Anda di halaman 1dari 6

A.

Pengertia Sumber Fikih

Sumber fiqh adalah landasan yang digunakan untuk memperoleh


hukum fiqh. Ulama fiqh membagi dua macam sumber fiqh, yaitu sumber
yang disepakati dan sumber yang diperselisihkan.

Sumber yang disepakati atau dalam istilah Mustafa Ahmad az-


Zarqa disebut dengan al-Masadir al-Asasiyyah adalah Al-Qur'an dan
sunnah Rasulullah SAW. Tetapi menurut jumhur ulama fiqh sumber
tersebut ada empat, yaitu Al-Qur'an, Sunnah Nabi SAW, Ijma', dan Qiyas.

Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau
yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba'iyyah (sumber selain Al-
Qur'an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab,
Urf, Sadd az-Zari'ah, Mazhab Sahabi, dan Syar'u Man Qablana. Bagi
ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri
dari AlQur'an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma', Qiyas dan yang termasuk
al-Masadir at-Taba'iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode
untuk memperoleh hukum syara' melalui ijtihad. Alasannya, metode-
metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak
dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur'an dan atau
sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut
yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama usul fiqh.
Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan
sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi'i
menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa
hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-
Taba'iyyah tersebut.
B. Sumber-sumber Ilmu Fikih
1. Al-Qur'an

Secara bahasa (etimologi), al-Quran berasal dari bahasa arab yaitu


qur’an, dimana kata “qur’an” sendiri merupakan akar kata dari – ‫قرأ – يقرأ‬
‫ قرآنا‬. Kata ‫ قرآنا‬secara bahasa berarti bacaan karena seluruh isi dalam al-
Quran adalah ayat-ayat firman allah dalam bentuk bacaan yang berbahasa
arab. Sedangkan pengertian al-Quran menurut istilah (terminologi) ialah
firman Allah yang berbentuk mukjizat, diturunkan kepada nabi terakhir,
melalui malaikat jibril yang tertulis dalam di dalam mushahif, yang
diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir, merupakan ibadah bila
membacanya, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
an-Naas.

2. As_Sunnah

Secara etimologis Sunnah berarti “jalan yang dilalui” atau “cara


yang senantiasa dilakukan”. Sedangkan secara syara’ adalah “sesuatu yang
datang dari Rasulullah, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun
pengakuan”.

Secara terminologi, Sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu, yaitu
dari ilmu hadits, ilmu fiqh dan ushul fiqh. Menurut ahli hadis, Sunnah
identik dengan hadits. Sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah “segala
yang diriwayatkan dari Nabi SAW, berupa perkataaan, perbuatan dan
ketetapan yang berkaitan dengan hukum.

Sunnah menurut ahli fiqh, disamping pengertian yang


dikemukakan para ulama ushul fiqh diatas, juga dimaksudkan sebagai
salah satu hukum taklifi, yang mengandung pengertian “perbuatan yang
apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

Berdasarkan definisi diatas, para ahli ushul fiqh membagi Sunnah


sebanyak tiga macam :
1. Sunnah Fi’liyyah (perbuatan), yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi
SAW yang dilihat atau diketahui dan disampaikan kepada orang lain.
Misalnya, tata cara shalat yang ditunjukkan Rasulullah SAW, kemudian
disampaikan sahabat yang melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.

2. Sunnah Qauliyyah (ucapan), yaitu ucapan Nabi SAW yang didengar


dan disampaikan seseorang atau bebebrapa sahabat kepada orang lain,
misalnya sabda Rasulullah yang diriwayatkan Abu Hurairah : Tidak sah
shalat yang tidak membaca surat al-Fatihah (H.R Bukhari dan Muslim).

