DISUSUN OLEH:
KELOMPOK I
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
dengan ini penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Studi
Al-Qur’an dan Hadits Tarbawy yang berjudul “Otoritas Hadis, hubungannya dengan Al-
Qur’an dan fungsi hadis terhadap Al-Quran” ini dengan baik dan benar.
Adapun makalah ini telah penulis usahakan semaksimal mungkin dan tentunya
dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses pembuatan makalah
ini. Oleh sebab itu, penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Kelompok 1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
TERHADAP AL-QUR’AN
A. Pengertian Hadis
C. Macam-macam Hadis
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an.
Penetapan hadits sebagai sumber kedua ini ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri,
kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa
Rasulullah SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS. 16:44). Karena itu
apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani
oleh kaum Muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam
penetapan hukum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan
petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan
kenyataan bahwa Al- Qur`an hanya memberikan garis- garis besar dan petunjuk umum yang
memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan
manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber kedua secara logika dapat diterima.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Hadits menurut bahasa artinya baru. Hadits secara bahasa juga bisa diartikan ucapan,
perkataan, khabar, cerita dan wawancara (Ali,tth: 747). Bentuk jama’nya adalah ahaadits.
َم ا ُأِض ْيفَ ِإَلى الَّنِبيِ صلى هلالٍ عليه وسلم ِم نْ َقْو لٍ َأوْ ِفْعلٍ َأوْ َتْقِر ْيرٍ َأوْ ِص َفة
Segala yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir
(diam/persetujuan) atau sifat beliau (Thahhan, 1996: 15).
“Sesungguhnya setiap perbuatan itu didasari oleh niat, dan bagi setiap orang apa yang dia
niatkan” (HR. Bukhari Muslim). Contoh perbuatan Nabi adalah cara wudhu, shalat, manasik
haji dan lain sebagainya yang beliau kerjakan. Contoh taqrir (diam/persetujuan) Nabi adalah
sikap diam beliau dan tidak mengingkari terhadap suatu perbuatan, atau persetujuan beliau
terhadapnya. Misalnya: Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, dia berkata, “Ada dua orang
yang sedang musafir, ketika datang waktu shalat tidak mendapatkan air, sehingga keduanya
bertayammum dengan debu yang bersih lalu mendirikan shalat Kemudian keduanya
mendapati air, yang satu mengulang wudhu dan shalat sedangkan yang lain tidak mengulang.
Keduanya lalu menghadap kepada Rasulullah dan menceritakan semua hal tersebut.
Hadis secara etimologi merupakan kata benda dari kata al-Tahdis yang berarti
pembicaraan. Sedangkan hadis menurut istilah ulama muhadditsin adalah segala yang
dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan taqrir maupun hal ihwal Nabi.
Hadis Nabi memiliki kedudukan sebagai sumber otoritatif ajaran Islam yang kedua, dan telah
diterima oleh hampir seluruh ulama dan umat Islam. Hadis Nabi memiliki hubungan erat
dengan Al-Qur‟an, hubungan dan kaitan hadis dengan Al-Qur‟an ini biasa disebut dengan
fungsi hadis terhadap Al-Qur‟an. Hadis berfungsi untuk menjelaskan dan menerangkan
makna Al-Qur‟an yang tersembunyi. Al-Qur‟an dan hadis tidak terlepas dari perkembangan
budaya dari waktu ke waktu,terutama hadis yang merupakan sumber hukum yang berasal dari
Nabi atas kejadian atau peristiwa tertentu pada saat itu yang erat kaitannya dengan ruang dan
waktu. Oleh karena itu, diperlukan kreatifitas untuk lebih sering menggunakan hadis pada
saat ini.
Sebagaimana kita pahami hadis adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an
pelrlu lah kita pahami unsur pokok yang menyusunnya. Unsur pokok hadi adalah sebagai
berikut:
1. Rawi
Rawi adalah orang menyampaikan atau menuliskan semua yang pernah didengar dan
diterimanya dari seseorang (guru) dalam kitab tertentu. Bentuk jamak rawi adalah ruwah.
Perbuatan menyampaikan hadist tersebut dinamakan merawi (meriwayatkan hadist). Seorang
penyusun atau pengarang, apabila hendak menguatkan hadist di takhrijkan dari kitab hadis
pada umumnya membubuhkan nama rawi (terakhirnya), yaitu salah satunya Imam Muslim,
Imam Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Mazah, dan lainnya, Pada akhir matan hadis. Hal ini berarti
rawi terakhir seperti Bukhari dan Musim, meskipun jarak keduanya sangat jauh dan tidak
segenerasi, kitab-kitabnya dapat diuji dari sisi kebersambungan sanad-nya.
