- Kelompok 5 -
Anggota Kelompok
Adam Muhammad Albany
Irene Febriyanti Siswanto
Nabila Nurfitriani
Zackarya Arbil Karimy
Latar Belakang
Dalam Islam, al-Qur'an dan as-Sunnah memainkan peran penting
dalam mengatur kehidupan umat. As-Sunnah berfungsi untuk
menjelaskan, memerinci, dan mengkhususkan ajaran al-Qur'an.
Namun, pemahaman dan penerapan Sunnah sebagai sumber
hukum telah menghasilkan perdebatan antara ahl al-hadis (yang
lebih menekankan pada hadis) dan ahl al-ra'yi (yang lebih
cenderung menggunakan penalaran). Ini mengakibatkan lahirnya
berbagai aliran hukum dan ketidakpastian dalam pengambilan
keputusan hukum di berbagai daerah. Meskipun demikian, setiap
pihak mengklaim bahwa pandangan hukum mereka adalah sah dan
berasal dari Sunnah.
Rumusan Masalah
1. Apa itu As-Sunnah ?
2. Bagaimana kehujjahan As-Sunnah ?
3. Bagaimana posisi As-Sunnah atas Al-Qur’an ?
Tujuan
1. Memahami dan memaknai arti dari As-Sunnah
2. Mengetahui kehujjahan As-Sunnah dan pandangan
ulama Mazhab terhadap hadits
3. Memaknai kedudukan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an
Definisi As-Sunnah
Arti sunnah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau
suatu cara yang senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan,
apakah cara tersebut baik atau buruk. Arti tersebut bisa ditemukan
dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
َم ْن َس َّن ِفي اِإْل ْس اَل ِم ُس َنٌة َحَس َنٌة َفَلُه َأْج ُر ُه َو اْج ُر َم ْن َع ِم َل ِبَها ِم ْن َبْع ِدِه.
Artinya:
"Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam
maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya
yang mengamalkannya." (H.R. Muslim) ( Al-Khatib: 17)
Definisi As-Sunnah
Menurut Syekh Muhammad Arsyad Thalib Lubis bahwa
Sunnah secara bahasa adalah “at-Thariqah” (jalan).
Sedangkan menurut Al-Jurjani, bahwa Sunnah secara
bahasa yaitu adalah “adat” (tradisi atau kebiasaan).
Secara terminologi, pengertian sunnah bisa dilihat dari tiga
disiplin ilmu:
1. Ilmu Hadis
2. Ilmu Ushul Fiqh
3. Ilmu Fiqih
Kehujjahan As-Sunnah
Para ulama sepakat bahwa hadis sahih merupakan sumber
hukum dalam Islam, tetapi mereka memiliki perbedaan dalam
menilai kesahihan suatu hadis.
Kebanyakan ulama hadis membagi hadis berdasarkan sanad
menjadi mutawatir dan ahad, dengan ahad terbagi menjadi tiga
jenis: masyhur, aziz, dan gharib. Namun, menurut Hanafiyah, hadis
hanya dibagi menjadi tiga jenis: mutawatir, mashyur, dan ahad.
Semua ulama sepakat bahwa hadis mutawatir memiliki
otoritas yang tinggi, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menilai
hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang,
atau jamaah, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir.
Kehujjahan Hadis Ahad
Para ulama sepakat bahwa hadis ahad dianggap sah jika dapat
dipastikan bahwa berasal dari Rasulullah SAW. serta telah disepakati
oleh para sahabat, tabi'in, dan para ulama setelahnya, kecuali
kelompok Mutazilah.
Kelompok yang tidak menerima hadis ahad, seperti Mutazilah,
berargumen bahwa para sahabat juga tidak menerimanya sebagai
sumber hukum.
