Anda di halaman 1dari 13

Pengertian dan Pembagian Hadis Ahad

a. Pengertian Hadis Ahad


Dari segi etimologi, kata Ahad merupakan bentuk jamak yang artinya ―satu‖. Hadis
ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh satu orang. Adapun dari segi terminologi, hadis
ahad adalah hadis yang dalam periwayatannya tidak sampai kepada batas mutawatir.
Pengertian ini mencakup baik dalam satu thobaqoh maupun di setiap thobaqoh, dan
mencakup
pula hadis yang diriwayatkan oleh dua, tiga orang perawi atau lebih selama tidak sampai
kepada batas mutawatir.1
b. Pembagian Hadis Ahad
Hadis ahad dari segi jalur periwayatannya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu hadis
masyhur, hadis aziz dan hadis gharib. Ketiga bagian hadis tersebut tidak bisa lepas dari status
shahih dan dhaif. Sehingga ketiganya bisa jadi ada yang shahih, hasan ataupun dhaif. Namun,
hadis dhaif dalam hadis gharib lebih banyak dari pada yang lainnya.
1. Hadis masyhur
secara etimologi adalah isim maf‘ul dari ―Syahartu al-Amr. Sedangkan secara
terminologi adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih namun tidak
sampai kepada batas mutawatir.
Contoh hadist masyhur:
“Terangkatlah (dosa) dari umatku; kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka lakukan
karena terpaksa”.(H.R. At-Thabrani dari Ibnu Abbas)
Di antara kitab-kitab yang bisa digunakan sebagai rujukan untuk hadis masyur adalah
kitab al-La‟ali al-Mantsurah Fi al-Ahadis al-Masyhurah karya Imam az-Zarkasyi dan kitab
al-Maqasid al-Hasanah Fi Bayan Katsir Min al-Ahadis al-Masyhurah „Ala al-Alsinah karya
Imam as-Sakhawi.
2. Hadis Aziz
Hadis Aziz secara etimologi artinya yang sedikit/jarang atau bisa juga berarti yang
kuat. Dinamakan seperti itu adakalanya karena sedikitnya jumlah hadis aziz atau karena
kuatnya hadis dari jalur periwayatan yang lain. Sedangkan hadis aziz menurut terminologi
adalah hadis yang dalam semua jalur periwayatannya tidak kurang dari dua orang perawi.
contoh hadist Aziz :
“ Tidak sempurna iman seseorang darimu sehingga Aku lebih dicintainya daripada dirinya
sendiri, orang tuanya, anak-anaknya, dan manusia seluruhnya”. (Mutafaq’alaih)
3. Hadis Gharib
Hadis gharib secara etimologi artinya yang jauh dari tanah air atau yang sukar
dipahami. Sedangkan menurut terminologi adalah hadis yang dalam jalur periwayatannya
hanya terdapat seorang perawi saja baik dalam setiap thabaqah sanad maupun di
sebagiannya.6
Hadis gharib dibagi menjadi 2 yaitu gharib mutlaq dan gharib nisby. Gharib mutlaq
adalah apabila keghariban tersebut terletak pada asal sanad. gharib nisby adalah apabila
keghariban terjadi ditengah sanad atau di tengah jalur periwayatan.
Contohnya adalah ghorib:
Dari Abu hurairah RA dari nabi SAW telah bersabda, “ iman itu bercabng-cbng menjadi 60
cabang dan malu itu salah satu cabang dari iman”.(H.R. Bukhari)
III. Ulama Yang Membagi Hadis Kepada Mutawatir Dan Ahad
Para shahabat dan tabiin begitu juga para ulama pada masa klasik tidak pernah
menyatakan bahwa hadis ahad tidak bisa dijadikan hujah dalam masalah aqidah. Begitu pula
mereka tidak pernah membagi hadis ke dalam mutawatir dan ahad. Mereka hanya
membuatstatemen bahwa hadis yang shahih begitu juga hadis hasan bisa dijadikan hujah
dalam Islam. Adapun hadis dhaif tidak bisa diamalkan kecuali dalam hal fadhail al-a‟mal
(keutamaan keutamaan amal) dengan syarat-syarat tertentu.11
Menurut Imam Ibn Hazm sebagaimana tercantum dalam kitabnya al-Ihkam Fi Ushul al-
Ahkam, semua ulama sepakat bahwa riwayat yang berasal dari satu orang yang tsiqah bisa
diterima sebagai hujah. Para ulama dari kalangan kelompok ahli kalam juga menyepakati hal
tersebut sampai datanglah orang-orang muktazilah setelah abad pertama hijriyah kemudian
mereka keluar dari ijma tersebut.12
Salah satu tokoh muktazilah yaitu Abu al-Wahab Abu Ali al-Juba‘i mengatakan bahwa tidak
wajib beramal dengan hadis ahad kecuali hadis yang diriwayatkan oleh minimal dua orang
perawi dalam setiap thabaqahnya. Selain Abu al-Wahab Abu Ali al-Juba‘i, tokoh muktazilah
lainnya juga ada yang menyatakan bahwa tidak wajib beramal dengan hadis ahad kecuali
yang diriwayatkan oleh empat orang perawi dalam setiap thabaqah atau di setiap jalur
periwayatannya.13
Dari sini, jelas bahwa orang pertama yang melakukan pembagian hadis ke dalam mutawatir
dan ahad adalah seorang tokoh muktazilah yang bernama Abu al-Wahab Abu Ali al-Juba‘i.
