Anda di halaman 1dari 18

KONTRADIKSI ANTRA ZAHIR AL-QUR’AN DAN SUNNAH

SERTA KEHUJAHAN HADIS AHAD


Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh Perbandingan

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA
Dr. Ahmad Mukri Aji, MA

Oleh:
Mutiara Juliantini 21200435000007
Musa Wardi 21200435000008

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020 M/1441 H

1
A. Pendahuluan

Alquran dan Sunnah merupakan dua sumber utama syariat Islam dalam segala
aspek, baik aspek akidah, aspek hukum, maupun etika. Sebagai sumber hukum
Islam, Alquran dan Sunnah menjadi objek kajian utama dalam penemuan hukum
Islam, bahkan Alquran dan Sunnah dijadikan sebagai sandaran bagi sumber
hukum Islam yang lainnya seperti qiyas dan ijma’ 1.

Di antara persoalan yang ditemukan dalam menggali hukum dari Alquran dan
Sunnah adalah bahwa di antara ayat-ayat Alquran itu secara tekstual bertentangan
dengan Sunnah, atau sebaliknya, secara tekstual sunnah bertentangan dengan ayat
Alquran. Bahkan antar satu ayat dengan ayat lainnya juga terdapat pertentangan
secara tekstual, begitu pula antara satu sunnah dengan satu sunnah lainnya juga
ada yang bertentangan. Oleh sebahagian kelompok, sunnah bukan merupakan
sumber Islam. Padahal, berdasarkan Alquran ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa apa
yang disampaikan oleh Rasulullah merupakan wahyu 2. Menyikapi persoalan ini,
para pakar juris Islam (Ushuli) telah merumuskan masalah ini dengan berbagai
macam pendekatan.

Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan dalam penulisan makalah ini
adalah bagaimana pandangan ulama dalam menemukan hukum Islam ketika
terdapat kontradiksi antara satu zahir Alquran dengan Sunnah?

Di samping itu, Sunnah memiliki kelemahan bila dibandingkan dengan


Alquran, yaitu bahwa tidak semua sunnah diriwayatkan secara mutawatir
sebagaimana Alquran yang semua ayatnya diriwayatkan secara mutawatir.
Sebahagian dari sunnah hanya diriwayatkan oleh beberapa orang saja, bahkan
hanya satu orang. Ketidak-mutawatiran ini oleh para ulama disebut dengan istilah
ahad. Hadis ahad tidak dapat dikatakan bersumber dari Rasulullah secara mutlak,
karena terdapat ruang—meski hanya sedikit—bahwa ada kesalahan periwayatan
dari perawi.

1
Dalam teori qiyas, untuk dapat dijadikan sebagai alat penemuan hukum, qiyas mesti
terpenuhi tiga unsur, yaitu al-Ashl, al-Far’u dan ‘Illah Jaami’ah. Al-Ashl adalah hukum yang memiliki
landasan dari nash Alquran atau sunnah yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk menqiyaskan
persoalan lain (al-far’u) yang memiliki kesamaan ’illat hukum. Lihat: Zakariya ibn Muhammad al-
Anshari, Ghayaah al-Wushul (Cairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah), bab al-qiyas.
2
Redaksi ayat tersebut adalah:
‫ﻮﺣﻰ* َوَﻣﺎ ﻳَـ ْﻨ ِﻄ ُﻖ َﻋ ِﻦ ا ْﳍََﻮى‬
َ ُ‫إِ ْن ُﻫ َﻮ إِﱠﻻ َو ْﺣ ٌﻲ ﻳ‬

2
Berangkat dari satu sisi kelemahan ini, kemudian menarik untuk diteliti
bagaimanakah pandangan para ulama tentang argumentatif sunnah dalam bentuk
hadis ahad untuk dijadikan sumber hukum?

Untuk menemukan jawaban tersebut, penelitian dalam makalah ini dibatasi


pada mengemukakan pandangan ulama ushul fiqh tentang kontradiksi zahir
Alquran dengan sunnah serta tentang kehujjahan hadis ahad. Metodologi yang
digunakan untuk penelitian ini adalah metode deskriptif analitis, dengan
pendekatan kualitatif. Bentuk penelitian ini adalah penilitian pustaka, dengan
menjadikan data keputsakaan sebagai sumber data penilitian.

B. Kontradiksi Antar Dalil

Pengertian

Sebelum masuk pada pembahasan pertentangan antara zahir Alquran dan


Sunnah, perlu diperjelas terlebih dahulu pengertian dari istilah yang dibahas, yaitu
zahir Alquran dan kontradiksinya dengan sunnah.

Pengertian dari Zahir Alquran dapat ditinjau dari dua aspek; pertama dari
aspek bahasa, dan kedua dari aspek terminologi ushul fiqh. Dari aspek bahasa,
kata zahir (‫ )ظﺎھﺮ‬berasal dari kata ‫ ظﮭﺮ‬atau dari mashdar ‫ ظﮭﻮر‬yang bermakna ‫ﺗﺒﯿﻦ‬
‫ أو ﺑﺮز‬3,yang berarti jelas atau tampak. Maka, zahir Alquran, yang dimaksud adalah
F

makna yang tampak atau jelas dari suatu ayat Alquran, bukan makna yang
samar. 4 P3F

Dari aspek terminologi ushul fiqh, al-Zhahir merupakan istilah khusus yang
digunakan dalam mengklasifikasi bentuk kata dan kalimat teks-teks syari’i
(Alquran dan Sunnah). Para ushuli membagi bentuk teks menjadi dua macam,
yaitu: muhkam (jelas maknanya) dan mutasyabih (samar maknanya). Yang
muhkam ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-nash dan al-zhahir. Yang
mutasyabih juga dibagi dua, yaitu al-mujmal dan al-muawwal. Jika suatu teks
memiliki makna tunggal dan tidak memungkinkan dimaksudkan makna lain,

3
Majma’ al-Lugha al-‘Arabiyah Cairo, Al-Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dar al-Dakwah), J 2 h 578.
4
Dari pengertian ini kemudian Mazhab Daud ibn ‘Ali dan yang sejalan dengannya disebut
dengan mazhab ahli al-Zhahir atau al-Zhahiriyah, karena mereka melakukan penemuan hukum
berdasarkan makna yang jelas (zahir) dari teks-teks syar’i, dan tidak menggunakan istimbath ‘illat
hukum (tidak menggunakan qiyas). Lihat: Muhammad Ruwas Qal'aji dan Hamid Shadiq Qunaibi,
Mu'jam Lughah Al-Fuqaha (Dar al-Nafais, 1988 M), 1, h 295.