Untuk menghemat pencantuman nama-nama rawi yang banyak jumlahnya, penyusun
kitab hadis biasanya tidak mencantumkan nama-ama para perawi secara keseluruhan tetapi
hanya merumuskan dengan bilangan yang menunjukan banyak atau sedikitnya rawi hadis
pada akhir matan hadisnya. Sebagai contoh adalah rumusan yang diciptakan oleh Ibnu Ismail
As-Shan’any dalam kitab subulus-salam yaitu:
Dalam menghimpun dan menyusun kitab hadis para muhaditsin menggunakan tiga
bentuk berikut:
a. Takhrij
Istilah takhrij dalam penggunaan Fi’il madhi-nya menggunakan kata akhraja, yang
mempunyai tiga pengertian berikut :
1) Usaha menjadikan sanad hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis karya orang
lain menyimpang dari sanad hadis karya orang lain tersebut;
2) Usaha mukharrij (orang yang men-takhrij-kan) tersebut dihimpun dalam sebuah kitab
dan kitabnya disebut mustakhraj. Mustakhraj Abu Nu’aim adalah salah satu kitab
Takhrij hadis Shahih Bukhari, dan takhrij Ahman Bin Hamdan adalah salah satu dari
kitab Mustakhraj Shahih Muslim;
3) Penjelasan dari penyusun hadis bahwa hadis yang di –nukil-nya terdapat dalam kitab
hadis yang telah disebut nama penyusunnya, misalnya apabila nukil-an hadisnya
menggunakan istilah akhrajahul Bukhari, berarti bahwa hadis itu di nukil dari kitab
Shohih Bukhari. Hal itu merupakan istilah penyusun hadis untuk mencari derajat,
sanad, dan rawi hadis yang diterangkan oleh pengarang.
b. Tashnif
Tashnif adalah usaha menyusun beberapa hadis (kitab hadis) dengan membubuhi
keterangan mengenai arti kalimat yang sulit-sulit dan memberikan interpretasi sekadarnya.
Apabila dalam memberikan interpretasi itu dengan jalan dan menjelaskan dengan hadis lain,
dengan ayat-ayat Al-Qur’an atau ilmu-ilmu yang lain, usaha semacam ini disebut men-
syarah-kan, misalnya Shahihu’i Bukhary bi syahri’i Kirmany, oleh Muhammad bin Yusuf Al-
Kirmany.
c. Ikhtishar
Ikhtishar adalah usaha meringkaskan kitab-kitab. Hadis yang diringkas biasanya
sanad-nya dan hadis-hadis yang telah berulang-ulang disebutkan oleh pengarang semula
sehingga tidak perlu ditulis kembali. Diantara Mukhtashar Shahih Bukhary, yaitu kitab
Mukhtasharul Bukhary, karya Abdul Abbas Al-Qurtuby. Perbedaan antara kitab Mustakhraj
dan mukhtashar adalah kitab Mushtakhraj tidak perlu adanya persesuaian lafazh dengan kitab
yang di takhrij kan,bahkan kadang-kadang ditemui adanya perbedaan lafazh dan perubahan
yang sangat menonjol sehingga mengakibatkan perbedaan arti.
Para muhaditsin memperoleh berbagai gelar sesuai keahlian dalambidang ilmu hadis
yang dimilikinya, termasuk kemampuan menghafal ribuan hadis. Gelar yang dimaksud
adalah sebagai berikut:
a. Amirul Mukminin Fil Hadits
Gelar Amirul Mukminin Fil Hadits diberikan kepada khalifa setelah khalifah Abu
Bakar As-Shidiq. Gelar ini diberikan kepada Syu’bah Ibnu Al-Halaj, Sofyan Ats-Tsauri,
Ishak Ibnu Rahawaih, Ahmad Ibnu Hambal, Bukhari Ad-Daruqutni dan Musim.
b. Al-Hakim
Al-Hakim adalah gelar keahlian bagi imam hadits yang menguasai seluruh hadits
yang diriwayatkannya, baik matan maupun sanad-nya, dan mengetahui ta’dil (terpuji) dan
tajrih (tercela) nya rawi-rawi. Ia mengetahui sejarah hidup, perjaanan guru-guru, dan sifat-
sifat setiap rawi yang dapat diterima ataupun ditolak. Ia pun dapat menghafal hadits lebih dari
300.000 hadits beserta sanad-nya. Gelar inidiberikan kepada Imam Syafi’i dan Imam Malik.
