Anda di halaman 1dari 4

TUGAS 1

NAMA : SINTIYA DEVI


NIM : 042412904

Sempat menyeruak oleh satu kelompok yang menyatakan bahwa hadis bukanlah meru
pakan sumber hukum yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kelompok itu
berdalih bahwa hadis yang ada saat ini merupakan sebuah pernyataan yang disampaik
an setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat.

Pertanyaan:

1. Berikan analisis anda atas alasan yang mendasari sehingga hadis dikatakan seb
agai sebuah sumber hukum dalam Islam.

2. Apakah semua jenis hadis diakui sebagai sumber hukum yang dapat dipertangg
ungjawabkan secara ilmiah?uraikan!

Jawaban:

1. Hadis dalam Islam menempati posisi yang sacral, yakni sebagai sumber hukum
setelah al-Qur’an. Maka, untuk memahami ajaran dan hukum Islam, pengetahuan
terhadap hadis haruslah suatu hal yang pasti. Rasulullah saw. adalah orang yang
diberikan amanah oleh Allah swt untuk menyampaikan syariat yang diturunkannya
untuk umat manusia, dan beliau tidak menyampaikan sesuatu terutama dalam
bidang agama, kecuali bersumber dari wahyu. Oleh karenanya kerasulan beliau
dan kemaksumannya menghendaki wajibnya setiap umat Islam untuk berpegang
teguh kepada hadis Nabi saw.

Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an:32


a) al-Qur’an dengan sifat yang qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan
diyakini) sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis. Dimana
status hadis (kecuali yang mutawatir) adalah zhanni al-wurud.
b) Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an.
Maksudnya,
yang dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih tinggi. Maka eksistensi
dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada eksistensi al-Qur’an.
c) Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu jika
bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-Qur’an tidak
ditemukan maka merreka merujuk kepada Sunnah yang mereka ketahui, atau bisa
menanyakan kepada sahabat yang lain.
d) Hadis Muadz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-Qur’an dan
Sunnah. “Sesungguhnya ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz bin Jabal ke
Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaiamana engkau memutuskan
perkara jika diajukan kepadamu?” Maka Muadz menjawab, “Aku akan
memutuskan berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an).” Rasul bertanya lagi, “Apabila
engkau tidak menjumpai jawabannya di dalam kitab Allah?” Muadz berkata, “Aku
akan memutuskan dengan Sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya lagi, “Bagaiaman
jika engkau tidak menemukan di dalam Sunnah dan tidak di dalam kitab Allah?”
Muadz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan mempergunakan akalku.” Rasul
saw menepuk dada Muadz seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang telah
dianugerahkan Allah kepada utusan Rasulnya.”

Untuk melaksanakan perintah tersebut haruslah dimulai dengan hal keimanan,


sebagaimana firman Allah swt yang artinya;
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ayat di atas menunjukkan kewajiban taat kepada Rasul, wujud taat tersebut
dengan mematuhi beliau ketika masih ada dan mengamalkan serta
memperdomani hadis (Sunnah) beliau sesudah tiada.

Kaum muslim bisa menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam. Namun,
ada hadits yang tidak boleh dijadikan landasan hukum.
Hadits adalah sesuatu yang datang atau bersumber dari Nabi SAW atau
disandarkan pada beliau SAW, sebagaimana diterangkan dalam buku Ulumul
Hadits karya Abdul Majid Khon. Hadits terdiri dari tiga komponen, yakni hadits
perkataan (qauli), hadits perbuatan (fi'li), dan hadits persetujuan (taqriri).Ada juga
ulama yang memasukkan sifat (washfi) baik fisik (khalqiyah) maupun perangai
(khuluqiyah), sejarah (tarikhi), dan cita-cita (hammi) Rasulullah SAW sebagai
komponen dalam mendefinisikan hadits.
Para pakar hadits juga menyebut hadits sebagai sunnah, khabar, dan atsar.
Namun, ada beberapa aspek yang membedakan keempatnya.

Hadits bersandar dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, dan
persetujuan yang sifatnya lebih khusus, sekalipun dilakukan sekali, sedangkan
sunnah bersandar pada Nabi SAW dan para sahabat dari aspek perbuatan yang
sifatnya menjadi tradisi.