3
maka disebut dengan al-nash. Jika suatu teks memiliki makna lebih dari satu, dan
satu maknanya merupakan makna yang kuat, maka yang kuat ini disebut makna
al-zhahir, sedangkan makna yang lemah ini jika digunakan, maka disebut al-
muawwal (yang ditakwil). Sedangkan suatu nash yang memiliki makna ganda,
dan salah salah satunya tidak ada yang lebih kuat, maka disebut al-mujmal. 5

Perlu untuk diketahui bahwa kata Al-Nash atau Nash ‫ ﻧﺺ‬sering digunakan
untuk berbagai macam pengertian. Dalil dari Alquran dan Sunnah juga disebut
nash. Pengertian al-Zhahir di atas juga tidak jarang disebut nash 6. Begitu pula,
P5F P

perkataan Imam al-Syafi’i—dalam konteks literatur Syafi’iyyah—juga disebut


nash.

Adapun mengenai kontradiksi zahir ayat dengan sunnah, yang dimaksud


dengan kontradiksi adalah ‫ ﺗﻌﺎرض‬yaitu bertentangan, atau berhadapan dan tidak
sejalan. 7 Dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan kontradiksi zahir ayat
P6F P

dengan sunnah adalah adanya pertentangan antara makna yang jelas dari suatu
ayat Alquran dengan makna yang jelas dari suatu teks sunnah.

Tema pertentangan zhahir Alquran dan Sunnah ini merupakan bagian dari
tema besar dalam Ushul Fiqh, yaitu tema Ta’ārudh al-Adillah atau juga dikenal
dengan al-ta’ārudh saja. Dalam terminologi ushul fiqh, al-Ta’arudh ini
didefinisikan dengan berbagai macam definisi yang hampir sama. Di antaranya
definisi al-Zarkasyi yang dikutip oleh Ibn al-Najar al-Hanbaly:

‫ﺗﻘﺎﺑﻞ اﻟﺪﻟﯿﻠﯿﻦ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﯿﻞ اﻟﻤﻤﺎﻧﻌﺔ‬


“berhadapa antara dua dalil, dalam bentuk saling mencegah (tidak sejalan)”.

Definisi ini kemudian dijelaskannya, bahwa apabila salah satu dari dua dalil
menunjukkan kebolehan, sedangkan dalil lainnya menunjukkan pelarangan, maka
masing-masing dari dua dalil tersebut adalah saling berhadapan serta saling

5
Abdul Karim ibn Ali al-Namlah, al-Muhaddzab fi Ushul Alfiqh al-Muqaran (Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 1999 M), j 3, h 1078.
6
Zakariya ibn Muhammad al-Anshari, Ghayaah al-Wushul (Cairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah),
h 31.
7
Mu’jam al-Wasit, j 2, h 599.

4
bertentangan dan mencegah. Sebab, dalil kebolehan mencegah keharaman dan
begitupun sebaliknya, dalil keharaman mencegah kebolehan. 8

Di antara bentuk contoh kontradiksi dua dalil adalah ayat 234 Qs al-Baqarah
dengan al-Thalaq ayat 4. Dimana pada ayat 234 Qs Al-Baqarah dijelaskan bahwa
iddah bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah empat bulan dan
sepuluh hari 9. Ayat ini mencakup apakah wanita yang ditalak tersebut dalam
keadaan hamil ataupun tidak. Sedangkan pada ayat 4 Qs al-Thalaq dijelaskan
bahwa iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya 10. Ayat 4
Qs al-Thalaq ini mencakup apakah iddah perempuan hamil tersebut lantaran
ditalak ataupun lantaran ditunggal wafat oleh suaminya. Maka dari dua dalil ini,
terdapat kontradiksi mengenai iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat
oleh suaminya.

Pandangan Ulama

Berangkat dari pengertian di atas, dapat dijelaskan mengenai pandangan


ulama tentang kontradiksi zahir ayat dengan sunnah beserta contohnya. Sebelum
spesifik membahas pertentangan zahir ayat dengan sunnah, perlu dipahami
terlebih dahulu pandangan ushuli tentang pertentangan dalil hukum secara umum.
Dalam hal terdapat beberapa poin yang di dalamnya terdapat perbedaan
pandangan ulama.

a. Dalil yang Mengalami Kontradiksi

Para ulama berbeda pandangan mengenai jenis dalil yang dapat disebut
sebagai dalil yang kontradiktif. Di antara para ushuli mengatakan bahwa dua
dalil yang qath’i, tidak mungkin bertentangan. Kontradiksi dalil hanya ada
pada dalil yang bersifat zhanni. Pandangan ini berlandaskan kepada
argumentasi bahwa jika ada dua dalil qath’i kontradiktif, maka berarti
berkumpul dua dalil yang berlawanan atau dua-duanya tidak diberlakukan,
dan untuk mentarjih salah satunya merupakan sesuatu yang mustahil.
Sebahagian ushuli lainnya menyatakan bahwa kontradiksi dalil tidak berlaku