c. Al-Hujjah
Al-Hujjah adalah gelar para imam ahli hadits yang mampu menghafal 300.000 hadis,
baik matan, sanad, maupun biografi para perawinya termasuk tentang keadilan dan
kecacatannya. Gelar ini diberikan kepada Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Al-Walid, dan
Muhammad Abdullah bin Amr.
d. Al-Hafidz
Al-hafidz adalah gelar yang diberikan kepada ahli hadis yang dapat mensahihkan
sanad dan matan hadis serta dapat menunjukkan keadilan ataupun cacat perawinya. Al-Hafidz
mampu menghafal 100.000 hadis. Gelar ini diberikan kepada Al-Iraqiy, Syarafuddin Ad-
Dimyathi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan Ibnu Daqiqil Id.
e. Al-Muhadditsin
Al-Muhadditsin sama dengan Al-Hafidz, tetapi Al-Muhaddis siberikan kepada orang
yang mampu mengetahui sanad, illat, nama rawi, tinggi rendahnya derajat hadis dan
memahami kutubus-sittah, musnad Imam Ahmad, Sunan Balhaqi, dan mu’jam Thabrani. Ia
juga mampu menghafal 1.000 hadis. Gelar ini diberikan kepada Atha’ bin Abi Ribah (wafat
115 H) dan Imam Az-Zabidi (ulama yang meringkas kitab Bukhari-Mslim)
f. Al-Musnid
Al-Musnid adalah gelar keahlian bagi orang yang meriwayatkan hadis beserta sanad-
nya, baik menguasai ilmunya atau tidak. Al-Musnid juga disebut dengan At-Thalib, Al-
Mubtadi’, dan Ar-Rawi.
2. Matan
Kata matan menurut bahasa berarti keras, kuat, suatu yang tampak,dan asli dalam
perkembang, karya penulisan terdiri atas matan dan syarah. Matan adalah karya atau
karangan asal seseorang yang pada umumnya menggunakan bahasa yang universal, padat,
dan singkat. Menurut istilah matan adalah kalimat tempat berakhir nya sanad Dalam definisi
lain disebutkan bahwa matan adalah kata-kata hadist yang mengandung makna tertentu.
Matnul hadist adalah pembicaraan atau materi berita yang dibawa oleh sanad yang terakhir,
baik pembicaraan itu sabda Rasullah SAW. Sahabat maupun dari tabiin, baik isi
pembicaraan itu tentang perbuatan nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oeh
nabi. Misalnya, al- hakim meriwayatkan bahwa Rasullah SAW bersabda” penghulu syuhada
adalah Hamzah dan orang yang berdiri dihadapan penguasa untuk menasehati nya lantas ia
dibunuh karnanya.” Pernyataan tersebut merupakan matan(isi dari sebuah hadist) yang
diriwayatkan oleh Imam Malik. Contoh lain, Imam Bukhari dan Imam muslim meriwayatkan
bahwa Rasullah SAW. Bersabda, “masyarakt tu berserikat dalam tiga barang”air, padang
gembalaan. Dan api.” Sabda Rasullah SAW merupakan matan hadist yang diriwayatkan oleh
kedua perawi hadist tersebut. Dengan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa matan
adalah isi berita yang dibawa oleh sanad terakhir yang sil-silah nya berasa dari para perawi
hadist.
3. Sanad
Sanad atau thariq adalah jalan yang dapat menyambungkan matnul hadist kepada nabi
Muhammad SAW. Kata sanad menurut bahasa adalah sandaran atau sesuatu yang dijadikan
sandaran. Dikatakan demikian karena setiap hadist selalu bersandar kepadanya. Adapun arti
sanad menurut istiah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al-Badru bin Jamaah dan AT-
Tibi mengatakan bahwa sanad adalah berita tentang jalan matan. Ulama lain mendefinisikan
matan sebagai silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadist) yang menyampaikannya
kepada matan hadist. Matan adalah silsiah para rawi yang me-nukil hadist dari sumbernya
yang pertama. Dalam ilmu hadist, sanad merupakan neraca untuk menimbang sahih atau
dhaif-nya hadist. Apabila salah seorang dalam sanad ada yang fasik atau yang tertuduh dusta,
atau jika setiap para pembawa berita dalam mata rantai sanad tidak bertemu langsung
(muttashil), hadist tersebut dhaif sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Sebaliknya, apabia
para perawi hadist tersebut orang-orang yang adil, terpercaya, takwa, tidak fasik, menjaga
kehormatan diri (muru’ah), dan memiliki daya ingat yang kuat (dhabit), sanad nya
bersambung hingga pada sumber berita pertama, hadist nya dinilai sahid.
