Anda di halaman 1dari 7

Qaul Sahaby dan Istihsan

Nama : Disti Adila Sani (0105192049)

Kelas : Ilmu Komunikasi 3 / Semester II

Mata Kuliah : Ushul Fiqih

A. Qaul Sahaby
1. Pengertian Qaul Sahaby

Kata “Qaul” adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan yang arti mashdar tersebut
adalah “perkataan”.“Shahabi” artinya adalah sahabat atau teman. Tetapi yang
dimaksudkan disini adalah sahabat Nabi atau yang pernah bertemu dengan Nabi dan mati
dalam islam. Jadi yang di maksud dengan “” disini adalah pendapat, atau fatwa para
shahabat nabi SAW, tentang suatu kasus yang belum dijelaskan hukumnya secara tegas
didalam al-quran dan sunnah.
Qaul shahabi dalam ilmu ushul fiqh adalah:

ُ‫لُه‬ ْ‫َّحا بِى بِا ْنفِ َرا ِد ِه قَو‬


َ ‫فَتَ َوى الص‬
“fatwa sahabat (Nabi) yang berbentuk ucapan dengan dasar (pendapat) pribadinya.”1

Sahabat adalah orang-orang yang bertemu Rasulullah SAW. Yang langsung


menerima risalahnya, dan mendengarkan langsung penjelasan syariat dari beliau sendiri
Jumhur fuqaha telah menetapkan bahwa pendapat mereka dapat dijadikan hujjah sesudah
dalil-dalil nash.2Definisi yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal“Sahabat adalah
orang yang pernah hidup bersama nabi, sehari atau sebulan atau sesaat atau hanya
melihatnya.”3 Pendapat ini kurang mengena, karena banyak orang-orang yang bertemu
dengan Rasulullah (termasuk orang Badui) dengan waktu yang sebentar, tetapi dengan itu
tidak serta merta mereka dapat dikatakan adil. Imam al-Waqidi berpendapat bahwa
sahabat adalah setiap orang yang melihat Rasul dalam keadaan baligh, Islam dan sudah
mampu memahami urusan agama. Namun pengertian ini dikritik oleh Al-Iroqi yang
mengatakan bahwa batasan baligh akan menghilangkan kesahabatan Abdullah bin Abbas,

1
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 163.
2
Moh. Abu Zahrah, Ushul Fiqih,(Jakarta:Pustaka Firdaus,2010),cet.13, hal.328.
3
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ihtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet.4, hlm.
197.
Abdullah bin Zubair, Hasan dan Husain yang telah ditetapkan sebagai sahabat dan
banyak meriwatkan hadits dari Rasululah.4
Said bin Musayyab berpendapat bahwa sahabat adalah orang-orang yang hidup
bersama Rasul selama satu atau dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu
atau dua kali. Pendapat ini tidak disetujui oleh mayoritas ulama, karena akan berimbas
pada sahabat yang tidak pernah ikut berperang. Padahal Jarir bin Abdullah adalah sahabat
yang belum pernah ikut berperang bersama Rasul.5
Menurut Ibnu Hajar, definisi paling shahih adalah yang diberikan jumhur
muhadditsin, yaitu sahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan nabi dalam
keadaan dia beriman dan meninggal dalam keadaan Islam. Orang yang bertemu dengan
nabi tapi belum memeluk Islam, maka ia tidak dipandang sebagai sahabat. Orang yang
semasa dengan Nabi dan beriman kepadanya, tetapi tidak memjumpainya, seperti Najasi,
atau menjumpai Nabi setelah Nabi wafat, seperti Abu Dzuaib Khuwailid bin Khalid al-
Khadzali juga tidak disebut sahabat.6

2. Macam-Macam Qaul Sahaby


Para ulama membagi qaulu shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:
1. Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini
para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena
kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam
hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah hadits
mauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh
perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti,
perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan
Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling
banyak adalah sepuluh hari.
Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal
tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad. Dan

4
Muh. Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Haditsi ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Beirud: Dar al-Fikr, 2006), hlm.
375.
5
Ibid, hlm. 256.
6
Ibid, hlm. 257.
pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan
kepada kebiasaan masing-masing.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan
sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi mereka yang berpandapat
bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-
Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai
keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam.7
Perkataan sahabat memiliki beberapa macam variasi, semua ulama sepakat bahwa
perkataan sahabat yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjah adalah:
1. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapat dan ijtihadnya sendiri
2. Perkataan sahabat terhadap permasalahan yang bisa dijadikan objek ijtihad
3. Perkataan sahabat yang tidak tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak
ada sahabat yang mengingkari pendapat tersebut.
4. Perkataan sahabat terhadap suatu permasalahan yang tidak ada nash yang sharih baik
Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
5. Perkataan sahabat yang sampai kepada generasi sesudahnya, seperti tabi’in dan
berlanjut hingga ke zaman sekarang.