8
Ibn al-Najar al-Hambali, Mukhtashar al-Tahrir Syarah al-Kaukab al-Munir, tahqiq
Muhammad al-Zuhaily (Maktabah al-'Abikan, 1997 M), j 4, h 605.
9
Teks ayatnya sebagai berikut:
‫َواﻟﱠذِﯾنَ ﯾُﺗ ََوﻓﱠ ْونَ ِﻣ ْﻧ ُﻛ ْم َوﯾَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًﺟﺎ ﯾَﺗ ََرﺑﱠﺻْنَ ﺑِﺄ َ ْﻧﻔُ ِﺳ ِﮭ ﱠن أ َ ْرﺑَ َﻌﺔَ أ َ ْﺷ ُﮭ ٍر َو َﻋ ْﺷ ًرا‬
10
Teks ayatnya sebagai berikut:
َ ُ ‫َوأ‬
َ َ‫وﻻتُ ْاﻷَﺣْ َﻣﺎ ِل أ َ َﺟﻠُ ُﮭ ﱠن أ َ ْن ﯾ‬
‫ﺿ ْﻌنَ َﺣ ْﻣﻠَ ُﮭ ﱠن‬

5
pada dua dalil yang bersifat general (dalil ‘am) dengan tanpa penguat
(murajjih). 11

Pandangan lain menyatakan bahwa kontradiksi dalil dapat terjadi, baik


pada dalil yang qath’i, dan juga pada dalil yang lafalnya bersifat general
(‘am), namun tidak berlaku pada hadis fi’li. Pandangan ini dinilai sebagai
pandangan yang kuat oleh Muhammad Al-Zuhali, dengan alasan bahwa pada
dasarnya, kontradiksi itu hanyalah pada tataran luar (zahir teks) saja, dan itu
dapat terjadi pada semua dalil, termasuk yang qath’i sekalipun. Di samping
itu, para ushuli menentukan syarat-syarat dalil dikatakan kontradiktif yang
kemudian dilakukan metode-metode tertentu untuk menyikapinya, sehingga
tidak masalah jika disebut bahwa dalil qath’i dapat mengalami kontradiksi. 12

b. Syarat-syarat Kontradiksi

Untuk menentukan apakah suatu dalil dikatakan kontradiksi dengan dalil


lainnya, sehingga kemudian harus dilakukan proses tarjih atau proses lainnya,
harus terpenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu:

1) Memiliki kekuatan yang sama

Suatu dalil hanya disebut kontradiksi apabila kedua dalil tersebut


memiliki kekuatan yang sama. Artinya pertentangan antara dalil qath’i dengan
dalil zhanni tidak dapat disebut sebagai dalil yang kontradiktif. Karena apabila
bertentangan antara dalil qath’i dengan zhanni, maka yang didahulukan adalah
dalil qathh’i, dan dalil zhanni ternafikan dengan adanya dalil qath’i.
Sebagaimana jika ada pertentangan antara ayat dengan khabar ahad, atau
khabar mutawatir dengan khabar ahad. Maka dari aspek tsubutnya, hadis ahad
dikesampingkan. Namun, dua dalil yang dari aspek tsubutnya berbeda, yang
satu qath’i dan yang satunya zhanni, masih bisa terjadi ta’arudh dari aspek
dalalahnya bila keduanya sama-sama maqbul. 13

2) Adanya kesamaan tema hukum dan objek

Dua dalil hanya dapat dikatakan kontradiksi apabila memiliki kesamaan tema.
Jika temanya berlainnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai dalil yang
11
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Khair, 2006 ), j 2,
h 407.
12
Wahbah al-Zuhaly, Ushul al-Fiqh al-Islami, j 2, h 1175.
13
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 409.

6
kontradiktif. Begitu pula dalam hal objek hukum, apabila tema hukumnya
sama, namun objeknya berbeda, maka tidak dikatakan kontradiktif.
Sebagaimana ayat tentang hutang yang berbeda aturan Alquran antara orang
yang berhutang dalam keadaan mudah dengan yang berhutang sedang dalam
keadaan susah, meskipun temanya sama-sama tentang hutang.

3) Tidak diketahui adanya perbedaan waktu

Jika diketahui adanya perbedaan waktu turun atau datangnya dua dalil yang
terlihat kontra, maka dalil terakhir dapat menghapus dalil yang datang lebih
dahulu. Maka dalam konteks ini dua dalil ini tidak dianggap kontradiktif.14
Namun, pada aplikasinya ulama berbeda pandangan tentang ketentuan nasakh
ini, sehingga naskh kemudian dimasukkan ke dalam salah satu cara menyikapi
dalil kontradiktif.

c. Metode dalam Menyikapi Dalil kontradiktif

Para ulama sepakat bahwa apabila ditemukan dalil kontradiktif, maka


seorang mujtahid harus melakukan upaya menyikapinya agar dalil tersebut
dapat digunakan. Karena pada hakikatnya tidak ada dalil yang benar-benar
kontra. Terdapat banyak metode yang ditawarkan dalam menyikapi masalah
ini. Namun, mereka berbeda pandangan dalam hal urutan penggunaan
metode-metode ini. Secara garis besar, metode tersebut adalah sebagai
berikut:

1) Pandangan Hanafiyah

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila dua nash bertentangan, maka


para mujtahid harus melakukan beberapa tahapan. Mulai dari pendekatan
nasikh-mansukh. Jika tidak memungkinkan, lantaran tidak diketahui mana
yang lebih dahulu, maka dilakukan metode tarjih dengan berbagai pendekatan
tarjih, seperti mengedepankan dalil yang muhkam daripada dalil yang
mufassar atau muawwal. Jika tidak memungkin melakukan tarjih, maka
dilakukan upaya jama’ (mengkompromikan antara dua dalil yang
berlawanan). Jika Cara terakhir ini tidak memungkinkan, maka metode yang
digunakan adalah metode tasqaqut al-adillah, yaitu meninggalkan dalil

14
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 409.

