Anda di halaman 1dari 12

Makalah

TA’WIL

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh

Disusun oleh :

Asnita Efendi

Fitri Eza

Erna

Muhammad Syafi’i

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Efizal A., S.H.I., M.A

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI DARUL QUR’AN

KOTA PAYAKUMBUH

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kajian tentang ilmu agama Islam pada dasarnya membicarakan dua hal pokok. Pertama,
tentang apa yang harus diyakini umat Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini
kemudian berkembang menjadi “Ilmu Aqiqah”. Kedua, tentang apa yang harus diamalkan umat
Islam dalam kehidupannya. Pengetahuan tentang hal ini kemudian berkembang menjadi “Ilmu
Syari’ah”.
Ilmu syari’ah itu, pada dasarnya mengandung dua hal pokok. Pertama tentang materi
perangkat ketentuan yang harus dilakaukan seorang muslim dalam usaha mencari kebahagiaan
hidup didunia dan diakhirat kelak. Perangkat materi tersebut, secara mudahnya disebut “Fiqh”.
Kedua tentang cara usaha dan ketentuan dalam menghasilkan materi fiqh tersebut. Hal yang kedua
ini secara mudahnya, disebut “Ushul Fiqh”.Dengan demikian, ushul fiqh merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari ilmu pengetahuan agama Islam.Ushul fiqh dipelajari sejalan dengan
mempelajari fiqh dan diajarkan sejalan dengan pelajaran fiqh.Ushul fiqh merupakan mata ajaran
pokok dalam ilmu pengetahuan agama Islam.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang tidak
kalah pentingnya. Itulah unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu undang-
undang, yang biasa dikenal "interpretasi historis." Dalam konteks sejarah yang menyangkut
interpretasi itulah kita membicarakan masalah takwil

B. Rumusan Masalah
1) Apa pengertian dari ta’wil?
2) Apa saja syarat-syarat ta’wil?
3) Apa saja macam-macam ta’wil ?
4) Apa saja bentuk-bentuk ta’wil?
5) Apa perbedaan ta’wil dengan takhsish dan naskh?

2
C. Tujuan Penulisan
1) Memahami pengertian dari ta’wil
2) Memahami syarat-syarat ta’wil
3) Memahami macam-macam ta’wil
4) Memahami bentuk-bentuk ta’wil
5) Mengetahui perbedaan ta’wil dengan takhsish dan naskh

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Ta’wil
Secara etimologi ta’wil berasal dari kata al-awl (‫–أول‬
ّ ‫)يؤول‬,
ّ artinya kembali. Ta’wil, ialah
memindahkan sesuatu perkataan dari makna yang tidak terang (lemah) karena ada sesuatu dalil
yang menyebabkan makna yang kedua tersebut harus dipakai.Adapun menurut istilah adalah
sebagai berikut:
‫اجحٌا‬ َ ُ‫ظ ِه ِر ِه اِلَى َم ْعنَى يَحْ تَمِ لُهُ بِدَل ْي ٍل ي‬
ِ ‫صيِّ ُرهُ َر‬ ْ ‫ف ْالك َََل ِم‬
َ ‫مِن‬ َ ‫اَلتَّاْ ِو ْي ُل‬
ُ ْ‫صر‬
Artinya :
“ta’wil ialah memebelokkan kalimat dari zhahir nya pada arti lain yang lain inilah yang dianggap
lebih sesuai.”(imam ayukhani)
Dengan alasan yang kuat dan syarat-syarat yang lengkap, maka dalil disebut dapat
dita’wilkan. Tujuan dari ta’wil agar tidak terjadi kesalahpahaman. Ta’wil tersebut harus
dibenarkan oleh ilmu bahasa kesastraan arab agar cara menta’wilkannya tidak keliru. Muhammad
husaya al-dzahabi , mengemukakan bahwa dalam pandangan ulama salaf (klasik), ta’wil memilki
dua pengertian :
a) Pertama : penafsirkan suatu pembicaraan teks dan menerangkan maknanya, tanpa
mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang tersurat atau
tidak.
b) Kedua : ta’wil adalah substansi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu sendiri (nafs
al- murad bi al-kalam).
Jika pembicaraan itu berupa tuntutan , maka tak’wilnya adalah perbuatan yang dituntut itu
sendiri. Dan jika pembicaraan itu berbentuk berita. Maka yang dimaksud adalah substansi dari
suatu yang di informasikan. Sedangkan pengertian Ta’wil, menurut sebagian ulama, sama dengan
Tafsir. Namun ulama yang lain membedakannya, bahwa ta’wil adalah mengalihkan makna sebuah
lafazh ayat ke makna lain yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal.
Meskipun terdapat beberapa definisi atau istilah hokum terhadap ta’wil, namun meksud saling
mendekatkan dan saling mengisi, diantara beberapa definisi ta’wil adalah :
1. Abd. Wahab Khalaf memberi definisi:
Memalingkan lafaz dari arti zhahirnya berdasarkan adanya dalil.

