Anda di halaman 1dari 7

A.

    Definisi al-Musytarak al-Lafdzi dan Al-Ma'nawi


Al-Musytarak dari segi bahasa berasal dari kata ‫ اشترك‬yang berarti kacau[1]. Lafadz
musytarak itu mempunyai banyak makna seperti lafadz al-'ain yang menunjukkan arti mata
untuk melihat, mata air, dan mata-mata.[2] Lafadz musytarak kadang-kadang berupa isim,
fi'il seperti shighat perintah untuk kewajiban dan menganjurkan, dan huruf misalnya huruf
wawu untuk athaf (kata sambung) dan wawu hal untuk menyatakan keadaan.[3]
Adapun secara definitif, para ulama' ahli ushul fiqh mendefinisikan musytarak lafdzi
sebagai berikut:
1.      Al-Shashi (ulama Hanafiah)
]4[.‫ما وضع لمعنيين مختلفين أو لمعا ٍن مختلفة الحقائق‬
"Lafadz yang mempunyai dua makna atau lebih yang berbeda secara hakiki".
2.      Ibnu al-Hajib (ulama Malikiyah)
]5[ً.‫ حقيقة‬I‫لفظ واحد لمعنى متعدد‬
"Satu lafadz yang mempunyai banyak makna secara hakiki"
3.      Al-Mahalli (ulama Syafi'iyah)
]6[.‫اللفظ الواحد المتعدد المعنى الحقيقي‬
"Satu lafadz yang mempunyai beberapa makna hakiki".
4.      Ibnu Qudamah )ulama Hanabilah)
]7[‫والمشتركة فهي األسماء المنطلقة على مسميات مختلفة بالحقيقة‬
"Lafadz musytarak adalah suatu isim yang mengeluarkan isim-isim yang berbeda secara
hakiki".
5.      Abu Zahrah (ulama kontemporer)
]8[‫ اومعان على سبيل التبادل‬I‫لفظ يدل علي معنيين‬
“ Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna dengan jalan bergantian”.
(maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua
makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan
dengan arti salah satunya).
Adapun mengenai musytarak maknawi kebanyakan ulama' ushul tidak
menjelaskannya.  Akan tetapi sebagian ulama' menjelaskan lafadz maknawi itu ketika mereka
membagi lafadz musytarak maknawi menjadi lafadz ]9[‫ المتواطئ والمشكك‬.
Di antara para ulama' ushul fiqh yang mendefinisikan musytarak maknawi adalah
sebagai berikut:
1. Hasan al-Harawi
]10[.‫لفظ موضوع بإزاء مفهوم كلي صادق على أفراد ما يشار إليه‬ 
"lafadz yang diletakkan dengan melihat mafhum kulli yang sesuai dengan satuan-satuan
yang dikehendaki".
2. Zakiy al-Din Sya'ban
]11[‫اللفظ الذي وضع وضعا واحدا لمعنى كلي يشترك فيه أفراد كثيرة‬ 
"lafadz yang mempunyai satu makna kulli yang mengandung banyak satuan-satuan di
dalamnya".
3. Al-Haidari
]12[.‫تعدد أفراد المعنى الحقيقي للفظ الواحد‬ 
"Banyaknya satuan-satuan makna hakiki untuk satu lafadz".
Adapun contoh musytarak maknawi adalah  lafadz al-jarimah. Dalam syara' dan
undang-undang digunakan untuk perbuatan yang dilarang dan akan mendapat sanksi bagi
orang yang melanggarnya. Makna ini musytarak antara seluruh jenis-jenis jarimah
(kejahatan), yaitu jarimah menyerang orang lain, harta, kehormatan, keamanan, pengakuan
atau yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan antara musytarak lafdzi dan maknawi adalah sebagai berikut:
[13]
1.      Musytarak lafdzi itu mempunyai lebih dari satu arti, sedangkan musytarak maknawi itu
hanya satu arti.
2.      Kata yang punya arti banyak dalam musytarak lafdzi itu adalah lafadznya, sedangkan dalam
musytarak maknawi adalah maknanya.
3.      Penetapan musytarak lafdzi itu banyak, artinya zaman penetapan awal berbeda dengan yang
kedua dan keduanya berbeda dengan yang ketiga. Sedangkan musytarak maknawi
mempunyai satu arti dan dalam satu zaman.
4.      Terjadi perbedaan para ulama' dalam masalah musytarak lafdzi, akan tetapi tidak terjadi
perbedaan dalam musytarak maknawi.
5.      Banyak Ulama ushul menjelaskan panjang lebar mengenai musytarak lafdzi, sedangkan
sedikit sekali di antara mereka yang menyinggung tentang musytarak maknawi.
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatlah banyak sekali,
namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain
sebagai berikut :[14]
a.       Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk
menunjukkan terhadap satu makna. Seperti perbedaan dalam pemakain kata ‫ يد‬, dalam satu
kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna. Sedangkan kabilah yang
lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.