7
tersebut, lalu digunakan dalil lain di bawah tingkatan dua dalil yang
bertentangan tersebut. 15

2) Pandangan Jumhur

Tidak jauh berbeda dengan pandangan ulama Hanafiyah dalam menyikapi


dalil yang kontradiktif, Ulama Jumhur atau yang menggunakan metode
mutakallimin, baik dari kalangan Syafi’iyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan
Zahiriyah, juga menggunakan metode di atas, hanya saja tahapan yang
dilakukan berbeda. Dalam pandangan jumhur, tahapan pertama dilakukan
adalah al-jam’u wa al-taufiq atau mengkompromikan dalil-dalil yang
bertentangan tersebut sebelum melakukan tarjih. Argumentasi mereka adalah
sesuai dengan asas bahwa menggunakan dalil-dalil yang ada lebih utama
daripada ada dalil yang diabaikan, dan bahwa pada hakikatnya tidak ada
kontradiksi antara dalil-dalil hukum. Bila langkah ini tidak dapat dilakukan,
maka langkah berikutnya adalah melakukan tarjih dengan menggunakan
metode-metode tarjih. 16

Langkah berikutnya jika dua langkah sebelumnya tidak dapat


dilakukan, maka tugas mujtahid selanjutnya menurut ulama jumhur adalah
memperhatikan masa turun atau wurudnya dalil yang kontridiktif tersebut.
Jika salah satu dari dua dalil tersebut diketahui ada yang lebih dahulu
datangnya daripada yang lain, dan kandungan dalil tersebut dapat untuk
dilakukan naskh, maka dalil yang datang belakangan menjadi nasikh
(penghapus) bagi dalil yang datang dahuluan (mansukh). 17 Hal ini sama
seperti asas hukum bahwa hukum yang terbaru menghapus hukum yang lama.
Jika metode naskh ini tidak dapat dilakukan, maka metode terakhir adalah
metode tasaqut al-adillah. 18

Di samping itu, metode lain yang ditawarkan adalah pilihan mujtahid


antara dalil-dalil yang kontra, menggunakan dalil umum, metode al-baraah al-
ashliyah, metode waqaf, menggunakan dalil yang lebih berat hukumnya,
taqlid kepada yang lebih pakar dan lain sebagainya 19.

15
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 416.
16
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 416.
17
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 418.
18
Wahab Al-Zuhaily, ‘Ilmu Ushul Fiqh ...
19
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 420.

8
C. Kontradiksi Zahir Alquran dan Sunnah

Para ulama berbeda pandangan menyikapi apabila ada pertentangan antara zhahir
Alquran dan zhahir sunnah. Secara garis besar dalam menyikapi kontradiksi zahir
Alquran dengan zahir sunnah, perbedaan pandangan ulama adalah sebagai
berikut 20:

1. Mendahulukan Alquran

Pandangan kelompok pertama menyatakan bahwa Alquran didahulukan dari


sunnah, apabila ditemukan kontradiksi antara keduanya. Kelompok ini
berlandaskan kepada dua agumentasi: pertama, bahwa Alquran lebih mulia
daripada sunnah. Kedua, bahwa dalam peristiwa pengutusan Muadz ibn Jabal
oleh Rasulullah ke Yaman, dijelaskan hierarkis landasan hukum, bahwa yang
pertama adalah Alquran, jika tidak ditemukan pada Alquran, maka landasan
hukumnya ada Sunnah 21.

2. Mendahulukan Sunnah

Pandangan kelompok kedua menyatakan bahwa apabila ada pertentangan


antara Alquran dan Sunnah, maka Sunnah lebih didahulukan. Argumentasinya
adalah bahwa sunnah merupakan penjelasan dan menafsir atas Alquran
sebagaimana pada ayat 44 Qs al-Nahl 22, sehingga pertentangan itu harus
disesuaikan sebagaimana pada sunnah sebagai penjelas. Pandangan ini
merupakan pandangan Imam Ahmad Ibn Hanbal. Menurut riwayat tentang
pandangan Imam Ahmad, beliau mendahulukan sunnah daripada Alquran,
namun dalam bentuk penjelasan, bukan dalam bentuk mentarjih sunnah
daripada Alquran.

3. Tidak Ada yang Didahulukan

20
Badruddin al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhith, (Dar al-Kutubi, 1994), j 8, h 121.
21
Redaksi hadisnya adalah sebagai berikut:
ِ‫ﻮل ﱠ‬
‫ﻚ‬َ َ‫ض ﻟ‬ ِ
َ ‫ﻒ ﺗَـ ْﻘﻀﻲ إِذَا َﻋَﺮ‬َ ‫ » َﻛْﻴ‬:‫ﺎل‬َ َ‫ﺚ ُﻣ َﻌﺎذًا إِ َﱃ اﻟْﻴَ َﻤ ِﻦ ﻗ‬َ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟَ ﱠﻤﺎ أ ََر َاد أَ ْن ﻳـَْﺒـ َﻌ‬َ ‫اﻪﻠﻟ‬ َ ‫أَ ﱠن َر ُﺳ‬
.‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ ِ‫ﻮل ﱠ‬ ِ ‫ ﻓَﺒِﺴﻨ ِﱠﺔ رﺳ‬:‫ﺎل‬ ِ‫ﺎب ﱠ‬ ِ َ‫ »ﻓَﺈِ ْن َﱂ َِﲡ ْﺪ ِﰲ ﻛِﺘ‬:‫ﺎل‬ َ َ‫ ﻗ‬،ِ‫اﻪﻠﻟ‬ ِ َ‫ﻀﻲ ﺑِ ِﻜﺘ‬ِ ْ‫ أَﻗ‬:‫ﺎل‬
َ ‫اﻪﻠﻟ‬ ُ َ ُ َ َ‫ ﻗ‬، «‫اﻪﻠﻟ؟‬ ْ ‫ﺎب ﱠ‬ َ َ‫ ﻗ‬، «‫ﻀﺎءٌ؟‬
َ َ‫ﻗ‬
Hadis riwayat Abi Dawud, nomor: 3592.
22
Redaksi ayatnya adalah sebagai berikut:
ِ ‫ﲔ ﻟِﻠﻨ‬
(44 ‫ﱠﺎس َﻣﺎ ﻧـُِّﺰَل إِﻟَْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘَـ َﻔ ﱠﻜُﺮو َن )اﻟﻨﺤﻞ‬ ِ ِ ‫وأَﻧْـﺰﻟْﻨﺎ إِﻟَﻴ‬
َ ِّ‫ﻚ اﻟ ّﺬ ْﻛَﺮ ﻟﺘُـﺒَـ‬
َ ْ ََ َ

9
Pandangan kelompok ketiga menyatakan bahwa tidak ada yang lebih
diunggulkan antara Alquran dan Sunnah. Maka, menurut kelompok ini, terjadi
kontradiksi antara Alquran dan Sunnah. Dalam menyikapinya, digunakan
faktor lain.