Adapun, khabar bersandar pada Nabi SAW dan selainnya baik berupa perkataan
maupun perbuatan yang sifatnya lebih umum, dan atsar berasal dari perkataan
dan perbuatan sahabat dan tabi'in yang bersifat umum.
Masih mengacu pada sumber yang sama, jika dilihat dari sandarannya, hadits
terbagi menjadi dua jenis, yakni hadits nabawi yang bersandar pada nabi sendiri,
dan hadits qudsi yang bersandar pada Tuhan yang disampaikan kepada
Rasulullah SAW.
Hadits merupakan sumber hukum yang kedua dari empat sumber hukum Islam
yang disepakati para ulama. Setiap hadits memiliki kualitas yang kemudian
menentukan mana jenis hadits yang bisa dijadikan landasan hukum dan mana
yang tidak boleh.

Penentuan kualitas hadits bisa dilihat dari strukturnya. Dalam buku Ilmu
Memahami Hadits Nabi karya M Ma'shum Zein disebutkan ada empat struktur
hadits, yakni isnad, sanad, musnid, dan musnad.

Secara umum kualitas hadits terdiri dari tiga jenis, yakni hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dhaif, seperti dijelaskan dalam buku Memahami Ilmu Hadits
karya Asep Herdi. Hadits yang bisa dijadikan landasan hukum adalah hadits
shahih. Hadits jenis ini diriwayatkan oleh rawi yang adil, sempurna ingatan
(hafalannya), memiliki sanad bersambung, tidak cacat, dan tidak janggal.

Hadits-hadits shahih dapat ditemukan dalam kitab-kitab hadits. Beberapa di


antaranya Shahih Bukhari dan Muslim, Al-Muwaththa, Mustadrak Al-Hakim,
Shahih ibn Hibban, dan Shahih ibn Khuzaemah.

Referensi :
https://www.detik.com/hikmah/doa-dan-hadits/d-6941803/ini-jenis-hadits-yang-tak-
boleh-dijadikan-landasan-hukum.

2. hadits yang tidak boleh dijadikan landasan hukum adalah hadits mardud atau
hadits yang tertolak. Hadits mardud ini tidak memenuhi syarat qabul atau tidak
diterima sebagai dalil hukum. Hadits jenis ini adalah semua hadits yang dihukumi
dhaif (lemah).
Ulama hadits Muhammad Nashiruddin Al-Albani menerangkan dalam kitab
Silsilah-Ahadits adh-Dhaifah wal-Maudhu'ah, menurut asy-Syekh Ali al-Qari',
hadits dhaif bisa dijadikan landasan untuk melakukan amalan keutamaan yang
telah ditetapkan Al-Qur'an dan hadits. Hadits jenis ini tidak bisa dijadikan landasan
untuk menetapkan bentuk amalan yang utama.
Imam as-Suyuthi mengatakan dalam Tadrib ar-Rawy fi Syarh Taqrib an-Nawawi
sebagaimana dinukil Al Mukaffi Abdurrahman dalam buku Koreksi Tuntas Buku 37
Masalah Populer, seseorang boleh mengamalkan hadits dhaif dengan syarat
bahwa hadits tersebut tidak berkaitan dengan masalah akidah, yakni tentang sifat
Allah SWT, perkara yang boleh dan mustahil bagi-Nya, dan penjelasan firman-
Nya.

Hadits dhaif juga boleh diamalkan selain pada hukum halal dan haram. Kata Imam
as-Suyuthi, boleh pada kisah-kisah, fadha'il (keutamaan) amal dan nasihat.
Lebih lanjut Imam as-Suyuthi menjelaskan, seseorang boleh mengamalkan hadits
ini jika tidak terlalu dhaif, yakni perawinya bukanlah pendusta, tertuduh sebagai
pendusta, atau terlalu banyak kekeliruan dalam periwayatannya. Kemudian,
bernaung pada hadits shahih dan tidak diyakini sebagai ketetapan, melainkan
sebagai bentuk kehati-hatian saja.

Referensi:
https://www.detik.com/hikmah/doa-dan-hadits/d-6941803/ini-jenis-hadits-yang-tak-
boleh-dijadikan-landasan-hukum.

Anda mungkin juga menyukai