b.      Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti lafadz ‫فتن‬
yang asalnya bermakna logam atau barang tambang dalam api, selanjutnya digunakan untuk
menunjukkan arti penindasan agama, kemudian bermakna terjerumus dalam kesesatan.
c.       Terjadinya makna yang berkisar atau keragu-raguaan ‫ ) )تردد‬antara makna hakiki dan majaz.
d.      Terjadinya makna yang berkisaran atau keragu-raguaan ‫ردد‬I‫ ) )ت‬antara makna hakiki dan
makna istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa ke dalam arti
istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz ‫ الصالة‬yang dalam
arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan
ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa al-musytarak al-lafdzi adalah
lafadz yang mempunyai dua arti hakiki atau lebih dengan kegunaan yang banyak yang dapat
menunjukkan artinya secara bergantian. Sedangkan al-musytarak al-maknawi adalah lafadz
kulli yang mempunyai satuan-satuan makna hakiki.
B.     Perbedaan Pendapat Ulama' Tentang  Adanya al-Musytarak al-Lafdzi
Dalam hal ini ada tiga perbedaan ulama tentang adanya al-musytarak al-lafdzi.
Perbedaan pendapat tersebut adalah sebagai berikut:[15]
1.      Wajib adanya musytarak lafdzi. Termasuk yang mengikuti pendapat ini adalah Abu al-Hasan
al-Ash'ari dengan alasan:
a.       Makna itu tidak terbatas, sedangkan lafadz itu terbatas.
b.      Lafadz itu bersifat umum seperti lafadz wujud. Wujud itu ada wujud al-wajib dan wujud al-
mumkin.
2.      Mustahil adanya musytarak lafdzi. Pendapat ini diikuti oleh Tha'lab, al-Abhari, dan al-Balkhi
dengan alasan:
a.       Sesuatu yang dianggap musytarak lafdzi di antara dua makna atau lebih adakalanya
mutawathi' atau salah satunya makna hakikat sedang yang lain makna majaz seperti al-'ain
hakikatnya berarti mata sedang yang lain berarti majaz. Sedang contoh mutawathi' adalah
lafadz quru' yang bisa berarti haid dan juga bisa berarti suci. Dengan penjelasan tersebut
maka kita tidak akan memahami salah satu dari maknanya tanpa adanya penentuan, padahal
hati kita sendiri masih ragu.
b.      Tujuan lafadz dan peletakan maknanya itu untuk memahamkan suasana pembicaraan.
c.       Pembicaraan dengan lafadz musytarak tidak akan memberikan pemahaman, baik bagi yang
berbicara maupun yang mendengarkan. Hal itu akan mendatangkan kerusakan, padahal
kerusakan itu harus ditiadakan.
3.      Membolehkan  adanya lafadz musytarak. Pendapat ini diikuti oleh Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi'iyah, dan Hanabilah dengan alasan:
a.       Peletakan lafadz itu bergantung kepada tujuan mutakallim, terkadang mutakallim
menyebutkan sesuatu dengan rinci terkadang dengan global.
b.      Banyaknya suku bangsa, maka tidaklah tercegah sebuah suku bangsa menamakan sesuatu
yang berbeda dengan suku bangsa yang lain.
Dari perbedaan pendapat tersebut, penulis cenderung kepada pendapat yang ketiga
karena terkadang dalam suatu kalimat ada faktor dan indikasi yang menyebabkan adanya
lafadz musytarak yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum menentukuan hukumnya
C.    Perbedaan Penggunan al-Musytarak al-Lafdzi yang Mempunyai Lebih dari Satu
Makna dalam Waktu yang Bersamaan
Lafadz musytarak yang mempunyai lebih dari satu makna dalam waktu yang
bersamaan dan tidak ada qarinah yang membatasi makna tersebut. Para ulama berbeda
pendapat:[16]
1.      Boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam waktu
yang bersamaan, baik mana itu menunjuk kepada al-nafy (peniadaan hukum) maupun
menunjuk kepada al-isbat (penetapan hukum), dengan syarat makna-maknanya dapat
dikompromikan. Contoh lafadz yang mungkin dapat dikompromikan adalah lafadz al-'ain
(mata) yang mengandung makna matahari dan mata untuk melihat. Adapun contoh lafadz
yang tidak mungkin dapat dikompromikan adalah lafadz al-quru' yang mengandung makna
haid dan suci, mengingat keduanya berbeda esensi. Pendapat ini dipilih oleh imam Syafi'i,
Abu Bakar Muhammad al-Baqilani (tokoh usul fiqh madzhab Maliki),dan tokoh-tokoh
Mu'tazilah seperti Qadi Abdul Jabbar dengan alasan:

