Anda di halaman 1dari 7

A.

       Pendahuluan

Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan pedoman asas bagi umat  islam. Setiap tindakan orang
muslim haruslah sesuai dengan tuntutannya atau setidaknya tidak bertentangan dengan keduanya.
Akan tetapi untuk memahami maksud yang terkandung dalam kedua sumber asas tersebut tidaklah
semudah yang kita fikirkan dengan akal, tetapi memerlukan ilmu dalam membantu menjelaskan
kesamaran dan menyingkap maksud-maksud al-Qur’an dan al-Hadits. Salah satu ilmu tersebut
adalah ilmu ushul fiqh.

Oleh karena itu, suatu pembahasan usul fiqh yang dapat membantu mengenali kejelasan
suatu makna dalam al-Qur’an dan al-Hadits ialah mujmal dan mubayyan. Pembahasan mengenai ini
sangat penting karena untuk mendapatkan pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan
yang luas mengenai suatu makna perkataan yang diteliti. Dengan mengetahui mujmal dan mubayyan
ini, kita dapat mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan penjelasan lebih
lanjut karena masih bersifat umum dan jelas sehingga maksudnya dapat diuraikan.

Ø  Rumusan masalah

·         Pengertian mujmal dan mubayyan

·         Bentuk-bentuk lafadz mujmal dan mubayyan

·         Implikasi hukum dan kaidah-kaidahnya.

B.      Pengertian Mujmal dan Mubayyan

Arti Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya suatu
perkara atau lafadz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan.

Mujmal menurut istilah ushul fiqh adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan
(penjelasan).

Mujmal adalah suatu perkataan yang belum jelas maksudnya dan untuk mengetahuinya
diperlukan penjelasan dari lainnya. Penjelasan ini disebut Bayan. Dalam arti lain, kandungan
maknanya masih global dan memerlukan perincian. Ketidakjelasan tersebut disebut ijmal.
Arti mubayyan menurut bahasa adalah yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu lafadz
yang mengandung penjelasan.

Mubayyan menurut istilah ushul fiqh adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil
(kabur) kepada bentuk yang terang.

Mubayyan adalah suatu perkataan yang jelas maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari
lainnya (Saebani, 2009: 261).

C.    Bentuk-bentuk Lafadz Mujmal dan Mubayyan

Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama lafadz mufrad
dan kedua lafadz murakkab.

1.      Lafadz mufrad yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari satu kalimat. Lafadz-lafadz mufrad juga dilihat dari
segi jenis ada tiga macam:

a.       Isim artinya nama atau nama benda.

                        Contoh:  ‫مختار‬boleh sebagai pelaku (fa’il), dalam hal ini diartikan dengan “orang yang memilih”, dan
boleh juga sebagai maf’ul (tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang
dipilih”.

b.      Fi”il artinya kata kerja

                        Contoh:   ‫عسعس‬boleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti “kembali’ atau
“pulang”. ‫باع‬ boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”.

c.       Huruf  ( ‫ )حرف‬kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti bila tidak
disambung dengan yang lainnya.

Contoh: ‫و‬ artinya ‘dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (‫ )عطف‬artinya penyambung, tetapi boleh
juga sebagai al-Ibtida’ (‫ )االبتداء‬artinya kata awal atau permulaan (Djalil, 2010: 110).

Yang termasuk mufrad diantaranya adalah :

1)      Lafadz yang diletakkan untuk dua makna secara haqiqat, yakni lafadz-lafadz yang musytarak, seperti
lafadz ‫القرء‬ yang diletakkan untuk menunjukkan makna “suci” dan makna “haid”.

2)      Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya musyabahah
(keserupaan) dalam sebuah titik persamaan. Seperti lafadz ‫النور‬ yang layak untuk diarahkan pada
makna “akal” dan “cahaya matahari”.

3)      Lafadz yang layak untuk diarahkan pada kedua makna dengan sebab adanya mumatsalah
(kemiripan). Seperti lafadz ‫الجسم‬ yang layak diarahkan pada “langit’ dan “bumi”, atau benda-benda
yang lain.
4)      Lafadz yang terkena imbas I’lal, seperti lafadz ‫المختار‬ yang diarahkan pada bentuk isim fa’il atau isim
maf’ul (Afandi dan Huda, 2013: 157 -158).

