Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

Perbandingan Mazhab dalam Metode Istinbath Hukum

tentang

Kontroversi Ulama Tentang Dilalah Lafaz ‘Am

DISUSUN OLEH:

Kelompok 8

Fitri Wahyuni (2013020019)


Varhana Mahmubatul Jannah (2013020024)
M. Yusuf Sihombing (2013020025)

Dosen Pengampu:

Dr. Zainal Azwar M.Ag

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG

2023 M/ 1445 H
BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk – Bentuk Perbedaan Pendapat Di Kalangan Ushuliyin Tentang Dilalah


Lafaz ‘Am Dan Alasan Mereka Masing-Masing

Lafadz ‘am ialah suatu lafadz yang menunjukkan satu makna yang mencakup
seluruh person yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu. Para pakar Ushul Fikih
memberikan definisi ‘am antara lain sebagai berikut:

Menurut Imam al-Gazali, Am adalah:


‫فصائدا شيئين على واحدة جهة من الدال الواحد اللفظ‬
Terjemahnya :
Satu lafadz yang dari satu segi menunjukkan dua makna atau lebih

Sedangkan menurut Imam al-Bazdawi, Am adalah:


‫واحد بوضح له يصلح ما لجميع المستغرق اللفظ‬
Terjemahnya :
Lafadz yang mencakup semua yang cocok untuk lafadz tersebut dengan satu
kata1

Dilâlah (Penunjukan) Lafaz Umum Di kalangan ulama ushul tidak terdapat


perbedaan pendapat mengenai lafaz umum yang ditentukan secara lughawi bahwa di
dalamnya tercakup semua makna. Juga tidak terdapat perbedaan di antara mereka bahwa
bila datang suatu nash syara’ dalam bentuk lafaz umum, maka hal itu menunjukkan
berlakunya hukum dalam lafaz nash hukum itu terhadap semua satuan pengertian (afrad
atau makna) yang terdapat di dalamnya sebelum ada dalil lain yang membatasi (men-
takhsis) sebagian dan afrad-nya.
Umpamanya kewajiban ber-iddah 3 quru’ bagi setiap istri yang bercerai dari
suaminya, sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 128:
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah ber‘iddah selama
tiga quru’.

1 Misbahuddin, Ushul Fiqh II, Makasar: CV Berkah Utami:2015


Ayat ini menunjukkan keharusan ber-iddah 3 quru’ terhadap semua istri yang
bercerai dari suaminya, baik cerai mati atau cerai hidup, sedang dalam masa haid atau
sudah berhenti haidnya, sedang hamil atau tidak.
Perbedaan pendapat ulama terletak pada penunjukan lafaz umum yang belum
diikuti oleh dalil takhsis terhadap makna (afrad) yang tercakup di dalamnya: apakah
penunjukannya secara meyakinkan (qath‘i) atau tidak meyakinkan (zhanni).
1. Ulama Syafi‘iyyah berpendapat bahwa penunjukan lafaz umum terhadap setiap
afrad-nya secara khusus adalah zhannî karena adanya kemungkinan untuk di-
takhsis, meskipun belum jelas adanya dalil yang men-takhsis-nya, karena begitu
banyaknya terjadi takhsis dalam lafaz umum. Secara bahasa, takhsîs itu dapat
terjadi pada kebanyakan lafaz umum, sehingga lafaz umum itu selalu berada
dalam kemungkinan untuk terkena takhsîs. Suatu lafaz yang dalam keadaan
berkemungkinan untuk terkena takhsîs tersebut, maka tidak mungkin dikatakan
bahwa lafaz itu bersifat qath‘î.
Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Hasil penelitian terhadap nash atau teks hukum syara’ yang
mengandung lafaz umum menunjukkan bahwa tidak ada lafaz umum
yang tidak mengalami takhsîs.
b. Sebagian afrad (satuan pengertian) dari lafaz umum mempunyai
maksud yang banyak. Hal yang demikian menimbulkan adanya
beberapa kemungkinan mengenai makna bagi setiap bagian dari lafaz
umum tersebut. Dengan demikian penunjukannya terhadap hukum
menjadi zhannî.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa lafaz umum menunjukkan berlakunya
hukum dalam semua afrad-nya secara meyakinkan (qath‘î), sebagaimana juga
lafaz khusus menunjukkan hukum secara qath‘î pada apa yang ditujunya.
Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut:
a. Lafaz ‘âm dibentuk dan digunakan secara hakiki untuk men-
cakup semua makna yang terkandung di dalamnya. Suatu lafaz
sewaktu digunakan dalam kemutlakannya menunjukkan
maknanya yang hakiki secara meyakinkan (qath‘i) selama tidak
ada petunjuk yang memalingkan-nya dari makna tersebut.
b. Sukar diterima banyaknya maksud dari sebagian afrad lafaz ‘âm,
karena yang demikian hanya mungkin ada bila diiringi oleh
qarinah yang menunjukkannya, baik dalam bentuk lafaz maupun
bukan lafaz. Keadaan yang seperti ini sedikit sekali. Adapun bila
sesudah itu datang nash yang mengeluarkan sebagian afrad-nya
(hal seperti ini cukup banyak), maka tidak menunjukkan bahwa
yang dimaksud dengan lafaz ‘âm itu adalah sebagian afrad-nya.
Bentuk seperti ini adalah nâsikh.2