a.       Lafadz tersebut memang mengandung beberapa makna yang seimbang, yang tidak mungkin
ditujukan pilihan kepada salah satu di antara makna-makna tersebut. Karenanya, mengambil
seluruh makna lebih bersisat ihtiyat (hati-hati).

b.      Kebolehan ini didukung oleh surat al-hajj ayat 18 yang artinya: "Apakah kamu tiada
mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan
bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar
daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan adzab atasnya. Dan
barang siapa yang dihinakan oleh Allah, maka tidak seorang pun yang memuliakannya.
Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki". Dalam ayat ini, lafadz sujud telah
digunakan dalam berbagai makna. Sujud yang dilakukan manusia mengandung pengertian
meletakkan wajahnya di atas bumi, sedangkan sujud yang dilakukan makhluk lein
mengandung pengertian khusyuk, tunduk, dan patuh kepada Allah.

2.      Tidak boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam
waktu yang bersamaan. Pendapat ini dipilih oleh ulama madzhab Hanafi, dan sebagian
madzhab Syafi'i dengan alasan bahwa lafadz msytarak tidak ditentukan untuk seluruh
maknanya pada suatu penggunaan. Menurut mereka makna sujud dalam surat al-hajj ayat18
itu berarti khusyuk, tunduk dan patuh, baik secara ikhlash maupun secara terpaksa. makna ini
dapat berlaku bagi manusia dan juga maskhluk lain selain manusia.

3.      Boleh menggunakan makna-makna yang terkandung dalam lafadz musytarak dalam waktu
yang bersamaan, apabila tujuannya untuk al-nafy (meniadakan) bukan al-isbat (menetapkan).
Pendapat ini dipilih oleh sebagian madzhab Hanafi. Mereka mencontohkan wasiat kepada
maula (lafadz musytarak antara tuan yang memerdekakan dan hamba yang dimerdekakan).
Apabila orang yang berwasiat tadi tidak menentukan arti maula yang mana, maka wasiat ini
tidak mungkin ditetapkan kepada tuan yang memerdekakan dan sekaligus hamba yang
dimerdekakan. Apabila seseorang bersumpah tidak berbicara kepada maulanya, kemudian
berbicara baik kepada tuan yang memerdekakan maupun hamba yang dimerdekakan, maka ia
dikenai kafarat sumpah.

