Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA
Dr. Ahmad Mukri Aji, MA
Oleh:
Mutiara Juliantini 21200435000007
Musa Wardi 21200435000008
1
A. Pendahuluan
Alquran dan Sunnah merupakan dua sumber utama syariat Islam dalam segala
aspek, baik aspek akidah, aspek hukum, maupun etika. Sebagai sumber hukum
Islam, Alquran dan Sunnah menjadi objek kajian utama dalam penemuan hukum
Islam, bahkan Alquran dan Sunnah dijadikan sebagai sandaran bagi sumber
hukum Islam yang lainnya seperti qiyas dan ijma’ 1.
Di antara persoalan yang ditemukan dalam menggali hukum dari Alquran dan
Sunnah adalah bahwa di antara ayat-ayat Alquran itu secara tekstual bertentangan
dengan Sunnah, atau sebaliknya, secara tekstual sunnah bertentangan dengan ayat
Alquran. Bahkan antar satu ayat dengan ayat lainnya juga terdapat pertentangan
secara tekstual, begitu pula antara satu sunnah dengan satu sunnah lainnya juga
ada yang bertentangan. Oleh sebahagian kelompok, sunnah bukan merupakan
sumber Islam. Padahal, berdasarkan Alquran ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa apa
yang disampaikan oleh Rasulullah merupakan wahyu 2. Menyikapi persoalan ini,
para pakar juris Islam (Ushuli) telah merumuskan masalah ini dengan berbagai
macam pendekatan.
Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan dalam penulisan makalah ini
adalah bagaimana pandangan ulama dalam menemukan hukum Islam ketika
terdapat kontradiksi antara satu zahir Alquran dengan Sunnah?
1
Dalam teori qiyas, untuk dapat dijadikan sebagai alat penemuan hukum, qiyas mesti
terpenuhi tiga unsur, yaitu al-Ashl, al-Far’u dan ‘Illah Jaami’ah. Al-Ashl adalah hukum yang memiliki
landasan dari nash Alquran atau sunnah yang kemudian dijadikan sebagai alat untuk menqiyaskan
persoalan lain (al-far’u) yang memiliki kesamaan ’illat hukum. Lihat: Zakariya ibn Muhammad al-
Anshari, Ghayaah al-Wushul (Cairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah), bab al-qiyas.
2
Redaksi ayat tersebut adalah:
ﻮﺣﻰ* َوَﻣﺎ ﻳَـ ْﻨ ِﻄ ُﻖ َﻋ ِﻦ ا ْﳍََﻮى
َ ُإِ ْن ُﻫ َﻮ إِﱠﻻ َو ْﺣ ٌﻲ ﻳ
2
Berangkat dari satu sisi kelemahan ini, kemudian menarik untuk diteliti
bagaimanakah pandangan para ulama tentang argumentatif sunnah dalam bentuk
hadis ahad untuk dijadikan sumber hukum?
Pengertian
Pengertian dari Zahir Alquran dapat ditinjau dari dua aspek; pertama dari
aspek bahasa, dan kedua dari aspek terminologi ushul fiqh. Dari aspek bahasa,
kata zahir ( )ظﺎھﺮberasal dari kata ظﮭﺮatau dari mashdar ظﮭﻮرyang bermakna ﺗﺒﯿﻦ
أو ﺑﺮز3,yang berarti jelas atau tampak. Maka, zahir Alquran, yang dimaksud adalah
F
makna yang tampak atau jelas dari suatu ayat Alquran, bukan makna yang
samar. 4 P3F
Dari aspek terminologi ushul fiqh, al-Zhahir merupakan istilah khusus yang
digunakan dalam mengklasifikasi bentuk kata dan kalimat teks-teks syari’i
(Alquran dan Sunnah). Para ushuli membagi bentuk teks menjadi dua macam,
yaitu: muhkam (jelas maknanya) dan mutasyabih (samar maknanya). Yang
muhkam ini dibagi menjadi dua macam, yaitu: al-nash dan al-zhahir. Yang
mutasyabih juga dibagi dua, yaitu al-mujmal dan al-muawwal. Jika suatu teks
memiliki makna tunggal dan tidak memungkinkan dimaksudkan makna lain,
3
Majma’ al-Lugha al-‘Arabiyah Cairo, Al-Mu’jam al-Wasith, (Cairo: Dar al-Dakwah), J 2 h 578.