Namun, dalam praktiknya, para ulama dari berbagai kelompok
menggunakan hadis ahad dalam menentukan hukum dan fatwa,
dan bahkan membatalkan hukum yang bertentangan dengan hadis
ahad. Mereka yang mungkin hanya sebagian mengamalkannya
tidak dapat mengklaim penolakan sepenuhnya. Alasan utama
mereka tidak menerima hadis ahad adalah karena kehati-hatian,
agar tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah. Contohnya
adalah Abu Bakar yang akhirnya menerima hadis dari Mugirah
setelah diperkuat oleh saksi, Muhammad bin Musallamah.
Persyaratan Hadis Ahad yang
Disepakati Para Imam Madzhab
Para Imam Madzhab telah sepakat tentang keharusan
mengamal kan hadis ahad dengan syarat berikut:
1. Perawi hadis sudah mencapai usia balig dan berakal.
2. Perawi harus muslim.
3. Hadis tersebut benar-benar dari Rasulullah.
4. Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang
diriwayatkannya.
Persyaratan di atas disepakati oleh para Imam madzhab,
namun di antara para Imam madzhab ada yang
memberikan persyaratan- persyaratan tambahan lainnya.
Madzhab Imam Hanafi
Menurut ulama Hanafiyah, hadis ahad dapat diterima apabila menuhi
tiga persyaratan lain, yaitu :
1. Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu. Berdasarkan hal ini,
ulama Hanafiyah tidak membasuh bejan yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali
seperti yang ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairah yang berbunyi:
طهور ِاَناِء َأَحِد ُك ْم ِإَذ ا َو َلَغ ِفيِه اْلَك ْلُب َأْن َيْغ ِس َل ِبَس ْبع َم َّراٍت َأْو اَل ُهَّن ِبالُّتَر اِب
Artinya:
"Sucinya wadah salah satu di antara kamu jika dijilat anjing, dengan
mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.” Mereka membasuhnya
sebanyak tiga kali sebab Abu Hurairah (perawi) sendiri hanya membasuhnya
tiga kali, sedangkan jumhur tetap membasuhnya sebanyak tujuh kali.
Madzhab Imam Hanafi
2. Riwayat itu (kandungan hadis) bukan hal yang umum terjadi dan
layak diketahui oleh setiap orang, seperti menyentuh kemaluan
karena hal yang demikian diketahui dan diriwayatkan oleh orang
banyak. Dengan demikian, hadis mengenai hal tersebut
dipandang swaz (ganjil). Oleh sebab itu, menurut ulama
Hanafiyah menyentuh kemaluan (zakar) tidak membatalkan
wudhu. Selain itu. mengeraskan membaca bismillah pada surat
Al-Fatihah ketika shalat dan mengangkat tangan ketika ruku'
dalam shalat tidak diharuskan.
3. Riwayat hadis itu tidak menyalahi giyas selama perawinya tidak
faqih.
Madzhab Imam Maliki
Malikiah menerima hadis ahad selama tidak
bertentangan dengan amalan ulama Madinah. Menurut
Imam Malik, amalan ulama Madinah dianggap sebagai
riwayat dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Imam Malik
mengutamakan riwayat jamaah dari jamaah daripada
riwayat satu orang dari satu orang (hadis ahad). Karena
itulah, mereka tidak menerima khiyar majlis, karena ini
bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di Madinah.
Madzhab Imam Syafi’i
Dalam menerima hadis ahad, Madzhab Asy-Syafi'i mengharuskan
empat syarat:
1. Perawinya tsiqat dan terkenal shidiq.
2. Perawinya cerdik dan memahami isi hadis yang mereka
riwayatkan.
3. Periwayatannya dengan riwayat bi al-lafzi, bukan riwayat bi al-
makna.
4. Periwayatannya tidak menyalahi hadis ahl al-Ilmi (Al-Amidi, I 1968
: 178).
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad menerima hadis ahad tanpa
mensyaratkan apapun, kecuali sahihnya sanad, mirip dengan
pendekatan Asy-Syafi'i. Selain itu, mereka juga menerima hadis
mursal. Namun, mereka cenderung lebih memprioritaskan fatwa
sahabat daripada mengandalkan hadis da’if (Ibnu Qadamah, I : 281,
dan Ibnu Qayyim, I : 30).
