Anda di halaman 1dari 16

SUMBER AJARAN ISLAM

B. Macam-macam Hadits
Dalam ‘ilm mustholah al-hadits, ulama mengklasifikasikan hadis menjadi
bermacam-macam, sebagaimana yang sudah dijelaskan di awal. Berdasarkan jumlah
rowi dalam setiap thobaqoh[3], hadis diklasifikasikan menjadi dua, yakni Hadis
Mutawatir dan Ahad. Adapun dari segi diterima atau tidaknya, ulama membagi hadis
Nabi menjadi tiga macam, yakni Hadis Shohih, Hasan dan Dho’if. Dua pertama,
masuk dalam kategori maqbul (diterima), sedangkan yang ketiga masuk dalam
kategori mardud (ditolak).
a. Hadits Mutawatir
Definisi Hadis Mutawwatir menurut bahasa, ialah isim fa’il dari At-Tawatur
(dalam bahasa Arab ‫واتر‬///‫)الت‬. Sedangkan menurut istilah, ialah Hadis yang
diriwayatkan oleh rowi yang banyak pada setiap tingkatan sanad-nya yang menurut
akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk memalsukan Hadis.[4]
Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Asqolani memberikan syarat untuk Hadis Mutawwatir
dengan beberapa syarat:
1. Diriwayatkan oleh jumlah perawi yang banyak.
Hadis Mutawatir tidak dibatasi dengan jumlah perawi. Oleh sebab itu, wajib
mengamalkan dengannya tanpa menyelusuri para perawinya. Para ulama berbeda
pendapat tentang jumlah minimal perawi.
Menurut Imam Al-Baqilany jumlah perawi tidak cukup empat orang, paling sedikit
lima orang. Sedangkan menurut Imam Al-Isthokhry jumlah perawi paling sedikit
sepuluh orang, pendapat inilah yang dipilih para Ulama, karena jumlah tersebut
permulaan jumlah yang banyak.[5]
2. Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol atau bersepakat untuk
dusta.
Syaikh Al-Halibi menjelaskan dalam kitabnya Fi Nuktihi ‘alan Nuhjah hal 56 tentang
perbedaan diantara kata At-Tawathuu dan At-Tawafuq. Kata At-Tawathu’ (dalam
bahasa Arab ‫ؤ‬//‫ )التواط‬ialah, suatu kelompok bersepakat untuk memalsukan hadis
setelah musyawarah, sehingga perkataan seorang dari mereka tidak berbeda dengan
lainnya, sedangkan kata At-Tawafuq (dalam bahasa Arab ‫ )التوافق‬ialah terjadinya
pemalsuan hadis tanpa musyawarah disebabkan lupa, dusta atau disengaja untuk
memalsukan hadis.[6]
3, Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan sanad.
Pengertian dari syarat ini ialah jumlah yang banyak pada semua tingkatan sanad dari
awal sampai akhir sanad kepada seorang yang meriwayatkannya baik secara
qouliyyah ataupun fi’iliyyah. Akan tetapi maksud dari itu bukan semua tingkatan
dengan jumlah yang sama.[7]
Sandaran hadis mereka dengan menggunakan panca indera, bukan denga sesuatu
yang dipikirkan .
Syaikh As-Samahi menjelaskan pada kitab Ar-Riwayah hal 51 hadis yang
diriwayatkan dengan panca indera secara yakin bukan dengan akal. Seperti kata:
‫ ( سمعنا‬kami telah mendengar), ‫( رأينا‬kami telah melihat) dan semacamnya dengan
menggunkan panca indera. Jika tidak diriwayatkan dengan panca indera, maka bukan
Hadis Mutawatir.[8]
Hadis Mutawatir terbagi dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdi dan Mutawatir Ma’nawi .
Mutawatir Lafdi : Hadis yang lafad dan maknanya mutawatir. Misalnya hadis ‫من كذب‬
‫علي متعمدًا فليتبوأ مقعده من النار‬
“Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka dia akan mendapatkan
tempat duduknya dari api neraka”.[9]
Hadis di atas diriwayatkan oleh tujuh puluh lebih sahabat dan jumlah yang perawi
yang banyak bahkan lebih terus berlanjut sampai tingkatan setelahnya.
Mutawatir Ma’nawi : Hadis yang maknanya mutawatir dan lafad-nya tidak
mutawatir. Hadis ini menunjukan satu makna yang sama dengan beberapa lafad yang
beda. Misalnya hadis tentang Raf’ul Yadaini biddu’a, Al-Haudl, Ar-Ruyah dan
selainnya.
Hadis Mutawatir mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada
manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati, seperti seseorang yang tidak
ragu-ragu menyaksikan dirinya. Oleh karena itu semua Hadis Mutawwatir hukumnya
diterima dan tidak perlu adanya penelitian keadaan perawinya