4
Dari pengertian ini kemudian Mazhab Daud ibn ‘Ali dan yang sejalan dengannya disebut
dengan mazhab ahli al-Zhahir atau al-Zhahiriyah, karena mereka melakukan penemuan hukum
berdasarkan makna yang jelas (zahir) dari teks-teks syar’i, dan tidak menggunakan istimbath ‘illat
hukum (tidak menggunakan qiyas). Lihat: Muhammad Ruwas Qal'aji dan Hamid Shadiq Qunaibi,
Mu'jam Lughah Al-Fuqaha (Dar al-Nafais, 1988 M), 1, h 295.
3
maka disebut dengan al-nash. Jika suatu teks memiliki makna lebih dari satu, dan
satu maknanya merupakan makna yang kuat, maka yang kuat ini disebut makna
al-zhahir, sedangkan makna yang lemah ini jika digunakan, maka disebut al-
muawwal (yang ditakwil). Sedangkan suatu nash yang memiliki makna ganda,
dan salah salah satunya tidak ada yang lebih kuat, maka disebut al-mujmal. 5
Perlu untuk diketahui bahwa kata Al-Nash atau Nash ﻧﺺsering digunakan
untuk berbagai macam pengertian. Dalil dari Alquran dan Sunnah juga disebut
nash. Pengertian al-Zhahir di atas juga tidak jarang disebut nash 6. Begitu pula,
P5F P
dengan sunnah adalah adanya pertentangan antara makna yang jelas dari suatu
ayat Alquran dengan makna yang jelas dari suatu teks sunnah.
Tema pertentangan zhahir Alquran dan Sunnah ini merupakan bagian dari
tema besar dalam Ushul Fiqh, yaitu tema Ta’ārudh al-Adillah atau juga dikenal
dengan al-ta’ārudh saja. Dalam terminologi ushul fiqh, al-Ta’arudh ini
didefinisikan dengan berbagai macam definisi yang hampir sama. Di antaranya
definisi al-Zarkasyi yang dikutip oleh Ibn al-Najar al-Hanbaly:
Definisi ini kemudian dijelaskannya, bahwa apabila salah satu dari dua dalil
menunjukkan kebolehan, sedangkan dalil lainnya menunjukkan pelarangan, maka
masing-masing dari dua dalil tersebut adalah saling berhadapan serta saling
5
Abdul Karim ibn Ali al-Namlah, al-Muhaddzab fi Ushul Alfiqh al-Muqaran (Riyadh:
Maktabah al-Rusyd, 1999 M), j 3, h 1078.
6
Zakariya ibn Muhammad al-Anshari, Ghayaah al-Wushul (Cairo: Dar al-Kutub al-Arabiyah),
h 31.
7
Mu’jam al-Wasit, j 2, h 599.
4
bertentangan dan mencegah. Sebab, dalil kebolehan mencegah keharaman dan
begitupun sebaliknya, dalil keharaman mencegah kebolehan. 8
Di antara bentuk contoh kontradiksi dua dalil adalah ayat 234 Qs al-Baqarah
dengan al-Thalaq ayat 4. Dimana pada ayat 234 Qs Al-Baqarah dijelaskan bahwa
iddah bagi wanita yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah empat bulan dan
sepuluh hari 9. Ayat ini mencakup apakah wanita yang ditalak tersebut dalam
keadaan hamil ataupun tidak. Sedangkan pada ayat 4 Qs al-Thalaq dijelaskan
bahwa iddah wanita hamil adalah sampai ia melahirkan kandungannya 10. Ayat 4
Qs al-Thalaq ini mencakup apakah iddah perempuan hamil tersebut lantaran
ditalak ataupun lantaran ditunggal wafat oleh suaminya. Maka dari dua dalil ini,
terdapat kontradiksi mengenai iddah bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat
oleh suaminya.
Pandangan Ulama
Para ulama berbeda pandangan mengenai jenis dalil yang dapat disebut
sebagai dalil yang kontradiktif. Di antara para ushuli mengatakan bahwa dua
dalil yang qath’i, tidak mungkin bertentangan. Kontradiksi dalil hanya ada
pada dalil yang bersifat zhanni. Pandangan ini berlandaskan kepada
argumentasi bahwa jika ada dua dalil qath’i kontradiktif, maka berarti
berkumpul dua dalil yang berlawanan atau dua-duanya tidak diberlakukan,
dan untuk mentarjih salah satunya merupakan sesuatu yang mustahil.