Dalam studi sanad terdapat tiga istilah, yaitu isnad, musnid, dan musnad. Isnad adalah
usaha ahli hadist dalam menerangkan sebuah hadist yang diikutinya dengan penjelasan
dengan mengenai orang yang dijadikansandaran atau disebut mengisnadkan hadist. Hadist
yang telah diisnadkan oleh musnid (orang yang mengisnadkan) disebut dengan hadist
musnad. Misalnya, musnad Asy- Syihhab dan musnad Al-Firdaus, dan musnad
Ahmad bin Hanbal, yang semuanya merupakan kumpuan hadist yang telat diisnadkan
oleh ketiga ulama tersebut. Selain itu, musnad dapat juga berarti:
a. Hadist yang marfu’ dan muttasil (sanad nya bersambung-sambung tidak terputus.
b. Nama kitab yang menghinpun seluruh hadist yang diriwayatakan oleh para sahabat.
Dalam kitab musnad ini, objek nya menggunakan nama sahabat. Semua hadist yang
diriwayatkan oleh seorang sahabat terhimpun dalam satu kelompok, tanpa
diklarifikasikan isinya dan tanpa disisikan antara makna hadist yang sahih dan yang
dha’if.
Suatu hadist sampai kepada umat Islam melalui rangkaian sanad. Setiap sanad
bertemu dengan rawi yang dijadikan sandaran penyampain berita sehingga seluruh sanad
merupakan rangkain yang terikat atau bersambung. Rangkain sanad yang bersambung
merupakan sand yang paling berkualitas. Akan tetapi, terdapat pula rangkain sanad yang
tidak bersambung seluruhnya, putus diakhir sanad, ditengah, dan diawal sanad, yang
tergolong sanad yang lemah mengingat perbedaan daya ingat dan keadilan rawi yang
dijadikan sanad-nya. Ahli hadist membagi tingkatan sanad-nya menjadi tiga macam, yaitu
sebagai berikut:
a. Ashahhul-asanid (sanad-sanad yang lebih sahih). Contoh, Ashahu-asanid dari sahabat
tertentu, yaitu umar bin khatab r.a yaitu yang diriwayatkan oleh Ibnu Syihab Az-
Zhuhri dari Salim bin Abdulah bin Umar dari ayah nya (Abdullah bin Umar), dari
kakek nya (Umar bin Khattab).
b. Ahsanul-asanid (sanad-sanad yang lebih hasan) sanad ini lebih rendah derajatnya dari
pada sanad Ashahhul-asanid. Contoh, apabila hadist tersebut bersanad, antara lain
Bahaz bin Hakim dari ayahnya (Hakim bin Muawiyah). Dari kakeknya (Muawiyah
bin Haidah) dan amruk’binsyuaib dari ayahnya (Syuaib bin Muhammad) dari
kakeknya (Muhammad bin Abdullah bin Amr bin Ash).
c. Adh’aful-asanid (sanad-sanad yang lebih lemah) rangkain sanad yang Adh’ aful-
asanid salah satunya adalah Abu Bakar as-shidiq r.a, yang diriwayatkan oleh
Shadaqah bin Musa dari Abi Ya’qub Farqad bin Yaqub dari murrah Ath-Thayyib dari
Abu Bakar r.a.
C. Macam-macam Sunnah/Hadis
Sunnah atau hadis dari segi sanadnya atau periwayatannya dalam kajian Ushul Fiqh
dibagi kepada dua macam, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
1. Hadis Mutawatir
Hadis mutawatir ialah hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh sekelompok
perawi yang menurut kebiasaan individu-individunya jauh dari kemungkinan berbuat bohong,
karena banyak jumlah mereka dan diketahui sifat masing-masing mereka yang jujur serta
berjauhan tempat antara yang satu dengan yang lain. Dari kelompok ini diriwayatkan pula
selanjutnya oleh kelompok berikutnya yang jumlahnya tidak kurang dari kelompok pertama,
dan begitulah selanjutnya sampai dibukukan oleh pentadwin (orang yang membukukan)
Hadis, dan pada masingmasing tingkatan itu sama sekali tidak ada kecurigaan bahwa mereka
akan berbuat bohong atas Rasulullah. Contohnya Sunnah fi’liyyah (perbuatan) tentang
perincian cara melakukan shalat, perincian haji, dan lain-lain yang merupakan syiar agama
Islam yang secara berturut-turut diwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga
sampai kepada kita. Sunnah fi’liyyah seperti ini telah diterima oleh sekelompok sahabat dari
Rasulullah. Kemudian diwarisi pula oleh generasi berikutnya sehingga sampai ke masa kita
sekarang ini.