Secara rinci, pandangan ketiga ini dalam menyikapi kontradiksi zhahir


Alquran dan zahir sunnah dapat dipahami dari pembahasan sebelum ini, pada
bagian syarat kontradiksi dalil-dalil dan pada bagian cara menyikapi dalil
kontradiksi. Penjelasannya sebagai berikut ini.

Pertama, Pertentangan Zahir Alquran dengan Hadis Ahad

Dari aspek kekuatan dalil, baik dari sisi qath’i dan zhanni serta dari sisi tsubut
dan dalalahnya. Jika ayat Alquran, yang merupakan qath’i tsubut, zahirnya
kontradiksi dengan hadis ahad yang merupakan zahnni tsubut, maka pada
dasarnya yang dimenangkan adalah dalil yang qath’i. Namun, dari aspek dalalah,
dua dalil yang maqbul dapat disebut kontradiksi dan dapat dilakukan metode-
metode menyikapi dalil kontradiksi tadi.

Adapun rincian pandangan ushuli dalam hal ini adalah sebagai berikut:

a. Hanafiyah

Menurut Ulama Hanafiyah, ketika ditemukan pertentangan zahir Alquran dan


Hadis Ahad, maka hadis tersebut ditolak dan tidak bisa diamalkan. Dalam hal
ini, redaksi umum dari ayat tidak dapat ditakhshish oleh hadis, begitu pula
redaksi muthlaq ayat tidak dapat ditaqyid oleh hadis. 23

Di antara contoh kasusnya adalah bahwa ulama Ahnaf tidak menerima


hadis Fathimah bint Qais yang menjelaskan bahwa Fathimah bahwa
Rasulullah tidak mewajibkan ia untuk mendapatkan nafkah dan tempat
tinggal, padahal ia ditalak tiga oleh suaminya 24. Dan hal ini dianggap

23
Muhammad Ibn Ahmad al-Sarakhsy, Ushul al-Sarakhsy (Beirut: Dar al-Ma'rifah), j 1, h 364.
24
Teks hadisnya sebagai berikut (HR Muslim, No. 1480):
ِ ِ
ِ ‫ﺎﻃﻤﺔَ ﺑِْﻨ‬ ِ
،‫ﺐ‬ٌ ‫ َوُﻫ َﻮ ﻏَﺎﺋ‬،َ‫ﺺ ﻃَﻠﱠ َﻘ َﻬﺎ اﻟْﺒَـﺘﱠﺔ‬
ٍ ‫ أَ ﱠن أ ََﺎﺑ َﻋ ْﻤ ِﺮو ﺑْ َﻦ َﺣ ْﻔ‬،‫ﺲ‬ٍ ‫ﺖ ﻗَـْﻴ‬ َ َ‫ َﻋ ْﻦ ﻓ‬،‫َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒﺪ اﻟﱠﺮ ْﲪَ ِﻦ‬
،‫ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ‬ ِ َ ‫ ﻓَﺠﺎءت رﺳ‬،‫ﻚ ﻋﻠَﻴـﻨﺎ ِﻣﻦ ﺷﻲ ٍء‬ ِ ِ َ ‫ ﻓَـ َﻘ‬،ُ‫ ﻓَ َﺴ ِﺨﻄَْﺘﻪ‬،‫ﻓَﺄ َْر َﺳ َﻞ إِﻟَْﻴـ َﻬﺎ َوﻛِﻴﻠُﻪُ ﺑِ َﺸﻌِ ٍﲑ‬
َ ‫ﻮل ﷲ‬ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ‫ َوﷲ َﻣﺎ ﻟ‬:‫ﺎل‬
ِ ِ َ َ‫ ﰒُﱠ ﻗ‬،‫ﻳﻚ‬ ٍ ‫ﺖ أُِم َﺷ ِﺮ‬ ِ ِ ِ ِ ‫ﻓَ َﺬ َﻛﺮ‬
‫ﺎﻫﺎ‬
َ ‫ »ﺗﻠْﻚ ْاﻣَﺮأَةٌ ﻳـَ ْﻐ َﺸ‬:‫ﺎل‬ ّ ‫ ﻓَﺄ ََﻣَﺮَﻫﺎ أَ ْن ﺗَـ ْﻌﺘَ ﱠﺪ ِﰲ ﺑـَْﻴ‬، «ٌ‫ﺲ ﻟَﻚ َﻋﻠَْﻴﻪ ﻧـَ َﻔ َﻘﺔ‬ َ ‫ »ﻟَْﻴ‬:‫ﺎل‬ َ ‫ ﻓَـ َﻘ‬،ُ‫ﻚ ﻟَﻪ‬َ ‫ت ذَﻟ‬ َْ
ِ
«‫ﺖ ﻓَﺂذﻧِ ِﻴﲏ‬ ِ ‫ ﻓَِﺈ َذا ﺣﻠَْﻠ‬،‫ﻚ‬ ِ ‫ﻀﻌِﲔ ﺛِﻴﺎﺑ‬ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ َ‫ ﻓَﺈﻧﱠﻪُ َر ُﺟ ٌﻞ أ َْﻋ َﻤﻰ ﺗ‬،‫ ْاﻋﺘَ ّﺪي ﻋْﻨ َﺪ اﺑْ ِﻦ أ ُّم َﻣﻜْﺘُﻮم‬،‫َﺻ َﺤ ِﺎﰊ‬ ْ‫أ‬

10
kontradiksi dengan ayat ke-6 dari QS al-Thalaq 25 yang mewajibkan suami
untuk memberikan nafkah bagi istri yang dicerai selama dalam masa iddah.
Bagi ulama Hanafiyah, hadis ini bukanlah hadis yang dapat diterima lantaran
kontra dengan ayat ini. 26

b. Jumhur

Jumhur ushuli berpandangan bahwa hadis ahad yang sahih dapat diberlakukan
sebagai mukhashsish bagi redaksi umum ayat Alquran ketika secara zahir dua
dalil ini kontradiktif. Begitu pun sebaliknya, redaksi umum dalam hadis
maqbul, dapat ditakhsis oleh Alquran. Begitu pula dalam hal muthlaq
muqayyad.