Sebahagian ushuli lainnya menyatakan bahwa kontradiksi dalil tidak berlaku
8
Ibn al-Najar al-Hambali, Mukhtashar al-Tahrir Syarah al-Kaukab al-Munir, tahqiq
Muhammad al-Zuhaily (Maktabah al-'Abikan, 1997 M), j 4, h 605.
9
Teks ayatnya sebagai berikut:
َواﻟﱠذِﯾنَ ﯾُﺗ ََوﻓﱠ ْونَ ِﻣ ْﻧ ُﻛ ْم َوﯾَذَ ُرونَ أ َ ْز َوا ًﺟﺎ ﯾَﺗ ََرﺑﱠﺻْنَ ﺑِﺄ َ ْﻧﻔُ ِﺳ ِﮭ ﱠن أ َ ْرﺑَ َﻌﺔَ أ َ ْﺷ ُﮭ ٍر َو َﻋ ْﺷ ًرا
10
Teks ayatnya sebagai berikut:
َ ُ َوأ
َ َوﻻتُ ْاﻷَﺣْ َﻣﺎ ِل أ َ َﺟﻠُ ُﮭ ﱠن أ َ ْن ﯾ
ﺿ ْﻌنَ َﺣ ْﻣﻠَ ُﮭ ﱠن
5
pada dua dalil yang bersifat general (dalil ‘am) dengan tanpa penguat
(murajjih). 11
b. Syarat-syarat Kontradiksi
Dua dalil hanya dapat dikatakan kontradiksi apabila memiliki kesamaan tema.
Jika temanya berlainnya, maka tidak dapat dikatakan sebagai dalil yang
11
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Khair, 2006 ), j 2,
h 407.
12
Wahbah al-Zuhaly, Ushul al-Fiqh al-Islami, j 2, h 1175.
13
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 409.
6
kontradiktif. Begitu pula dalam hal objek hukum, apabila tema hukumnya
sama, namun objeknya berbeda, maka tidak dikatakan kontradiktif.
Sebagaimana ayat tentang hutang yang berbeda aturan Alquran antara orang
yang berhutang dalam keadaan mudah dengan yang berhutang sedang dalam
keadaan susah, meskipun temanya sama-sama tentang hutang.
Jika diketahui adanya perbedaan waktu turun atau datangnya dua dalil yang
terlihat kontra, maka dalil terakhir dapat menghapus dalil yang datang lebih
dahulu. Maka dalam konteks ini dua dalil ini tidak dianggap kontradiktif.14
Namun, pada aplikasinya ulama berbeda pandangan tentang ketentuan nasakh
ini, sehingga naskh kemudian dimasukkan ke dalam salah satu cara menyikapi
dalil kontradiktif.
1) Pandangan Hanafiyah
14
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 409.
7
tersebut, lalu digunakan dalil lain di bawah tingkatan dua dalil yang
bertentangan tersebut. 15
2) Pandangan Jumhur
15
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 416.
16
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 416.
17
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 418.
18
Wahab Al-Zuhaily, ‘Ilmu Ushul Fiqh ...
19
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 420.
8
C. Kontradiksi Zahir Alquran dan Sunnah
Para ulama berbeda pandangan menyikapi apabila ada pertentangan antara zhahir
Alquran dan zhahir sunnah. Secara garis besar dalam menyikapi kontradiksi zahir
Alquran dengan zahir sunnah, perbedaan pandangan ulama adalah sebagai
berikut 20:
1. Mendahulukan Alquran
2. Mendahulukan Sunnah
20
Badruddin al-Zarkasyi, Al-Bahr al-Muhith, (Dar al-Kutubi, 1994), j 8, h 121.