4
2. Definisi menurut Ibn Jauzi :
Mengalihkan ucapan dari maudhu’-nya kepada apa yang diperlukan untuk menetapkan kepada
dalil yang kalu tidak demikian, maka zhabir lafaz tidak akan ditingkatkan.
3. Ibnu Atsir memberikan definisi :
Mengalihkan zhahir lafaz dari pemakaian asalnya kepada suatu yang diperlukan oleh dalil.
4. Definisi yang dirumuskan Abu Zahrah :
Mengeluarkan lafaz dari lahir maknanya kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk itu.
Beberapa definisi diatas yang berbeda menurut lainnya, dapat dirangkum dalam suatu rumusan
tentang definisi ta’wil., yaitu : “memalingkan lafaz dari arti yang kepada arti lain yang mungkin
dijangkau oleh dalil.”

Dari rumusan yang sederhana itu dapat dilihat haqiqah yang merupakan ciri dari ta’wil, yaitu :
a. Lafaz itu tidak lagi dipahami menurut arti lahirnya.
b. Arti yang dipahami dari lafaz itu adalah arti lain yang secara umum juga dijangkau oleh arti
lahir lafaz itu:
c. Peralihan dari arti lahir kepada arti lain itu menyandar kepada petunjuk dalil yang ada.
Dalam hubungan dengan lafaz tafsir ( ), ada ulama yang berpendapat bahwa kedua lafaz itu sama
artinya dari segi tinjauan pangalihan. Tetapi sebenarnya diantara keduannya terdapat perbedaan.
Menurut pengertian kalangan Ulama, tafsir itu adalah menyingkap makna Al-Quran dan
menjelaskan makna yang terkandung didalamnya.
Al-Rahib mencoba membedakan antara ta’wil dengan tafsir. Bahwa tafsir lebih umum dari ta’wil
dan lebih banyak penggunaannya dalam lafaz dalam arti mufradat lafaz., sedangkan ta’wil lebih
banyak penggunaannya dalam makna dan banyak terdapat dalam kitab-kitab ilahiyat.
Pada dasarnya setiap lafaz harus dipahami menurut lainnya. Tetapi dalam keadaan tertentu, tidak
mungkin memahami suatu lafaz menurut lahirnya:oleh karena itu diberi kemungkinan untuk
menggunakan ta’wil bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan untuk ta’wil.

2. Syarat-Syarat Ta’wil
Adapun syarat-syarat ta’wil adalah :
1. Lafaz itu dapat menerima ta’wil seperti lafaz zhahir dan lafaz hash serta tidak berlaku untuk
muhkam dan mufassar.