Perbedaan pendapat antara dua golongan ulama ini dalam dilalah lafaz ‘âm, berlanjut
pada perbedaan pendapat mengenai kemungkinan mentakhshîsh (membatasi) lafaz ‘âm
itu untuk pertama kali: apakah boleh mentakhshîsh dengan dalil yang berkekuatan
zhannî”?
1. Ulama Syafi‘iyah yang mengatakan bahwa penunjukan lafaz ‘âm itu adalah zhannî
berpendapat boleh saja mentakhshîh lafaz ‘âm itu dengan khabar ahad dan qiyâs
karena keduanya memang bersifat zhannî. Dalil zhannî tidak ada halangan untuk
mentakhshîsh yang zhannî.
2. Ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa penunjukkan lafaz ‘âm itu adalah qath‘i
berpendapat bahwa tidak boleh mentakhshîsh lafaz ‘âm untuk pertama kali dengan
khabar ahad dan qiyâs karena keduanya berkekuatan zhannî Namun bila lafaz ‘âm
itu sudah di-takhshîsh terlebih dahulu dengan dalil yang kuat, maka selanjutnya
boleh takhshîsh dengan khabar ahad dan qiyâs; karena sesudah di takhshîsh dengan
dalil yang kuat itu, lafaz umumnya menjadi zhannî.

Lafaz-lafaz ’am menurut Al-Syafi'i ada 7, yaitu: lafazlafaz penunjuk jamak,


seperti: kullu (‫ )كل‬ma’syar (‫ )معشر‬ma’asyir (‫ ) معاشر‬Ammah (‫) عامة‬dan kaffah (‫) كافة‬.
Jama’ yang dita’rif dengan Al(‫( ال‬Al-istigraq atau jama’ yang dita’rif dengan idafat,
mufrad yang dita’rif dengan idafat. Nakirah dalam susunan kalimat negatif, larangan dan

2 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta : Kencana, 2011, hlm: 79-80


syarat, isim mausul, isim-isim syarat dan isim-isim istfham. Menurut Al-Syafi'i lafaz-
lafaz ‘am tersebut sesuai dengan konteksnya di dalam nas terbagi dalam tiga kategori,
yaitu: lafaz ‘am dengan maksud umum, lafaz ‘am dengan maksud khusu dan lafaz ‘am
mutlak atau yang dikhususkan (makhsus).3

kedudukan lafaz ‘am itu adalah zanniy Al-dalalah. Oleh sebab itu Al-Syafi'i
mentakshis lafaz ‘am yang terdapat di dalam nas dengan dalil zanniy seperti Qiyas dan
hadis Ahad dan ia tidak mengakui adanya kontra diksi antara dalil ‘am (dalil atau nas
yang terdapat di dalamnya lafaz ‘am) dan dalil khas (dalil atau nas yang terdapat di
dalamnya lafaz khas).4

Abdul Wahab Khalaf dalam menanggapi dua pendapat yang berbeda tersebut,
mengatakan bahwa dua pendapat tersebut tidaklah berbeda pada dasarnya dari segi
praktis. Artinya, perbedaan tersebut tidak mempunyai pengaruh secara praktis karena
keduanya tidak berbeda dalam hal pandangan bahwa bila kita menemukan lafaz ‘âm,
maka wajib beramal menurut keumumannya sampai menemukan dalil yang
mentakhshîsh-nya dan bahwa lafaz itu mempunyai kemungkinan untuk di-takhshîsh
dengan dalil. Sedangkan takhshîsh tanpa dalil adalah ta‘wil yang jauh.