b. Hadits ahad
Pembagian hadis berdasarkan jumlah rowi di tiap thobaqohnya yang kedua
ialah Hadis Ahad (dalam bahasa arab ‫) اآلحاد‬.
Secara etimologi kata “‫ ”اآلحاد‬adalah bentuk jamak dari kata “‫”أحد‬yang berarti
“satu”. Adapun pengertian Hadis Ahad menurut istilah ialah hadis yang tidak sampai
pada derajat mutawatir.
Berdasarkan jumlah rowi dalam tiap thobaqoh, ulama membagi hadis Ahad
menjadi tiga macam, diantaranya:
Hadis Masyhur: Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh 3 perowi atau lebih di setiap
thobaqohnya dan tidak sampai batas mutawatir. Para ulama fiqih juga menamai hadis
masyhur dengan nama “Al-Mustafidl” yaitu suatu hadis yang mempunyai jalan
terbatas lebih dari dua dan tidak sampai pada batas mutawatir.[13]
Contoh:
“‫”ِإَّن َهَّللا َال َيْقِبُض الِع ْلَم اْنِتَز اًعا َيْنَتِز ُع ُه ِم َن الِعَباِد ……الحديث‬
Hadis Aziz: Yaitu hadis yang perawinya tidak kurang dari dua orang dalam semua
tingkatan thobaqoh.
Contoh:
‫اس أجمعين”(رواه‬//‫ده والن‬//‫ده ووال‬//‫ه من ول‬//‫ون أحب إلي‬//‫تى أك‬//‫دكم ح‬//‫ؤمن أح‬//‫ “ال ي‬:‫ّلم‬/‫ه وس‬//‫ّلى هللا علي‬/‫ه ص‬//‫قول‬
)‫البخاري‬
Hadis Gharib: Yaitu suatu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi sendirian,
atau oleh satu orang rawi saja di setiap thobaqoh.[14]
Contoh:
)‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى (متفق عليه‬
Para ulama berbeda pendapat di dalam menggunakan hadis Ahad. Apabila
berhubungan dengan masalah hukum maka menurut jumhur ulama, wajib di
amalkan. Akan tetapi sebagian dari golongan Hanafiah menolak hadis ahad dalam
masalah Ammu al-Balwa seperti wudhunya orang yang menyentuh kelamin, begitu
juga dalam masalah hukuman had. Sebagian golongan Malikiyah memenangkan
Qiyas dari pada hadis ahad ketika bertentangan, padahal menurut para ulama hadis
yang benar yaitu bahwasanya hadis ahad yang muttasil (sanadnya bersambung) serta
diriwayatkan oleh rowi yang adil itu di terima dalam semua hukum dan dimenangkan
daripada Qiyas. Pendapat ini didukung oleh Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal,
serta para imam-imam hadis, fiqih dan ushul fiqih.[15]
c. fungsi al-hadits
1. Menetapkan dan menguatkan hukum – hukum yang sudah ditetapkan al qur'an
2. Merinci dan menafsirkan ayat al qur'an yang masih global ( bayan tafshil ),
Membatasi ayat al qur'an yang masih muthlaq/ umum ( bayan taqyid), dan
mengkhususkan ayat al qur'an yang masih umum ( bayan takhshish).
3. Menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh al qur’an.

3. Ijtihad
Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan menggunakan semua
pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh.
Dasar penggunaan ijtihad :
• Dasar hukum adalah al qur’an, sunnah,
dan logika.
• Dasar Q.S An-Nisa (59)