5
2. Lafaz itu mengandung kemungkinan untuk di-ta’wil-kan karena lafaz tersebut memiliki
jangkauan yang luas dan dapat diartikan untuk di-ta’wil. Serta tidak asing dengan pengalihan
kepada makna lain tersebut.
3. Ada hal-hal yang mendorong untuk ta’wil seperti :
a. Bentuk lahir lafaz berlawanan dengan kaidah yang berlaku dan diketahui secara dharuri, atau
berlawanan dengan dahlil yang lebih tinggi dari dahlil itu.
Contohnya: suatu hadis menyalahi maksud hadis yang lain, sedangkan hadis itu ada
kemungkinan untuk di ta’wil kan, maka hadis itu di ta’wil kan saja ketimbang ditolak sama
sekali.
b. Nash itu menyalahi dalil lain yang lebih kuat dilalah-nya.
Contohnya: suatu lafaz dalam bentuk zhahir diperuntukan untuk suatu objek, tetapi ada makna
menyalahinya dalam bentuk nash.
c. Lafaz itu merupakan suatu nash untuk suatu objek tetapi menyalahi lafaz lain yang mufassar.
4. Ta’wil itu harus mempunyai sandaran kepada dahlil dan tidak bertentangan dengan dahlil yang
ada.

3. Bentuk-bentuk ta’wil
Pada prinsipnya ulama sepakat mengatakan adanya penggunaan ta’wil. Perbedaan terletak
pada kadar penggunaan dan penerimaannya.
1. Dari segi diterima atau tidaknya suatu ta’wil, ada dua bentuk ta’wil, yaitu:
a. Ta’wil maqbul atau ta’wil yang diterima, yaitu ta’wil yang telah memenuhi persyaratan di
atas. Ta’wil dalam bentuk ini diterima keberadaannya oleh ulama Ushul.
b. Ta’wil ghair al-maqbul atau ta’wil yang ditolak, yaitu ta’wil yang hanya diasarkan kepada
selera atau dorongan lain dan tidak terpenuhi syarat yang ditentukan,
2. Dari segi dekat atau jauhnya pergalihan makna lafaz yang dita’wil dari makna zhahirnya, ta’wil
dibagi kepada dua bentuk:
a. Ta’wil qarib, yaitu ta’wil yang tidak jauh beranjak dari arti zhahir-nya, sehingga dengan
petunjuk yang sederhana dapat dipahami maksudnya. Ta’wil qarib ini termasuk ke dalam
bentuk ta’wil yang maqbul seperti diuraikan diatas.
b. Ta’wil ba’id, yaitu pengalihan dari makna lahir suatu lafaz yang sebegitu jauhnya,
sehingga tidak dapat diketahui dengan dalil yang sederhana.

6
Bila pada lafaz yang dita’wil itu terdapat dalil kuat yang akan memberi petunjuk kepada
maknanya, maka ta’wil ini termasuk kepada yang maqbul. Tetapi bila pada lafaz itu tidak terdapat
dalil kuat yang menjelaskannya dan tidak dapat ketahui dengan dalil sederhana, maka ta’wil ini
termasuk yang ghairu maqbul. Mengenai ta’wil kepada makna yang jauh dari makna lahirnya,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, Ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa ta’wil itu
harus dengan yang dekat dari arti lahirnya dan tidak boleh dengan yang jauh. Sementara ulama
hanafiyah tidak menggunakan persyaratan tersebut. Mereka hanya mensyaratkan supaya ta’wil itu
sesuai dengan dalil syara’ dan tidak menyalahinya.

Ada perbedaan pendapat dalam persyaratan di atas, maka terdapat perbedaan pendapat di
antara kedua kelompok ulama ini dalam beberapa masalah furu,antara lain:

a. Bila seorang laki-laki masuk Islam dan mempunyai 10 orang istri yang dinikahinya secara
massal dalam suatu akad, ia harus memulai nikah dengan 4 orang itu dinikahinya satu persatu
secara berurutan, ia dapat mengukuhkan perkawinannya dengan 4 orang terdahulu, dengan
perkawinan baru dan menceraikan yang lainnya. Ini adalah menurut pendapat ulama Hanafiyah.
Menurut ulama Syafi’iyah suami tersebut cukup memilih 4 orang diantaranya untuk dilanjutkan
pernikahannya tanpa akad nikah yang baru dan menceraikan yang lain, baikia menikahi perempuan
yang 10 orang itu sekaligus dalam satu akad atau dia nikahi secara berurutan.