Hal ini terjadi setelah abad pertama hijriyah sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Ibn
Hazm.
IV. Hukum Dan Kehujahan Hadis Ahad
a. Hukum Hadis Ahad
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum hadis ahad apakah memberikan faedah qath‘i
(yakin) atau tidak. Setidaknya perbedaan pendapat ini terbagi menjadi 3 kelompok.
Pertama, kelompok yang menyatakan bahwa hadis ahad tidak memberikan faedah
yakin secara mutlak, baik ada qarinah (penjelas) maupun tidak ada qarinah (penjelas).
Kedua, kelompok yang menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah yakin secara
mutlak walaupun tanpa qarinah (penjelas).
ketiga adalah kelompok yang menyatakan bahwa hadis ahad memberikan faedah yakin jika
terdapat qarinah (penjelas) .15
Pendapat pertama adalah madzhabnya mayoritas ulama ushul dan ahli kalam, begitu pula
dengan Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam asy-Syafi‘i. Pendapat yang kedua adalah
pendapatnya Imam Ahmad dan Dawud azh-Zhahiri. Sedangkan pendapat ketiga adalah
pendapatnya Imam Ibn ash-Shalah dan mayoritas ulama ushul, ahli kalam dan ahli hadis. 16
b. Berhujah Dengan Hadis Ahad
Para ulama juga berbeda pendapat dalam penggunaan hadis ahad sebagai hujah. Mayoritas
shahabat, tabiin, ulama-ulama hadis dan fiqih setelah mereka, juga ulama ushul berpendapat
bahwa riwayat satu orang yang tsiqah bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum Islam.
Adapun kelompok Qodariyah, Rafidhah dan sebagian ulama ahli zhahir berpendapat bahwa
hadis ahad tidak bisa dijadikan hujah dalam menetapkan hukum Islam. Ada juga yang
berpendapat bahwa hanya hadis ahad yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan
Shahih Muslim saja yang bisa dijadikan sebagai hujah sedangkan di luar dari dua kitab
tersebut maka tidak boleh dijadikan sebagai hujah.
c. Dalil-dalil Kehujahan Hadis Ahad
Di antara dalil-dalil yang menguatkan akan kehujahan hadis ahad adalah sebagai berikut:
1. Firman Allah Swt surat al-Hujurat [49] ayat 6 yang artinya :
“ hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”.
Berita dalam ayat di atas menggunakan redaksi nakirah sehingga mencakup semua
berita termasuk berita yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. Allah Swt telah
mewajibkan untuk mengecek berita dalam ayat di atas jika yang menyampaikan berita
tersebut adalah orang fasik. Akan tetapi, jika yang membawa berita bukanlah orang
fasik, maka berita tersebut bisa diterima.18
2. Hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, hadis tersebut menjelaskan
tentang Rasulullah Saw mengajak kepada umatnya untuk mendengarkan sabdanya dan
menjanjikan kebaikan kepada orang yang menyebarluaskan.