Ulama yang berpendapat bahwa lafaz ‘âm yang belum di- takhshîsh itu bersifat
qath‘i dilalah-nya, tidak sampai berpendapat bahwa lafaz qath‘i itu tidak dapat di-
takhshish secara mutlak. Sebenarnya yang mereka maksud adalah bahwa lafaz ‘âm itu
tidak dapat di-takhshish, kecuali dengan dalil. Demikian pula ulama yang mengatakan
bahwa lafaz ‘âm itu adalah zhannî dilalah-nya tidak sampai berpendapat bahwa lafaz
‘âm itu dapat saja di-takhshîsh secara mutlak. Sebenarnya yang mereka maksud adalah
bahwa lafaz ‘âm itu hanya dapat di-takhshîsh dengan dalil. Dengan demikian,
pandangan kedua golongan ulama itu, sebenarnya adalah sama5.

B. Penyebab Perbedaan Pendapat

3 Edi darmawijaya,metode isthinbat hukum dari lafaz am(telaah pemikiran assyafi’i). Yayasan PeNA Banda
Aceh. 2022.hal. 87
4 Ibid, hal 88
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta : Kencana, 2011, , hal 81
Para ulama sepakat bahwa ‘am yang disertai qarinah (indikasi) yang
menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalalah (penunjukkan yang pasti
dan tidak mungkin mengandung makna lain). Mereka pun sepakat bahwa lafadz ‘am
yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksud itu khusus, mempunyai
dilalah yang khusus pula. Yang menjadi perdebatan pendapat di sini ialah lafadz ‘am
yang muthlaq (berdiri secara independen) tanpa disertai suatu qarinah yang menolak
kemungkinan adanya takhshish atau tetap berlaku umum yang mencakup person atau
bagian yang masuk di dalamnya.
Menurut ulama Hanafiyah dilalah ‘am itu qathi. Dan qath’i menurut mereka
adalah:
‫ال يحتمل احتماال ناشئا عن دليل‬
“Tidak memunculkan kemungkinan-kemungkinan (penafsiran) lain yang berasal
dari suatu dalil”
Namun, bukan berarti tidak tertutup kemungkinan adanya takhshish sama sekali.
Oleh karena itu, untuk menetapkan ke qathian lafadz ‘am pada mulanya tidak boleh
ditakhsis sebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah
(penunjukan) itu bersifat dzanni6

Mereka beralasan bahwa : suatu lafadz apabila ditempatkan pada suatu makna,
maka makna itu tetap qath’i sampai ada dalil yang mengubahnya. Hal ini ditegasnya
dengan pernyataan:

‫إن لفظ العام موضوع حقيقة الستغراق جميع ما يصدق عليه معناه من‬

‫ فالعام المطلق‬، ‫ واللفظ حين إطالقه يدل على معناه الحقيقي قطعا‬. ‫األفراد‬

‫عن قرينة تخصصه يدل على العموم قطعا وال ينصرف عن معناه الحقيقي إال‬

‫بدليل‬

“Sesungguhnya lafadz am itu merupakan suatu hakikat yang menunjukkan bahwa


seluruh makna yang dikandungnya mencakup seluruh person atau bahagian yang ada

6 Misbahuddin, Ushul Fiqh II, Makasar: CV Berkah Utami, 2015 hlm:7


dalam lafadz ‘am itu. Suatu lafadz jika dimutlakkan maknanya, maka lafadz itu
menunjukkan makna dan artinya secara hakiki. Begitu juga lafadz am yang mutlak dari
suatu indikasi tentang kekhususannya menunjukkan pada makna umum dan tidak
mungkin akan terjadi pengalihan makna kecuali ada dalil yang mengalihkannya”
Menurut jumhur ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah
‘am itu adalah dzanni. Dengan alasan, dilalah ‘am itu termasuk bagian dari dilalah
dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut
pada lafadz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama kemungkinan tetap ada, maka
tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya adalah qathi. Sehubungan
dengan hal itu, Ibnu Abbas berkata;

‫ وهللاا بكل شيئ عليم‬: ‫ليس فى القرآن عام إال وخصص إال قوله تعالي‬
“Seluruh lafadz ‘am yang ada dalam Al-Qur’an memungkinkan semua untuk ditakhsis
kecuali firman Allah: dan Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.”