3. Sunnah Taqririyah (ketetapan) ialah : sesuatu yang timbul dari sahabat


yang telah diakui 7 oleh Rasulullah SAW, baik berupa ucapan maupun
perbuatan. Pengakuan tersebut adakalanya dengan sikap diamnya dan
tidak adanya keingkaran beliau, atau dengan adanya persetujuan dan
pernyataan penialaian baik terhadap sikap ini.

a. Pembagian As-Sunnah berdasarkan sanat

As-Sunnah ditinjau dari perawi-perawinya dari Rasulullah SAW,


dibagi tiga macam, yaitu:

1. Sunnah Mutawatirah, sunnah yang diriwayatkan oleh sekelompok


orang (rawi) yang biasanya rawi-rawi itu tidak mungkin mengadakan
sekutu untuk melakukan kebohongan. Hal tersebut karena jumlah mereka
banyak, jujur dan berbeda lingkungannya. Kemudian dari mereka
diceritakan kepada orang lain hingga sunnah tersebut bisa sampai kepada
kita dengan sanad kelompok rawi dari masing-masing tingkatan yang tidak
pernah melakukan persekongkolan melakukan bohong sejak diterimanya
dari Rasulullah.

2. Sunnah Masyhurah, Sunnah yang diriwayatkan dari rasulullah SAW


oleh seorang atau dua orang atau kelompok sahabat yang tidak mempunyai
derajat atau tingkatan tawatur. Kemudian, beberapa rawi atau sekelompok
dari kelompok-kelompok yang tawatur itu meriwayatkan hadits tersebut
dari seorang rawi atau beberapa rawi. Dari kelompok ini, diriwayatkan
oleh kelompok lain yang sepadan hingga kepada kita sanad bahwa
kelompok pertama mendengar dari perkataan Rasulullah atau melihat
perbuatan Rasulullah oleh seorang atau dua orang. Namun kelompok ini
belum mencapai derajat matawatir, walaupun kelompok-kelompok itu
sudah mencapai tingkat tawatur.

3. Sunnah Ahad, Sunnah yang diriwayatkan oleh kelompok yang tidak


sampai kepada derajat tawatur, atau yang diriwayatkan oleh seorang atau
dua orang atau kelompok orang yang tidak mencapai derajat tawatur.

b. Qath’i dan Zhanni-nya As-Sunnah

Seperti halnya al-Qur’an, hadis pun demikian terdapat hadis yang


qath’i dan zhanni. Sedangkan ukuran ke qath’i dan ke zhannia tidak
ditinjau dari lafadznya melainkan dari sanad hadis tersebut.

Dari segi kedatangannya, maka sunnah mutawatiran merupakan


sunnah yang pasti kedatangannya dari Rasulullah SAW. Karena
kemutawatiran periwayatan menunjukkan 8 kepastian mengenai kebenaran
beritanya. Sedangkan sunnah masyhurah merupakan sunnah yang pasti
datangnya dari shahabi atau sahabat yang menerimanya dari Rasulullah
SAW. Akan tetapi sunnah ini tidak pasti datang dari Rasulullah SAW,
karena orang yang pertama kali menerimanya dari beliau bukanlah
kelompok perawi mutawatir. Oleh karena inilah, maka ulama hanafiyyah
menjadikan sunnah masyhurah ini dalam hukum sunnah mutawatir. Jadi ia
dapat mentakhsiskan keumuman al-Qur’an, membatasi kemutlakannya,
karena sunnah ini dipastikan kedatangannya dari sahabat.

Sunnah ahad adalah sunnah zhannniyah datangnya dari Rasulullah,


karena tidak menunjukkan kepastian di dalam sanadnya. Adapun dari segi
dalalahnya (pengertiannya), maka setiap maka setiap sunnah dari beberapa
bagian ini, maka kadangkala ada yang dalalahnya qath’i apabila nashnya
tidak memungkinkan pentakwilan, dan ada kalanya dalalahnya zhanni
apabila nashnya mengandung kemungkinan akwil.

3. Ijma’

Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama,


berupaya (tekad) terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-


sekutumu”. (Qs.10:71)

Pengertian kedua, berarti kesepakatan.

Sebagaimana firman Allah SWT:

“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya


ke dasar sumur (lalu mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah
ada di dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf, “sesungguhnya kamu
akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka
tiada ingat lagi.” (QS. Yusuf:15)

Adapun perbedaan kedua arti diatas adalah: yang pertama bisa


dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya
bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang
bersepakat dengan dirinya. Menurut istilah ijma', ialah kesepakatan
mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah
Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang
pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang
ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas
kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah
pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui
pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin
menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.

Anda mungkin juga menyukai