3. Ijma Para Shahabat
Ijma para shahabat mengenai kehujahan hadis ahad terlihat dalam banyak kejadian
atau peristiwa di mana ketika mereka mendapatkan suatu berita dari satu orang yang tsiqoh
(orang dapat dipercaya) maka mereka langsung menerimanya dan mereka tidak lagi
berijtihad dengan akalnya. Salah satu contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibn Umar
dalam kasus perpindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka‘bah. Setelah mendengar berita
tersebut, para shahabat langsung merubah arah kiblat mereka padahal waktu itu yang
membawa berita adalah satu orang yang tsiqah. Seandainya berita dari satu orang tidak bisa
dijadikan hujah, tentu para shahabat tidak akan merubah arah kiblat ke Ka‘bah. 20
V. Pengaruh Hadis Ahad Terhadap Hukum Islam
Sebelum kita mengetahui bagaimana pengaruh hadis ahad dalam penetapan hukum
Islam, harus kita ketahui terlebih dahulu bagaimana sikap para ulama fiqih dalam
menghukumi hadis ahad itu sendiri. Para ulama fiqih yang dimaksud di sini adalah empat
imam mujtahid yang menjadi panutan mayoritas umat dalam masalah-masalah fiqih, yaitu
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi‘i dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Keempat imam di atas, walaupun secara umum mereka sepakat bahwa hadis ahad bisa
dijadikan sebagai hujah dalam penetapan hukum Islam, namun mereka berbeda pendapat
dalam hal kriteria hadis ahad itu bisa diterima dan bisa menjadi hujah. Perbedaan inilah yang
pada akhirnya berdampak kepada bedanya pandangan mereka dalam menetapkan hukum
Islam.
1. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam Abu Hanifah
Madzhab Hanafi menetapkan tiga syarat dalam beramal dengan menggunakan hadis
ahad. Ketiga syarat tersebut adalah
- Perawi tidak menyalahi riwayat yang ia sampaikan. Jika seorang perawi menyalahi
apa yang ia riwayatkan, maka yang harus diamalkan adalah apa yang ia lakukan bukan apa
yang ia riwayatkan. Karena apa yang ia lakukan berasal dari adanya
nasakh dalam riwayat tersebut yang ia ketahui.21 Oleh karena itu, madzhab Hanafi
tidak mengamalkan hadis riwayat Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa jilatan
seekor anjing harus dibasuh sebanyak tujuh kali di mana yang pertama
menggunakan tanah. Hal ini karena Abu Hurairah sebagai perawi hadis tersebut
hanya membasuh sebanyak tiga kali saja sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Imam ad-Daruquthni.22
- Kandungan hadis tidak berkaitan dengan hal yang sifatnya umum atau populer.
Karena apa yang sifatnya umum atau popular harus diriwayatkan melalui jalur
yang mutawatir. Jika hal tersebut diriwayatkan secara ahad, maka ia menunjukkan
ketidakshahihan riwayat tersebut dan menimbulkan keragu-raguan.23 Oleh karena
itu, madzhab Hanafi tidak mengamalkan hadis mengangkat tangan ketika akan
rukuk dalam shalat. Hal ini karena hadis tersebut termasuk hadis ahad padahal
mengangkat tangan dalam shalat termasuk hal yang sifatnya umum dan populer
karena ia dilakukan dalam shalat setiap hari. Selain itu, perawi hadis tersebut yaitu
Ibn Umar menyalahi apa yang ia riwayatkan karena menurut Imam Mujahid, ia
pernah shalat di belakang Ibnu Umar dan Ibnu Umar tidak mengangkat tangan
kecuali dalam takbir yang pertama.24
- Hadis tersebut tidak bertentangan dengan qiyas dan dasar-dasar syari‘at.25
2. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam Malik
Madzhab Maliki menetapkan syarat-syarat sebagai berikut dalam mengamalkan hadis
ahad, yaitu:
- Hadis tersebut tidak bertentangan dengan amal penduduk Madinah. Hal ini karena
amal penduduk Madinah setara dengan hadis mutawatir karena mereka telah
mengamalkannya dari para ulama sebelum mereka yang langsung berinteraksi
dengan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, madzhab Maliki menolak hadis khiyar almajlis.
Hal tersebut karena penduduk Madinah tidak pernah menetapkan batasanbatasan
tertentu dalam urusan khiyar al-majlis.26
- Hadis tersebut tidak bertentangan dengan qiyas dan pokok-pokok syariah sama
seperti yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini karena Imam Malik lebih
mengedepankan qiyas dari pada hadis ahad karena qiyas merupakan hujah
berdasarkan kesepakatan para shahabat. Oleh karena itu, berhujah dengan al-
Qur‘an, Sunah dan Ijma lebih kuat dari pada berhujah dengan hadis ahad.27

3. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam asy-Syafi‟i


Imam asy-Syafi‘i menulis bab khusus dalam kitabnya yang berjudul ar-Risalah yaitu
―Bab Khabar al-Ahad‖. Ia menamai khabar ahad dengan khabar khashah.28 Dalam bab
tersebut, ia menyatakan bahwa khabar satu orang dari satu orang sampai kepada Rasulullah
Saw bisa dijadikan hujah dan hadis ahad itu memberikan faedah zhan.29
Imam asy-Syafi‘i kemudian menetapkan syarat-syarat diterimanya diterimanya hadis
ahad sebagai hujah. Syarat-syarat tersebut adalah:
- Perawi adalah orang yang tsiqah
- Dikenal sebagai orang yang jujur dalam periwayatan hadis
- Memahami apa yang ia riwayatkan
- Mengetahui makna-makna dari lafadz hadis
- Meriwayatkan hadis dengan riwayat lafzhi bukan riwayat maknawi
- Hafal jika hadis tersebut diriwayatkan berdasarkan hafalan dan tahu tulisannya jika
diriwayatkan berdasarkan dari kitabnya.
