Anda di halaman 1dari 27

BAB VIII

SUNNAH
A. Sunnah
1. Pengertian Sunnah.
Al-Sunnah menurut bahasa berarti jalan hidup yang dijalani atau yang dibiasakan,
baik jalan hidup itu baik atau buruk, terpuji atau tercela. Pengertian serupa ini sejalan
dengan bunyi Hadits Nabi yang artinya : “ Barang siapa membuat sunnah yang terpuji,
maka baginya pahala sunnah itu dan orang lain yang mengamalkanya, dan barang siapa
menciptakan sunnah yang buruk, maka ia mendapat dosa sunnah buruk itu dan dosa
orang yang mengamalkanya sampai hari kiamat” (HR. Muslim, dalam Mushthafa al-
Siba’i)
Juga sebuah Hadits yang Artinya : “ semua pasti akan mengikuti sunnah-sunnah
orang orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta. (HR.
Bukhari dan Muslim)

Pengertian sunnah menurut istilah antara lain dikemukakan oleh ahli hadits, ahli ushul
fiqh dan para ahli fiqh.
Sunnah dalam pengertian para ahli hadits ialah sesuatu yang didapatkan dari Nabi
Saw yang terdiri dari ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat fisik atau budi, atau biografi,
baik pada masa sebelum kenabian atau sesudahnya, Sunnah menurut pengertian ini
sinonim dengan hadits menurut pendapat sebagian mereka. (Shalih, 1991 : 1)

Menurut istilah para ahli pokok agama (al-ushuliyyun), sunnah ialah sesuatu sesuatu
yang diambil dari Nabi Saw, yang terdiri dari sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau.
Ulama Ushul al-Fiqh, mengatakan, Sunnah ialah segala sesuatu yang berasal dari
Nabi Saw, selain Alqur’an, baik ucapan, perbuatan, maupun taqrir yang layak dijadikan
dalil bagi hukum syara’ (Atar,1981 : 20 )

Sunnah menurut para ahli fiqh, ialah suatu hukum yang jelas berasal dari Nabi Saw
yang tidak termasuk fardhu ataupun wajib, dan sunnah itu ada bersama wajib dan lain-lain
dalam hukum yang lima.
153
Selain kata sunnah, terdapat pula kata-kata hadits, khabar, dan atsar. Pada umumnya
para ulama memandang bahwa hadits, Sunnah, khabar, dan atsar mempunyai pengertian
yang sama, yaitu perkataan-perkataan Rasul, perbuatan-perbuatan dan ketetapanya,
bahkan bukan yang dating dari Rasul saja, juga dari sahabat dan tabi’in. Akan tetapi, ada
yang mengatakan bahwa pada hakekatnya sunnah dan hadits itu berbeda. Hadits ialah
segala pristiwa yang disandarkan kepada Nabi, walaupun hanya sekali terjadi sepanjang
hidupnya, dan walaupun diriwayatkan oleh seorang saja.
Sedangkan sunnah ialah nama bagi amaliah (perbuatan) Rasul yang mutawatir, yakni
cara Rasulullah melaksanakan suatu ibadah yang dinukilkan kepada kita dengan amaliah
yang mutawatir pula.

B. Macam-macam Sunnah
Para Ulama membagi sunnah menjadi empat macam yaitu :
1. Sunnah Qauliyah.
Sunnah Qauliyah yaitu, perkataan atau sabda Nabi Saw, yang di dalamnya
menerangkan hukum-hukum agama dan maksud Alqur’an, yang berisi peradaban,
hikmah, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Sunnah qauliyah ini dinami juga khabar, hadits
Nabi,atau Sunnah.

Sunnah qauliyah dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :

a. Sunnah qauliyah yang sudah jelas dan pasti benarnya dari Allah melalui Rasul-Nya
serta diriwayatkan secara mutawatir.
b. Sunnah qauliyah atau ( khabar ) yang diragukan kebenaranya atau kesalahnya, karena
tidak dapat ditentukan mana yang kuat apakah itu benar atau salah, sebab ada kalanya
kuat benarnya tetapi tidak dapat dipastikan, seperti berita dari orang yang adil dan
jujur yang belum diyakini keadilan ndan kejujuranya, serta ada kalanya
kebohonganya lebih kuat dari pada benarnya, seperti bertita dari orang fasik atau
munafik.
c. Sunnah Qauliyah yang dianggap tidak benar sama sekali, dengan siri-ciri sebagai
berikut :

154
1) Yang tidak dapat diterima oleh akal, seperti berita tentang bersatunya antara
hidup dan mati.
2) Berita tentang adanya orang yang mengaku jadi Nabi terakhir setelah Nabi
Muhammad saw, atau adanya mu’juzat dan menerima wahyu bagi seseorang.
3) Khabar ahad atau yang menyalahi atau bertentangan dengan khabar mutawatir.
4) Khabar yang bertentangan dengan yang diketahui kebenaranya oleh akal pikiran
orang bnayak, sedangkan orang lain tidak memberitakanya.

Jika ditinjau dari segi banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan khabar
hadits ) dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Khabar ( hadits ) Mutawatir yaitu :

Artinya : “Hadits ( Khabar ) yang diriwayatkan segolongan besar tidak terhitung


jumlahnya dan tidak pula dipahamkan bahwa mereka telah sepakat berdusta,
keadaan itu hingga sampai kepada akhirnya”.

Khabar ( hadits ) mutawatir ini pasti shahihnya dan derajatnya pun sama
dengan Alquran, oleh sebab itu orang yang mengingkari adanya khabar yang pasti
benarnya ( mutawatir ) sama dengan mengingkari pengetahuan yang pasti.
Sesuatu khabar bisa dikatakan mutawatir jika memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1) Terdapatnya kepuasan yang pasti dari orang yang menerimanya dan orang yang
meriwayatnya sama banyaknya mulai dari awal sampai akhir.
2) Mereka yang pertama kali meriwayatkan khabar itu harus benar-benar
mengetahui dengan penglihatan dan pendengaran sendiri.

155
3) Setiap masa periwayatan harus berada dalam bilangan yang syah menurut
pandangan adat dan dianggap tidak mungkin berbuat dusta serta mau tidak mau
pasti dapat diterima walaupun jumlahnya tidak terbatas.