Kedua, Pertentangan Zahir Alquran dengan Hadis Mutawatir

Pada dasarnya Alquran dan Hadis berasal dari Allah Swt. dan Hadis mutawtir
dan Alquran sama-sama qath’i dari aspek tsubutnya. Artinya keduanya secara
mutlak dapat dikatakan bersumber dari syaari’. Lalu ketika ada kontradiksi antara
keduanya, maka para ulama melakukan upaya menghilangkan kontradiksi
tersebut sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hanya saja mereka
berbeda dalam urutan tahapan metode yang didahulukan. Ahnaf mendahulukan
metode naskh-mansukh, sedangkan jumhur mendahulukan metode al-jam’ wa al-
taufiq 27.

D. Kehujjahan Hadis Ahad

1. Pengertian Hadist Ahad / Khabar Ahad

Sunnah dapat dibagi menjadi tiga: 1. Sunnah Qauliyah (Sabda-sabda


Rasulullah), 2. Sunnah Fi’liyah (Perbuatan Rasulullah), 3. Sunnah Taqririyah
(diamnya Rasulullah atas ucapan atau perbuatan sahabat. 28 Sunnah Qauliyah
sering juga disebut “khabar”. Jadi sunnah qauliyah itu boleh dinamakan sunnah,
hadist dan khabar. Khabar jika ditinjau dari sudut sanadnya, yaitu banyak atau

25
Teks ayatnya sebagai berikut:

‫ﺚ ﺳﻜﻨﺘﻢ ﻣﻦ وﺟﺪﻛﻢ‬
ُ ‫أﺳﻜﻨﻮﻫﻦ ﻣﻦ َﺣْﻴ‬
26
Muhammad Ibn Ahmad al-Sarakhsy, Ushul al-Sarakhsy (Beirut: Dar al-Ma'rifah), j 1, h 365.
27
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 416
28
Drs. H. Moh. Rifai, Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah,
(Semarang: Wicaksana, 1988), h. 37.

11
sedikitnya orang yang meriwayatkan, dapat dibagi menjadi dua: (1) Khabar
Mutawatir, dan (2) Khabar Ahad. 29

Hadis Ahad / Khabar Ahad ialah hadis yang perawi-perawinya tidak


mencapai syarat-syarat perawi hadis mutawatir. Dengan kata lain khabar ahad
ialah yang selain khabar mutawatir. 30

Hadis Ahad (Ar.: ahad = satu). Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang
periwayat dari satu orang periwayat. Hadis ini oleh sebagian ulama hadis seperti
Ibnu Hajar al-Asqalani disebut juga dengan khabar al-ahad atau khabar al-wahid;
sedangkan Imam Asy-Syafi’i menyebutnya dengan khabar al-khassah. 31

Ulama mengklasifikasikan hadis dari segi jumlah periwayatnya menjadi hadis


mutawatir dan hadis ahad. Oleh karena itu, perumusan definisi hadis ahad secara
syar’i (syarak) selalu dikaitkan dengan hadis mutawatir. Menurut Ibnu Hajar al-
Asqalani ia mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang tidak memenuhi
persyaratan hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak periwayat pada setiap
tingkatnya sehingga tidak mungkin para periwayat itu akan bersepakat untuk
berdusta dalam meriwayatkan hadis). Sementara menurut Muhammad Adib Salih
(ahli hadis Universitas Damascus) dalam buku ilmu hadisnya (Lamhah fi Usul al-
Hadis) hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang, tiga
oorang, atau bahkan lebih, tetapi jumlahnya tidak mencapai jumlah periwayat
hadis mutawatir. 32

Ulama hadis membagi hadis ahad menjadi tiga macam:

a. Hadis Masyur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang periwayat atau
lebih pada setiap tingkat sanadnya, tetapi jumlahnya tidak mencapai tingkat
mutawatir. Sementara menurut ulama Mazhab Hanafi, hadis masyur ialah
hadis yang periwayatnya pada tingkat sahabat hanya mencapai jumlah ahad
tetapi pada tingkatan sanad selanjutnya mencaai jumlah periwayat mutawatir.
Oleh sebagian ulama hadis, hadis masyur ini disebut juga dengan hadis

29
Drs. H. Moh. Rifai, Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah,
(Semarang: Wicaksana, 1988), h. 40.
30
Drs. H. Moh. Rifai, Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah,
(Semarang: Wicaksana, 1988), h. 43.
31
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
32
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.

12
mustafid. 33 Hadis Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih, tetapi tingkatan mutawatir.

Hadis Masyur juga disebut Mustafid. Hadis Masyur ada yang shahih ada
yang tidak shahih. Contoh hadis Masyur yang shahih :

ِ ‫اِﻧﱠ َﻤﺎاْ َﻻ َء َﻣﺎ ُل ﺑِﺎ اﻟ ِﻨّﯿﱠﺎ‬


ٍ ‫ت َواِﻧﱠ َﻤﺎ ِﻟ ُﻜ ِّﻞ ْاﻣ ِﺮ‬
‫ئ َﻣﺎ ﻧَ َﻮى‬
Artinya: “Sesungguhnya amalan-amalan itu mengikuti niatnya. Dan bagi
seseorang adalah apa yang diniatkannya”. (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim
dari Umar bin Khatab).