- Perawi harus terbebas dari sifat tadlis yaitu meriwayatkan hadis dari orang yang
bertemu dengannya tapi tidak mendengar darinya atau meriwayatkan dari Nabi
Saw tapi bertentangan dengan riwayat lain yang lebih tsiqah.30
4. Kehujahan Hadis Ahad Menurut Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad bin Hanbal tidak mensyaratkan dalam beramal dengan hadis ahad
kecuali hadis tersebut sanadnya shahih sama seperti Imam asy-Syafi‘i. Namun ia berbeda
dalam hal hadis mursal. Hadis mursal diamalkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal.31
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa Imam Ahmad berpegang teguh kepada hadis baik
itu mutawatir maupun ahad. Ia tidak membedakan keduanya sebagai hujah dalam Agama
selama terpenuhi syarat-syarat keshahihan hadis. Imam Ibn al-Qayim mengatatakan bahwa
Imam Ahmad bin Hanbal jika mendapatkan sebuah nash maka ia mewajibkan untuk
mengamalkannya. Ia tidak menghiraukan nash lain yang bertentangan atau pendapat lain
yang
bertentangan dengannya.32
Oleh karena itu, Imam Ahmad tidak menghiraukan riwayat ‗Umar tentang tayamum
bagi orang yang junub karena ada hadis ‗Ammar bin Yasir. Teks hadis tersebut adalah
sebagai
berikut,
28 Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat keempat imam di atas mengenai
kehujahan hadis ahad, kita tahu bahwa perbedaan tersebut pada akhirnya berdampak kepada
bedanya sikap mereka dalam mengistinbatkan hukum-hukum Islam. Bisa jadi di antara
mereka ada yang menerima dan menjadikan hadis tersebut sebagai hujah sedangkan yang lain
menolaknya dan tidak menjadikannya sebagai hujah. Contohnya adalah hadis tentang
membasuh jilatan anjing sebanyak tujuh kali di mana yang pertama menggunakan tanah.
Hadis tersebut dijadikan hujah oleh Imam asy-Syafi‘i karena sanadnya shahih, akan
tetapi tidak diamalkan oleh Imam Abu Hanifah karena sikap perawi hadis tersebut yaitu Abu
Hurairah bertentangan dengan apa yang ia riwayatkan, karena Abu Hurairah hanya
membasuh
bekas jilatan anjing sebanyak tiga kali saja.
Begitu juga dengan hadis khiyar majlis. Hadis tersebut tidak diamalkan oleh Imam
Malik karena bertentangan dengan perilaku penduduk Madinah. Sedangkan Imam Ahmad
mengamalkannya karena sanad hadis tersebut shahih.

VI. kedudukan hadist ahad dan pendapat ulama tentang hadist ahad

Para ahli hadist berbeda pendapat tentang kedudukan hadist ahad. Pendapat tersebut antara
lain :

1. Segolongan ulama, seperti al qasayani, sebagian ulama dhahiriah dan ibnu dawud,
mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadist ahad.
2. Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadist ahad memberi faedah dhan
(membolehkan dua perkara yang salah satunya lebih jelas dari yang lain). Oleh krena
itu, hadist ahad wajib diamalkan sesudah diakui keshahihannya.
3. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadist ahad diamalkan dalam segala bidang.
4. Sebagian muhaqiqin menetapkan bahwa hadist ahad hanya wajib diamalkan dalam
urusan amaliah(furu’), ibadah, kafarat, dan hudud,namun tidak dipergunakan dalam
urusan akidah.
5. Imam syafii berpendapat bahwa hadist ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum
dari hukum-hukum al quran.
6. Ahlu zahir(pengikut daud ibnu ali al zhahiri) tidak membolehkan mentakhsiskan
(mengkhususkan) secara umum ayat ayat al quran dengan hadist ahad.

