Anda di halaman 1dari 4

Nama : Habib Abdul Azam

Nim : 201111047

Kelas : IAT 2B

Makul : Ushul Fiqih

Dosen Pengampu : Drs. H. Khusaeri, M.Ag

1. Secara bahasa atau etimologi, ta’arudh berarti “pertentangan” dan adillah adalah jamak dari
dalil yang berarti “alasan, argument dan dalil.” Persoalan ta’arudh al-adillah dibahas para
ulama dalam ilmu ushul fiqh, ketika terjadinya pertentangan secara zahir antara satu dalil
dengan dalil lainnya pada derajat yang sama.

2. Imam al-Syaukani, mendefinisikannya ta’arud al adillah sebagai suatu dalil yang


menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan sedangkan dalil lain menentukan
hukum yang berbeda dengan itu.

3. persamaan

Kamal ibn al-Humam dan Ali Hasballah : adanya dua dalil, berkenaan dengan masalah yang
sama.

Perbedaan

Kamal ibn al-Humam dan Ali Hasballah: dalam hal ini kamal ibn al-humam tidak
memberikan kompromi pada dua dalil yang memiliki pertentangan. Sedangkan Ali hasballah
masih memberikan kompromi asalkan masih dalam lingkum derajat yang sama(ayat dengan
ayat dan hadis dengan hadis)

4. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 234:

‫وَاﻟﱠﺬِﯾْﻦَ ﯾُﺘَﻮَﻓﱠﻮْنَ ﻣِﻨْﻜُﻢْ وَﯾَﺬَرُوْنَ اَزْوَاﺟًﺎ ﯾﱠﺘَﺮَﺑﱠﺼْﻦَ ﺑِﺎَﻧْﻔُﺴِﮭِﻦﱠ اَرْﺑَﻌَﺔَ اَﺷْﮭُﺮٍ وﱠﻋَﺸْﺮًا‬
Artinya: Dan orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan istri-istri
(hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari…(Q.S.
2, al-Baqarah: 234).
Dalam ayat ini dijelaskna bahwa pada umumunya, setiap istri yang ditinggal mati oleh
suaminya masa iddahnya 4 bulan lebih sepuluh hari. Baik yang sedang hamil ataupun tidak.

Firman Allah SWT dalam surat ath-Thalaq ayat 4:

‫وَأُو۟ﻟَٰﺖُ ٱﻻَْٔﺣْﻤَﺎلِ أَﺟَﻠُﮭُﻦﱠ أَن ﯾَﻀَﻌْﻦَ ﺣَﻤْﻠَﮭُﻦﱠ‬

Artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya… (Q.S. 65, ath-Thalaq: 4).

Dalam ayat ini menjelaskan bahwa pada umumnya wanita yang sedang hamil baik ditinggal
mati ataupun ditalak suaminya masa iddahnya adalah setelah melahirkan kandunganya.

Maka istri yang ditinggal mati suaminya dalam kondisi hamil, adalah suatu peristiwa yang
dikehendaki nash pertama agar iddahnya selesai setelah empat bulan sepuluh hari. Sedangkan
nash kedua menghendaki agar iddahnya selesai sampai dia melahirkan kandungannya. Jadi
dua nash itu kontradiksi atau saling bertentangan dalam peristiwa ini.

5. tidak diperbolehkan! Hal ini dikarenakan dalam ta’arud Al Adillah adalah pertentangan 2
dalil yang hanya bisa dipertentangkan dengan dalil yang sam, contoh ayat Al Qur’an dengan
ayat Al Qur’an,dan hadis dengan hadis.

6. Menurut kalangan Hanafiyah, jalan yang ditempuh jika terjadi ta’arudh adalah:

a. Nasakh membatalkan hukum yang ada didasarkan dengan adanya daliil yang datang
kemudian yang mengandung hukum yang berbeda dengan hukum yang pertama.
Dalam hubungan ini, seorang mujtahid harus berusaha untuk mencari sejarah
munculnya kedua daliil tersebut. Apabila dalam pelacakanya ditemukan bahwa satu
dalil muncul lebih dahulu dari dalil lainya maka yang diambil adalah dalil yang
datang kemudian.
b. Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil diantara dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang mendukungnya. Apabila masa turunya atau
datangnya tidak diketahui maka seorang mujtahid bisa melakukan tarjih terhadap satu
dalil tersebut dengan mengemukakan alas an-alasan lain yang membuat dalil tersebut
kuat. Tarjih bisa dilakukan dari tiga sisi yaitu : 1). Dari segi penunjuk kandungan lafal
suati nash. 2). Dari segi hukum yang dikandungnya, seperti menguatkan dalil yang
mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh/mubah. 3). Dari
sisi keadilan periwayat suatu hadis.
c. Al-jam’u wa a’Taufiq yaitu pengumpulan dalil-dalil yang bertentangan kemudian
mengompromikanya. Dengan demikian hasil kompromi dalil inilah yang diambil
hukumnya, karena kaidah fikih mengatakan “mengamalkan kedua dalil lebih baik dari
pada mengabaikan dalil yang lain”.
d. Tasaqut Al-Dalilain yaitu menggugurkan kedua dalil yang bertentangan. Dalam artian
seorang mujtahid harus merujuk kepada dalil yang derajatnya dibawah dalil yang
bertentangan tersebut.

7. Adapuan cara penyelesaian Ta’audh Al-adillah. Menurut Hanafiyah dan hanabillah :

a) Nasakh.

b) Tarjih.

c) Al-jam’u wa a’Taufiq

d) Tasaqut Al-Dalilain

Sedangkan menurut Syafi’iyah, Malikiyah dan Zahiriyah :

a) Al-jam’u wa a’Taufiq

b) Nasakh.

c) Tarjih.

d) Tasaqut Al-Dalilain

8. Ketika dua dalil yang bertentangan sulit dilacak sejarahnya oleh seorang mujtahid. Caranya
yaitu seorang mujtahid tersebut harus me-rajih-kan salah satu dalil ketika memungkinkan.
Pen-tarjih-an bisa menggunakan beberapa metode tarjih. Semisal menguatkan nash yang
muhkam dari pada nash yang mufassar, menguatkan dalil yang mengandung hukum haram
dari dalil yang mengandung hukum boleh, dan dari segi ‘adalah, dhabit, faqih dan sebagainya
seorang perawi hadits

9. Dalam Islam darah yang seperti apakah yang diharamkan itu, bagaimanakah cara
mendapatkannya ? pada surat al-maidah ayat 3 dijelaskan , “Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali
yang sempat kamu sembelih…” Darah yang diharamkan oleh ayat di atas, adalah darah yang
mengalir. Yaitu darah yang sudah keluar atau terpisah dari tubuh hewan disembelih. Cara
mendaptkanya yaitu ketika ada darah yang mengalir dari hewan penyembelihan atau darah
yang sudah terpisah dari tubuh.

10. Tatsaqut al-Dalilain Langkah terakhir yang ditempuh apabila seorang mujtahid merasa
kesulitan menyelesaikan pertentangan antar dalil ialah Tatsaqut al-dalilain. Yakni
meninggalkan dalil-dalil yang bertentangan dan beralih pada dalil yang lebih rendah
derajatnya.

Anda mungkin juga menyukai