Hadis mutawatir terbagi dua macam, yaitu Hadis mutawatir lafzy dan Hadis
mutawatir ma’nawy. Hadis mutawatir lafzy ialah Hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak
yang bersamaan yangArtinya: Dari Abu Sa’id al-Khudriy, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: "Janganlah Anda tulis apa yang aku ucapkan, barangsiapa yang menulis sesuatu
dariku selain A-Qur’an maka hapuslah dan ceritakanlah Hadis dariku serta jangan berbuat
dosa. Barangsiapa yang berbuat dusta atas diriku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mengambil tempatnya di neraka." (HR. Muslim)
Menurut Imam Zakaria Muhyiddin ibn Syaraf al-Nawawi (w. 676 H), ahli Hadis dan
ahli fikih dari kalangan Syafi’iyah, Hadis tersebut diriwayatkan oleh tidak kurang dari 200
orang sahabat. Adapun Hadis mutawatir ma’nawy ialah beberapa Hadis yang beragam
redaksinya tetapi maknanya sama. Misalnya Hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah
mengangkat tangannya dalam setiap berdoa. Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai
peristiwa dan dalam berbagai redaksi antara lain diriwayatkan oleh Tirmizi.
2. Hadis Ahad
Hadis ahad ialah Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak sampai
ke batas Hadis mutawatir. Hadis ahad terbagi kepada tiga macam yaitu:
Pertama, Hadis masyhur, yaitu Hadis yang pada masa sahabat diriwayatkan oleh tiga
orang perawi, tetapi kemudian pada masa tabi’in dan seterusnya Hadis itu menjadi Hadis
mutawatir dilihat dari segi jumlah perawinya.
Contoh:
Yang artinya: Dari Umar bin Khattab: ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu alaihi
wasalam bersabda: "Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung kepada niat, dan bagi
seseorang adalah menurut apa yang dini atkannya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah
dan Rasul-Nya, maka hijrahnya akan sesuai dengan yang telah diniatkannya dan barangsiapa
yang hijrahnya karena dunia yang akan digapainya atau karena wanita yang akan
dinikahinnya, maka nilai hijrahnya akan sesuai dengan apa yang diniatkannya." (HR. al-
Bukhari dan Muslim)
Kedua, Hadis aziz, yaitu Hadis yang pada satu periode diriwayatkan oleh dua orang
meskipun pada periode-periode yang lain diriwayatkan oleh banyak orang. Contoh: yang
artinya: Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam, baik laki-laki
maupun perempuan." (HR. al-Baihaqi) .
Ketiga, Hadis gharib yaitu Hadis yang diriwayatkan orang perorangan pada setiap
periode sampai Hadis itu dibukukan. Contohnya Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari
Anas:
Artinya: Dari Qatadah, dari Anas berkata Rasulullah SAW bersabda: "Belum dianggap
sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga aku lebih disukai olehnya daripada
orangtuanya, anaknya, dan seluruh manusia." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dari kedua pembagian Hadis di atas, para ulama ushul fiqh sepakat bahwa Hadis
mutawatir adalah sah dijadikkan sumber hukum, namun mereka berbeda pendapat tentang
keabsahan Hadis ahad sebagai sumber hukum. Dari kedua pembagian Hadis di atas, para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa Hadis mutawatir adalah sah dijadikkan sumber hukum,
namun mereka berbeda pendapat tentang keabsahan Hadis ahad sebagai sumber hukum.
‘Umar mengenai apa yang didengarnya dari Sa’ad bin Abi Waqqas, yaitu bahwa Rasulullah
menyapu sepatu (dalam berwudhu) bagian atasnya, Umar menjawab: "Ya, betul. Kalau sudah
diceritakan Sa’ad dari Rasulullah, tidak lagi perlu engkau tanyakan kepada orang lain."