Pengertian
Hadîts dla’îf menurut Ibn Shalah adalah setiap Hadîts yang tidak terkumpul di dalamnya
sifat-sifat Hadîts shahih dan sifat-sifat Hadîts hasan. Adapun sifat-sifat Hadîts shahîh
tersebut adalah bersambungnya sanad, adil-nya perawi, dlabith-nya perawi, tidak adanya
syadz dan tidak adanya illat.
Adapun menurut Abû Syuhbah mengatakan bahwa jika suatu Hadîts yang tidak memenuhi di
dalamnya syarat-syarat Hadîts shahîh dan hasan yang enam, maka dikategorikan sebagai
Hadîts dlaif. Sedang syarat-syarat tersebut adalah:
(1) Bersambungnya sanad,
(2) adil-nya perawi,
(3) selamat dari banyak salah dan lupa (dlabith),
(4) selamat dari syadz,
(5) Selamat dari illat, dan
(6) dari arah lain jika suatu Hadîts yang sanad nya mastur, maka Hadîts tersebut tidak
buruk, tidak banyak salah dan tidak palsu.
Pembagian Hadîts Dla’îf
Menurut Muhammad Ibn Hibban mengatakan bahwa Hadîts dla’îf terdapat tiga ratus delapan
puluh satu macam bentuk. Adapun jika ditinjau dari kenyataannya ada empat puluh sembilan
macam, hanya saja pembagian tersebut tidak diberi istilah-istilah secara khusus.
Adapun Ajaj al-Khatib membagi jenis-jenis Hadîts dla’îf dalam dua kategori yaitu: (1) Hadîts
dla’îf disebabkan karena ketidakmuttashil- an sanad, dan (2) Hadîts dla’îf karena selain
ketidakmuttashil- an sanad.5
Yang termasuk dalam Hadîts dla’îf yang disebabkan karena ketidak muttasil-an sanad adalah:
Pertama, Hadîts mursal. Menurut Jumhur Muhadîtsin, Hadîts mursal adalah Hadîts yang
diriwayatkan oleh seorang tâbi’în baik dia besar atau kecil dari Rasûlullâh saw, baik
berupa perkataan, perbuatan dan maupun taqrîr-nya.6 Akan tetapi sebagian ahli Hadîts
mengatakan bahwa Hadîts mursal itu adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh seorang tâbi’în
besar saja dari Rasûlullâh saw, sedangkan yang dari thâbi’în kecil dikategorikan
sebagai Hadîts munqathi’.
Kedua, Hadîts munqathi’. Hadîts munqathi’ adalah Hadîts yang dalam sanadnya gugur satu
orang perawi dalam satu tempat atau lebih, atau didalamnya disebutkan seorang perawi yang
mubham.7 Dari segi gugurnya seorang perawi, ia sama dengan Hadîts mursal, hanya saja
kalau Hadîts mursal gugurnya perawi dibatasi pada tingkatan sahabat. Sementara Hadîts
munqathi’ tidak ada batasan gugurnya perawi pada tingkatan keberapa, baik gugurnya di
awal, di tengah atau di akhir tetap disebut Hadîts munqathi’. Dengan demikian Hadîts mursal
dapat dimasukkan kedalam Hadîts munqathi’ sebab gugurnya pada posisi di awal yakni pada
tingkatam sahabat.
Ketiga, Hadîts Mu’dal. Hadîts mu’dal adalah Hadîts yang sanadnya gugur dua atau lebih
perawinya secara berturut-turut. Termasuk jenis ini adalah Hadîts yang dimursalkan oleh
tâbi’ altâbi’în. Hadîts ini sama bahkan lebih rendah dari Hadîts munqathi’. Sama dari segi
keburukan kualitasnya, bila ke munqathi’an-nya lebihdari satu tempat.8 Adapun perbedaan
antara mu’dal dengan munqathi’ adalah kalau mu’dal sanadnya gugur dua atau lebih secara
berurutan, sedangkan pada munqathi’ sanadnya yang gugur satu atau lebih tidak secara
berurutan. Ibnu Shalah mengatakan bahwa setiap Hadîts mu’dal itu termasuk munqathi’, akan
tetapi tidak setiap munqathi’ itu mu’dal.