‫َأُّيَها ٱَّلِذ يَن َء اَم ُنٓو ۟ا َأِط يُعو۟ا ٱَهَّلل َو َأِط يُعو۟ا ٱلَّرُسوَل َو ُأ۟و ِلى ٱَأْلْم ِر ِم نُك ْم ۖ َفِإن َتَٰن َز ْعُتْم ِفى َش ْى ٍء َف ُر ُّد وُه ِإَلى ٱِهَّلل َو ٱلَّرُس وِل‬
‫ِإن ُك نُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِبٱِهَّلل َو ٱْلَيْو ِم ٱْل َء اِخ ِر ۚ َٰذ ِلَك َخْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو ياًل‬
Arab-Latin: Yā ayyuhallażīna āmanū aṭī'ullāha wa aṭī'ur-rasụla wa ulil-amri
mingkum, fa in tanāza'tum fī syai`in fa ruddụhu ilallāhi war-rasụli ing kuntum
tu`minụna billāhi wal-yaumil-ākhir, żālika khairuw wa aḥsanu ta`wīlā
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Persyaratan melakukan ijtihad
1. Menguasai al qur'an 2. Menguasai hadist 3. Mengetahui metode-metode ijtihad 4.
Mengetahui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Hal-hal dalam ijtihad
Masalah yang ditunjukan nash yang zhanniy (tidak pasti), baik dari segi keberadanya
(wurud) maupun dari segi hukum (dalalah).
Masalah baru yang belum ditegaskan hukumnya nash dan masalah baru yang belum
di ijtma kan.
Metode Metode Ijtihad
1. Ijma
Menurut para ahli ushul, Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid dari
kaum muslimin pada suatu massa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
wafat terkait hukum syara yang tidak diatur dalam Al Qur’an dan Hadits.
Contoh ijma’ adalah ijma’ sahabat yakni ijma yang dilakukan oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Qiyas
Qiyas adalah hukum tentang suatu kejadian atau peristiwa yang ditetapkan dengan
cara membandingkannya dengan hukum kejadian atau peristiwa lain yang telah ditetapkan
berdasarkan nash karena adanya kesamaan ‘illat.

Contoh qiyas adalah meng-qiyas-kan pembunuhan dengan menggunakan alat berat


dengan pembunuhan menggunakan senjata tajam.
3. Istihsan
stihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan hukum yang satu ke
hukum yang lain karena ada dalil yang menuntut demikian.

Contoh istihsan adalah wasiat. Walaupun secara qiyas tidak dibolehkan, namun
karena adalanya dalil dari Al Qur’an maka wasiat dibolehkan.
4. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah atau istislah adalah diberlakukannya suatu hukum atas
dasar kemaslahatan yang lebih besar dengan mengesampingkan kemudaratan karena
tidak adanya dalil yang menganjurkan atau melarangnya.
Contoh maslahah mursalah adalah membuat akta nikah, akta kelahiran, akta
kematian, dan lain sebagainya.
5. Istishab
Istishab adalah metode ijtihad yang dilakukan dengan cara menetapkan hukum
yang telah ada sebelumnya hingga ada dalil baru yang merubahnya.

Contoh istishab adalah setiap makanan atau minuman boleh dikonsumsi hingga ada
dalil yang mengharamkannya.
6. Urf
Urf adalah segala sesuatu berupa perkataan atau perbuatan yang sudah dikenal
masyarakat dan telah dilakukan secara turun temurun.

Contoh ‘urf adalah acara halal bi halal yang kerap dilakukan pada Hari Raya Idul
Fitri atau setelahnya.
7. Saddzui dzariah
Sadzzui dzariah adalah sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh, namun dapat
mengarah pada kemaksiatan.

Contoh sadzzui dzariah adalah bermain kuis yang dapat mengarah pada perjudian.
8. Qaul al-Shahabi
Qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat terkait hukum suatu perkara yang
dirumuskan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.

Contoh qaul al-shahabi adalah pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa
kesaksian dari seorang anak kecil tidak bisa diterima.
9. Syar’u man qablana
Syar’u man qablana adalah hukum Allah yang isyariatkan kepada umat terdahulu,
yang diturunkan melalui nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Contoh syar’u man qablana adalah kewajiban berpuasa bagi orang-orang beriman
(QS. Al Baqarah : 183).