D.    Dampak Al-Musytarak Al-Lafdzi Dan Al-Ma'nawi Dalam Kesamaran Teks Dan Cara
Menghilangkannya
Musytarak lafdzi sangat menentukan terhadap pembatasan makna yang dikehendaki
yang datang dari nash dan dalam menggali hukum yang tidak ada qarinahnya. Nash-nash
yang mengandung musytarak lafdzi terdapat kesamaran meskipun dinisbatkan dengan lafadz
yang lain. Perkara yang menjadikan musytarak lafdzi dan maknawi dalam nash yang paling
penting adalah sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dan kesamaran nash.
Contoh musytarak lafdzi adalah perbedaan ulama dalam memaknai lafadz al-qar'u
antara arti haid dan suci dalam firman Allah:
ِ ُ‫صنَ بَِأنف‬
]17[.‫س ِهنَّ ثَالَثَةَ قُ ُر َو ٍء‬ ْ َّ‫َوا ْل ُمطَلَّقَاتُ يَتَ َرب‬
Ulama hanafiah, Hanabilah, dan Zaidiyah mengartikannya dengan haid, sedangkan
ulama Syafi'iyah, Malikiyah, Imamiyah dan Dhahiriyah mengartikannya suci.
Dari perbedaan pendapat tersebut menghasilkan penetapan-penetapan hukum sebagai
berikut :[18]
1.      Tidak dianggap haid wanita yang ditalak di dalamnya menurut pendapat yang pertama, maka
iddahnya akan selesai ketika masuk pada haid yang keempat,  dan dianggap suci wanita yang
ditalak di dalamnya, maka iddah akan selesai ketika masuk haid yang ketiga setelah ditalak.
2.      Suami berhak ruju' pada haid yang ketiga menurut pendapat yang pertama, karena masa
iddahnya akan habis ketika masuk pada haid yang keempat, berbeda dengan pendapat yang
kedua karena masa iddahnya akan habis ketika masuk pada haid yang ketiga.
3.      Bolehnya menikahi saudara perempuan wanita yang di talak pada masa haid yang ketiga
menurut pendapat yang kedua.
4.      Wanita yang ditalak boleh menikah pada masa haid yang ketiga menurut pendapat yang
kedua.
5.      Wanita yang ditalak berhak mendapat nafkah,dan tempat tinggal pada masa haid yang ketiga
menurut pendapat pertama.
6.      Bolehnya menikah wanita yang kelima ketika masuk pada masa haid yang ketiga menurut
pendapat yang kedua
7.      Ketika salah satu dari mereka meninggal pada masa haid yang ketiga maka yang lain berhak
mendapatkan waris darinya menurut pendapat yang pertama, jika talak itu raj'i.
8.      Jika wanita yang ditalak dalam keadaan suci maka iddahnya akan selesai pada masa haid
yang ketiga dan jika ditalak dalam keadaan haid maka iddahnya akan habis pada masa haid
yang keempat menurut pendapat yang kedua.
Adapun contoh musytarak maknawi adalah perbedaan ulama dalam membatasi lafadz
al-qatil yang mencegah mendapatkan hak waris sesuai dengan hadis Rasul:
]19[.‫ليس لقاتل ميراث‬ 
Menurut Hanafiah pembunuhan yang dapat mencegah mendapatkan hak waris adalah
pembunuhan yang menyebabkan qishah atau kafarat. Menurut Malikiyah adalah pembunuhan
yang disengaja karena permusuhan dan penganiayaan. Menurut Syafi'iyah  adalah
pembunuhan yang ada jaminan atau dengan hak maka boleh mendapatkan waris, ada yang
mengatakan pembunuh tidak mendapat waris secara mutlak. Menurut Hanabilah pembunuh
tidak mendapatkan waris baik disengaja maupun tidak. Menurut al-Dhahiri pembunuhan
tidak tercegah secara mutlak karena ayat alqur'an yang umum tidak membedakan pembunuh
sedangakan hadis tersebut tidak bisa mentakhsis keumuman ayat al-Qur'an.[20]
Pendapat yang rajih adalah pendapat malikiyah, imamiyah, dan zaidiyah yang
berpendapat bahwa pembunuhan yang mencegah mendapatkan waris adalah pembunuhan
yang disengaja dan karena permusuhan, kerena lebih dekat kepada keadilan dan ruh syari'at
agama.[21]
Adapun jalan keluar dalam menghilangkan kesamaran nash adalah sebagai berikut:
[22]
1.      Taamul dengan shighat untuk menjelaskan makna yang dikehendaki.
2.      Membahas dalil lain yang mengenali tujuannya, karena kesamaran makna akan hilang
dengan memperhatikan tujuan yang dikehendaki.
Apabila dalam nash-nash al-Qur’an dan Al-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak,
maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
[23]
a.       Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti
bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’, kecuali ada
indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa.
b.      Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan
adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan
salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang
dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah
haliyah adalah keadaan atau kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash
tersebut.

c.       Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz-lafadz tersebut, menurut
golongan Hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah
satu artinya. Menurut golongan Malikiyah dan Syafi’iyah membolehkan menggunakan salah
satu artinya.

Anda mungkin juga menyukai