Keempat, Hadîts Mudallas. Secara etimologi kata tadlis berasal dari akar kata al-dalas yang
berarti al-dzulmah (kedzaliman). Tadlis dalam jual beli berarti menyembunyikan aib barang
dari pembelinya. Dari sinilah diambil pengertian tadlis dalam sanad. Karena memiliki
kesamaan alasan, yakni menyembunyikan sesuatu dengan cara diam tanpa
menyebutkannya. Tadlis terdiri dari dua jenis yaitu:
1. Tadlis al-Isnad
Tadlis al-Isnad adalah seorang perawi (mengatakan) meriwayatkan sesuatu dari orang
semasanya yang tidak pernah bertemu dengan orang lain, atau pernah bertemu tetapi
yang
diriwayatkannya itu tidak pernah didengar dari orang tersebut, dengan cara yang
menimbulkan dugaan mendengar langsung. Misalnya dengan menyatakan: ”Fulan
berkata”, dari Fulan”, ”Sesungguhnya Fulan melakukan begini-begini” atau yang sejenis.
Jenis tadlis al-isnad yang lebih buruk lagi adalah jika ada seorang perawi mengugurkan
gurunya atau guru dari gurunya ataupun yang lain, dengan alasan ke-dla’îf-an mereka
atau karena masih
kecil atau karena alasan lain. Kemudian ia menggunakan kata yang mengandung
kemungkinan mendengar langsung dari gurunya untuk memperindah kualitas Hadîtsnya,
dengan meratakan sanadnya. Sehingga seolah-olah ia bertemu langsung dengan para
perawi yang tsîqah. Jenis yang demikian ini disebut tadlis al-taswiyah. Dan ini
merupakan jenis tadlis yang terburuk karena mengandung pengelabuhan yang sangat
keterlaluan.11
2. Tadlis al-SyuyûkhJenis ini lebih ringan dari pada tadlis al-isnad, karena perawinya
tidak sengaja menggugurkan salah seorang dari sanad, dan tidak sengaja pula
menyamarkan dan tidak mendengar langsung dengan ungkapan yang menunjukkan
mendengar langsung. Perawinya hanya menyebut gurunya, memberi kunyah, nisbat
ataupun sifat yang tidak lazim dikenal.
Kelima, Hadîts Mu’allal, yakni Hadîts yang tersingkap didalamnya illat qadihah, meski
lahiriyahnya tampak terbebas darinya. Artinya seolah-olah Hadîts tersebut tergolong bebas
dari cacat tetapi setelah diteliti secara mendalam ternyata terdapat kecacatan pada sanadnya.
Ajaj al-Khatib memasukkan Hadîts dalam kategori ini kedalam Hadîts dla’îf dari segi
kemuttasilan sanad, karena kecacatan Hadîts bisa dari sanad, kadang pada matan, dan kadang
juga pada sanad dan matan sekaligus.
Adapun Hadîts dla’îf yang karena sebab lain dari ketidak muttasil-an sanad atau hal lain ada
enam jenis kategori, yaitu:
Pertama, Hadîts mudlâ’af, yakni Hadîts yang tidak disepakati kedla’îf- annya. Sebagian ahli
Hadîts menilainya mengandung kedlaifan, baik dari segi sanadnya maupun matannya, dan
sebagian ahli lain menilainya sebagi Hadîts yang kuat. Dengan demikian yang tergolong
Hadîts ini tidak ada kesepakatan atas kedla’îf- annya dan sebagian ahli Hadîts
mengkategorikan sebagai Hadîts dla’îf yang derajatnya paling tinggi.
Kedua, Hadîts Mudltharib, yakni Hadîts yang diriwayatkan dengan beberapa bentuk yang
saling berbeda, yang tidak mungkin di-tarjîh-kan sebagiannya atas sebagian yang lain, baik
perawinya satu atau lebih. Bila salah satunya bisa di tarjih kan dengan salah satunya yng lain
dengan alasan tarjîh, misalnya perawinya lebih hafid atau lebih sering bergaul dengan perawi
sebelumnya (gurunya), maka penilaiannya diberikan kepada yang râjih itu.
Dalam kondisi yang demikian tidak lagi dimasukkan dalam kategori yang mudltharib, baik
untuk yang râjih maupun yang marjûh. Kadang-kadang ke-mudltharib-an terjadi pada satu
perawi, seperti pada beberapa perawi, kadang juga pada sanad,kadangpada matan dan kadang
juga pada keduanya. Ke-mudltharib-an mengakibatkan suatu Hadîts menjadi dla’îf, karena
menunjukkan ketidak dlabit-an adalah syarat ke-shahîh-an dan ke-hasan-an
Hadîts.