AQIDAH ISLAM
1. Pengertian Aqidah
Aqidah menurut bahasa Arab (etimologi) berasal dari kata Al-`aqdu-tautsiiqu
yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat,.
al-ihkaamu yang artinya mengukuhkan (menetapkan), dan ar-rabthu biquw-wah yang
berarti mengikat dengan kuat. Sedangkan menurut istilah (terminalogi), `aqidah
adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang
yang meyakininya.
Dalam Islam, Aqidah mencakup iman kepada Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.
Secara bahasa, Aqidah dapat diartikan sebagai ikatan atau kepercayaan. Sedangkan
dari segi aqidah adalah keyakinan yang kuat terhadap suatu zat tanpa ada keraguan
sedikit pun.
Secara garis besar Aqidah Islam mencakup semua rukun iman, yaitu iman
kepada Allah, Malaikat, Kitab, Rasul, Hari Kiamat dan iman kepada Qada dan
Qadar.
Berikut ini Ayat Al-Qur'an mengenai pengertian Aqidah :
‫ُا ٰۤل‬ ‫ٰۤل‬
‫َو َم ْن ُّيِط ِع َهّٰللا َو الَّرُسْو َل َفُاو ِٕىَك َم َع اَّلِذ ْيَن َاْنَع َم ُهّٰللا َع َلْيِهْم ِّم َن الَّنِبّٖي َن َو الِّصِّدْيِقْيَن َو الُّش َهَد ۤا ِء َو الّٰص ِلِح ْيَن ۚ َو َح ُسَن و ِٕى َك‬
‫َرِفْيًقا‬
Artinya : Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu
akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para
nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh.
Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (Q.S. An-Nisa:69)
2. Sumber Aqidah Islam
sumber Aqidah Islam harus bersumber dari dalil naqli, yaitu Al-Qur’an dan
Hadits serta dalil aqli atau akal dan akal. Dalil naqli dan dalil aqli digunakan secara
bersama-sama dalam menentukan sumber Aqidah atau aturan dalam Islam. Artinya,
ketika menetapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber Aqidah, ada dua hal
yang harus diperhatikan dan dikaji secara seksama.
3. Ruang Lingkup Aqidah
a. ILAHIYAT
Ilahiyat yaitu pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan urusan ketuhanan,
khususnya membahas Allah SWT.
b. Nubuwwat
Nubuwwat yaitu pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan utusan Allah
(nabi dan rasul Allah).
c. ruhaniyyat
Ruhaniyat yaitu pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan makhluk
gaib. Misalnya malaikat, setan, dan jin.
d. Sam’iyyat
Sam’iyyat yaitu pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia
gaib. Misalnya surga, neraka, kuburan, dan lain-lain.
4. Tujuan Mempelajari Aqidah
1.Meningkatkan Ibadah Kepada Allah Swt.
Orang yang memahami Aqidah akan dengan mudah melepaskan ibadahnya semata-
mata karena Allah SWT.
2. Menenangkan Jiwa
Aqidah bertujuan untuk membuat hati menjadi lebih tenang karena dapat menerima
segala sesuatu dengan ikhlas, baik takdir yang baik maupun yang buruk.
3. Meningkatkan Amal Baik
Tujuan Aqidah yang sebenarnya adalah untuk menghindari perbuatan yang sesat.
4. Menegakkan Agama
Mereka yang mempelajari Aqidah tidak akan pernah ragu dalam berbuat kebaikan,
terutama untuk menegakkan agamanya. Selain itu, mereka akan selalu berusaha
memperkuat
5. Keistimewaan Aqidah
1. Sumber Gambar Murni
Aqidah Islam memiliki landasan yang jelas dan murni, yaitu Al-Qur’an, As
Sunnah dan ijma’ Salafush shalih
2. Aqidah tentang hal ghaib
Benda gaib adalah segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh indera
manusia.
3. Jelas, mudah dan terang
4. . Bebas dari Paradoks, Ketidakjelasan dan Kebingungan
6. Contoh Aqidah islam
Beriman kepada Alla Ta’ala dan sifat-sifat-Nya dengan menerima dan
beriman sesuai dengan apa yang tertulis dalam Al-Quran dan As-Sunnah (hadits).
Menjalankan enam rukun iman dalam hidup sesuai dengan ajaran Islam dengan
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Saling menghargai dan menyayangi sesama anggota keluarga dan masyarakat sesuai
ajaran Islam.
7. Penyimpangan Aqidah
1. Ketidaktahuan aqidah shahihah
2. Keengganan Media Pendidikan dan Informasi dalam Menjalankan Tugasnya.
3. . Ghaflah (lalai)
4. Ghuluw (Berlebihan)
8. Macam-macam aqidah
1. Aqidah Uluhiyah
Makna Aqidah Uluhiyah dapat dipahami sebagai keyakinan terhadap segala macam
ibadah yang hanya dilakukan untuk Allah SWT. Hal ini dapat mencerminkan rukun
iman yang pertama, yaitu iman kepada Allah SWT.
2. Aqidah Ruhanniyah
Selanjutnya ada aqidah Ruhanniyah yang artinya percaya bahwa satu-satunya
pencipta di dunia ini adalah Allah SWT. Muslim harus percaya bahwa seluruh alam
semesta, malaikat, jin, setan dan roh adalah ciptaan Tuhan yang tunduk dan taat
kepada-Nya.
3. Aqidah Nubuwwah
Aqidah Nubuwwah adalah keyakinan yang berkaitan dengan para nabi dan rasul,
termasuk kitab-kitab, mukjizat, dan karomah yang diturunkan kepada mereka. Nah,
Aqidah ini menggambarkan rukun iman yang ketiga dan keempat, yaitu iman kepada
Kitab dan Rasulullah.
4. Syahadat Sam’iyyah
keyakinan tentang segala sesuatu yang hanya bisa diketahui melalui dalil Al-Qur’an
dan Assunah yang mengacu pada akhirat, siksa kubur, Hari Pengadilan, surga dan
neraka. Aqidah ini merupakan perwujudan dari rukun iman kelima dan keenam, yaitu
iman kepada hari akhir dan iman kepada Qada dan Qadar.