Ulama Syafi’iyah beralasan dengan sabda Nabi kepada Ghailan al-Saqafi yang memiliki 10 orang
istri pada saat ia masuk islam:
“Tahan 4 orang dan ceraikan yang lain”.

Menurut ulama Hanafiyah, ucapan Nabi: “Tahan” maksudnya adalah: “mulai lagilah” atau
“kukuhkanlah yang mula-mula”. Ketentuan inilah yang sesuai dengan syara’.

Pemahaman ulama Hanafiyah itu dianggap oleh ulama Syafi’iyah sebagai ta’wil yang jauh, karena
tidak mungkin Nabi berbicara dengan seseorang yang baru masuk islam tanpa ada penjelasan
seperti itu. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa menurut lahirnya kata “amsik” itu, berarti
“mengukuhkan” dan bukan “memulai”. Ta’wil seperti ini lebih dekat dan tidak menyalahi juwa
tasyri’ atau filosofi penetapan hukum.

7
b. Bila seseorang melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam hukum islam, untuk
menghapuskan kesalahannya itu di depan Allah ia harus membayar kafarah yang diantaranya
adalah keharusan memberi makan 60 orang miskin. Hal ini antara lain terdapat dalam surat al-
Mujadalah (58) 4:
‫َصيَا ُم شَهۡ َر ۡي ِن ُمتَتَابِعَ ۡي ِن مِن قَ ۡب ِل أَن يَتَ َمآس َّۖا فَ َمن لَّمۡ يَسۡ تَطِ عۡ فَإِ ۡطعَا ُم‬ ِ ‫فَ َمن لَّمۡ يَ ِج ۡد ف‬
َ َ‫ٱَّلل َول ِۡل َٰ َكف ِِرين‬
‫عذَابٌ أَلِي ٌم‬ ِ َّ ‫سِ تِّينَ مِ سۡ ك ِٗين ۚا َٰذَلِكَ ِلت ُ ۡؤمِ نُواْ ِب‬
ِ ِۗ َّ ُ‫ٱَّلل َو َرسُو ِل ِۚۦه َوت ِۡلكَ ُحدُود‬
Dalam menetapkan 60 orang miskin itu, apakah yang dimaksud adalah:
60 orang, masing-masing satu hari, atau satu orang miskin untuk selama 60 hari. Di sini terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama.

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa yang diberi makan itu adalah 60 orang miskin, masing-
masing satu hari, sesuai dengan zhahir ayat diatas secara terang menyebut “60 orang miskin”dan
tidak terpenuhi kewajiban ini dengaan memberi makan satu orang miskin selama 60 hari.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh memberi makan satu orang miskin untuk masa 60 hari
sebagaimana bolehnya memberi makan 60 orang miskin untuk satu hari. Mereka menta’wilkan
ayat tersebut “(memberi makan untuk 60 orang miskin)”: kebutuhan 60 orang miskin untuk satu
hari sama dengan kebutuhan satu orang miskin untuk 60 hari.