Contoh hadis Masyur yang tidak shahih :

‫ﻋﻠَﻰ ُﻛ ِّﻞ ُﻣ ْﺴ ِﻠ ٍﻢ َو ُﻣ ْﺴ ِﻠ َﻤ ٍﺔ‬ َ ‫ﺐ اْﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ ﻓَ ِﺮ ْﯾ‬


َ ٌ ‫ﻀﺔ‬ ُ َ‫طﻠ‬
َ

Artinya: “Menuntut Ilmu adalah suatu kewajiban bagi tiap-tiap Islam,


laki-laki maupun perempuan”. (Hadis riwayat Baihaqi dan Ahmad dari Anas
r.a). 34

b. Hadis ‘Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat pada
setiap tingkat sanadnya. Ibnu Hibban (ahli hadis) dan Ibnu Hajar al-Asqalani
mengomentari bahwa hadis ‘aziz sulit ditemukan, meskipun secara teori
mungkin ada. Oleh karena itu, sebagian ulama hadis mendefinisikannya
dengan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat pada sebagian
tingkatan sanadnya dan pada tingkatan lainnya ada yang lebih dari dua orang. 35

Contoh hadis ‘Aziz :

ِ ‫ﻻَ ﯾُﺆْ ِﻣ ُﻦ ا َ َﺣﺪُ ُﻛ ْﻢ َﺣﺘ ﱠﻰ ا َ ًﻛ ْﻮ ُن ا َ َﺣﺐﱠ اِﻟَ ْﯿ ِﮫ ِﻣ ْﻦ َواا ِﻟ ِﺪ ِه َو َوﻟَ ِﺪ ِه َواﻟﻨﱠ‬


َ‫ﺎس ا َﺟْ َﻤ ِﻌ ْﯿﻦ‬
Artinya: “Belum beriman seseorang kamu (yang sesungguhnya) sehingga
au lebih disukai olehnya daripada orang tuanya, anaknya dan orang-orang
(masyarakat) seluruhnya”. (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas r.a.).

33
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
34
A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987). H. 113.
35
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.

13
Hadis ini diriwayatkan dari Anas r.a oleh Qatadah dan Abd. ‘Aziz bin
Shu’eb. Dari Qatadah diterima oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari Abd. ‘Aziz
diterima oleh Ismail bin Ulaiyah dan Abd. Waris. Kemudian hadis ini
diriwayatkan pula oleh orang banyak dari mereka. 36

c. Hadis Garib, yaitu hadis yang pada satu atau lebih tingkatan sanadnya
diriwayatkan oleh satu orang periwayat sedang tingkatan lainnya lebih dari
satu orang. Hadis garib dalam pengertian ini disebut juga dengan hadis
fard. 37

Contoh Hadis Garib :

‫ﻋ ْﻦ َﺑ ْﯿﻊِ اْ َﻟﻮ َﻻ ِء َو ِھ َﺒﺘِ ِﮫ‬ ‫ ﻧَ َﮭﻰ اﻟﻨﱠ ِﺒ ﱡ‬:‫ﻋ َﻤ َﺮ‬


َ ‫ﻲصم‬ ُ ‫ﻗَﺎ َل ا ْﺑ ُﻦ‬
Artinya Ibnu Umar berkata: “Rasulullah melarang menjual hak
pertuanan dan memberikannya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim). 38 P37F

2. Kehujahan Hadist Ahad

Kehujahan Hadis Ahad. Hadis ahad dinilai sebagai zanni as-subut atau
zanni al-wurud (Qat’i dan Zanni). Artinya, nilai kebenaran eksistensinya
sebagai riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW belum dapat diyakini
secara mutlak. Oleh karena itu, nilai kehujahan hadis ahad ini diperselisihkan
oleh ulama. Di antaranya ada yang menolak secara keseluruhan tanpa
memandang pembagian dan macam-macamnya. 39

Menurut Imam asy-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mereka yang


menolak kehujahan hadis ahad secara keseluruhan ini pada abad ke-2 H telah
menampakkan diri sebagai suatu kelompok. Hanya saja Imam asy-Syfi’i tidak
menjelaskan siapa atau dari golongan mana mereka sebenarnya. Menurut
Jamaluddin al-Qasimi (1283-1332 H), ahli hadis, mereka berasal dari
golongan Kadariyah, Rafidah, dan sebagian dari golongan Ahl az-Zahir
(ulama yang mendasarkan pendapatkan pada teks dalil). Alasan mereka
adalah hadis tersebut nilainya zanni (tidak pasti). Menurut mereka, urusan

36
A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987). H. 113.
37
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
38
A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987). h. 114.
39
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.

14
agama harus didasarkan atas dalil-dalil qat’i (jelas, pasti), yakni yang diyakini
dan disepakati bersama kebenarannya sebagai berasal dari Allah SWT atau
Rasul Nya, yakni Al-Qur’an atau hadis mutawatir. Hadis ahad tidak bisa
diterima untuk dijadikan dalil atau hujjah karena nilainya zanni. Untuk
mendukung alasan ulama tersebut, mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, di
antaranya surah al-Isra’ (17) ayat 36 yang artinya: “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya...”; an-
Nisa (4) ayat 171 yang artinya: “...dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah kecuali yang benar...”; dan an-Najm (53) ayat 28 yang
artinya:”...Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang
sesugguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap
kebenaran.” Ayat-ayat tersebut, menurut mereka, mengandung makna tidak
boleh berpedoman pada suatu yang bersiafat zanni dalam urusan agama. 40

Imam asy-Syafi’i membantah kelompok yang menolak kehujahan


hadis ahad tersebut. Dalam suatu diskusinya dengan anggota kelompok
tersebut sebagaimana dilukiskan dalam kitabnya yang berjudul al-Umm, ia
selain mengemukakan dalil-dalil dan argumentasi yang menunjukkan
bolehnya hadis ahad dijadikan hujah, juga menjelaskan lemahnya alasan
pihak kelompok pengingkar serta kekeliruan dalam berargumentasi dan dalam
mengambil kesimpulan. Imam syafi’i tidak hanya berhasil menyadarkan
lawan diskusinya, tetapi juga berhasil membendung gerakan inkar al-hadis
atau inkarusunah secara umum untuk kurun waktu yang panjang.