SYARIAH
1. Pengertian Syariah
Para ulama ahli fiqih dan ushul fiqih memiliki pandangan yang berbeda
dalam memberikan definisi secara khusus perihal syariah. Di antaranya, menurut
Syekh Ibrahim al-Lakhami, atau yang lebih masyhur dengan sebutan Imam asy-
Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat-nya menjelaskan bahwa syariah adalah pedoman
bagi manusia dalam beragama.

Maksud syariah sebagai pedoman dalam hal ini adalah panduan dan referensi dalam
beribadah kepada Allah, dan pedoman dalam hidup sosial bersama sesama manusia.
Sedangkan menurut Syekh Abu Muhammad bin Ahmad Ibnu Hazm al-Andalusi al-
Qurthubi (wafat 456 H) dalam kitab ushul-nya menjelaskan bahwa syariah adalah
suatu ketetapan dari Allah swt melalui para utusan-Nya, sebagai pedoman bagi
manusia dalam bertindak, berucap, dan berperilaku,

‫َو الَّش ِر ْيَع ُة ِهَي َم ا َش َر َعُه ُهللا َع َلى ِلَس اِن َنِبِّيِه ِفي الَّدَّياَنِة‬
Syariah adalah setiap sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah kepada nabi-Nya,
sebagai pedoman dalam beragama.” (Ibnu Hazm, al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam,
[Beirut, Kairo, Darul Hadits: tanpa tahun], juz I, halaman 46).
Tujuan Syariah dalam islam
Syariah selain menjadi pedoman dalam beribadah dan bersosial, juga memiliki tujuan
secara khusus. Hanya saja, para ulama juga berbeda pendapat dalam menjelaskan
tujuan-tujuan dari adanya syariah itu sendiri.
Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili dalam salah satu kitabnya menjelaskan
bahwa tujuan-tujuan syariah adalah untuk menjaga agama Islam dalam segi aqidah,
ibadah, dan sosial. Menjaga jiwa, akal, keturunan, dan harta. (Syekh Wahbah, al-
Fiqhu al-Islami wa Adillatihu, [Beirut, Darul Fikr: tt], juz I, halaman 104).
Sementara itu, menurut Kementrian Agama dan Urusan Islam (Wazaratul Auqaf
wasy Sy’un al-Islamiyah) dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah juz 16,
halaman 248 menjelaskan, bahwa tujuan syariah adalah untuk mereparasi ulang hal-
hal yang dinilai tidak baik.
Hal ini bisa dengan beberapa cara di antaranya, (1) memperbaiki akhlak, etika, dan
tradisi; (2) berupaya meningkatkan nilai-nilai kebaikan; dan (3) meninggalkan hal-
hal yang kurang baik dan kurang sopan.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa syariat datang dengan
tujuan sebagai penjelasan bagi semua manusia perihal batasan-batasan berbuat dan
berucap, bahwa dalam hidup ada beberapa hal yang menjadi batasan secara khusus,
baik dengan Tuhannya ataupun dengan sesama.
Selain itu, adanya syariat juga untuk mempertahankan ajaran mulia Rasulullah, yaitu
sebagai teladan yang baik bagi manusia, dengan spirit rahmatan lil ‘alamin atau
rahmat bagi seluruh alam semesta. Oleh karenanya, semua manusia harus
menjunjung nilai-nilai kesopanan, etika yang luhur, karena keduanya merupakan
tujuan pokok dari adanya syariat.
Tugas dan fungsi syariah
Fungsi syariah dalam lingkup hukum Islam adalah sebagai jalan atau jembatan bagi
umat manusia dalam berpijak dan berpedoman. Selain itu, syariah juga menjadi
media dalam menjalankan kehidupan di dunia agar sampai pada tujuan akhir dengan
selamat.
Dengan kata lain, supaya manusia dapat membawa dirinya di atas jalur syariah
