tentang
DISUSUN OLEH:
Kelompok 8
Dosen Pengampu:
FAKULTAS SYARIAH
2023 M/ 1445 H
BAB II
PEMBAHASAN
Lafadz ‘am ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup
seluruh person yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para pakar Ushul Fikih
memberikan definisi ‘am antara lain sebagai berikut:
Perbedaan pendapat antara dua golongan ulama ini dalam dilalah lafaz ‘âm, berlanjut
pada perbedaan pendapat mengenai kemungkinan mentakhshîsh (membatasi) lafaz ‘âm
itu untuk pertama kali: apakah boleh mentakhshîsh dengan dalil yang berkekuatan
zhannî”?
1. Ulama Syafi‘iyah yang mengatakan bahwa penunjukan lafaz ‘âm itu adalah zhannî
berpendapat boleh saja mentakhshîh lafaz ‘âm itu dengan khabar ahad dan qiyâs
karena keduanya memang bersifat zhannî. Dalil zhannî tidak ada halangan untuk
mentakhshîsh yang zhannî.
2. Ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa penunjukkan lafaz ‘âm itu adalah qath‘i
berpendapat bahwa tidak boleh mentakhshîsh lafaz ‘âm untuk pertama kali dengan
khabar ahad dan qiyâs karena keduanya berkekuatan zhannî Namun bila lafaz ‘âm
itu sudah di-takhshîsh terlebih dahulu dengan dalil yang kuat, maka selanjutnya
boleh takhshîsh dengan khabar ahad dan qiyâs; karena sesudah di takhshîsh dengan
dalil yang kuat itu, lafaz umumnya menjadi zhannî.
kedudukan lafaz ‘am itu adalah zanniy Al-dalalah. Oleh sebab itu Al-Syafi'i
mentakshis lafaz ‘am yang terdapat di dalam nas dengan dalil zanniy seperti Qiyas dan
hadis Ahad dan ia tidak mengakui adanya kontra diksi antara dalil ‘am (dalil atau nas
yang terdapat di dalamnya lafaz ‘am) dan dalil khas (dalil atau nas yang terdapat di
dalamnya lafaz khas).4
Abdul Wahab Khalaf dalam menanggapi dua pendapat yang berbeda tersebut,
mengatakan bahwa dua pendapat tersebut tidaklah berbeda pada dasarnya dari segi
praktis. Artinya, perbedaan tersebut tidak mempunyai pengaruh secara praktis karena
keduanya tidak berbeda dalam hal pandangan bahwa bila kita menemukan lafaz ‘âm,
maka wajib beramal menurut keumumannya sampai menemukan dalil yang
mentakhshîsh-nya dan bahwa lafaz itu mempunyai kemungkinan untuk di-takhshîsh
dengan dalil. Sedangkan takhshîsh tanpa dalil adalah ta‘wil yang jauh.
Ulama yang berpendapat bahwa lafaz ‘âm yang belum di- takhshîsh itu bersifat
qath‘i dilalah-nya, tidak sampai berpendapat bahwa lafaz qath‘i itu tidak dapat di-
takhshish secara mutlak. Sebenarnya yang mereka maksud adalah bahwa lafaz ‘âm itu
tidak dapat di-takhshish, kecuali dengan dalil. Demikian pula ulama yang mengatakan
bahwa lafaz ‘âm itu adalah zhannî dilalah-nya tidak sampai berpendapat bahwa lafaz
‘âm itu dapat saja di-takhshîsh secara mutlak. Sebenarnya yang mereka maksud adalah
bahwa lafaz ‘âm itu hanya dapat di-takhshîsh dengan dalil. Dengan demikian,
pandangan kedua golongan ulama itu, sebenarnya adalah sama5.
3 Edi darmawijaya,metode isthinbat hukum dari lafaz am(telaah pemikiran assyafi’i). Yayasan PeNA Banda
Aceh. 2022.hal. 87
4 Ibid, hal 88
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta : Kencana, 2011, , hal 81
Para ulama sepakat bahwa ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang
menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalalah (penunjukkan yang pasti
dan tidak mungkin mengandung makna lain). Mereka pun sepakat bahwa lafadz ‘am
yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud itu khusus, mempunyai
dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafadz ‘am
yang muthlaq (berdiri secara independen) tanpa disertai suatu qarinah yang menolak
kemungkinan adanya takhshish atau tetap berlaku umum yang mencakup person atau
bagian yang masuk di dalamnya.