Khabar mutawatir dibagi dua yaitu :


(1) Mutawatir Lafdzi, yaitu hadits yang bunyi lafadz dan maksudnya sama atau
hamper sama serta diriwayatkan oleh orang banyak dan sedikit sekali
terjadi perselisihan tentang kemutawatirannya,contoh :

Artinya : “Hati-hatilah kamu sekalian dalam menerima hadits dariku


kecuali terhadap yang telah diketahui datangnya dariku, siapa yang
berdusta atas (namaku) dengan disengaja maka bersiaplah ia untuk
mengambil tempat duduknya di neraka.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh seratus sampai dau ratus orang sahabat
Rasul yang lafadznya agak berbeda tetapi maknanya sama seperti yang
terdapat dalam hadits Al-Hakim yang berbunyi.

Artinya : “ Barangsiapa berkata atas namaku tentang sesuatu yang belum


pernah ku katakana maka hendaklah besiap-siap untuk mengambil tempat
duduknya di neraka.”

Sedangkan menurut riwayat Ibnu Majah berbunyi :

Artinya :“Barangsiapa yang mengadakan perkataan dengan


mengatasnamakan aku kepada sesuatu yang belum pernah ku katakana
maka bersiaplah ia untuk mengambil tempat duduknya di neraka.”

156
(2) Mutawatir Ma’nawy yaitu hadits yang di dalam kata/lafadznya bermacam-
macam bunyinya tetapi semua periwayatannya hadits itu dapat diambil suatu
kesimpulan makna atau pengertian yang bersifat umum. Contoh : hadits
yang meriwayatkan tentang shalat maghrib, hadits tersebut diriwayatkan
dalam berbagai pristiwa, ada yang menyatakan ketika di Mekah, di
Madinah, di perjalanan, dan yang lainya. Hadits tersebut walaupun
periwayatnya berbeda-beda tetapi maknanya sama menerangkan tentang
banyaknya rakaat pada shalat maghrib.
Begitu juga tentang hadits yang menerangkan tentang Nabi mengangkat
tangan ketika berdoa, para sahabat meriwayatkan dengan berbagai peristiwa,
tetapi maknanya hanya tentang mengangkat tangan ketika berdoa, seperti
salah satu hadits

Artinya : “Rasulullah itu mengangkat tangan ketika berdoa hingga sejajar


dengan pundaknya”

b. Khabar (Hadits) Ahad


Hadits ahad disebut juga hadits Khashshas yaitu :

Artinya :“Segala khabar yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang
atau lebih tetapi tidak cukup terdapat padanya sebab yang menjadikannya
masyhur.”

Kita boleh beramal dengan hadits-hadits ahad dengan syarat :


1) Islam yaitu orang yang meriwayatkannya harus orang Islam
2) Dewasa yaitu orang yang meriwayatkannya harus orang dewasa
3) Teliti yaitu teliti dalam catatan dan ingatan
4) Adil yaitu ketika meriwayatkannya harus bersikap adil

157
Ditinjau dari banyak sedikitnya yang meriwayatkan dapat dibagi menjadi tiga
bagian yaitu :

a) Hadits Masyhur yaitu

Artinya :“Hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua
dari orang seorang atau beberapa orang saja sesudah itu barulah tersebar luas
dinukilkan oleh segolongan orang yang dapat disangka bahwa mereka sepakat
untuk berdusta.”
Contoh :

Artinya : “Tidak boleh diwasiatkan bagi orang yang mengambil pusaka.” (H.R.
Daraqutmi dan Zabir)
Contoh lain :

Artinya :“Sesungguhnya amalan itu mengikuti niatnya.” (H.R.Bukhari dan


Muslim)

b) Hadits Aziz yaitu

Artinya :“Hadits yang diterima oleh dua orang saja walaupun pada satu tempat
atau pada suatu tingkat yang terdiri atas dua orang saja kemudian setelah itu
orang pada banyak meriwayatkannya.”
Contoh :

158
Artinya :“ Belum dikatakan iman seseorang di antara kamu sehingga aku lebih
dicintai oelhnya daripada mencintai orang tuanya, anaknya dan manusia
semuanya.”

Hadits tersebut diterima dari Anas dan diriwayatkan oleh Bukhari dan
Muslim yang diterima dari Ismail Alaiyah dan Adl-Waris tetapi seterusnya
diriwayatkan oleh orang banyak.
c) Hadits Gharib, ialah hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang saja, contoh :

“Rasulullah melarang menjual hak pertuanan dan memberikanya”.


Hadits itu hanya diriwayatkan oleh satu orang saja yaitu Abdullah bin Umar.

Urutan Hadits Ahad


Para muhaddisin memberikan urutan hadits ahad berdasarkan jumlah perawinya
yang dibagi kepada tiga bagian yaitu :
1. Hadits Shahih yaitu :

Artinya :“Hadits yang bersambung-sambung sanadnya yang diriwayatkan oleh


orang yang adil dan kuat ingatanya dari yang semisalnya dan tidak ada keganjilan
serta cacat yang memburuknya”.

Dimaksud dengan “keganjilan” yaitu: riwayatnya menyalahin orang banyak


yang dipercaya, sedangkan dimaksud dengan “cacat” yaitu, sebab-sebab yang tidak
kelihatan yang dapat mencacatkan hadits, seperti tidak kuat ingatanya.
Contoh :

159
Artinya : “tidak syah shalatnya bagi orang yang tidak membaca fatihah” ( H.R.
Bukhari).

Jadi hadits shahih ini bisa dikatakan shahih jika memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Sanadnya bersambung.
b. Yang meriwayatkannya adil, kuat ingatanya dan tidak suka berbuat ganjil.
c. Orang dan haditsnya tidak cacat yang membahayakan.
d. Tidak dibenci oleh ahli hadits.
2. Hadits Hasan, yaitu :

“Hadits yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh orang-orang yang


tidak terdapat derajat kepercayaan yang sempurna”.

Hadits hasan ini derajatnya di bawah hadits shahih dan jika ada hadits yang
bertentangan antara hadits shahih dengan hadits hasan, maka yang harus
didahulukan diambil adalah hadits shahih.
Contoh hadits hasan :

“Takutlah kepada Allah walau di manapun engkau berada” ( H.R. Tarmizi )

3. Hadits Dha’if yaitu :

Artinya :“Hadits yang tidak terkumpulnya syarat shahih dan tidak pula padanya
ada syarat hasan”.