sehingga bisa hidup dengan teratur, tertib dan tentram. Ini bisa digambarkan dalam
menjalin hubungan baik dengan Sang Khalik yang disebut habluminallah dan
hubungan dengan sesama manusia atau hablumminannas.
Hubungan yang baik ini akan bernilai ibadah dan dianggap baik oleh Allah SWT.
Hingga pada akhirnya, seorang Muslim mampu mencapai tujuan hidup hasanah fi
dunya dan hasanah fil akhirat.
Pengertian Ibadah
Dalam buku Ustaz Isnan Anshory Lc “Silsilah Tafsir Ayat Ahkam”, kata ibadah
berasal dari bahasa Arab yaitu Alibada. Kata ini merupakan pola Mashdal dari kata
kerja “badaya” budu, yang berarti ketaatan. Imam Albagawi juga mendefinisikannya
sebagai kehinaan diri dan ketaatan yang berdasarkan ketundukan. Pengertian ibadah
di sisi lain juga didefinisikan oleh berbagai faktor dari perspektif Syariah.
Orang-orang kebanyakan belum mengetahui arti atau jenis ibadah, sehingga sebagian
dari kita hanya fokus pada ibadah tertentu, misalnya shalat, zakat, puasa. Padahal,
ada segudang jenis ibadah yang perlu kita pahami berdasarkan arti ibadah yang
sangat luas.
Jenis-Jenis Ibadah dalam Islam
Dalam buku Ustaz Isnan Anshory Lc Silsilah Tafsir Ayat Ahkam, ibadah
dikategorikan menjadi empat jenis berdasarkan perbuatannya yaitu sebagai berikut.
1. Ibadah Qolbiyyah
Artinya semua ibadah dilakukan melalui aktivitas akal. Jika ibadah ini mencakup
aspek i`tiqod atau keyakinan seperti keyakinan akan adanya Allah SWT. Selain
i`tiqod sebagai cinta Tuhan, atau dalam bentuk tafakkur sebagai kontemplasi
terhadap ciptaan Tuhan.
2. Ibadah Qauliyah
Jenis ibadah ini dilakukan melalui kegiatan lisan. Misalnya, membaca Al-Qur’an,
Kemuliaan, Termid, Takbir, Takbir, dll.
3. Ibadah Amaliyyah
Ibadah Amaliyyah adalah jenis ibadah yang dilakukan melalui aktivitas anggota
badan. Contohnya termasuk shalat, puasa, dan gerakan haji.
4. Ibadah Maaliyyah
Jenis ibadah ini dilakukan oleh seorang hamba yang menyumbangkan hartanya.
Misalnya, membayar Zakat dan Bershodaqoh.
Munakahat
Pengertian Fiqih Munakahat
Adalah aturan hukum tentang pernikahan (Mulai dari aqad nikah hingga aturan
tentang berumah tangga)
Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Menikah itu termasuk dari sunahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka
ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian
atas umat-umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah,
dan siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu
tameng baginya.” (HR Ibnu Majah)
Ruang lingkup Fiqih Munakahat
1. Meminang
Adalah Langkah Awal dalam pernikahan, yaitu tahap Dimana seorang lelaki
menyampaikan kehendak, maksud dan tujuannya untuk menikahi jodoh yang telah
didapatkan, lalu menjadikannya istri yang sah dan halal.
2. Menikah
Dasar Hukum Pernikahan
1. Wajib
Bagi yang mampu untuk melaksanakan dan menjalankan beban kewajiban dalam
hidup pernikahan
Kekhawatiran apabila tidak menikah maka akan terjadi zina
2. . Sunnah
Mampu untuk menjalankan kewajiban hidup pernikahan
Tidak ada kekhawatiran apabila tidak menikah maka akan terjadi zina
3. . Haram
Belum berkeinginan dan tidak mampu melaksanakan kewajiban munakahat
Memiliki tujuan menyengsarakan istri
Menjadikan pernikahan sebagai jembatan berbuat dzolim