Ketiga, Hadîts Maqlûb, yakni Hadîts yang mengalami pemutarbalikan dari diri perawi
mengenai matannya, nama salah satu perawi dalam sanadnya atau suatu anad untuk matan
lainnya. Pemutarbalikan itu adakalanya pada matannya, adakalanya pada sanadnya yaitu
terbaliknya nama perawi, kadang pula ada Hadîts yang diriwayatkan melalui jalur perawi
yang telah dikenal atau sanadnya telah populer kemudian tertukar dengan perawi lain
pada tingkatannya atau dengan sanad lain yang bukan sanadnya, karena tidak sengaja.
Keempat, Hadîts Syadz. Sebagaimana kata Imâm al-Syafi’i sang ulama’ yang
memperkenalkan Hadîts syadz bahwa, Hadîts syadz tidaklah merupakan Hadîts yang
perawinya tsîqah meriwayatkan Hadîts yang sama sekali tidak diriwayatkan oleh yang lain,
tetapi Hadîts syadz adalah bila diantara sekian perawi tsîqah ada diantara mereka yang
menyimpang dari lainnya. Dan selanjutnya pengikut Imâm al-Syâfi’î sepakat dengan
pengertian tersebut. Dengan demikian kriteria syadz adalah tafarrud (kesendirian perawinya)
dan mukhâlafah (penyimpangan).
Seandainya ada perawi yang berkualitas tsîqah melakukan penyendirian dalam periwayatan
suatu Hadîts tanpa melakukan penyimpangan dari yang lainnya, maka Hadîtsnya shahîh
bukan syadz. Seandainya ada yang menyimpang darinya yang lebih kuat karena hafalannya
atau banyaknya jumlah perawi atau karena kriteria tarjîh lainnya, maka yang rajih disebut
mahfûdz, sedang yang marjûh disebut syadz.
Kelima, Hadîts Munkar, yakni Hadîts yang diriwayatkan oleh perawi dla’îf yang berbeda
dengan perawi-perawi lainnya yang tsîqah. Oleh karena itu kriteria Hadîts munkar adalah
penyendirian perawi dla’îf dan mukhalafah. Seandainya ada seorang perawi dla’îf melakukan
penyendirian dalam meriwayatkan suatu Hadîts, tanpa menyimpang dari perawi-perawi lain
yang tsîqah, maka Hadîtsnya tidak munkar, akan tetapi dla’îf. Bila Hadîtsnya ditentang
dengan adanya Hadîts dari perawi tsîqah, maka yang râjih disebut ma’rûf dan yang marjûh
disebut munkar. Dalam hal ini Ibnu Shalah menggolongkan Hadîts munkar ke dalam Hadîts
syadz, karena memiliki kesamaan kriteria, yakni tafarrud dan mukhalafah.
Keenam, Hadîts Matruk dan Matruh. Hadîts matruk adalah Hadîts yang diriwayatkan oleh
seorang perawi yang muttaham bi al-kidzbi (yang tertuduh melakukan dusta) dalam Hadîts
nabawi, atau sering berdusta dalam pembicaraannya, atau terlihat kefasikannya melalui
perbuatan maupun perkataannya, ataupun yang sering sekali salah dan lupa. Dan Hadîts ini
adalah tingkat Hadîts dla’îf yang terendah derajatnya. Misalnya Hadîts Sidqah al- Daqiqi dari
Farqad dari Murrah dari Abî Bakr, dan Hadîts Amr ibn Shamr dari Jâbir al-Ja’fî dari Harits
dan Alî.19 Sedangkan dalam hal Hadîts matruh, al-Hâfidz al-Dzahabi memasukkan sebagai
suatu Hadîts tersendiri. Dengan mengambil istilah tersebut dari term ulama’ Fulan Matruh al-
Hadîts (seseorang yang terlempar Hadîtsnya). Ia mengatakan: seseorang yang demikian
termasuk dalam daftar Hadîts perawi dla’îf lagi tertinggal Hadîtsnya. Akantetapi al-Jazayri
berpendapat bahwa yang demikian itu tidak lain adalah Hadîts matruk, yakni yang
diriwayatkan dengan menyendiri oleh perawi yang tertuduh dusta dalam Hadîts, termasuk
orang yang dikenal sering berbuat dusta selain dalam Hadîts.
Kehujjahan Hadîts Dla’îf
Telah diketahui bahwa Hadîts semasa sebelum al-Tirmidzi dibagi dalam dua kategori yakni:
(1) Hadîts shahîh yang didalamnya terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, dan (2) Hadîts
dla’îf yang didalamnya tidak terkumpul syarat-syarat Hadîts shahîh, termasuk di
dalamnya Hadîts hasan atau Hadîts dla’îf yang derajatnya naik menjadi Hadîts hasan karena
aspek banyaknya jumlah sanad dan jalan.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa yang mengenalkan pembagian Hadîts kedalam shahîh,
hasan dan dla’îf adalah al-Tirmidzi, serta tidak dikenal pembagian semacam ini sebelumnya.
