Anda di halaman 1dari 15

Sunnah atau Hadis menempati posisi penting dalam Islam yakni sebagai sumber hukum kedua setelah al-

Qur’an. Tidak semua persoalan keagamaan ditemukan jawabannya dalam al-Qur’an. Maka dari itu, para
ulama merujuk kepada sunnah atau hadis sebagai otoritas hukum kedua setelah al-Qur’an. Dalam
sejarahnya, istilah sunnah kemudian disinonimkan dengan istilah hadis. Ulama muhaddis|in pada
umumnya mengidentikkan antara sunnah dengan hadis, yakni segala sabda, perbuatan, ketetapan dan
sifat-sifat Nabi. Akan tetapi jika kita memperhatikan perspektif historisnya, maka sunnah dan hadis
sesungguhnya merupakan dua konsep yang berbeda meskipun di antara keduanya terdapat jalinan yang
erat. Maka Rahman memandang dan menyatakan bahwa sunnah dan hadis dapat dijadikan pedoman
kedua setelah al-Qur’an. Berbeda halnya dengan Ahmad, karena ia memandang bahwa dalam
menentukan suatu hukum, hanya al-Qur’an saja yang bisa dijadikan pedoman dan tidak perlu tambahan
kitab-kitab lain, seperti hadis ataupun sunnah. Aspek yang menjadi perbandingan yang digunakan pada
penelitian ini mencakup tiga pembahasan yang meliputi: Pertama¸ Makna Sunnah, Kedua, Otentisitas
Hadis, Ketiga, Implikasi Terhadap Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Kajian dalam
penelitian ini berusaha menjawab rumusan masalah: 1. Bagaimana konsep sunnah dalam pandangan
Fazlur Rahman dan Kassim Ahmad? 2. Apa persamaan dan perbedaannya? 3. Bagaimana implikasinya
terhadap hadis sebagai sumber hukum Islam? Dalam upaya menjawabnya, penelitian ini menggunakan
teori sunnah dan hadis. Sementara metode yang digunakan pada penelitian ini menggunakan metode
deskriptif-analitis-komparatif melalui pendekatan content analysis, yang bertujuan untukmenjelaskan
bagaimana pemikiran Fazlur Rahman dan Kassim Ahmad tentang sunnah, kemudian menganalisisnya
secara kritis, dan selanjutnya membandingkannya, sehingga dapat diketahui bagaimana perbedaan dan
persamaan antara pemikiran kedua tokoh tersebut. Adapun hasil dari penelitian ini adalah dalam
menentukan suatu hukum menggunakan hadis, Rahman menganggap bahwa tidak apa-apa, karena
Rahman memandang bahwa sebuah hadis yang memiliki matan yang lemah, tidak bisa dikatakan dhoif,
karena apabila isnadnya memiliki sumber historis yang kuat, hadis tersebut masih dapat diterima. Berbeda
halnya dengan Ahmad, ia memandang bahwa hadis tidak bisa dijadikan rujukan untuk menentukan suatu
hukum, karena hadis memiliki kelemahan, yakni selalu ada hadis mengkritik hadis yang lain, serta terlalu
banyak pemalsuan yang terjadi dalam hadis. Ahmad menyatakan bahwa cukup al- Qur’an saja sebagai
pedoman hidup umat-Nya, dan dalam menentukan suatu hukum dalam Islam, sudah cukup menggunakan
al-Qur’an, tidak perlu kitab-kitab lain.