Rukun Pernikahan
1. Pengantin laki laki
2. Pengantin Perempuan
3. Wali
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan qabul

Syarat Nikah
Bagi Pengantin laki laki
Tidak dipaksa/terpaksa,Tidak dalam haji atau umrah,Islam
Bagi Pengantin Perempuan
Bukan Perempuan yang dalam iddah,Tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang
lain,Antara pasangan merupakan bukan muhrim,Tidak dalam keadaan ihram haji
atau umrah,Bukan Perempuan Musyrik

Halangan Pernikahan
Dibagi menjadi dua yaitu, halangan abadi dan halangan sementara
A. Halangan Abadi
1. Nasab (keturunan)
Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas.
2. Pembesanan karena pertalian kerabat semenda
Yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/ bapak tiri;
3. Sepersusuan
Yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan
Menurut hukum Islam, Al Quran Surat An Nisa ayat 23 dengan tegas menyatakan
larangan perkawinan sedarah.
‫َّٰل‬
‫ُح ِّر َم ْت َع َلْيُك ْم ُأَّم َٰه ُتُك ْم َو َبَن اُتُك ْم َو َأَخ َٰو ُتُك ْم َو َع َّٰم ُتُك ْم َو َٰخ َٰل ُتُك ْم َو َبَن اُت ٱَأْلِخ َو َبَن اُت ٱُأْلْخ ِت َو ُأَّم َٰه ُتُك ُم ٱ ِتٓى َأْر َض ْعَنُك ْم‬
‫َّٰل‬ ‫َّٰل‬
‫َو َأَخ َٰو ُتُك م ِّم َن ٱلَّر َٰض َعِة َو ُأَّم َٰه ُت ِنَس ٓاِئُك ْم َو َر َٰٓبِئُبُك ُم ٱ ِتى ِفى ُحُجوِر ُك م ِّم ن ِّنَس ٓاِئُك ُم ٱ ِتى َد َخ ْلُتم ِبِهَّن َف ِإن َّلْم َتُك وُن و۟ا َد َخ ْلُتم‬
‫َٰٓل‬
‫ِبِهَّن َفاَل ُجَناَح َع َلْيُك ْم َو َح ِئُل َأْبَنٓاِئُك ُم ٱَّلِذ يَن ِم ْن َأْص َٰل ِبُك ْم َو َأن َتْج َم ُعو۟ا َبْيَن ٱُأْلْخ َتْيِن ِإاَّل َم ا َقْد َس َلَف ۗ ِإَّن ٱَهَّلل َك اَن َغ ُف وًرا‬
‫َّر ِح يًم ا‬
Arab-Latin: ḥurrimat 'alaikum ummahātukum wa banatukum wa akhawātukum wa
'ammātukum wa khālātukum wa banatul-akhi wa banatul-ukhti wa
ummahātukumullātī arḍa'nakum wa akhawātukum minar-raḍā'ati wa ummahātu
nisā`ikum wa raba`ibukumullātī fī ḥujụrikum min-nisā`ikumullātī dakhaltum bihinna
fa il lam takụnụ dakhaltum bihinna fa lā junāḥa 'alaikum wa ḥalā`ilu
abnā`ikumullażīna min aṣlābikum wa an tajma'ụ bainal-ukhtaini illā mā qad salaf,
innallāha kāna gafụrar raḥīmā

Artinya: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang


perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri
yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan
bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa
lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Halangan Sementara
1. Halangan Bilangan
2. Halangan Kafir
3. Halangan sakit
4. Halangan iddah
5. Halangan perceraian tiga kali

Talak
Talak adalah istilah dalam Islam yang merujuk pada proses perceraian anatara suami
dan istri
Secara sederhana, talak dapat diartikan sebagai permohonan yang diajukan seorang
suami untuk menceraikan istrinya.
Ketentuan Pasal 66 ayat (1) UU 7/1989 menerangkan bahwa seorang suami yang
beragama islam yang akan menceraikan istrinya harus mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
Jenis Jenis Talak
1. Talak sunnah
Talak yang dilakukan sesuai ketentuan Islam. Suami menyatakan talak satu atau dua
kali dalam masa suci istrinya (Tidak sedang haid)
2. Talak Bid’ah
Talak yang tidak sesuai dengan ketentuan islam. Contohnya memberikan talak 3x
salam satu kesempatan. Dimana akan mempersulit proses rujuk
3. Talak Bain
Terjadi jika suami memberikan talak kepada istri sebanyak 3x dalam satu iddah tanpa
melakukan rujuk dan mereka tidak bisa melakukan pernikahan Kembali kecuali istri
menikah dengan orang lain.
Syarat syarat Talak
1. Niat
2. Kesaksian
3. Waktu yang suci
4. Pengetahuan dan pemahaman
5. Tidak dalam kondisi terpaksa
6. Kesaksian dan persetujuan istri