Ulama Syafi’iyah menganggap pemahaman ulama Hanafiyah itu sebagai ta’wil yang jauh karena
cara tersebut bararti “menyelipkan” sesuatu yang tidak tersebut dalam ayat, yaitu “makanan”,
antara kata “memberui makan” dengan kata “60 orang miskin”. Juga sekaligus menghilangkan
angka 60 untuk jumlah orang miskin.

c. Dalam masalah zakat kambing yang telah mencapai nisab 40 ekor wajib dikeluarkan zakatnya
seekor kambing berdasarkan hadits nabi:
‫ص َدقَ ِة ْالغَن َِم فِى َسائِ َمتِ َها ِإذَا كَانَتْ أَرْ بَعِينَ ِإلَى ِع ْش ِرينَ َومِ ائَ ٍة شَاة‬
َ ‫َوفِى‬
“Untuk setiap 40 ekor kambing zakatnya adalah 1 ekor kambing”

Para ulama berbeda pendapat dalam hal: Apakah untuk zakat itu harus berupa seekor kambing,

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa boleh saja mengeluarkan zakat dalam bentuk materi lain
yang seharga seekor kambing dan tidak mesti berupa kambing. Mereka men-ta’wil-kan, bahwa
yang dimaksud dengan hadits di atas (dengan seekor kambing) adalah “nilai seekor kambing”

8
karena yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat adalah menutupi kebutuhan orang miskin dan
kebutuhan atas suatu materi samadengan kebutuhan atas nilai materi tersebut.

Ulama Syafi’iyah memahami bahwa yang dimaksud oleh hadits adalah kewajiban mengeluarkan
kambing itu sendiri; dan tidak boleh diganti dengan materi lain seharga seekor kambing. Mereka
menganggap ta’wil itu lazimnya adalah tidak wajib mengeluarkan zakat kambing. Kalau tidak
wajib berarti “tidak memadai” ; artinya kalau yang dikeluarkan adalah bukan kambing, berarti
berarti kewajiban zakat belum terpenuhi

4. Macam-macam Ta,wil
Secara garis besarnya, ada dua macam ta’wil:
1. Ta’wil Al-Qur’an atau hadits Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat tuha
dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa Allah itu tidak ada
yang menyamai-Nya.
Umpannya men-ta’wil-kan “tangan Allah” dengan “kekuasaan Allah” seeperti tersebut dalam
surah al-fath (48):10:
ۚ ۡ‫ّٰللا ف َۡوقَ اَ ۡيد ِۡي ِهم‬
ِ ‫ؕ يَدُ ه‬
“Tangan Allah di atas tangan mereka”

Atau mengartikan”tangan Allah” dengan “kemurahan Allah” sebagaimana yang terdapat dalam
Firman Allah pada surat al-Maidah (5):64:

‫ْف يَش َۤا ِۗ ُء‬


َ ‫ط َٰت ِۙ ِن يُ ْن ِفقُ َكي‬
َ ‫بَلْ يَ َٰدهُ َم ْبس ُْو‬

“Padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki”

Menurut sebagian ulama, semua usaha seperti diatas termasuk dalam lingkup “tafsir” yang
dituntut dalam usaha menyucikan Allah dari anggapan penyamaan dengan makhluk-Nya. Bentuk
seperti itu oleh ulama ini disebut “tafsir” dengan majaz yang masyhur.”

2. Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi terdorong dalam usaha
mengkompromikan antara hukum-hukum dalam ayat al-Qur’an atau hadits Nabi yang kelihatan
menurut lahirnya bertentangan. Dengan cara ta’wil yang bertujuan mendekatkan ini, kedua dalil
yang kelihatannya berbeda (bertentang) dapat diamalkan sekaligus dalam rangka mengamalkan

9
prinsip: “mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada membuang keduanya atau
salah satu diantaranya”. Contohnya: men-ta’wil-kan surah al-Baqoroh (2):234

ْٓ ِ‫علَ ْيكُ ْم فِ ْي َما فَعَ ْلنَ ف‬


َّ‫ي اَ ْنفُسِ ِهن‬ َ ‫ع ْش ًر ۚا فَ ِاذَا بَلَ ْغنَ اَ َجلَ ُهنَّ ف َََل ُجنَا‬
َ ‫ح‬ َ ‫َوالَّ ِذيْنَ يُت ََوفَّ ْونَ مِ ْنكُ ْم َويَذَ ُر ْونَ اَ ْز َواجًا يَّت ََربَّصْنَ بِا َ ْنفُسِ ِهنَّ اَرْ بَعَةَ اَ ْش ُه ٍر َّو‬
ُ ‫بِ ْال َم ْع ُر ْوفِِۗ َو ه‬
‫ّٰللا بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ َخبِي ٌْر‬

“Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri)
menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir)
idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri
mereka menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Ta’wil itu meskipun pada dasarnya menyimpang dari pemahaman lahir ayat, namun sewaktu
waktu dapat dibenarkan bila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Kadang kadang tidak
dibenarkan menggunakan ta’wil, atau ta’wil itu dianggap dianngap salah, bila tidak ada hal yang
mendorong untuk ta’wil; atau ada dorongan untuk ta’wil itu bertentangan dengan haqiqah syara’
dan menyalahi nash yang qath’i.

5. Perbedaan ta’wil dengan takhsish dan naskh

Berikut adalah perbedaan antara ketiganya:


- Ta'wil adalah memalingkan makna dari zhahirnya yang kuat kepada makna yang tidak kuat
karena ada petunjuk yang mengharuskannya untuk itu. Ta'wil dapat mengubah arti yang sesuai
dengan kebutuhan bahasa. Dalam ta'wil, terkadang tidak membutuhkan sebuah dalil dan dapat
dibagi menjadi dua, yaitu ta'wil qarib dan ta'wil jauhar
-Takhsish lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh
menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu. Takhsish bisa dilakukan baik dengan
dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli
saja
-Naskh adalah mengeluarkan hukum setelah hukum itu berlaku. Naskh tidak berlaku pada
perintah yang hanya mengandung satu perintah, sedangkan nasakh berlaku terhadap perintah
yang mengandung satu perintah. Naskh tidak dapat terjadi kecuali dengan khitab dari pembuat
hukum

10
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tentang kajian pengertian ta’wil, syarat-syarat ta’wil,dan macam-macam
ta’wil di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1) Ta’wil adalah pemalingan suatu lafal dari maknanya yang zahir kepada makna lain yang
tidak cepat ditangkap, karena ada dalil yang menunjukkan bahwa makna itulah yang
dimaksud oleh lafal itu.
2) syarart-syarat ta’wil diantaranya adalah sesuai dengan ilmu bahasa/kesustraan ,dapat
digunakan sesuai dengan pengertian bahasa,sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’
dan istilah –istilah syara’ yang ada,menunjukkan dalil (alasan tentang ta’wilnya itu) dll.
3) macam-macam ta’wil adalah
• Ta’wil Al-qur’an atau hadis Nabi yang diduga mengandung bentuk penyamaan sifat
Tuhan dengan apa yang berlaku di kalangan manusia, padahal kita mengetahui bahwa
Allah itu tidak ada yang menyamahi-Nya.
• Ta’wil bagi nash yang khusus berlaku dalam hukum taklifi yang terdorong oleh usaha
mengkompromikan antara hokum-hukum dalam ayat Al-qur’an atau hadis Nabi yang
kelihatan menurut lahirnya bertentangan.

11
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf, Syekh Abdul Wahab.2005.Ilmu Ushul Fiqh.Jakarta : rineka cipta.


Syafe’i, Rahmat.1999. Ilmu Ushul Fiqh.Bandung : pustaka setia.
Sumaryono, E. Hermeneutika.1993. Sebuah Metode Filsafat.Yogyakarta: Kanisius.
Wijaya, Aksin.2009. Arah Baru Studi Ulum Al-Qur'an.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://idrusali85.wordpress.com/2007/08/08/masalah-ijtihad-ijtihad-istinbathi-dan-ijtihad-
tathbiqi/http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html
Al-Qaththa,Manna,2017 Dasar-dasar Ilmu Al-Qur’an. Jakarta timur:Ummul qura
Al-Qaththan,Manna,2004 Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
Djalil,Basiq,2010 Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana

12

Anda mungkin juga menyukai