menambah kokoh apa yang
telah diterangkan oleh Al-Qur’an. Contohnya adalah sabda Nabi s.a.w. :

‫صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته‬

Bayan Tafsir yaitu Menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui (tersembunyi pengertiannya),
seperti ayat-ayat yang mujmal dan yang musytarak fihi. Diantara contoh bayan tafsir bagi mujmal, ialah :
seperti hadits yang menerangkan kemujmalan Ayat-ayat shalat, Ayat-ayat zakat, Ayat-ayat haji :

‫صلوا كما رايتمونى اصلى‬

Bayan Tabdiel, bayan nasakh yakni Mengganti sesuatu hukum, atau menasakhkannya

Malik Berpendapat :

Bayan Taqrir aitu : menetapkan dan mengokohkan hokum-hukum Al-Qur’an; bukan mentaudliehkan,
bukan mentaqyidkan mutlaq dan bukan mentakhshiskan ‘am, seperti :

‫صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته‬

Artinya : “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”.
Bayan Taudlieh (Tafsir), yaitu : menerangkan maksud-maksud ayat, seperti : hadits-hadits yang
menerangkan maksud-maksud ayat yang difahamkan oleh para sahabat berlainan dengan yang
dimaksudkan oleh ayat sendiri. Contohnya : at-taubah ayat 34

Bayanut Tafshil, yaitu : menjelaskan mujmal Al-Qur’an, sebagai hadits yang mentafshilkan kemujmalan
firman Allah :

‫اقيمواالصلو‬

Artinya : Dirikanlah olehmu akan sholat

Bayanul basthy (tabsiet bayan takwiel), yakni : memanjangkan keterangan bagi apa yang diringkaskan
keterangannya oleh Al-Qur’an

Bayan Tasyrie, yakni : mewujudkan sesuatu hokum yang tidak tersebut dalam Al-Qur’an

AsySyafi’y

Di antara ulama ahlil atsar menetapkan, bahwa penjelasan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi lima,
yaitu :

Bayan Tafshiel, yaitu menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas petunjuknya)

Bayan Takhshish, yaitu menentukkan sesuatu dari umum ayat.

Bayan Ta’yin, yaitu menentukan mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan.

Bayan Tasyri’, yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak didapati dalam Al-Quran.

Bayan Nasakh, yaitu menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat
Al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.

Ahmad ibn Hanbal

Keterangan As-Sunnah terhadap Al-Quran terbagi Empat :

Bayan Ta’kied (bayan taqrier), yaitu di kala As-Sunnah itu bersesuaian benar petunjuknya dengan
petunjuk Al-Qur’an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.

Bayan tafsier, yaitu menjelaskan sesuatu hukum Al-Qur’an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan
oleh Al-Quran.
Bayan Tasyrie’, yaitu Mendatangkan sesuatu hukum yang didiamkan Al-Qur’an (yang tidak diterangkan
hukumnya

Bayan Takhshish dan Taqyid, yakni mengkhususkan Al-Qur’an dan mengqaidkannya. Apabila didapati
hadits yang mengkhususkan Al-Qur’an, dikhususkanlah umum itu, baik hadits yang mengkhususkan itu
mutawatir, masyhur, mustafidl ataupun ahad.

Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an

1. Makna Nasikh dan ruang lingkupnya

Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya berarti “Izalatu alsyay’I waa’damuhu”
(menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “Naqlu

al syay’I” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti

“Tahwil” (pengalihan).1

Sedangkan Naskh secara istilah : mengangkat (mengahapus) hukum syara’ dengan

dalil/khithab syara’ yang lain”. Maksud mengangkat hukum syara’ adalah terutusnya

kaitab hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf2

.Definisi di atas apabila

dijelaskan lagi dapat kita tarik beberapa kesimpulan yakni :

a. Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh

b. Naskh harus turun belakangan dari Mansukh

c. Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-ayat

kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara bersama3

sedangkan syarat kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek, waktu dan lainlain.4

d. Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga dengan

ayat yang menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang diangkat atau

dihapus5

Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada

naskh harus ada Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya.

diperlukan syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara’, dalil

pengahpusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang kemudian dari kitab

yang dimansukh, dan kitab yang dihapus atau diangkat hukumnya tidak terikat atau

dibatasi dengan waktu tertentu.