Mengeni pemakaian hadits dhaif para ulama membagi kepada tiga macam yaitu
a) Menurut Imam Bukhari tidak boleh diamalkan dalam masalah hukum dengan
alasan bahwa hadits dha’if bukan sunnah yang benar.
160
b) Menurut Imam Ahmad boleh diamalkan untuk menerangkan fadhilah amal.
c) Menurut Imam Abu Daud boleh digunakan kalau dalam soal yang
diperbincangkan tidak terdapat hadits shahih dan hasan.

Hadits ini bertingkat-tingkat keadaanya dan seburuk-buruk hadits dha’if ialah


hadits maudlu’ yaitu hadits yang semata-mata palsu yang susunanya
dibangsakan kepada Nabi, seperti :

“Anak hasil zina tidak akan masuk surga sampai tuju turunan”
Hadits maudlu’ di atas bertentangan dengan Al-Qur’an yang bunyinya sebagai
berikut :
     
“Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain” ( Al-An’am
Ayat : 164

2. Sunnah Fi’liyah

Sunnah fi’liyah yaitu perbuatan Nabi yang berdasarkan tuntunan rabbany untuk
ditiru dan diteladani yang kemudian di nukilkan oleh para sahabat.
Sunnah fi’liyah ini bermacam-macam namun secara umum terbagi dalam enam macam
yaitu :
a. Perbuatan yang bisa menerangkan hukum, seperti shalat, haji, adab-adab berpuasa,
memutuskan perkara berdasarkan saksi atau sumpah.
Untuk meneladani dalam soal shalat nabi bersabda :

Artinya :“Shalatlah kamu sekalian sebagaimana aku shalat” ( H.R. Bukhari Muslim,
dari Malik).
Dalam urusan haji Nabi bersabda :

161
Artinya : “Ambillah dari padaku cara-cara mengerjakan haji” ( H.R. Muslim dari
Jabir ).

Perbuatan Nabi di atas sifatnya menjelaskan terhadap isi Alqur’an yang belum
jelas ( mujmal ) atau garis besar. Maka hukum perbuatan tersebut sama dengan
hukum yang di jelaskan di dalam Alqur’an.

b. Perbuatan Nabi yang hanya menunjukan kebolehan, yang di pandang mencukupi jika
diperbuat salah satunya, seperti berwudhu dengan satu kali, dua kali, atau tiga kali
basuhan.
c. Perbuatan khusus untuk Nabi sendiri, perbuatan ini tidak boleh ditiru oleh umatnya,
seperti nikah tampa maskawin, beristri lebih dari empat, menyambungkan puasa
dengan tidak diselang buka pada waktu maghribnya, dan sebagainya.
d. Pekerjaan yang dikenakan pada orang lain sebagai hukuman, seperti mengusahakan
milik orang lain. Di sini perlu diketahui sebab musabab, jika terjadi dalam urusan
dakwa mendakwa, maka keputusan bisa dijadikan dasar hukum, begitu juga kalau
hanya berisi pepatah.
e. Pekerjaan yang bersifat gerakan Nabi yang dalam, dan gerakan ini tidak ada
hubungannya dengan suruhan, larangan, atau teladan, seperti bernafas, duduk,
berjalan, dan sebagainya.
f. Perbuatan yang bersifat kebiasaan Nabi, perbuatan inipun tidak ada hubungannya
dengan hukum kecuali kalau ada anjuran untuk mengikutinya, seperti cara-cara
makan, dan sebagainya.( Siswanto,1989 : 90)

3. Sunnah Taqririyah.
Sunnah taqririyah yaitu, pengakuan Nabi dengan tidak mengingkari sesuatu yang
diperbuat oleh seorang sahabat (orang tunduk dan mengikuti syara’) ketika di
hadapan Nabi atau di beritakan kepada beliau, lalu Nabi sendiri tidak menyanggah,
tidak menyalahkan atau juga tidak menunjukkan bahwa beliau meridhoinya.
Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama dengan perkataan
dan perbuatan Nabi saw, sendiri. Yaitu dapat menjadi hujjah. Contoh :
162
a. Ketika shahabat shalat ashar di Bani Quraidhah Nabi bersabda :

Artinya :“janganlah kamu bershalat ashar, melainkan di Bani Quraidhah”.

b. Ada shahabat yang tidak shalat ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani
Quraidhah.
c. Sebahagian lagi memahamkan hadits itu dengan mengharuskan segera shalat
ashar, agar setelah shalat ashar segera sampai di bani Quraidhah.
Setelah perbuatan para sahabat itu sampai kepada Nabi, nabi berdiam diri,
dan tidak berkata apa-apa. Adapun contoh takrir yang lainya adalah :
1) Menggunakan uang yang dibikin orang kafir.
2) Memakan buah-buahan/tanaman yang diinjak-injak binatang.
3) Orang-orang perempuan yang keluar rumah.
4) Menggunakan harta yang diusahakan dengan jalan salah ketika masih kafir.
5) Orang buta melakukan jual beli.
6) Berzikir dengan suara keras ketika selesai shalat.
7) Memakan daging Dhab (daging biawak) dan masih banyak lagi.

4. Sunnah Hammiah.
Sunnah hammiyah, yaitu sesuatu yang dikehendaki Nabi lalu disampaikan
kepada para shahabat sehingga shahabat itu mengetahui, tetapi belum sampai diperbuat
Nabi.
Menurut Imam As-Syaukany sunnah hammiah itu tidak termasuk sunnah, sebab
hanya berupa goresan dan lintasan hati yang tidak perna dilaksanakan dan tidak
diperintahkan untuk menauladani sunnah hammiah, lain dengan pendapat Imam Syafi’I
yang mengatakan bahwa hammiah termasuk sunnah, walaupun merupakan lintasan hati
Nabi, seandainya ada waktu pasti Nabi sendiri akan melaksanakannya menjadi sunnah
bagi kita.
Karena itu sunnah hammiah tetap menjadi sunnah bagi kita dan baik untuk
dilaksanakan, sepertri :
163
“Nabi menghendaki puasa pada tanggal 9 Muharram dengan sabdanya : “ Insya Allah
tahun depan saya akan memuasai hari yang kesimbilanya (H.R.Muslim dan Abu Daud).
Namun cita-cita Nabi tersebut tidak sempat dikerjakannya sebab sebelum sampai
tanggal tersebut Nabi wafat. ( Siswanto,1998 : 91)

C. Kedudukan Sunnah Dalam Syariat Islam.

Ummat Islam sepakat bahwa apa saja yang datang dari Rasulullah Saw, baik
ucapan, perbuatan, atau taqrir yang sampai kepada kita dengan jalan Mutawatir dan
Ahad dengan sanad yang shahih, maka wajib bagi kita untuk menerimanya dan
mengamalkannya. Pemberian istilah Mutawatir dan Ahad adalah untuk menunjukkan
nilai sanadnya, bukan untuk membolehkan kita menimbang-nimbang dalam menerima
dan menolak dalil-dalil tersebut.