21
Redaksi hadisnya adalah sebagai berikut:
ِﻮل ﱠ
ﻚَ َض ﻟ ِ
َ ﻒ ﺗَـ ْﻘﻀﻲ إِذَا َﻋَﺮَ » َﻛْﻴ:ﺎلَ َﺚ ُﻣ َﻌﺎذًا إِ َﱃ اﻟْﻴَ َﻤ ِﻦ ﻗَ ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ﻟَ ﱠﻤﺎ أ ََر َاد أَ ْن ﻳـَْﺒـ َﻌَ اﻪﻠﻟ َ أَ ﱠن َر ُﺳ
.ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِﻮل ﱠ ِ ﻓَﺒِﺴﻨ ِﱠﺔ رﺳ:ﺎل ِﺎب ﱠ ِ َ »ﻓَﺈِ ْن َﱂ َِﲡ ْﺪ ِﰲ ﻛِﺘ:ﺎل َ َ ﻗ،ِاﻪﻠﻟ ِ َﻀﻲ ﺑِ ِﻜﺘِ ْ أَﻗ:ﺎل
َ اﻪﻠﻟ ُ َ ُ َ َ ﻗ، «اﻪﻠﻟ؟ ْ ﺎب ﱠ َ َ ﻗ، «ﻀﺎءٌ؟
َ َﻗ
Hadis riwayat Abi Dawud, nomor: 3592.
22
Redaksi ayatnya adalah sebagai berikut:
ِ ﲔ ﻟِﻠﻨ
(44 ﱠﺎس َﻣﺎ ﻧـُِّﺰَل إِﻟَْﻴ ِﻬ ْﻢ َوﻟَ َﻌﻠﱠ ُﻬ ْﻢ ﻳـَﺘَـ َﻔ ﱠﻜُﺮو َن )اﻟﻨﺤﻞ ِ ِ وأَﻧْـﺰﻟْﻨﺎ إِﻟَﻴ
َ ِّﻚ اﻟ ّﺬ ْﻛَﺮ ﻟﺘُـﺒَـ
َ ْ ََ َ
9
Pandangan kelompok ketiga menyatakan bahwa tidak ada yang lebih
diunggulkan antara Alquran dan Sunnah. Maka, menurut kelompok ini, terjadi
kontradiksi antara Alquran dan Sunnah. Dalam menyikapinya, digunakan
faktor lain.
Dari aspek kekuatan dalil, baik dari sisi qath’i dan zhanni serta dari sisi tsubut
dan dalalahnya. Jika ayat Alquran, yang merupakan qath’i tsubut, zahirnya
kontradiksi dengan hadis ahad yang merupakan zahnni tsubut, maka pada
dasarnya yang dimenangkan adalah dalil yang qath’i. Namun, dari aspek dalalah,
dua dalil yang maqbul dapat disebut kontradiksi dan dapat dilakukan metode-
metode menyikapi dalil kontradiksi tadi.
Adapun rincian pandangan ushuli dalam hal ini adalah sebagai berikut:
a. Hanafiyah
23
Muhammad Ibn Ahmad al-Sarakhsy, Ushul al-Sarakhsy (Beirut: Dar al-Ma'rifah), j 1, h 364.
24
Teks hadisnya sebagai berikut (HR Muslim, No. 1480):
ِ ِ
ِ ﺎﻃﻤﺔَ ﺑِْﻨ ِ
،ﺐٌ َوُﻫ َﻮ ﻏَﺎﺋ،َﺺ ﻃَﻠﱠ َﻘ َﻬﺎ اﻟْﺒَـﺘﱠﺔ
ٍ أَ ﱠن أ ََﺎﺑ َﻋ ْﻤ ِﺮو ﺑْ َﻦ َﺣ ْﻔ،ﺲٍ ﺖ ﻗَـْﻴ َ َ َﻋ ْﻦ ﻓ،َﻋ ْﻦ أَِﰊ َﺳﻠَ َﻤﺔَ ﺑْ ِﻦ َﻋْﺒﺪ اﻟﱠﺮ ْﲪَ ِﻦ
،ﺻﻠﱠﻰ ﷲُ َﻋﻠَْﻴ ِﻪ َو َﺳﻠﱠ َﻢ ِ َ ﻓَﺠﺎءت رﺳ،ﻚ ﻋﻠَﻴـﻨﺎ ِﻣﻦ ﺷﻲ ٍء ِ ِ َ ﻓَـ َﻘ،ُ ﻓَ َﺴ ِﺨﻄَْﺘﻪ،ﻓَﺄ َْر َﺳ َﻞ إِﻟَْﻴـ َﻬﺎ َوﻛِﻴﻠُﻪُ ﺑِ َﺸﻌِ ٍﲑ
َ ﻮل ﷲ ُ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َوﷲ َﻣﺎ ﻟ:ﺎل
ِ ِ َ َ ﰒُﱠ ﻗ،ﻳﻚ ٍ ﺖ أُِم َﺷ ِﺮ ِ ِ ِ ِ ﻓَ َﺬ َﻛﺮ
ﺎﻫﺎ
َ »ﺗﻠْﻚ ْاﻣَﺮأَةٌ ﻳـَ ْﻐ َﺸ:ﺎل ّ ﻓَﺄ ََﻣَﺮَﻫﺎ أَ ْن ﺗَـ ْﻌﺘَ ﱠﺪ ِﰲ ﺑـَْﻴ، «ٌﺲ ﻟَﻚ َﻋﻠَْﻴﻪ ﻧـَ َﻔ َﻘﺔ َ »ﻟَْﻴ:ﺎل َ ﻓَـ َﻘ،ُﻚ ﻟَﻪَ ت ذَﻟ َْ
ِ
«ﺖ ﻓَﺂذﻧِ ِﻴﲏ ِ ﻓَِﺈ َذا ﺣﻠَْﻠ،ﻚ ِ ﻀﻌِﲔ ﺛِﻴﺎﺑ ِ ٍ ِ ِ ِ
َ َ َ َ َ َ ﻓَﺈﻧﱠﻪُ َر ُﺟ ٌﻞ أ َْﻋ َﻤﻰ ﺗ، ْاﻋﺘَ ّﺪي ﻋْﻨ َﺪ اﺑْ ِﻦ أ ُّم َﻣﻜْﺘُﻮم،َﺻ َﺤ ِﺎﰊ ْأ
10