3. CONTOH QAULU SHAHABI


1. Fatwa aisyah yang menjelaskan batas maksimal kehamilan seorang wanita adalah 2
(dua) tahun melalui ungkapannya “Anak tidak berada didalam perut ibinya lebih dari
dua tahun.
2. Fatwa anas bin malik yang menerangkan tentang minimal haid wanita yaitu 3 (tiga)
hari

B. Istihsan
7
Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar,DR. Al-wadhih Fi Ushul Fiqh, (Dar-Al-Nafais, 2001) Hal.
134-135
1. Pengertian Istihsan
Istihsan menurut bahasa adalah menganggap baik terhadap sesuatu, sedangkan
menurut istilah ulam ushul fiqh, istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari
tuntunan qiyas yang jali (nyata) kepada tuntunan qiyas yang khafi (samar), atau dari
hukum kulli (umum) kepada hukum istitsnai (pengecualian), kerana terdapat dalil yang
mementingkan perpindahan.

Apabila ada kejadian yang tidak terdapat nash hukumnya, maka untuk
menganalisisnya dapat menggyunakan dua aspek yang berbeda yaitu :

Pertama : Aspek nyata ( Zhahir) yang menghendaki suatu hokum tertentu.


Kedua : Aspek tersembunyi (Khafi) yang menghendaki hukum lain.

Dalam hal ini, apabila dalam diri mujtahid terdapat dalil yang mengunggulkan segi
analisis yang nyata, maka ini disebut dengan istihsan, menurut istilah syara’. Demikian
pula apabila ada hukum yang bersifat kulli (umum) namun pada diri mujtahid terdapat
dalil yang menghendaki pengecualian juz’iyyah dari hukum kulli ( umum) tersebut, dan
mujtahid tersebut menghendaki hukum juz’iyyah dengan hukum yang lain, maka hal
teresebut menurut syara’ juga disebut dengan istihsan.8

2. Macam-Macam Istihsan
 Istihsan Qiyasi

Istihsan Qiyasi adalah suatu bentuk pengalihan hukum dan ketentuan hukum yang
didasarkan kepada qiyas jali ( nyata ) kepada ketentuan hukum yang didasarkan kepada
qiyas khafi ( yang tersembunyi ), karena adanya alasan yang kuat untuk mengalihkan
ketentuan hukum tersebut. Alasan kuat yang dimaksud disini adalah kemaslahatan.
Istihsan dalam bentuk pertama inilah yang disebut dengan istihsan qiyasi9.

 Istihsan Istishna’i
8
A bdul Wahab Khalaf, ilmu Ushul Fiqh, Toha Putra Group, 1994,) h. 131
9
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.198
Istihsan Istishna’I adalah qiyas dalam bentuk pengecualian dari ketentuan hukum
yang berdasarkan prinsip-prinsip umum, kepada ketentuan hukum tertentu yang
bersifat khusus, istihsan dalam bentuk yang kedua ini disebut dengan istihsan
istishna’I. istihsan bentuk yang kedua ini terbagi menjadi beberapa macam yaitu
sebagai berikut :

1) Istihsan bi an-Nashsh

Istihsan bi an-Nashsh adalah pengalihan hukum dari ketentuan yang umum


kepada ketentuan lain dalam bentuk pengecualian, karena ada nashsh yang
mengecualikannya, baik nashsh tersebut Al-Qur’an maupun Sunnah.

2) Istihsan Bi al-Ijma’

Istihsan bi al-ijma’ adalah istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil qiyas


karena adanya ijma’ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda dari tuntunan
qiyas10. Sebagai contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad istishna’
( perburuhann/pesanan). Menurut qiyas, semestinya akad itu batal. Sebab sasaran
(obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan.