Xxxxxxxxxxxxxx

Pada dasarnya, semua pelaksanaan ibadah dan ajaran Islam disandarkan kepada sumber hukum Islam.
Sebagai dasar pengambilan hukum, sumber hukum Islam dimaknai sebagai rujukan dan landasan yang
melatari perkara agama tersebut. Dalam Islam, sumber hukum yang diutamakan adalah Al-Quran dan
Hadis. Hal itu tergambar dalam sabda Nabi Muhammad SAW: “Aku telah tinggalkan pada kamu dua
perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunah
Rasul-Nya,” (H.R. Malik, Hakim, & Baihaqi). Sumber hukum Islam lainnya adalah ijmak (kesepakatan
ulama) dan kias (analogi). Selain itu, sebenarnya ada juga sumber hukum lainnya (misalnya, maslahah
dan mursalah), namun keempat sumber hukum tersebut (Al-Quran, hadis, ijmak, dan kias) adalah yang
disepakati para ulama dan tidak ada perbedaan di dalamnya. Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam &
Perbedaannya dengan Sunnah Hadis secara bahasa artinya adalah perkataan atau ucapan. Sementara itu,
berdasarkan pengertiannya hadis merupakan segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (taqrir) yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW. Hadis juga kerap disebut dengan sunah. Namun, para ulama hadis
membedakan perihal hadis dan sunah. Hadis lebih diartikan sebagai ucapan atau perkataan Nabi
Muhammad SAW. Sementara itu, sunah adalah segala sesuatu yang dilakukan Nabi Muhammad SAW
dan kemudian menjadi sumber hukum Islam. Hadis dalam bentuk perkataan Nabi Muhammad SAW
terdiri dari beberapa bagian berdasarkan tinjauan ilmu Mustalah Al-Hadis. Sejumlah bagian yang
menyusun hadis meliputi sanad, matan, dan rawi. Sanad adalah rangkaian orang yang menyampaikan
hadis dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian, matan dimaknai sebagai isi atau materi yang disampaikan
oleh Nabi Muhammad SAW. Terakhir, rawi merupakan orang yang meriwayatkan hadis tersebut.
Berkenaan dengan kedudukan hukumnya, hadis menempati peringkat kedua dalam sumber hukum Islam
setelah Al Quran. Hal tersebut bermakna bahwa apabila suatu perkara tidak terdapat penjelasannya di
dalam Al Quran, maka disandarkan kepada hadis. Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti (2017:53-54) yang ditulis Nelty Khairiyah dan Endi Suhendi Zen, fungsi hadis terhadap Al-Quran
adalah sebagai berikut: Menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang masih bersifat umum Memperkuat
pernyataan yang ada dalam Al-Quran Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam Al-Quran
Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Quran Macam-macam Hadis dalam Islam Sebagai
sumber hukum dalam ajaran Islam, hadis dibagi ke dalam beberapa macam berdasarkan perawinya.
Adapun beberapa macam hadis sebagai berikut: 1. Hadis Mutawatir Hadis mutawatir merupakan hadis
yang diriwayatkan oleh banyak perawi dari para sahabat maupun generasi berikutnya. Berdasarkan hal
itu, bisa dipastikan di antara mereka tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dalam hadis tersebut.
Derajat kesahihan hadis mutawatir adalah yang tertinggi dari macam-macam hadis lainnya. 2. Hadis
Masyhur Hadis masyhur merupakan hadis yang diriwayatkan oleh dua atau lebih sahabat dan tidak
mencapai derajat hadis mutawattir. Namun, hadis tersebut tersebar luas dan banyak diriwayatkan oleh
para tabiin (generasi setelah sahabat nabi). 3. Hadis Ahad Hadis ahad merupakan hadis yang diriwayatkan
oleh satu atau dua perawi dan tidak mencapai derajat hadis mutawatir. Hadis ahad sendiri kemudian
dikelompokkan berdasarkan segi kualitas perawinya, yakni hadis sahih, hadis hasan, hadis da’if, dan
hadis maudu' (palsu).

Baca selengkapnya di artikel "Apa itu Hadis atau Sunnah & Kedudukan Sebagai Sumber Hukum
Islam", https://tirto.id/gmpo

Xxxxxxxxxx

PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS


OLEH JAMARIL S.Ag GURU MTsN 7 KOTA PADANG
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis mohonkan kepada Allah SWT kerena atas berkah dan
rahmat-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PENGERTIAN,
KEDUDUKAN, DAN FUNGSI HADIST” . Makalah ini penulis buat berisikan pembahasan ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits tentang pendidikan.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengambil materi dari buku-buku yang berkaitan
dengan masalah-masalah pendidikan dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Penulisan dan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Demikian makalah ini penulis buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam
meningkatkan pemahaman tentang menggunakan akal kita untuk berpikir. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaannya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, Maret 2017


Wassalam Penulis
JAMARIL, S.AG

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut
periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian berlangsung
secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sinilah timbul berbagai
pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan
dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya
perpecahan yang terjadi.
Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan apakah hadist dapat dijadikan sebuah hujjah atau tidak..??
maka penulis mencoba membahas beberapa hal yang terkait dengan al-hadits sebagaimana terangkum
dalam rumusan masalah sebagai berikut.