kontradiksi dengan ayat ke-6 dari QS al-Thalaq 25 yang mewajibkan suami
untuk memberikan nafkah bagi istri yang dicerai selama dalam masa iddah.
Bagi ulama Hanafiyah, hadis ini bukanlah hadis yang dapat diterima lantaran
kontra dengan ayat ini. 26
b. Jumhur
Jumhur ushuli berpandangan bahwa hadis ahad yang sahih dapat diberlakukan
sebagai mukhashsish bagi redaksi umum ayat Alquran ketika secara zahir dua
dalil ini kontradiktif. Begitu pun sebaliknya, redaksi umum dalam hadis
maqbul, dapat ditakhsis oleh Alquran. Begitu pula dalam hal muthlaq
muqayyad.
Pada dasarnya Alquran dan Hadis berasal dari Allah Swt. dan Hadis mutawtir
dan Alquran sama-sama qath’i dari aspek tsubutnya. Artinya keduanya secara
mutlak dapat dikatakan bersumber dari syaari’. Lalu ketika ada kontradiksi antara
keduanya, maka para ulama melakukan upaya menghilangkan kontradiksi
tersebut sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya. Hanya saja mereka
berbeda dalam urutan tahapan metode yang didahulukan. Ahnaf mendahulukan
metode naskh-mansukh, sedangkan jumhur mendahulukan metode al-jam’ wa al-
taufiq 27.
25
Teks ayatnya sebagai berikut:
ﺚ ﺳﻜﻨﺘﻢ ﻣﻦ وﺟﺪﻛﻢ
ُ أﺳﻜﻨﻮﻫﻦ ﻣﻦ َﺣْﻴ
26
Muhammad Ibn Ahmad al-Sarakhsy, Ushul al-Sarakhsy (Beirut: Dar al-Ma'rifah), j 1, h 365.
27
Muhammad Al-Zuhaily, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh ... j 2, h 416
28
Drs. H. Moh. Rifai, Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah,
(Semarang: Wicaksana, 1988), h. 37.
11
sedikitnya orang yang meriwayatkan, dapat dibagi menjadi dua: (1) Khabar
Mutawatir, dan (2) Khabar Ahad. 29
Hadis Ahad (Ar.: ahad = satu). Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang
periwayat dari satu orang periwayat. Hadis ini oleh sebagian ulama hadis seperti
Ibnu Hajar al-Asqalani disebut juga dengan khabar al-ahad atau khabar al-wahid;
sedangkan Imam Asy-Syafi’i menyebutnya dengan khabar al-khassah. 31
a. Hadis Masyur, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang periwayat atau
lebih pada setiap tingkat sanadnya, tetapi jumlahnya tidak mencapai tingkat
mutawatir. Sementara menurut ulama Mazhab Hanafi, hadis masyur ialah
hadis yang periwayatnya pada tingkat sahabat hanya mencapai jumlah ahad
tetapi pada tingkatan sanad selanjutnya mencaai jumlah periwayat mutawatir.