Iddah
Adalah periode tunggu atau masa penantian yang harus dijalani oleh seorang Wanita
setelah perceraian atau kematian suaminya.
Tujuan dari Iddah yaitu untuk memberikan waktu untuk menentukan status
kehamilan dan memberikan perlindungan hukum bagi wanita
Lama masa iddah
Iddah perceraian
Untuk talak satu atau dua, iddah adalah tiga bulan. Sementara talak ketiga, iddahnya
sampai selesai tiga kali siklus haid
Iddah Kematian Suami
Lama iddah bagi istri adalah empat bulan 10 hari
Iddah Wanita Hamil
Sampai melahirkan
Kewajiban suami selama masa iddah
1. Nafkah
2. Penghormatan dan kesopanan
3. Rekonsultasi (rujuk)
Rujuk
Rujuk dalam konteks perceraian dalam islam, merujuk pada Tindakan suami dan istri
yang berdamai dan memutuskan untuk hidup Bersama lagi setelah suami
memberikan talak kepada istri.
Ketentuan
1. Istri yang ingin dirujuk harus berada dalam masa iddah talak satu atau talak dua,
dan bukan dari talak ba'in
2. Ungkapan yang digunakan untuk rujuk dapat berupa ungkapan yang jelas dan
tegas (sharih) atau ungkapan sindiran (kinayah) yang disertai dengan niat.
3. Istri yang telah melewati masa iddah tidak dapat dirujuk. Rujuk dalam kasus ini
memerlukan akad nikah dan mahar baru

QS. Al-baqarah, 2 : 3 – 4
Ayat 3 :
‫ٱَّلِذ يَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِبٱْلَغْيِب َو ُيِقيُم وَن ٱلَّص َلٰو َة َوِمَّم ا َر َز ْقَٰن ُهْم ُينِفُقوَن‬
Artinya: (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat,
dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Ayat 4 :
‫َو ٱَّلِذ يَن ُيْؤ ِم ُنوَن ِبَم ٓا ُأنِز َل ِإَلْيَك َو َم ٓا ُأنِز َل ِم ن َقْبِلَك َو ِبٱْل َء اِخَر ِة ُهْم ُيوِقُنوَن‬
Artinya: Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan
kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin
akan adanya (kehidupan) akhirat.

QS. Ali-Imran,3 : 134-135


Ayat 134 :
‫ٱَّلِذ يَن ُينِفُقوَن ِفى ٱلَّسَّرٓاِء َو ٱلَّضَّرٓاِء َو ٱْلَٰك ِظِم يَن ٱْلَغْيَظ َو ٱْلَع اِفيَن َع ِن ٱلَّناِسۗ َو ٱُهَّلل ُيِح ُّب ٱْلُم ْح ِسِنيَن‬
Artinya: (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan
Ayat 135 :
‫ُّذ ُنوَب ِإاَّل ٱُهَّلل َو َلْم ُيِص ُّر و۟ا َع َلٰى‬/ ‫َو ٱَّلِذ يَن ِإَذ ا َفَع ُلو۟ا َٰف ِح َش ًة َأْو َظَلُمٓو ۟ا َأنُفَس ُهْم َذ َك ُرو۟ا ٱَهَّلل َفٱْسَتْغ َفُرو۟ا ِلُذ ُنوِبِهْم َو َم ن َيْغ ِفُر ٱل‬
‫َم ا َفَع ُلو۟ا َو ُهْم َيْع َلُم وَن‬
Arab-Latin: Wallażīna iżā fa'alụ fāḥisyatan au ẓalamū anfusahum żakarullāha
fastagfarụ liżunụbihim, wa may yagfiruż-żunụba illallāh, wa lam yuṣirrụ 'alā mā
fa'alụ wa hum ya'lamụn

Artinya: Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui.

Anda mungkin juga menyukai