As-Sunnah yang qath'iy dan zhanni adalah sebagai hujjah bila sanadnya shahih,
karena As-Sunnah sebagai sumber pembentukan hukum Islam yang oleh para ulama
dan mujtahidin dijadikan sebagai rujukan istinbath dalam hukum syariat. Dengan kata
lain, hukum-hukum yang ada pada As-Sunnah adalah merupakan hukum-hukum
yang ada dalam Alqur-an, yang fungsinya sebagai hukum dan perundang-undangan
yang harus ditaati.

Dalil-dalil Untuk Mengikuti Sunnah


Dalam Alqur-an banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh kita taat kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berhukum kepadanya, antara lain:
         
      
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah engkau mendahului Allah dan
Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar

lagi Maha Mengetahui.” [Al-Hujurat: Ayat.1

164
          
 
Artinya :“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’ [Ali ‘Imran: 32
           
         

Artinya : “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja
bencana yang menimpamu, maka dari dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi
Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [An-Nisaa':
79]
        
      
Artinya : ”Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalknlah, dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah sangat keras hukum-Nya” (Al-Hasayr : 7)

Dalil Hadits yang Memerintahkan kita Mengikuti Sunnah


Begitu pula halnya dalam hadits-hadits Nabi Saw, banyak kita temui perintah yang
mewajibkan untuk mengikuti Nabi Saw dalam segala perkara, di antaranya ialah:

‫ ُك ُّل ُأَّمِتي‬: ‫َع ْن َأِبي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َع ْن ُه َأَّن َر ُس ْو َل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم َق اَل‬
‫ َم ْن َأَط اَع ِني َد َخ َل‬: ‫ َي ا َر ُس ْو َل ِهللا َو َم ْن َي ْأَبى؟ َق اَل‬:‫ َقاُلْو ا‬،‫َيْد ُخ ُلْو َن اْلَج َّنَة ِإَّال َم ْن َأَبى‬
‫ َو َم ْن َع َص اِني َفَقْد َأَبى‬،‫اْلجَّنَة‬ .

Artinya :”Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Saw


bersabda, “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka
(para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barangsiapa
yang mentaatiku pasti masuk Surga, dan barangsiapa yang mendurhakaiku, maka
sungguh ia telah enggan.( H.R. Bukhari )

165
‫ َال ُأْلِفَيَّن‬: ‫ َق اَل َر ُس ْو ُل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ْن َأِبي َر اِفٍع َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫ َال‬:‫َأَح ُد ُك ْم ُم َّتِكًئا َع َلى َأِر ْيَك ِتِه َيْأِتْيِه ْاَألْم ُر ِم ْن َأْم ِر ي ِمَّم ا َأَم ْر ُت ِبِه َأْو َنَهْيُت َع ْنُه َفَيُق ْو ُل‬
‫َنْد ِر ي َم ا َو َج ْد َنا ِفي ِكَتاِب ِهللا اَّتَبْعَناُه‬.

Artinya :”Dari Abi Rafi’ Radhiyallahu anhu, ia berkata: Telah bersabda Rasulullah
Saw : “Nanti akan ada seorang di antara kalian yang duduk bersandar di sofanya
lalu datang kepadanya perintah dari perintahku dari apa-apa yang aku perintah dan
aku larang. Ia berkata: ‘Aku tidak tahu apa-apa. Yang kami dapati dalam
Kitabullah kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kita-bullah kami tidak ikuti.
( H.R. Ahmad).

‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم‬: ‫َع ِن اْلِم ْقَداِم ْبِن َم ْع ِد ي َك ِر َب َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫ َع َلْيُك ْم‬:‫َأَال ِإِّني ُأْو ِتْيُت اْلِكَتاَب َو ِم ْثَلُه َم َع ُه َأَال ُيْو ِش ُك َر ُج ٌل َش ْبَع اُن َع َلى َأِر ْيَك ِت ِه َيُق ْو ُل‬
‫ َو َم ا َو َج ْد ُتْم ِفْي ِه ِم ْن َح َر اٍم َفَح ِّر ُم ْو ُه َو ِإَّن‬،‫ِبَهَذ ا اْلُقْر آِن َفَم ا َو َج ْد ُتْم ِفْيِه ِم ْن َح َالٍل َفَأِح ُّلْو ُه‬
‫َم ا َح َّر َم َر ُسْو ُل ِهللا َك َم ا َح َّر َم ُهللا َأَال َال َيِح ُّل َلُك ْم َلْح ُم اْلِح َم اِر ْاَألْهِلِّي َو َال ُك ُّل ِذ ي َن اٍب‬
‫ َو َال ُلَقَطُة ُمَع اَهٍد ِإَّال َأْن َيْسَتْغ ِنَي َع ْنَه ا َص اِح ُبَها َو َم ْن َن َز َل ِبَق ْو ٍم َفَع َلْيِهْم َأْن‬،‫ِم َن الَّسُبِع‬
‫َيْقُرْو ُه َفِإْن َلْم َيْقُرْو ُه َفَلُه َأْن ُيْع ِقَبُهْم ِبِم ْثِل ِقَر اُه‬.

Artinya :”Dari Miqdam bin Ma’di Kariba ra, ia berkata: “Telah bersabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : ‘Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan
Al-kitab (Alqur-an) dan yang seperti Alquran bersamanya. Ketahuilah, nanti akan
ada orang yang kenyang di atas sofanya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk
berpegang dengan Alqur-an (saja), apa-apa yang kalian dapati hukum halal di
dalamnya maka halalkanlah dan apa-apa yang kalian dapati hukum haram di
dalamnya, maka haramkanlah.’ (Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang
diharamkan Rasulullah Saw sama seperti yang diharamkan Allah, ketahuilah tidak
halal bagi kalian keledai negeri dan tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas dan
tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila pemiliknya tidak
memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka wajib atas
mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib baginya
menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu .(H.R.Abu Daud).