Menurut ulama Hanafiyah dilalah ‘am itu qathi. Dan qath’i menurut mereka
adalah:
ال يحتمل احتماال ناشئا عن دليل
“Tidak memunculkan kemungkinan-kemungkinan (penafsiran) lain yang berasal
dari suatu dalil”
Namun, bukan berarti tidak tertutup kemungkinan adanya takhshish sama sekali.
Oleh karena itu, untuk menetapkan ke qathian lafadz ‘am pada mulanya tidak boleh
ditakhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah
(penunjukan) itu bersifat dzanni6
Mereka beralasan bahwa : suatu lafadz apabila ditempatkan pada suatu makna,
maka makna itu tetap qath’i sampai ada dalil yang mengubahnya. Hal ini ditegasnya
dengan pernyataan:
إن لفظ العام موضوع حقيقة الستغراق جميع ما يصدق عليه معناه من
فالعام المطلق، واللفظ حين إطالقه يدل على معناه الحقيقي قطعا. األفراد
عن قرينة تخصصه يدل على العموم قطعا وال ينصرف عن معناه الحقيقي إال
بدليل
وهللاا بكل شيئ عليم: ليس فى القرآن عام إال وخصص إال قوله تعالي
“Seluruh lafadz ‘am yang ada dalam Al-Qur’an memungkinkan semua untuk ditakhsis
kecuali firman Allah: dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.”
Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
ما من عام إال وقد خصص
Pakar Ushul Fikih dari kalangan Hanafiyah membantah argumen tersebut dengan
alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari
ucapan pembicara bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”. Dari kedua sikap ulama
tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi kalangan pakar Ushul Fikih.
Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat di antara
mereka dalam beberapa masalah di antaranya:
1) Apakah lafadz am yang qathi itu boleh ditakhsis oleh dalil dzanni?
2) Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafadz am di suatu tempat dan di
tempat lain menggunakan lafadz khash yang satu sama lainnya saling
bertentangan. Apakah persoalan ini bisa dikategorikan sebagai persoalan ta’arud
(dalil yang kontradiksi)?
Pada persoalan pertama: dalam versi al-Syafi’iyah dan Ahmad apabila pertentangan
antara lafadz khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafadz ‘am Al-Qur’an, maka khabar
ahad itu dapat mentakhsis lafadz ‘am Al-Qur’an. Sekalipun lafadz ‘am Al-Qur’an itu qathi
tsubutnya, dilalahnya dzanniy. Sebaliknya, khas khabar ahad sungguh pun dzanni tsubutnya
tetapi qathi dalalahnya. Menurut pendapat ini, hadis dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-
Qur’an meskipun itu adalah khabar ahad. Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat
mentakhsis Al-Qur’an kecuali lafadz ‘am Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena takhshish.
Mereka memandang bahwa dilalah ‘am itu qathi seperti yang telah diuraikan dan takhshish
bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembantalah pemakaian sebagian dari person
lafadz am. Mereka menetapkan bahwa lafadz ‘am itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas
dan tidak butuh interpretasi lagi. Oleh sebab itu, Ulama Hanafiyah tidak mewajibkan tertib
dalam berwudhu karena ayat mengenai wudhu yaitu QS. Al-Maidah: 6 sudah cukup jelas dan
tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan jumhur ulama mewajibkan tertib
dalam berwudhu karena berdasarkan hadis yang berbunyi;
ال يقبل هللاا صالة امرئ حتي يضع الطهور مواضعه فليغسل وجهه ثم يديه
“Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib
pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian kedua tangannya.”
Menurut versi Imam Malik, meski lafadz ‘am Al-Qur’an itu adalah dzanni akan tetapi
tidak selamanya khabar ahad bisa mentakhsis lafadz ‘am Al-Qur’an. Ia kadang-kadang
berpegang pada lafadz ‘am Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad namun terkadang
mentakhsis lafadz am Al Qur’an dengan khabar ahad. 7
Menurut pemakalah pendapat yang terkuat adalalah pendapat Menurut jumhur ulama
(Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ‘am itu adalah dzanni. Dengan alasan,
dilalah ‘am itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk
ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafadz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama
Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta : Kencana, 2011,
Misbahuddin, Ushul Fiqh II, Makasar: CV Berkah Utami:2015
Edi darmawijaya,metode isthinbat hukum dari lafaz am(telaah pemikiran assyafi’i). Yayasan
PeNA Banda Aceh. 2022.