Menurut Mustafa al-A’zami (ahli hadis kontemporer) dalam kitab


hadisnya yang berjudul Dirasat fi al-Hadis an-Nabawi (Pelajaran Hadis
Nabi), setelah kelompok inkarsunnah pada abad ke-2 H yang diinformasikan
Imam asy-Syfi’i, sejarah tidak mencatat adanya adanya kaum muslimin yang
tidak mengindahkan hadis Rasulullah SAW. Barulah pada abad ke-19 ke abad
ke-20 penganut paham inkarsunnah tersebut muncul kembali menyuarakan
paham dan pandangan mereka terhadap hadis Rasulullah SAW. Oleh karena
itulah, kelompok inkarsunnah abad ke-2 H yang diinformasikan Imam asy-
Syafi’i sering disebut sebagai “kelompok inkarsunnah tempo dulu” (munkir
as-sunnah qadim), untuk membedakannya dengan kelompok inkarsunnah
yang muncul kembali pada peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, yang disebut

40
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.

15
juga dengan “kelompok inkarsunnah adab modern” (munkir as-sunnah hadis).
Meskipun demikian, aasan dan argumentasi yang dikemukakan oleh
kelompok inkarsunnah abad modern ini pada dasarnya mengacu kepada
alasan dan argumentasi kelompok inkarsunnah tempo dulu. 41

Jumhur ulama, yakni selain kelompok yang menolak kehujahan hadis


ahad di atas, juga mengakui bahwa hadis ahad nilainya zanni, tidak mencapai
qat’i sebagaimana hadis mutawatir karena dalam proses periwayatannya bisa
saja terjadi kekeliruan atau kesalahan dari para periwayatnya. Oleh karena itu,
mereka juga mengakui bahwa tidak semua hadis ahad dapat diterima dan
dijadikan hujjah; hanya yang telah memenuhi persyaratan tertentu yang telah
mereka tetapkan. 42

Dilihat dari segi kehujahannya, hadis ahad di kalangan jumhur ulama


terbagi menjadi dua macam. Pertama, hadis ahad yang makbul, yakni hadis
ahad yang dapat diterima dan dapat dijadikan hujah. Hadis yang termasuk
dalam kategori ini adalah hadis sahih dan hadis hasan. Kedua, hadis ahad
yang mardud, yakni hadis ahad yang tidak dapat dijadikan hujah atau yang
ditolak karena tidak memenuhi syarat hadis shahih atau hadis hasan. Hadis
dalam kategori ini lazim disebut hadis dhaif. Hadis dhaif ini tidak dapat
dijadikan hujah kecuali apabila kedhaifannya tidak berat dan ada hadis lain
yang mendukungnya, minimal dalam kualitas yang sama dengannya. 43

Persyaratan hadis ahad yang makbul, baik berupa persyaratan hadis


shahih maupun persyaratan hadis hasan, merupakan persyaratan yang
ditetapkan oleh ulama hadis dan juga dipedomani oleh sebagian besar ulama
fikih dan ulama usul fikih seperti Imam asy-Syafi’i dan ulama yang sepaham
dengannya (ulama Mazhab Syafi’i). Akan tetapi, Imam Abu Hanifah
mengemukakan persyaratan tertentu berupa kriteria pengujian dapat tidaknya

41
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422.
42
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422.
43
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422.

16
suatu hadis ahad diterima dan dijadikan hujah untuk diamalkan. Persyaratan
berikut di antaranya sebagai berikut: 44

1. Hadis ahad tersebut harus tidak menyalah makna lahiriyah ayat-ayat


Al-Qur’an.
2. Hadis ahad tesebut harus tidak menyalai hadis masyur menyangkut
masalah yang sama.
3. Hadis ahad itu tidak bertentangan dengan kias dan kaidah-kaidah
umum syariat Islam apabila periwayat hadis itu bukan seorang fakih.
4. Hadis ahad tersebut tidak menyangkt masalah ‘umum al-balwa (orang
banyak).
5. Hadis ahad tersebut bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat
yang meriwayatakannya.

Terakhir, Imam Maliki menggunakan ‘amal ahl al-Madinah sebagai


suatu kriteria utama hadis ahad. Imam Malik dan ulaa lain yang sepaham
dengannya (ulama mazhab Maliki) menolak kehujahan hadis ahad apabila
tidak sejalan atau menyalahi ‘amal ahl al-Madinah. Menurut mereka, ‘amal
ahl al-Madinah merupakan gambaran bentuk praktek keagamaan yang paling
dekat yang diajarkan Rasululah SAW. 45

44
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422-423.
45
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422-423.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad al-Sarakhsy, Muhammad Ibn. Ushul al-Sarakhsy. Beirut: Dar al-Ma'rifah. j 1.


Al-Hambali, Ibn al-Najar. 1997. Mukhtashar al-Tahrir Syarah al-Kaukab al-Munir.
tahqiq Muhammad al-Zuhaily. Maktabah al-'Abikan.
Ali al-Namlah, Abdul Karim ibn. 1999. al-Muhaddzab fi Ushul Alfiqh al-
Muqaran.Riyadh: Maktabah al-Rusyd.
Al-Zarkasyi, Badruddin. 1994. Al-Bahr al-Muhith. Dar al-Kutubi. j 8.
Al-Zuhaily, Muhammad. 2006. Al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-
Khair.
Cairo, Majma’ al-Lugha al-‘Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wasith. Cairo: Dar al-Dakwah. J
2.
Dahlan, Abdul Azis. et .al. 2006. Ensiklopedia Hukum islam. Jakarta: PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve.
Hanafie, Ahmad. 1987. Usul Fiqh. Jakarta: Widjaya.
Muhammad Al-Anshari, Zakariya ibn. Ghayaah al-Wushul. Cairo: Dar al-Kutub al-
Arabiyah), bab al-qiyas.
Muhammad Ruwas Qal'aji & Hamid Shadiq Qunaibi. 1988. Mu'jam Lughah Al-
Fuqaha. Dar al-Nafais.
Mu’jam al-Wasit. j 2.
Rifai, Moh. 1988. Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah.
Semarang: Wicaksana.
Wahbah al-Zuhaly. Ushul al-Fiqh al-Islami. j 2.

18

Anda mungkin juga menyukai