Oleh sebagian ulama hadis, hadis masyur ini disebut juga dengan hadis
29
Drs. H. Moh. Rifai, Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah,
(Semarang: Wicaksana, 1988), h. 40.
30
Drs. H. Moh. Rifai, Kurikulum 1984 Pelajaran Ushul Fiqh untuk Madrasah Aliyah,
(Semarang: Wicaksana, 1988), h. 43.
31
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
32
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
12
mustafid. 33 Hadis Masyur, ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau
lebih, tetapi tingkatan mutawatir.
Hadis Masyur juga disebut Mustafid. Hadis Masyur ada yang shahih ada
yang tidak shahih. Contoh hadis Masyur yang shahih :
b. Hadis ‘Aziz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat pada
setiap tingkat sanadnya. Ibnu Hibban (ahli hadis) dan Ibnu Hajar al-Asqalani
mengomentari bahwa hadis ‘aziz sulit ditemukan, meskipun secara teori
mungkin ada. Oleh karena itu, sebagian ulama hadis mendefinisikannya
dengan hadis yang diriwayatkan oleh dua orang periwayat pada sebagian
tingkatan sanadnya dan pada tingkatan lainnya ada yang lebih dari dua orang. 35
33
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
34
A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987). H. 113.
35
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
13
Hadis ini diriwayatkan dari Anas r.a oleh Qatadah dan Abd. ‘Aziz bin
Shu’eb. Dari Qatadah diterima oleh Syu’bah dan Sa’id. Dari Abd. ‘Aziz
diterima oleh Ismail bin Ulaiyah dan Abd. Waris. Kemudian hadis ini
diriwayatkan pula oleh orang banyak dari mereka. 36
c. Hadis Garib, yaitu hadis yang pada satu atau lebih tingkatan sanadnya
diriwayatkan oleh satu orang periwayat sedang tingkatan lainnya lebih dari
satu orang. Hadis garib dalam pengertian ini disebut juga dengan hadis
fard. 37
Kehujahan Hadis Ahad. Hadis ahad dinilai sebagai zanni as-subut atau
zanni al-wurud (Qat’i dan Zanni). Artinya, nilai kebenaran eksistensinya
sebagai riwayat yang berasal dari Rasulullah SAW belum dapat diyakini
secara mutlak. Oleh karena itu, nilai kehujahan hadis ahad ini diperselisihkan
oleh ulama. Di antaranya ada yang menolak secara keseluruhan tanpa
memandang pembagian dan macam-macamnya. 39
36
A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987). H. 113.
37
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
38
A. Hanafie, MA. Usul Fiqh, (Jakarta: Widjaya, 1987). h. 114.
39
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
14
agama harus didasarkan atas dalil-dalil qat’i (jelas, pasti), yakni yang diyakini
dan disepakati bersama kebenarannya sebagai berasal dari Allah SWT atau
Rasul Nya, yakni Al-Qur’an atau hadis mutawatir. Hadis ahad tidak bisa
diterima untuk dijadikan dalil atau hujjah karena nilainya zanni. Untuk
mendukung alasan ulama tersebut, mereka mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, di
antaranya surah al-Isra’ (17) ayat 36 yang artinya: “Dan janganlah kamu
mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya...”; an-
Nisa (4) ayat 171 yang artinya: “...dan janganlah kamu mengatakan terhadap
Allah kecuali yang benar...”; dan an-Najm (53) ayat 28 yang
artinya:”...Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang
sesugguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap
kebenaran.” Ayat-ayat tersebut, menurut mereka, mengandung makna tidak
boleh berpedoman pada suatu yang bersiafat zanni dalam urusan agama. 40
40
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 421.
15
juga dengan “kelompok inkarsunnah adab modern” (munkir as-sunnah hadis).
Meskipun demikian, aasan dan argumentasi yang dikemukakan oleh
kelompok inkarsunnah abad modern ini pada dasarnya mengacu kepada
alasan dan argumentasi kelompok inkarsunnah tempo dulu. 41
41
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422.
42
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422.
43
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422.
16
suatu hadis ahad diterima dan dijadikan hujah untuk diamalkan. Persyaratan
berikut di antaranya sebagai berikut: 44
44
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422-423.
45
Abdul Azis Dahlan et .al, Ensiklopedia Hukum islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2006), h. 422-423.
17
DAFTAR PUSTAKA
18