166
‫ َقاَل َر ُسْو ُل ِهللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْي ِه َو َس َّلَم ِإِّني َت َر ْك ُت‬: ‫َع ْن َأِبْي ُهَر ْيَر َة َرِض َي ُهَّللا َع ْنُه َقاَل‬
‫ِفْيُك ْم َشْيَئْيِن َلْن َتِض ُّلْو ا َبْع َد ُهَم ا ِكَتاَب ِهللا َو ُس َّنِتْي َو َلْن َيَتَفَّر َقا َح َّتى َيِر َدا َع َلَّي اْلَح ْو َض‬.

Artinya : “Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata: “Telah bersabda Rasulullah Saw :
‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama kalian
berpegang teguh dengan keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya
tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Telaga di Surga (H.RAl-
hakim.)

D. Fungsi Sunnah Terhadap Alqur’an.


Menetapkan hukum yang terdapat di dalam Alquran, ini tidak berarti bahwa Hadits
atau sunnah itu menguatkan Alquran, namun menunjukkan bahwa masalah-masalah
yang terdapat di dalam Alquran dan juga di dalam Hadits atau sunnah itu sangat penting
untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. (Nata,1993 :
175)

Di antara masalah-masalah yang ada dalam Alquran dan dikemukakan pula dalan al-
Sunnah adalah :
1. Kewajiban beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Di antaranya terdapat dalam surat
al- A’raf ayat 158 yang berbunyi :
       
    
Artinya : “Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi
yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan
ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

Dalam hadits pun dikatakan bahwa kita harus beriman kepada keduanya yang
digambarkan dengan mengucapkan dua kalimat syahadat seterusnya Rasulullah Saw
bersabda :

167
Artinya : “Iman itu ialah engkau mempercayai Allah, Malaikat-Nya, Kitab-kitabnya,
Rasul-rasul-Nya, Hari Akhir dan beriman kepada Qadha dan Qadhar yang baik dan
buruk-Nya”. (H.R. Muslim)
2. Kewajiban melaksanakan ibadah shalat. Dalam surat al-Baqarah Ayat 43 Allah
berfirman :
       
Artinya : “dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-
orang yang ruku' (al-Baqarah. Ayat : 43)
Di dalam haditsnya, Rasulullah Saw Bersabda :

Artinya : “Islam itu ialah engakau beribadah kepada Allah, tidak menyekutukan-
Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang di
fardukan, berpuasa di bulan Ramadhan dan mengerjakan hajiu ke Baitullah. (HR.
Bukhari dan Muslim)
3. Kewajiban mengeluarkan zakat. Dalam surah al-Baqarah ayat 110 Allah berfirman

       


           
Artinya : “dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang
kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.

4. Kewajiban melaksanakan ibadah puasa. Dalam surah al-Baqarah ayat 183 Allah
berfirman :
        
     
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
168
Kedua ayat di atas, dijelaskan oleh hadits sebagaimana telah disebutkan terdahulu.
Menerangkan atau menjelaskan dalil-dalil Alqur’an. Hadits dalam fungsinya yang
kedua adalah sebagai bayan atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan Al-
Quran. ( Nata, 1993 : 177 )

As-Sunnah memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan Alquran, diantaranya

a. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal). Misalnya


ayat-ayat yang menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam Alqur'an
disebutkan secara global. Dan sunnah menjelaskan secara rinci mulai dari syarat,
rukun, waktu pelaksanaan dan lain-lain yang secara rinci dan jelas mengenai
tatacara pelaksanaan ibadah shalat, zakat dan haji.

b. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum ('am) yang disebutkan dalam Alqur'an.
Seperti firman Allah an-Nisa' : 11. Ayat tentang waris tersebut bersifat umum untuk
semua bapak dan anak, tetapi terdapat pengecualian yakni bagi orang (ahli waris)
yang membunuh dan berbeda agama sesuai dengan hadits Nabi Saw. "Seorang
muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir pun tidak boleh mewarisi
harta orang muslim" (HR. Jama'ah). Dan hadits "Pembunuh tidak mewarisi harta
orang yang dibunuh sedikit pun" (HR. Nasa'i).

c. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang mutlak dalam ayat-ayat Alqur'an. Seperti


al-Maidah Ayat. 38

      


      
Artinya : "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana". (QS. Al-
Maidah : 38).

169
Ayat di atas dibatasi dengan sabda Nabi Saw : " Potong tangan itu untuk
seperempat dinar atau lebih". Dengan demikian hukuman potong tangan bagi yang
mencuri seperempat dinar atau lebih saja.

d. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh Alquran.


Misalnya al-Hajj : 30.

‫ واجتنبوا قول الزور‬...


Artinya : "… Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta". QS. Al-Hajj : 30).

Kemudian Rasulullah Saw menguatkannya dalam Sabdanya : "Perhatikan! Aku akan


memberitahukan kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut kami :
"Baiklah hai Rasulullah". Beliau meneruskan sabdanya : "1. Musyrik kepada Allah
Swt. 2. Menyakiti orang tua". Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tiba-tiba duduk
seraya bersabda lagi : "Awas berkata (bersaksi) palsu". (HR. Bukhori Muslim)

e. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak didapati dalam Alqur'an. Misalnya di
dalam Alqur'an tidak terdapat larangan untuk memadu seorang perempuan dengan
bibinya, larangan terdapat dalam hadits yang berbunyi:

"Tidak boleh seseorang memadu seorang perempuan dengan 'ammah (saudari


bapak)nya dan seorang perempuan dengan khalah (saudara ibu)nya". (HR.
Bukhori dan Muslim).

Selain yang tersebut diatas, fungsi hadis/sunah terhadap Alquran adalah


sebagai berikut:

1) Membuat hukum baru yang tidak terdapat dalam Alqur'an. Dalam hal ini hukum-
hukum atau aturan itu hanya berasaskan sunnah/hadits semata-mata. Contohnya
larangan mengawini seorang wanita yang sepersusuan, karena ia dianggap muhrim
senasab, dalam sabdanya:

-‫إن هللا حرم من الرضاعة ما حرم من النسب –متفق عليه‬

170
“Sungguh Allah telah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan,
sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab”. (riwayat
Muntafakun alaih),

serta hadits tentang kehalalan janin ikan yang ada dalam perut induknya yang
disembelih dengan halal, dan seperti juga halalnya bangkai ikan laut.