Akan tetapi karena transaksi model itu telah dikenal dan sah sepanjang zaman,
maka hal itu dipandang sebagai ijma’ atau urf’Am (tradisi) yang dapat mengalahkan
dengan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan suatu dalil ke
dalil lain yang lebih kuat

3) Istihsan bi al-Urf

Istihsan bi al-Urf adalah pengecualian hukum dari prinsip syari’ah yang umum,
berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Contohnya ialah, menurut ketentuan umum
mentapkan ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu secara pukul rata, tanpa
membedakan jauh atau dekatnya jarak tempuh, adalah terlarang. Sebab, transaksi
upah-mengupah harus berdasarkan kejelasan pada obyek upah yang dibayar. Akan
tetapi melalui istihsan, transaksi tersebut dibolehkan berdasarkan kebiasaan yang

10
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
berlaku, demi menjaga jangan timbul kesulitan masyarkat dan terpeliharanya
kebutuhan mereka terhadap transaksi tersebut.11

4) Istihsan bi ad-Dharurah

Istihsan bi ad-Dharurah adalah istihsan yang disebabkan oleh adanya keadaan


yang darurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang mujtahid
untuk meninggalkan dalil qiyas. Seperti contoh menghukumkan sucinya air sumur
atau kolam air yang kejatuhan najis dengan cara menguras airnya. Menurut ketentuan
umum, tidak mungkin mensucikan sumur atau kolam hanya dengan mengurasnya.
Sebab ketika air sedang dikuras mata air akan terus mengeluarkan air yang kemudian
akan bercampur dengan air yang bernajis. Demikian juga dengan alat pengurasnya
(timba atau mesin pompa air); ketika bekerja, air yang bernajis akan mengotori alat
tersebut, sehingga air akan tetap najis. Akan tetapi, demi kebutuhan menghadapi
keadaan darurat, berdasarkan istihsan, air sumur atau kolam dipandang suci setelah
dikuras.12

5) Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah

Istihsan bi al- Mashlahah Mursalah adalah mengecualikan ketentuan hukum


yang berlaku umum berdasarkan kemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan
lain yang memenuhi prinsip kemaslhatan. Misalnya, menetapkan hukum sahnya
wasiat yang ditujukkan untuk keperluan yang baik, dari orang yang berada dibawah
pengampuan, baik karena ia kurang akal maupun karena berperilaku boros. Menurut
ketentuan umum, tindakan hukum terhadap harta orang yang dibawah pengampuan
tidak sah, karena akan mengabaikan kepentingannya terhadap hartanya. Akan tetapi,
demi kemaslahatan, wasiat orang tersebut dipandang sah. Sebab, dengan
memberlakukan hukum sah wasiatnya yang ditujukkan untuk kebaikan,maka
hartanya akan tetap terpelihara. Apalagi mengingat bahwa hukum berlakunya wasiat
adalah setelah ia wafat; tentu hal itu tidak menganggu kepentingan orang yang

11
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.202
12
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 409
berwasiat tersebut. Oleh karena itu, ketentuan umum yang berlaku dalam harta orang
yang dibawah pengampunan dikecualikan khusus yang berkaitan dengan wasiat.13

3. Perbedaan Istihsan dengan Qiyas

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama diatas, dapat disimpulkan
bahwa Istihsan adalah penggunaan maslahat juziyyah pada suatu kasus tertentu yang
berlawanan dengan qiyas ‘am. Dalam hal ini para ulama memberikan contoh sebagai
berikut :

1. Menurut qiyas, saksi-saksi pada setiap kasus yang diajukan kedepan pengadilan
haruslah orang-orang yang adil. Sebab dengan sifat adil itulah seseorang dapat dinilai
jujur atau tidaknya sehingga kesaksiannya dapat dijadikan landasan keputusan hakim.
Akan tetapi, seandainya dalam suatu negara, seorang hakim/qadhi tidak menemukan
orang yang adil, maka ia wajib menerima kesaksian orang yang secara umum
dipandang dapat dipercaya ucapnnya, sehingga dengan demikian dapat dicegah
timbulnya kejahatan-kejahatan, baik terhadap harta benda maupun manusia/ individu.

Demikian beberapa contoh istihsan yang pada intinya berkisar pada pencegahan
pemakaian qiyas secara berlebihan yang menjurus kearah yang tidak proporsional
(qabih).14

13
Abd. Rahman Dahlan,Ushul Fiqh Cet.4,( Jakarta : Amzah 2016), h.203
14
M uhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh,( Jakarta : PT. Firdaus Pustaka), h 403

Anda mungkin juga menyukai