Dan telah diketahui kalau Imâm Ahmad bin Hanbal sesunguhnya menggunakan Hadîts dla’îf
sebagai hujjah setelah fatwa sahabat. Imâm Ahmad bin Hanbal sesungguhnya menerima
riwayat dla’îf jika tidak diketahui kebohongan perawi dan tidak masyhûr dlabith-nya tetapi
mereka dikenal kebaikannya seperti Ibn luhai’ah dan lainnya. Dengan demikian dla’îf dalam
pandangan Imâm Ahmad bin Hanbal ini adalah Hadîts hasan atau Hadîts dla’îf yang naik
derajatnya menjadi Hadîts hasan.21
Adapun menurut Ibnu Taymiyah dalam Minhâj al-Sunnah mengatakan: Jika aku mengatakan
Hadîts dla’îf lebih baik dari pada pendapatku berarti yang dimaksud adalah bukan Hadîts
matruk tetapi Hadîts hasan. Sebagaimana Hadîtsnya Amr ibn Syu’aib dari
bapaknya dari kakeknya.
Adapun kehujjahan Hadîts dla’îf ada tiga pendapat yaitu:
Pertama, pendapat para ahli Hadîts yang besar seperti Imâm Bukhârî dan Imâm Muslim,
yang berpendapat bahwa Hadîts dla’îf tidak bisa diamalkan secara mutlak. Baik dalam
masalah fadlâ’il al-a’mâl, ahkâm, al-i’tibar maupun masalah mawâ’idz. Perkara-perkara
agama tidak dapat didasarkan kecuali pada al-Qur’ân dan Sunnah Rasûlullâh saw
yang shahîh. Adapun Hadîts dla’îf adalah Hadîts yang bukan shahîh. Dan pengambilan
Hadîts dla’îf dalam masalah agama berarti menambah masalah-masalah syari’at yang tidak
diketahui dasar ilmunya. Padahal ada larangan dari Allah swt. yang tidak boleh mengikuti
sesuatu yang tidak didasarkan atas ilmunya (walâ takfu mâlaysa laka bihi ilm).
Kedua, Hadîts dla’îf bisa diamalkan secara mutlak. Sebagaimana Imâm al-Suyûthî
mengatakan bahwa Imâm Abû Dawûd dan Imâm Ahmad, keduanya berpendapat kalau Hadîts
dla’îf lebih kuat dari pada ra’y perorangan.24
Ketiga, Hadîts dla’îf bisa digunakan dalam masalah fadlâ’il, mawâ’idz atau yang sejenis bila
memenuhi beberapa syarat. Ibnu Hajar mensyaratkan Hadîts dla’îf yang dapat diamalkan
adalah:
(1) ke-dla’îfannya tidak terlalu, sehingga tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau
yang tertuduh berdusta yang melakukan penyendirian, juga orang yang terlalu sering
melakukan kesalahan;
(2) Hadîts dla’îf tersebut masuk dalam cakupan Hadîts pokok yang bisa diamalkan dan tidak
keluar dari kaidah-kaidah Islam;
(3) ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa Hadîts itu berstatus kuat,
tetapi sekedar berhati-hati;
(4) fadlâ’il dan yang sejenis seperti mawadz, al-targhib wa al-tarhib bukan dalam masalah
aqidah dan hukum.25
Meriwayatkan Hadîts Dla’îf
Ulama’ Hadîts mengingatkan agar orang yang meriwayatkan Hadîts dla’îf tanpa sanad tidak
meriwayatkannya dengan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh bahwa hal itu
merupakan Hadîts. Sehingga ia tidak diperkenankan mengatakan : ”Rasûlullâh SAW
menyabdakan begini-begini”, dan sejenisnya. Dan kata-kata tersebut makruh digunakan
dalam meriwayatkan Hadîts shahih. Sehingga dalam meriwayatkan Hadîts shahih seseorang
harus menggunakan redaksi yang menunjukkan kemantapan penuh akan kualitasnya. Adapun
meriwayatkan Hadîts dla’îf lengkap dengan sanadnya tidak dimakruhkan menggunakan
redaksi yang menunjukkan kemantapan, bila diriwayatkan kepada ahl al-ilmi. Sedang bila
diriwayatkan kepada orang yang awam, agar tidak menunjukkan kemantapan penuh.26

Anda mungkin juga menyukai