2). Mengubah ketetapan hukum dalam Alqur'an. Contohnya adalah ayat 180 Surat Al
baqarah yang menjelaskan tentang kewajiban berwasiat. Kemudian diubah dengan
hadits yang berbunyi: ‫وارث‬KK‫ية ل‬KK‫ال وص‬. Menurut sebagian ulama ayat ini sudah
dinasakh. Ada yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh dengan hadits yang
tersebut di atas. Akan tetapi ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa
ayat ini masih tetap “muhkamah”, artinya masih tetap berlaku. Antara lain
pendapat seorang mufassir yang terkenal bernama Abu Muslim Al-Asfahany.

Menurut ulama mutaqaddimin bahwa terjadinya naskh ini karena pembuat


syariat menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya.
Ketentuan yang terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir
dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ini menurut ulama yang
menganggap adanya fungsi bayan naskh. Kelompok ini adalah golongan
Muktazilah, Hanafiyah, dan madzhab Ibn Hazm Al Dhahiri. Hanya saja
muktazilah membatasi fungsi naskh ini hanya berlaku untuk hadits–hadits yang
mutawatir. Sementara golongan hanafiyah tidak mensyaratkan hadits mutawatir
bahkan hadits masyhur yang merupakan hadits ahad pun bias menasakh hukum
sebagian ayat Alquran. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab
dengan sunnah meskipun dengan hadits ahad.

Sedangkan yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’i dan sebagian
besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadits yang mutawatir.
kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut madzhab Dzahiriyah
dan kelompok Khawarij. Menurut As-Syafi’i Sunnah/hadis tidak dapat menaskh Al
qur’an. Hanya saja sunnah/hadis itu menjelaskan adanya naskh dalam Alqur’an,
sebab naskh itu membutuhkan keterangan tentang dalil mana yang dahulu dan
171
dalil mana yang datang kemudian. Sedangkan penjelasan dalam hal ini adalah dari
Nabi senediri.

E. Otoritas Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam

Otoritas hadits dalam Islam adalah sesuatu hal yang tidak dapat diragukan lagi
karena terdapat penegasan yang banyak di dalam Alquran tentang hadits, di dalam Al-
quran disebut sebagai Al Sunnah. Di dalam Alquran pula disebutkan dengan ketaatan
terhadap Rasulullah saw yang disebutkan bersama dengan ketaatan kepada Allah. Ini
sebagaimana yang ditegaskan di dalam Alquran di dalam firman Allah seperti :

tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!$


qß™u‘ur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3
ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur ô‰s)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7•B ÇÌÏÈ `tBur
· Artinya :“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang
lain) bagi mereka tentang urusan mereka, dan barang siapa mendurhakai Allah dan
rosul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata” (Surah Al
Ahzab : ayat 36)
OçFZä. tûüÏZÏB÷s•B ÇÊÈ )qãè‹ÏÛr&ur ©!$# ÿ¼ã&s!qß™u‘ur bÎ#( (
· Artinya : “Dan Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu adalah orang-orang yang
beriman” (surah Al- Anfal : Ayat. 1)
tBur ãNä39s?#uä ãAqß™§9$# çnrä‹ã‚sù $tBur öNä39pktX çm÷Ytã$! 4

(#qßgtFR$$sù 4
· Artinya : “Apa yang diberikan Rasul kepada kamu, maka ambillah ia, dan apa yang di
larangnya, maka tinggalkanlah” (surah al Hasyr : ayat 7)

Dengan penegasan Al qur’an di atas, jelaslah bahwa hadits tidak dapat


dipisahkan penggunaannya di dalam segala hal yang berkaitan dengan Islam terutama
dengan Alqur’an. Allah telah menurunkan kitab Alqur’an sebagai hidayah dan penerang
jalan dalam rangka melaksanakan agama yang benar kemudian diberinya sunah yang
merupakan rincian dan penjelasan dari kitab itu.

172
Di dalam bidang ibadah, hadits memainkan peranannya dalam menguraikan
maksud Ayat-ayat Al qur’an mengenai pengsyariatan sesuatu bentuk ibadah dengan
lebih jelas. Tambahan pula bahwa hadits juga memperincikan lagi masalah-masalah
yang berhubungan dengan pelaksanaan sesuatu ibadah seperti ibadah wajib, sunat,
makruh, atau haram.

Pada masa Rasul masih hidup, umat Islam dalam segala persoalan selalu
ditanyakan kepada Rasul. Hal ini berbeda pada masa Rasul sudah meninggal. Umat
Islam dalam menghadapi persoalan, terlebih dahulu mereka memeriksa soal tersebut
dalam Alqur’an atau hadits. Tetapi kadang masalah yang mereka hadapi tidak ditemukan
nas-nya dalam Alqur’an atau hadits. Dan apabila ada yang mengetahui hadits mengenai
peristiwa itu, maka ditetapkanlah hukum peristiwa itu menurut hadits nas tersebut. Bila
tidak dijumpai nas yang jelas, mereka berijtihad untuk mencari hukum dengan
membandingkan dan meneliti Ayat-ayat dan hadits yang umum, serta
mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan peristiwa yang terjadi, diqiaskan dengan
hukum yang sudah ada, yang berdekatan dengan peristiwa yang baru terjadi itu. Apabila
ada masalah yang penting, dulu umat Islam bermusyawarah dan bertukar pikiran,
sedangkan dalam permusyawaratan itu semuanya didasarkan pada Alqur’an dan hadits
sehingga musyawarah tersebut menghasilkan keputusan. ( al-Siba’i,1991 : 97)