Beranjak dari keterangan di atas, tentu syarat-syarat tersebut akan dihubungkan

langsung dengan hal-hal mengalami Naskh maka dalam hal ini akan dijelaskan halhal yang mengalami
Naskh. Naskh hanya terjadi pada perintah (amr) dan larangan

(nahy), baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan

dengan kalimat berita yang bermaksud perintah atau larangan, selama tidak terhubung

dengan akidah zat Allah dan sifat-sifat Allah, kitab-kitab Allah, pada rasul, hari

kiamat, dan juga tidak terkait dengan etika atau akhlak atau dengan pokok-pokok

ibadah dan muamalat7

. Sebagaimana pendapat al-Zarqani tentang hal ini “Definisi

Naskh adalah mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum syara’. Yang memberi

kesan bahwa Naskh hanya terjadi pada hukum-hukum yang berhubungan dengan

furu’ ibadah dan muamalat menurut orang-orang yang mengakui Naskh. Adapun

yang berkaitan dengan akidah, dasar-dasar akhlak dan etika, pokok-pokok ibadah dan

muamalat dan berita-berita mahdhah, maka menurut jumhur ulama tidak terjadi

naskh padanya”.

Pedoman untuk mengetahui naskh dan Mansukh ada beberapa cara berikut :

1. Ada keterangan pegas pentransimisian yang jelas dari Nabi SAW;

2. Konsensus (Ijma) umat bahwa ayat ini naskh dan ayat Mansukh;

3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan mana yang belakangan berdasarkan

histori.
Naskh tidak dapat ditetapkan berdasarkan pada ijtihad para mujtahid tanpa penukilan

yang shahih, tidak juga penadapat para ahli tafsir atau karena ayat-ayat kontrakdiktif

secara lahirin, terlambatnya keislaman salah seorang dari dua periwayat. Yang di

pegang dalam masalah ini adalah penukilan yang meyakinkan dan sejarah.

2. Pembagian dan macam-macam naskh dalam Al-Qur’an

Naskh terbagi kedalam 3 bagian:

a. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Para ulama yang mengakui adanya naskh

telah sepakat adanya naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan itupun telah terjadi

menurut mereka. Salah satu contohnya ayat ‘iddah satu tahun di-naskhan dengan

‘iddah 4 bulan 10 hari8

b. Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh yang macam ini terbagi menjadi dua.

Pertama naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur ulama berpendapat, hadits

ahad tidak bisa menaskhan Al-Qur’an karena Al-Qur’an adalah naskh yang

mutawatir, menunjukan keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya,

sedangkan hadist ahad adalah naskh yang bersifat zhanni dan tidak sah pula

menghapus suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang sifat dugaan/diduga.9

c. Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Jumhur ulama membolehkan naskh seperti ini,

salahsatu contohnya adalah menghadap ke Baitul maqdis yang ditetapkan oleh

sunnah, kemudian ketetapan ini di nashkan oleh Al-Qur’an.10

d. Nash sunnah dengan sunnah, sunnah maca mini terbagi pada empat macam,

yaitu : Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir, Naskh sunnah ahad

dengan sunnah ahad, naskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir, dan Naskh

mutawatir dengan sunnah ahad.

3. Ayat-ayat yang masyur naskhnya

Adapun ayat-ayat yang masyur naskhnya dapat kita lihat di bawah ini, diantara ayat
yang masyur naskhnya terdapat dalam surah al-baqarah ayat 180 dinaskhan dengan

hadits; “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepda setiap orang yang mempunyai hak

akan haknya maka tidak ada wasiat bagi waris”. Ayat 240 dalam surah al-baqarah

dinaskhan dengan ayat 234 terdapat dalam surah yang sama. Dan ayat 224 dalam surah

al-baqarah dinaskhan dengan ayat 286 dalam surah yang sama.

Setelah sedikit membahas seluk beluk tentang naskh tentu terjadi naskh dalam syariat

tidak terlepas dari hikmah, karena jika tanpa hikmahnya bisa saja dikatakan Allah

bermain-main dengan hukum yang diturunkannya. Adapun hikmah adanya naskh adalah

untuk menjaga kemaslahatan hamba, perkembangan tasyri menuju tingkat sempurna

sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi manusia, cobaan dan

ujian bagi mukalaf, apakah ia mengikuti atau tidak dan menghendaki kebaikan dan

kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih kepada yang lebih berat maka

terdapat tambahan pahala, jika beralih ke yang lebih ringan maka ia mengandung

kemudahan dan keringanan bagi hambanya.12

Anda mungkin juga menyukai