a. Lafadz tersebut memang mengandung beberapa makna yang seimbang, yang tidak mungkin
ditujukan pilihan kepada salah satu di antara makna-makna tersebut. Karenanya, mengambil
seluruh makna lebih bersisat ihtiyat (hati-hati).
b. Kebolehan ini didukung oleh surat al-hajj ayat 18 yang artinya: "Apakah kamu tiada
mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan
bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar
daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan adzab atasnya. Dan
barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya.
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki". Dalam ayat ini, lafadz sujud telah
digunakan dalam berbagai makna. Sujud yang dilakukan manusia mengandung pengertian
meletakkan wajahnya di atas bumi, sedangkan sujud yang dilakukan makhluk lein
mengandung pengertian khusyuk, tunduk, dan patuh kepada Allah.
2. Tidak boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam
waktu yang bersamaan. Pendapat ini dipilih oleh ulama madzhab Hanafi, dan sebagian
madzhab Syafi'i dengan alasan bahwa lafadz msytarak tidak ditentukan untuk seluruh
maknanya pada suatu penggunaan. Menurut mereka makna sujud dalam surat al-hajj ayat18
itu berarti khusyuk, tunduk dan patuh, baik secara ikhlash maupun secara terpaksa. makna ini
dapat berlaku bagi manusia dan juga maskhluk lain selain manusia.
3. Boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam waktu
yang bersamaan, apabila tujuannya untuk al-nafy (meniadakan) bukan al-isbat (menetapkan).
Pendapat ini dipilih oleh sebagian madzhab Hanafi. Mereka mencontohkan wasiat kepada
maula (lafadz musytarak antara tuan yang memerdekakan dan hamba yang dimerdekakan).
Apabila orang yang berwasiat tadi tidak menentukan arti maula yang mana, maka wasiat ini
tidak mungkin ditetapkan kepada tuan yang memerdekakan dan sekaligus hamba yang
dimerdekakan. Apabila seseorang bersumpah tidak berbicara kepada maulanya, kemudian
berbicara baik kepada tuan yang memerdekakan maupun hamba yang dimerdekakan, maka ia
dikenai kafarat sumpah.
D. Dampak Al-Musytarak Al-Lafdzi Dan Al-Ma'nawi Dalam Kesamaran Teks Dan Cara
Menghilangkannya
Musytarak lafdzi sangat menentukan terhadap pembatasan makna yang dikehendaki
yang datang dari nash dan dalam menggali hukum yang tidak ada qarinahnya. Nash-nash
yang mengandung musytarak lafdzi terdapat kesamaran meskipun dinisbatkan dengan lafadz
yang lain. Perkara yang menjadikan musytarak lafdzi dan maknawi dalam nash yang paling
penting adalah sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dan kesamaran nash.
Contoh musytarak lafdzi adalah perbedaan ulama dalam memaknai lafadz al-qar'u
antara arti haid dan suci dalam firman Allah:
ِ ُصنَ بَِأنف
]17[.س ِهنَّ ثَالَثَةَ قُ ُر َو ٍء ْ ََّوا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَتَ َرب
Ulama hanafiah, Hanabilah, dan Zaidiyah mengartikannya dengan haid, sedangkan
ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Imamiyah dan Dhahiriyah mengartikannya suci.
Dari perbedaan pendapat tersebut menghasilkan penetapan-penetapan hukum sebagai
berikut :[18]
1. Tidak dianggap haid wanita yang ditalak di dalamnya menurut pendapat yang pertama, maka
iddahnya akan selesai ketika masuk pada haid yang keempat, dan dianggap suci wanita yang
ditalak di dalamnya, maka iddah akan selesai ketika masuk haid yang ketiga setelah ditalak.
2. Suami berhak ruju' pada haid yang ketiga menurut pendapat yang pertama, karena masa
iddahnya akan habis ketika masuk pada haid yang keempat, berbeda dengan pendapat yang
kedua karena masa iddahnya akan habis ketika masuk pada haid yang ketiga.
3. Bolehnya menikahi saudara perempuan wanita yang di talak pada masa haid yang ketiga
menurut pendapat yang kedua.
4. Wanita yang ditalak boleh menikah pada masa haid yang ketiga menurut pendapat yang
kedua.
5. Wanita yang ditalak berhak mendapat nafkah,dan tempat tinggal pada masa haid yang ketiga
menurut pendapat pertama.
6. Bolehnya menikah wanita yang kelima ketika masuk pada masa haid yang ketiga menurut
pendapat yang kedua
7. Ketika salah satu dari mereka meninggal pada masa haid yang ketiga maka yang lain berhak
mendapatkan waris darinya menurut pendapat yang pertama, jika talak itu raj'i.
8. Jika wanita yang ditalak dalam keadaan suci maka iddahnya akan selesai pada masa haid
yang ketiga dan jika ditalak dalam keadaan haid maka iddahnya akan habis pada masa haid
yang keempat menurut pendapat yang kedua.
Adapun contoh musytarak maknawi adalah perbedaan ulama dalam membatasi lafadz
al-qatil yang mencegah mendapatkan hak waris sesuai dengan hadis Rasul:
]19[.ليس لقاتل ميراث
Menurut Hanafiah pembunuhan yang dapat mencegah mendapatkan hak waris adalah
pembunuhan yang menyebabkan qishah atau kafarat. Menurut Malikiyah adalah pembunuhan
yang disengaja karena permusuhan dan penganiayaan. Menurut Syafi'iyah adalah
pembunuhan yang ada jaminan atau dengan hak maka boleh mendapatkan waris, ada yang
mengatakan pembunuh tidak mendapat waris secara mutlak. Menurut Hanabilah pembunuh
tidak mendapatkan waris baik disengaja maupun tidak. Menurut al-Dhahiri pembunuhan
tidak tercegah secara mutlak karena ayat alqur'an yang umum tidak membedakan pembunuh
sedangakan hadis tersebut tidak bisa mentakhsis keumuman ayat al-Qur'an.[20]
Pendapat yang rajih adalah pendapat malikiyah, imamiyah, dan zaidiyah yang
berpendapat bahwa pembunuhan yang mencegah mendapatkan waris adalah pembunuhan
yang disengaja dan karena permusuhan, kerena lebih dekat kepada keadilan dan ruh syari'at
agama.[21]
Adapun jalan keluar dalam menghilangkan kesamaran nash adalah sebagai berikut:
[22]
1. Taamul dengan shighat untuk menjelaskan makna yang dikehendaki.
2. Membahas dalil lain yang mengenali tujuannya, karena kesamaran makna akan hilang
dengan memperhatikan tujuan yang dikehendaki.
Apabila dalam nash-nash al-Qur’an dan Al-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak,
maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
[23]
a. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti
bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada
indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b. Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan
adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan
salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang
dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah
haliyah adalah keadaan atau kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash
tersebut.
c. Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz-lafadz tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah
satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah
satu artinya.