Dalam bidang hukum atau Undang-Undang, hadits memperincikan hukuman-


hukuman dan Undang-Undang yang terdapat di dalam Alqur’an seperti hukuman
terhadap penzina. Hadits juga berbicara meliputi soal-soal yang berhubungan dengan
keadilan sosial, ekonomi dan politik. Hadits juga menerangkan mengenai masalah-
masalah perseorangan dan kekeluargaan seperti soal nikah, cerai dan talak. Hadits juga
memasuki wilayah-wilayah muamalah, jihad, dan faraid. Mengenai ilmu pengetahuan,
tidak sedikit ilmu yang dapat kita korek dari hadits bagaikan satu dasar yang tidak
diketahui kedalamannya seperti ilmu sejarah-sejarah penciptaan alam dan bangsa-bangsa
terdahulu, ilmu nasab, ilmu sosiologi, bahasa, sastra, budaya dan banyak lagi. Selanjutnya
hadits juga menggalak kan manusia agar berusaha menuntut ilmu dan memperbaiki diri.
Seperti dalam soal pembentukan akhlak pula, karena pengutusan Nabi Muhammad saw
itu sendiri adalah untuk membentuk akhlak yang mulia bagi seluruh umatnya.
173
F. Perbedaan Alqur’an dan Sunnah Sebagai Sumber Hukum

Sekalipun al-Qur’an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam,
namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil.
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :

As-Sunnah Al-Qur’an
1. Lafadz dan maknanya Hadist berasal 1. Lafadz dan makna Alquran berasal dari
dari Nabi Muhammad saw. Allah swt.
2. Setiap perkataan dan perbuatan nabi 2. Wahyu Alquran disampaikan oleh Allah
dianggap sebagai Hadist. swt kepada Nabi melalui perantara
3. Hadist sebagai perundangan kedua. Malaikat Jibril as.
4. Boleh membacanya ketika berhadas 3. Alqur’qan sebagai perundangan
besar atau kecil. pertama
5. Hadist tidak boleh dibaca dalam sholat. 4. Tidak boleh membacanya ketika
6. Hadist tidak terpelihara kandungan dan berhadas besar atau kecil.
ketulenannya. 5. Alqur’an boleh dibaca dalam sholat.
7. Hadist tidak terpelihara, boleh direka 6. Alqur’an terpelihara kandungan dan
dan dipalsukan oleh orang lain. ketulenannya.
7. Alqur’an terjaga dan terpelihara hingga
hari kiamat.

Di sisi lain juga terdapat perbedaan antara Alqur’an dan As-sunnah / Al-Hadits
diantaranya adalah :

a. Alqur’an nilai kebenaranya adalah qath’i (absolut). Sedangkan al-Hadits adalah zhanni
(kecuali hadits mutawatir).
b. Seluruh ayat Alqur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua
hadits kita jadikan sebagai pedoman hidup, sebab di samping ada sunnah yang tasyri’
ada juga sunnah yang ghairu tasyri’. Disamping ada hadits yang shahih ada juga hadits
yang dhaif.

174
c. Alqur’an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak.
d. Apabila Alqur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib,
maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tapi tidak harus demikian apabilah
masalah-masalah tersebut diungkap oleh hadits.

G. SEJARAH PERKEMBANGAN DAN KODIFIKASI SUNNAH.


1. Perkembangan Hadits Pada Masa Rasulullah Saw.
a. Cara Rasulullah menyampaikan hadits dalam riwayat bukhari, disebutkan Ibnu
Mas’ud perna bercerita, bahwa Rasulullah Saw,menyampaikan haditsnya dengan
berbagai cara, sehingga para sahabat selalu inggin mengikuti pengajianya dan
tidak mengalami kejunahan. Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah Saw,
dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat yaitu :
Pertama : melalui jemaah yang berada dipusat pembinaan atau majelis Al-ilmu
terkadang kepala suku yang jauh dari madinah mengirim utusanya ke majelis,
untuk kemudian mengajar kepada suku mereka sekembalinya dari sini.
Kedua : melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikan pada
orang lain.
Ketiga : cara lain yang dilakukan Rasulullah Saw, adalah melalui ceramah atau
pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh mekkah.

b. Perbedaan Antara Sahabat dalam Menguasai Hadits.


1) Perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama dengan Rasulullah Saw.
2) Perbedaan dalam soal kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah Saw.
3) Perbedaan mereka dalam soal kekuatan hafalan dan kesanggupan bertanya
pada sahabat lain.
4) Perbedaan mereka dalam waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal
mereka dari mejelis Rasulullah.
c. Sahabat Yang Banyak Menerima Hadits dari Rasulullah Saw, dengan beberapa
penyebabnya mereka adalah :
1) As-Sabiqun al-awalun (yang mula-mula masuk Islam).seperti Abu Bakar,
Umar Bin Khatab, Usman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.
175
Mereka banyak menerima hadits dari Nabi Muhammad Saw, karena lebih
awal masuk dari sahabat-sahabat lain.
2) Ummahat Al-Mukminin (istri-istri Rasulullah Saw), sepereti Siti Aisyah dan
Ummu Salamah. Mereka lebih dekat dengan Rasulullah Saw dari pada istri-
istri yang lainya. Hadits-hadits yang diterimanya kebanyakan berkaitan
dengan persoalan keluarga dan pergaulan suami istri.
3) Para sahabat yang selalu dekat dengan Rasulullah Saw, dan juga menuliskan
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Bin Amr Al-As.
4) Sahabat yang tidak lama bersama Rasulullah Saw, tetapi banyak bertanya
kepada sahabat lainya dengan sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah.
5) Para sahabat yang sungguh-sungguh mengikuti majelis Rasulullah Saw, dan
banyak bertanya kepada sahabat yang lain, dan dari sudut usia mereka hidup
lebih lama dari wafatnya Rasulullah Saw. Seperti Abdullah Bin Umar, Anas
Bin Malik, dan Abdullah bin Abbas.
d. Menghafal dan menulis Hadits untuk menjaga dan memelihara Alqur’an dan
Hadits sebagai sumber hukum Islam, Rasulullah mengambil kebijakan yang agak
berbeda. Terhadap Alqur’an beliau secara resmi memberikan instruksi kepada
sahabat tertentu untuk menulis dan menghafalnya. Sedangkan terhadap Al-
Hadits perintah resmi itu hanya untuk menghafal dan menyampaikan kepada
orang lain. Seperti dalam sabdanya “Janganlah kamu menulis apa saja dariku
selain Alqur’an. Siap yang telah menulis dariku selain Alqur’an hendaklah
dihapus”. Ada alasan mengapa para sahabat lebih kuat hafalanya, karena
kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisinya sejak
jaman pra Islam. ( Shoim, 2008 : 46)

2 Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat.