2.      Lafadz-lafadz murakkab yakni lafadz-lafadz yang terdiri dari beberapa kalimat.

Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:

٢٣٧ : ‫ البقرة‬. . .‫او يعفو الذي بيده عقدة النكاح‬                                                

Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-Baqarah: 237)

Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena maknanya tidak
tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu, tidak diamalkan sebelum ada penjelasan
atau al-Bayan (Saebani, 2009: 262).

Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam:

1.      Penjelasan denga kata-kata (‫)بيان بالقول‬

Contoh, firman Allah yang berbunyi:

١٩٦: ‫ البقرة‬...‫فصيام ثالثة ايام في الحج وسبعة اذا رجعتم تلك عشرة كاملة‬                    

“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itulah
sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-Baqarah: 196).

Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’ pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan dari
tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.

2.      Penjelasan dengan perbuatan (‫)بيان بالفعل‬

Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan perbuatan
beliau sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:

‫ حديث‬. ‫صلوا كما رايتمواني اصلي‬.                                                                   

“Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat.” (hadis)

3.      Penjelasan dengan tulisan/surat (‫)بيان بالكتاب‬

Contoh, seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan dengan
surat-surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di waktu itu.
4.      Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (‫)بيان باالشارة‬

Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan, dengan mengucapkan

‫ حديث‬.‫ وهكذا‬،‫ وهكذا‬،‫الشهر هكذا‬                                                                      

“Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian” (hadist).

Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan mengangkat semua
jari tangan, dan sedang waktu mengucapkan “sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya.
Hal tersebut merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh
Sembilan hari. Yang demikianlah penjelasan dengan isyarat.

5.      Penjelasan dengan meninggalkan (‫)بيان بالترك‬

Contoh, seperti  yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:

‫ ابن حبان‬. ‫كان اخراج المرين من رسول هللا عليه وسلم عدم الوضوء مما مست النار‬         

“Adalah akhir dua perkara  dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu (lagi) setelah makan
sesuatu yang dibakar.” (Hadist Ibnu Hibban).

Dari riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap makan sesuatu yang dibakar
maka Nabi SAW. Wudhu,  kemudian Nabi tinggalkan, yakni Nabi tak wudhu lagi walau makan
makanan yang dibakar. Nabi meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai
penjelasan atau bayan dengan meninggalkan (Djalil, 2010: 113- 115).

D.    Implikasi Hukum dan Kaidah Mujmal dan Mubayyan

1.      Hukum dan kaidah mujmal

Tentang hukum mujmal pada umumnya ulama berkata:

‫حكم المجمل التوقف فيه الى ان يبين‬                                                               

“Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan)  sampai ada atau terdapat bayan
(penjelasan).”

Maksudnya adalah apabila terdapat satu dalil yang bersifat mujmal, sedang bayannya belum
didapat atau belum ditemukan, maka dalil tersebut tidak boleh diamalkan sebelum mendapatkan
penjelasan atau bayan dari dalil tersebut.
Tapi ada sebagian ulama yang tidak sependirian dengan ketentuan di atas, antara lain Daud
Adzahiri yang berpendapat bahwa boleh mengamalkan dalil yang mujmal bila tidak terdapat bayan
atau penjelassannya. Alasaan beliau antara lain adalah tidak mungkin terdapat dalil yang mujmal
setelah Nabi wafat, karena sebelum Nabi wafat, Islam telah disempurnakan terlebih dahulu (Djalil,
2010: 109).

2.      Hukum menangguhkan penjelasan

Hukum menangguhkan penjelasan yang dimaksudkan di sini adalah misalnya seorang


bertanya tentang suatu perkara yang berhubungan dengan agama, dalam hal demikian apakah kita
boleh menangguhkan jawaban karena sesuatu hal, dan bagaimana bila saat itu si penanya sangat
memerlukan hukumnya.

Dilihat dari segi waktunya, maka penangguhan ada dua macam, masing-masing terdapat
ketentuan ulama:

‫تاءخير البيان عن وقت الحاجة ال يجوز‬.                                                  

“menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh.”

Alasan ketentuan di atas adalah, bila dalam hal demikian kita menangguhkan penjelasan,
berarti kita membenarkan seseorang berijtihad salah atau membenarkan seseorang melakukan
suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak agama.