Dengan beberapa alasan di atas, jumhur ulama sepakat bahwa Hadis ahad bilamanasampai ke
tingkat sahih dapat dijadikan sumber hukum. Selain itu, para ulama Hadis secara ketat
membuat persyaratanpersyaratan yang akan menjamin kesahihan Hadis, sehingga
kekhawatiran bahwa Hadis itu palsu,tipis sekali.
D. Otoritas Hadis sebagai sumber hukum Islam
Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits merupakan
salah satu sumber hukum kedua setelah Alquran. Alquran akan sulit dipahami tanpa
intervensi hadits. Memakai Alquran tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum dan
pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Alquran akan sulit dipahami tanpa
menggunakan hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits di samping Al-Qur’an sebagai
sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadis
merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara Al-Qur’an hadits karena keduanya
adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matlu (wahyu yang dibacakan oleh
Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad SAW dengan
menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu ghoiru matlu (wahyu yang tidak dibacakan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara langsung, melainkan maknanya dari Allah
dan lafalnya dari Nabi Muhammad SAW.
Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi
satu tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’i baik
secara global maupun terperinci. Sedangkan hadis berkualitas qath’I baik secara global
maupun terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk
di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi Muhammad tidak lebih hanya
penyampai Al-Qur’an kepada manusia. Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan
dan perbuatannya menjadi pedoman manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa
mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakikatnya Sunnah Rasul adalah
petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al-Qur’an merupakan petunjuk berupa kalimat-
kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka sunnah Rasul
adalah petunjuk dari Allah yang diilhamkan kepada beliau, kemudian beliau
menyampaiaknnya kepadda umatdengan cara beliau sendiri.
Al-hadits didefinisikan oleh ulama pada umumnya seperti definisi Al-sunnah sebagai
“segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW baik ucapan, perbuatan dan
taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun
sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada “ucapan-ucapan
Nabi Muhammad SAW. Yang berkaitan dengan hukum” sedangkan bila mencangkup
perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai
Al-Sunnah.
Sementara itu ulama’ tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan
rasulNya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi yang berbeda.
Pertama adalah Athi’u Allah wa Al-rasul, dan kedua adalah Athi’u Allah wa athi’u ar-rasul.
Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan
perintah Allah SWT karena itu, redaksi tersebut mencukupkan penggunaan sekali saja kata
Ahti’u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang
tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada
Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu dalam kondisi tertentu walaupun
ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay
ibn Ka’ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul SAW itu sebabnya dalam redaksi
kedua di atas, kata athi’u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah ta’at kepada Ulu
Al-‘Amr tidak dibarengi dengan kata athi’u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri
sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah SWT
dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul SAW
dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikitpun rasa enggan dan pembangkangan,
baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman
seseorang, demikian Allah SWT bersumpah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 65.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara
hadits dan alqur’an dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi
redaksi, diyakini bahwa wahyu alqur’an disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat jibril
hanya sekedar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung
menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi
wahyu-wahyu alqur’an itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak
diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian
disampaikan secara tawattur oleh sejumlah orang yang menurut adat mustahil akan sepakat
berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu alqur’an menjadi qath’iy al-wurud. Ini, berbeda
dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itupun seringkali
dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di
samping itu, diakui pula oleh ulama hadits bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada
yang menulis teks-teks hadits, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan
kebanyakan hadits-hadits yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan
tabi’in. Ini menjadikan kedudukan hadits dari segi otensitasnya adalah zanniy al-wurud.
Tentang hubungan Alqur’an dengan Hadis, Ibn Hazmin berkomentar, bahwa ketika
kita menjelaskan Alqur’an sebagai sumber hukum syara’, maka di dalam Alqur’an itu sendiri
terdapat keterangan Allah SWT yang mewajibkan kita untuk mentaati Rasulullah SAW, dan
penjelasan bahwa perkataan Rasulullah SAW yang berhubungan dengan hukum syara’ pada
dasarnya adalah wahyu yang datang dari Allah SWT juga. Hal tersebut termuat didalam
firman Allah SWT, dalam surat Al-Najm ayat 3-4:
)4( ) ِإْن ُهَو ِإاَّل َو ْح ٌي ُيوَح ى3( َو َم ا َيْنِط ُق َع ِن اْلَهَو ى
“Dan tiadalah yang diucapkan beliau (Rasulullah SAW) itu (bersumber) dari hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (Allah SWT) kepadanya.”