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dan
Kedudukan Hadis dengan Qiyas
Perbedaan pendapat mengenai hadis ahad disebabkan oleh
perbedaan dalam menetapkan persyaratan perawi hadis. Ada
kesepakatan dan perbedaan di kalangan ulama tentang persyaratan
yang harus dipenuhi oleh seorang perawi agar riwayatnya dapat
diterima. Salah satu persyaratan yang menjadi perdebatan di antara
ulama adalah ma'ruf dan majhul perawi.
Ma'ruf perawi terbagi menjadi dua: pertama, mereka yang ahli
dalam bidang fiqih; kedua, mereka yang bukan ahli dalam bidang
fiqih. Hadis riwayat pertama dijadikan hujjah dan diutamakan jika
bertentangan dengan qiyas, kecuali menurut Imam Malik yang lebih
mengutamakan qiyas daripada hadis ahad. Hadis riwayat kedua
(yang bukan faqih) biasanya tetap diterima oleh jumhur ulama, baik
sesuai dengan qiyas atau tidak. Namun, Hanafiyah dan Malikiyah
tidak menerima hadis riwayat kedua. (Al-Bukhari, I : 377).
Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dan
Kedudukan Hadis dengan Qiyas
Abu Hasan Al-Basari menjelaskan bahwa dalam konteks hadis ahad yang
bertentangan dengan qiyas, jika illat yang ada dalam qiyas tersebut mansusah (diperkuat)
oleh nash qath'i, maka para ulama sepakat bahwa qiyas tersebut harus dijalankan karena
nash qath'i menguatkan hukum yang terkandung dalam illat tersebut. Namun, jika illat
tersebut diperkuat dengan nash zhanni, maka para ulama juga sepakat bahwa hadis ahad
harus dijadikan pedoman, karena hadis tersebut secara tegas (sarih) menunjukkan suatu
hukum yang berlaku (Al-Basari, II, 1983 : 263).
Menurut jumhur ulama hadis, seperti Asy-Syafi'i dan Al-Karakhi, kefaqihan seorang
perawi bukanlah syarat utama untuk mengutamakan sebuah hadis dalam qiyas. Dalam
konteks perawi majhul, apabila diriwayatkan oleh ulama salaf yang menguatkan kesahihan
hadisnya, maka perawi tersebut dianggap sebagai perawi yang ma'ruf dan hadisnya dapat
diterima. Sebaliknya, jika tidak ada dukungan dari ulama salaf, maka hadis dari perawi
tersebut dianggap tidak dapat diterima.
Posisi As-Sunnah atas Al-Qur’an
َو َأنَز ْلَنا ِإَلْيَك الِّذ ْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِز َل إَلْيِهْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُروَن
(٤٤ : )النحل
Fusce vitae sagittis dolor. Sed magna dolor, molestie vel libero id,
tempus malesuada tortor. Duis ullamcorper lacus sed est ultricies,
at imperdiet orci scelerisque.
Item Item
5 1
20% 20%
Bagan Item
4
20%
Item
2
20%
3 dari 6 5 dari 6
Uraikan secara singkat hal Uraikan secara singkat hal
yang ingin Anda bahas. yang ingin Anda bahas.
Kesimpulan
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur
adipiscing elit. Praesent rutrum maximus mauris
sed sodales. Ut rhoncus lacinia nisi eu tempus.
Proin justo eros, mollis laoreet massa non,
tincidunt pharetra leo. Cras facilisis leo non nibh
congue volutpat.
Saran
Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur
adipiscing elit. Praesent rutrum maximus mauris
sed sodales. Ut rhoncus lacinia nisi eu tempus.
Proin justo eros, mollis laoreet massa non,
tincidunt pharetra leo. Cras facilisis leo non nibh
congue volutpat.
- Terima Kasih -