Di samping itu beralasan itu berlandaskan juga dengan hadits yang berasal dari A’isyah, yang
mana ketika Fatimah binti Abi Hubeisy bertanya pada Nabi ‘apakah boleh meninggalkan sholat,
karena dirinya selalu ‘istihadhah”’, yakni tidak pernah suci. Maka Nabi menjawab:

“Tidak, itu adalah cairan dan bukan darah haid, dan bila datang haid maka tinggalkanlah sholat, dan
bila telah habis (waktu haid) maka cucilah darah itu dari dirimu dan shalatlah” (HR. Bukhari dan
Muslim).

Dari hadits ini tampak bahwa, tidak boleh ditangguhkan penjelasan pada waktu yang
diperlukan, karena bila Nabi menundanya berarti Nabi telah membenarkan orang tersebut tidak
shalat.

Oleh sebagian ulama, hadits A’isyah tersebut dipakai juga sebagai alasan, bahwa wanita-
wanita istihadhah  tidak wajib bersuci setiap akan sholat.

‫تاءخير البيان عن وقت الخطاب يجوز‬.                                                    

“Menangguhkan  penjelasan dari waktu khitab (waktu berbicara) adalah boleh.”

Mereka beralasan dengan firman Allah yang berbunyi:

١١٠:‫البقرة‬...‫اقيمواالصالة‬                                                                         
Dirikanlah shalat… (QS.al-Baqarah: 110)

Perintah shalat pada ayat tersebut tidaklah langsung diiringi dengan penjelasannya. Adapun
penjelasan mengenai bentuk atau tata caranya  adalah kemudian, yakni dengan cara-cara yang
ditunjukkan oleh Nabi SAW. sendiri. hal tersebut menunjukkan bolehnya menunda penjelasan atau
bayan (Djalil, 2010: 111 – 113).                                                                                     

                                 

E.     Kesimpulan

1.      Mujmal menurut istilah ushul fiqh adalah lafadz atau mantuq yang memerlukan bayan (penjelasan).

2.      Mubayyan menurut istilah ushul fiqh adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur)
kepada bentuk yang terang.

3.      Bila dilihat dari segi bentuknya lafadz-lafadz mujmal ada dua macam, pertama lafadz mufrad dan
kedua lafadz murakkab.

4.      Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam:

a.       Penjelasan denga kata-kata

b.      Penjelasan dengan perbuatan

c.       Penjelasan dengan tulisan/surat

d.      Penjelasan-penjelasan dengan isyarat

e.       Penjelasan dengan meninggalkan

5.      Hukum mujmal adalah tawaquf (ditunda, ditangguhkan)  sampai ada atau terdapat bayan
(penjelasan).

6.      menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan tidak boleh.

7.      Menangguhkan  penjelasan dari waktu khitab (waktu berbicara) adalah boleh.

F.     Kritik dan Saran

Dalam penulisan makalah ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen
pengampu yang telah memberi tugas membuat makalah ini, karena dengan adanya tugas ini kami
bisa belajar lebih banyak tentang ushul fiqh, karena dalam hal ini kami termasuk golongan yang
sangat awam yang belum mengerti banyak tentang ilmu usul fiqh. Dan kesalahan dan kekeliruan
kiranya masih terjadi dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu, kami mengharapkan banyak
bimbingan dan koreksi yang membangun untuk makalah kami ini, agar kedepan bisa menjadi lebih
baik lagi.
Saran kami kepada pembaca supaya lebih jeli dalam membaca dan belajar tentang ushul
fiqh, lebih pandai memilih-milih bacaan dan sumber informasi yang didapatkan, karena untuk
mendapatkan pemahaman yang mantap memerlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu
makna perkataan yang diteliti. Terimakasih kami ucapkan sebagai penutup, dengan harapan semoga
makalah ini bermanfaat dan memberikan tambahan ilmu sejarah bagi pembaca, khususnya bagi
kami. Amin.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. Boedi. 2009. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Afandi. Kholid dan Nailul Huda.  2013. Dari Teori Ushul Menuju Fiqh Ala Tashil ath- Thuruqat.  Santri Salaf
Press.

Djalil. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua.  Jakarta: Prenada Media Group

Anda mungkin juga menyukai