Oleh karena itu, mereka mengemukakan sebuah statemen qaedah yang berbunyi:
‫ما من عام إال وقد خصص‬

“Tidak ada suatu lafadz am kecuali sudah dimunkinkan untuk ditakhsis”

Pakar Ushul Fikih dari kalangan Hanafiyah membantah argumen tersebut dengan
alasan bahwa: “Kemungkinan tersebut tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari
ucapan pembicara bukan yang muncul dari dalil itu sendiri”. Dari kedua sikap ulama
tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi kalangan pakar Ushul Fikih.
Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat di antara
mereka dalam beberapa masalah di antaranya:
1) Apakah lafadz am yang qathi itu boleh ditakhsis oleh dalil dzanni?
2) Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafadz am di suatu tempat dan di
tempat lain menggunakan lafadz khash yang satu sama lainnya saling
bertentangan. Apakah persoalan ini bisa dikategorikan sebagai persoalan ta’arud
(dalil yang kontradiksi)?
Pada persoalan pertama: dalam versi al-Syafi’iyah dan Ahmad apabila pertentangan
antara lafadz khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafadz ‘am Al-Qur’an, maka khabar
ahad itu dapat mentakhsis lafadz ‘am Al-Qur’an. Sekalipun lafadz ‘am Al-Qur’an itu qathi
tsubutnya, dilalahnya dzanniy. Sebaliknya, khas khabar ahad sungguh pun dzanni tsubutnya
tetapi qathi dalalahnya. Menurut pendapat ini, hadis dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-
Qur’an meskipun itu adalah khabar ahad. Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat
mentakhsis Al-Qur’an kecuali lafadz ‘am Al-Qur’an itu sebelumnya telah terkena takhshish.
Mereka memandang bahwa dilalah ‘am itu qathi seperti yang telah diuraikan dan takhshish
bukanlah merupakan suatu penjelasan, melainkan pembantalah pemakaian sebagian dari person
lafadz am. Mereka menetapkan bahwa lafadz ‘am itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas
dan tidak butuh interpretasi lagi. Oleh sebab itu, Ulama Hanafiyah tidak mewajibkan tertib
dalam berwudhu karena ayat mengenai wudhu yaitu QS. Al-Maidah: 6 sudah cukup jelas dan
tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan jumhur ulama mewajibkan tertib
dalam berwudhu karena berdasarkan hadis yang berbunyi;

‫ال يقبل هللاا صالة امرئ حتي يضع الطهور مواضعه فليغسل وجهه ثم يديه‬

“Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib
pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian kedua tangannya.”

Menurut versi Imam Malik, meski lafadz ‘am Al-Qur’an itu adalah dzanni akan tetapi
tidak selamanya khabar ahad bisa mentakhsis lafadz ‘am Al-Qur’an. Ia kadang-kadang
berpegang pada lafadz ‘am Al-Qur’an dan meninggalkan khabar ahad namun terkadang
mentakhsis lafadz am Al Qur’an dengan khabar ahad. 7

C. Pendapat Terkuat Menurut PemakalaH

Menurut pemakalah pendapat yang terkuat adalalah pendapat Menurut jumhur ulama
(Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) bahwa dilalah ‘am itu adalah dzanni. Dengan alasan,
dilalah ‘am itu termasuk bagian dari dilalah dzahir yang mempunyai kemungkinan untuk
ditakhshish. Dan kemungkinan tersebut pada lafadz am banyak sekali bisa ditemukan. Selama

7 Ibid, hal: 8-9


kemungkinan tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan untuk menyatakan bahwa dilalahnya
adalah qathi.

Daftar Pustaka
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, Jakarta : Kencana, 2011,
Misbahuddin, Ushul Fiqh II, Makasar: CV Berkah Utami:2015
Edi darmawijaya,metode isthinbat hukum dari lafaz am(telaah pemikiran assyafi’i). Yayasan
PeNA Banda Aceh. 2022.

Anda mungkin juga menyukai