1. Rumusan Masalah
2. Pengertian
3. Kedudukan
4. Fungsi
5. Hubungan dengan Al-Qur’an

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Al-Hadits

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang
singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari
seorang kepada orang lain.
Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan,
atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai
tujuan dan persuaian (situasi).
Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat
lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan
pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik
perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara
mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya
ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan
dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu
menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari
Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk :
Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini
kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan yag pernah
dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan
perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan
larangan sebelumnya.
Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya.
Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat.
Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk
mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.

1. Kedudukan Hadits

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau
menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.
Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak
diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah
SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua
setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna.
Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.
Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-
Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :

artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah,
sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.
Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan sebagai
dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi
kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti
kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.
Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas
yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini kebenarannya bahwa
hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai
kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan
tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara
mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan
cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian
kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat
tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-
syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

1. Fungsi Hadits

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan
dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini
telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64
Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.
Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi senagai berikut :

1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut


fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :

“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :
“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena
dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian
Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai
dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu,
kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.
3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-
Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti
akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa
yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas.
Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan
Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi,
karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap
larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

1. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada
dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya
sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk
diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum
Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.
Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah
berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli
bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu
shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103

Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.

Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum, umpamanya
hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.
Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.

Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang
seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :
“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:

1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu
yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah
Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997
Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999
Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002
Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980
Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999
Xxxxxxxxxxxxxx

PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

OLEH JAMARIL S.Ag GURU MTsN 7 KOTA PADANG


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis mohonkan kepada Allah SWT kerena atas berkah dan
rahmat-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PENGERTIAN,
KEDUDUKAN, DAN FUNGSI HADIST” . Makalah ini penulis buat berisikan pembahasan ayat-ayat
Al-Qur’an dan Hadits tentang pendidikan.

Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mengambil materi dari buku-buku yang berkaitan
dengan masalah-masalah pendidikan dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Penulisan dan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.

Demikian makalah ini penulis buat semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam
meningkatkan pemahaman tentang menggunakan akal kita untuk berpikir. Penulis menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaannya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi
kesempurnaan makalah ini.

Padang, Maret 2017

Wassalam Penulis

JAMARIL, S.AG

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut
periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua
periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian berlangsung
secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sinilah timbul berbagai
pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan
dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya
perpecahan yang terjadi.

Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan apakah hadist dapat dijadikan sebuah hujjah atau tidak..??
maka penulis mencoba membahas beberapa hal yang terkait dengan al-hadits sebagaimana terangkum
dalam rumusan masalah sebagai berikut.

1. Rumusan Masalah
2. Pengertian
3. Kedudukan
4. Fungsi
5. Hubungan dengan Al-Qur’an

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Al-Hadits

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang
singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari
seorang kepada orang lain.

Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan,
atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.

Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai
tujuan dan persuaian (situasi).

Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti pekerjaan melakukan shalat
lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan
pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.
Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik
perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara
mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya
ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan
dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu
menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari
Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk :

Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini
kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan yag pernah
dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan
perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan
larangan sebelumnya.

Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya.
Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat.
Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk
mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.

1. Kedudukan Hadits

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau
menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak
diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah
SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua
setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan
oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna.
Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-
Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama
mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :
1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering
dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :

artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah,
sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang
dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan sebagai
dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai
sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi
kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti
kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir,
masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.

Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas
yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini kebenarannya bahwa
hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai
kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan
tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara
mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan
bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan
cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian
kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat
tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-
syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

1. Fungsi Hadits
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan
dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini
telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia
menjalankan fungsi senagai berikut :

1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut


fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :

“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :

“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan
muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena
dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian
Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai
dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu,
kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.

3. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan
demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-
Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti
akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa
yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas.
Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan
Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi,
karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap
larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.

1. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada
dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya
sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk
diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum
Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan
Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah
berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli
bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam
hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut :

1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut
dalam Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu
shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103

Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman.

Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum, umpamanya
hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.

Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang
seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :

“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:

1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu
yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan
dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan,
perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan,
dan perkataan.
3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah
Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena
pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala
bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an
adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997

Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999

Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002

Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980

Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999

Anda mungkin juga menyukai