Setelah Rasulullah Saw, wafat, perkembangan penyebaran hadits dilanjutkan
oleh para sahabat beliau, terutama oleh khulafa Urrasyidin (Abu Bakar Siddiq, Umar
Bin khatab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abi thalib). Namun pada saat itu
perkembangan hadits tidak begitu diutamakan karena prioritas yang paling utama
pada saat itu adalah terfokus kepada pemeliharaan dan penyebaran Alqur’an, dan
176
periwayatan hadits sendiri belum begitu berkembang dan masih dibatasi. Sehingga
Nabi berpesan diantaranya adalah :
a. Menjaga Pesan Rasulullah Saw.
Nabi Muhammad adalah Nabi yang sangat peduli terhadap keselamatan hidup
umatnya baik itu kehupan dunia terlebih kehidupan akhirat. Beliau tidak pernah
bosan memberikan nasehat, Beliau selalu meminta kepada umatnya agar selalu
berpegang teguh pada Alqur’an dan As-sunnah yang telah beliau ajarkan dan
sampaikan. Beliau juga meminta agar sumber ajaran Islam disampaikan dan
didakwakan kepada orang lain yang belum mengetahui tentang kebenaran yang
disampaikan oleh beliau.
b. Teliti dalam meriwayatkan dan menerima Hadits.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat,
disebabkan kekhawatiran mereka akan terjadinya kekeliruan pada hadits. Mereka
menyadari bahwa hadits adalah sumber hukum setelah Alqur’an yang harus
terjaga dari kekeliruannya sebagaimana Alqur’an. Oleh karena itu para sahabat
khususnya Khulafa ur-rasyidin dan sahabat lainya berusaha memperketat
periwayatan dan penerimaan hadits. Sikap kehati-hatian itu sangat diutamakan
oleh para sahabat.
c. Periwayatan Hadits..
Ada dua jalan yang ditempuh oleh para sahabat dalam meriwayatkan hadits dari
Rasulullah Saw. Pertama : dengan jalan periwayatan lafzhi. Dan kedua periwayan
maknawi.
1) Periwayatan lafzhi adalah : periwayatan hadits yang redaksinya persis seperti
yang diwurudkan oleh Rasulullah Saw. Ini hanya bisa dilakukan apabila
mereka benar-benar menghafal hadits yang disabdakan oleh Rasulullah Saw.
Kebanyakan para sahabat menempuh periwayatan hadits melalui jalan ini.
Mereka berusaha agar hadits sesuai dengan redaksi dari Rasulullah Saw. Dan
bukan menurut redaksi dari mereka .
2) Periwayatan Maknawi adalah : Periwayatan hadits yang matanya tidak sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah Saw, tetapi isi dan maknanya tetap
terjaga secara utuh sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasulullah Saw.
177
Meskipun demikian para sahabat melakukan dengan sangat hati-hati. Ibnu
Mas’ud misalnya, ketika ia meriwayatan hadits, ia menggunakan term-term
tertentu untuk menguatkan penukilkanya.

3 Perkembangan Hadits pada masa Tabi’in

Setelah Ali Bin Abi Thalif wafat sebagai khalifah terakhir, maka berakhirlah era
sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in
besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat
Nabi yang masih hidup pada masa itu. Pada masa tabi’in Alquran sudah
dikumpulkan pada satu mushaf dan para sahabat ahli hadits telah menyebar ke
beberapa wilayah kekuasaan islam. Sehingga para tabi’in dapat mempelajari Hadits
dari mereka. Ketika pemerintahan dipegang oleh bani ummayah perluasan wilayah
kekuasaan berkembang pesat dan juga semangkin meningkatnya penyebaran para
sahabat kedaerah-daerah tersebut. Sehingga pada masa ini dikenal dengan masa
penyebaran periwayatan hadits. Terdapapat beberapa kota yang menjadi pusat
pembinaan dalam meriwayatkan hadits sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam
mencari hadits yaitu, Madinah Al-Munawarah, Mekah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir,
Magrib, Andalas, Yaman dan Kurasan.

Pada masa tabi’in inilah wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut
diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran islam di daerah-daerah,
termasuk ulama hadits. Penyebaran hadits disesuaikan dengan kekuatan hafalan
masing-masing ulama itu sendiri. Sehingga tidak mereta hadits yang dimiliki oleh
ulama hadits, Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadits.

Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin Al-hadits tentunya berbeda dengan


penulisan hadits dalam kitab-kitab hadits. Tadwin Al-hadits mempunya makna “
Penulisan hadits Nabi ke dalam sautu buku (himpunan dan susunan) yang
pelaksanaanya dilaksanakan atas legelitas yang berlaku umum dari lembaga
kenegaraan yang diakui masyarakat.

178
Sedangkan kitab Al-hadits itu sendiri asal mulanya kesaksian sahabat Nabi
terhadap sabda, perbuatan, takrir, dan atau Al-ihwal Nabi, kemudian apa yang
disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikan kepada orang lain dan seterusnya,baik
secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi , akan tetapi baru
merupakan tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-
perbedaan antara kodifikasi hadits secara resmi dari penulisan hadits adalah sebagai
berikut :

a. Kodifikasi hadits secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administrativ yang
diakui masyarakat, sedangkan penulisan hadits dilakukan oleh perorangan.
b. Kegiatan kodifikasi hadits tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan,
menghimpun, dan mendokumentasikannya.
c. Tadwin hadits dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala prangkat
yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadits dilakukan
oleh orang orang tertentu.

DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Adib Shalih, Lamhat Fi Ushul al-Hadits, al-Maktabah al- Islamy, Beirut,
cetakan. 1399 H.
Mustafa al-Siba’I, Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam, Pustaka Firdaus,
Jakarta, Cetakan I, 1991.
Drs. Deding Siswanto, Ushul Fiqih. CV. Armico, Bandung, 1990.
Drs.Abuddin Nata, MA. Al-Qur’an dan Hadits, PT. Raja Grapindo Persada, 1993.
Drs. Muhammad Shoim, Ulumul Hadits ( Tulungung : Pusat Penerbitan dan Publikasi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negri.
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Attahiriyah Jakarta, 1976.
Drs. H. Moh. Rifa’i. Ilmu Fiqih Islam Lengkap. CV Toha Putra Semarang, 1978.
Dr. Nawir Yuslem, MA. Ulumul Hadits. PT. Mutiara Sumber Widya, 2001.

179

Anda mungkin juga menyukai