Dari periwayatan diatas dapat dipahami, bahwa wahyu yang datang dari Allah SWT serta
disampaikan-Nya kepada Rasulullah SAW terbagi dua, yaitu:
Pertama : Wahyu yang matluw, yang bersifat mukjizat yaitu, Al-qur’an al-Karim.
Kedua : Wahyu yang marwi dan ghayr matluw, yang tidak bersifat mukjizat, yaitu
khabar yang datang dari Rasulullah SAW yang berfungsi menjelaskan apa yang datang dari
Allah SWT, sebagaimana dinyatakan Allah SWT didalam firman-Nya dalam surat Al-Nahl
ayat 44:1[6]
ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِإَلْيِهْم َو َلَعَّلُهْم َيَتَفَّك ُروَن.....
“.....Agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka....”
Allah SWT telah mewajibkan umat islam untuk mentaati wahyu dalam bentuknya
yang kedua ini (yaitu hadits atau sunnah), sebagaimana mentaati wahyu dalam bentuknya
yang pertama (Al-qur’an) tanpa membedakannya dalam hal mentaatinya.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Al-qur’an dan Hadis adalah dua
sumber hukum syara’ yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Tidak mungkin seseorang untuk memahami hukum syara’ secara baik kecuali dengan
merujuk kepada keduanya.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah ketika mengomentari ayat Allah SWT dalam surat An-
Nisa’ ayat 59 yang berbunyi:
َي ا َأُّيَه ا اَّل ِذ يَن َآَم ُن وا َأِط يُع وا َهَّللا َو َأِط يُع وا الَّرُس وَل َو ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم ْنُك ْم َف ِإْن َتَن اَز ْعُتْم ِفي َش ْي ٍء َف ُر ُّدوُه ِإَلى ِهَّللا
َو الَّرُس وِل ِإْن ُك ْنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَيْو ِم اَآْلِخ ِر َذ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َتْأِو ياًل
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah SWT dan taatilah Rasulullah SAW, dan Ulil
amri diantar kamu. Maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah
1
permasalahan tersebut kepada Allah SWT (Al-Qur’an) dan Rasulullah SAW (sunnah), jika
kamu benar-benar beriman pada Allah SWT dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Dia (Ibn Qayyim) berkata, bahwa perintah Allah SWT untuk menaati-Nya dan
menaati Rasul-Nya tampak jelas dari pengulangan kata-kata tha’at yang mendahului kata
Allah SWT dan Rasulullah SAW. Hal tersebut adalah sebagai pemberitahuan bahwa menaati
Rasulullah SAW adalah wajib secara mutlak, baik yang diperintahkan Rasulullah SAW itu
sesuatu yang terdapat didalam Al-Qur’an maupun karena kepada Rasulullah SAW telah
Allah berikan sebuah kitab, yaitu Al-Quran al-Karim, dan yang sama dengannya, yaitu
sunnah/hadis.
Ditinjau dari segi fungsinya, Hadits (Sunnah) mempunyai hubungan yang sangat kuat dan
erat sekali dengan al-Qur'an. Di antara peran dan fungsi Hadits terhadap al-Qur'an adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai Pengukuh (Ta'kid) terhadap Ayat-Ayat al-Qur'an
Sunnah dikaitkan sebagai pengukuh ayat-ayat al-Qur'an apabila makna yang terkandung
di dalamnya sesuai dengan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur'an. Nabi saw
bersabda:
"Sesungguhnya Allah menangguhkan (balasan) terhadap orang dzalim. Dan jika Allah
menurunkan balasan-Nya, maka Dia tidak akan melepaskannya."(HR. Ibnu Majah).
Hadits tersebut sesuai dengan firman Allah Ta'ala:
" َو َك َذ ِلَك َأْخ ُذ َر ب َك ِإذ ا َأَخ َذ اْلُقَر ى َو ِهَي َظاِلَم ةDan begitulah adzab Tuhanmu, apabila Dia mengazab
penduduk negeri yang berbuat dzalim."(QS. Huud: 102).
Hadits yang berfungsi sebagai pengukuh (penta'kid) ayat-ayat al-Qur'an jumlahnya banyak
sekali, seperti hadits-hadits yang menunjukkan atas wajibnya shalat, zakat, haji, dan
sebagainya.
Hadits dalam kategori ini ialah seperti hadits yang mengkhususkan makna zalim dalam
firman Allah Ta'ala:
اَّلِذ يَن َآَم ُنوا َو َلْم َيْلِبُسوا ِإيَم اَنُهْم ِبُظْلٍم
"Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan
kezaliman."(QS. Al-An'am: 82).
Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat tersebut adalah menyekutukan Allah.
Peristiwanya ialah sewaktu ayat tersebut turun, sebagian sahabat mengira bahwa yang
dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum, sehingga dia berucap,
"Siapakah di antara kita yang tidak zalim?" Kemudian Nabi saw menjawab, "Bukan itu yang
dimaksud, tetapi yang dimaksud zalim pada ayat itu ialah menyekutukan Allah (syirik)."
d. Menjelaskan Makna Lafadz yang Masih Tidak Jelas (kabur)
Di antaranya ialah seperti hadits yang menjelaskan makna dua lafadz "al-khaithu" dalam
firman Allah Ta'ala:
َو ُك ُلوا َو اْش َر ُبوا َح َّتى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخ ْيُط اأْل َْبَيُض ِم َن اْلَخ ْيِط اَأْلْس َوِد ِم َن اْلَفْج ِر
"Dan makan minumlah kamu hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam. Yaitu
fajar."(QS. Al-Baqarah: 187).
Peristiwanya ialah sebagian sahabat ada yang mengira bahwa yang dimaksud benang dalam
ayat itu ialah tali yang berwarna hitam dan putih. Kemudian Nabi saw menjelaskan bahwa
yang dimaksud ialah terbitnya fajar.
3. Menetapkan Hukum yang Tidak Disebutkan dalam al-Qur'an
Contoh sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadits-hadits yang menetapkan
hukum haram mengawini (poligami) seorang perempuan beserta bibinya, riba fadhal, dan
makan daging himar piaraan.
4. Menghapus Ketentuan Hukum dalam al-Qur'an
Hadits juga berfungsi menghapus (menasakh) ketentuan hukum dalam al-Qur'an, di
antaranya ialah seperti hadits: رواه الحاكم.ََّل َوِص َّيَة ِلَو اِرٍث
"Tidak boleh berwasiat (memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris."(HR. Hakim).
Hadits tersebut menghapus ketentuan hukum dalam al-Qur'an tentang diperbolehkannya
wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau kerabat-kerabat waris waris
lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِإَذ ا َح َض َر َأَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِإْن َتَرَك َخ ْيًرا اْلَوِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اأْل َْقَر ِبيَن ِباْلَم ْع ُروِف
َح ًّقا َع َلى اْلُم َّتِقيَن
"Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapa dan karib kerabatnya
secara ma'ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa."(QS. Al-Baqarah:
180) (al-Maliki, 2006: 11-12).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Lukman Hakim, “Fenomena Ingkar Sunnah Dalam Perkembangan Sejarah”, Innovatio,Vol.
VII, No. 14, (Juli-Desember 2008), hlm. 346
Darussamin, Zikri. “Kassim Ahmad Pelopor Ingkaru Sunnah di Malaysia”, dalam AlFikra,
Vol. VII, No. 1, Januari-Juni 2009.
Edi, Relit Nur. “Suatu Kajian Aliran Ingkaru Sunnah”, dalam Asas, Vol. VI, No.2, Juli 2014.
Al-Farran, Ahmad Musthafa. Tafsir Imam Syafi‟i Juz 1, Jakarta: Almahira, 2008.
Fikri, Hamdani Khairul. “Fungsi Hadis Terhadap al-Qur‟an”, dalam Tasamuh,Vol. XII, No.
2, Juni, 2015.
Nuruddin Itr, Manhaj an-Naqd Fii Ulum al-Hadis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012.
Al-Hadi, Abu Azam. “Otoritas Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam”, dalam Akademika,
Vol. VIII No. 1, Juni 2014.
Hammang, M. Nasri. “Kehujjahan Hadis Menurut Imam Mazhan Empat”, dalam Jurnal
Hukum Diktum, Vol. IX, No. 1, Januari 2011
Ayat Dimyati & Beni Ahmad Saebani, Teori Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2016),
213-219.
Muhamad Ali dan Didik Himmawan, “Peran Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama, Dalil-
Dalil Kehujjahan Hadits dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an”, Risâlah, Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 5, No. 1, Maret 2019, 127
Satria Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2005), 117-118
Ayat Dimyati & Beni Ahmad Saebani, Teori Hadits., 219
Muhamad Ali dan Didik Himmawan, “Peran Hadits Sebagai Sumber Ajaran Agama, Dalil
Dalil Kehujjahan Hadits dan Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an”, Risâlah, Jurnal
Pendidikan dan Studi Islam, Vol. 5, No. 1, Maret 2019, 12