Anda di halaman 1dari 8

Makalah 4Shared

portal untuk berbagi informasi seputar makalah

Sunday, April 29, 2012

Dalil-dalil Kehujjahan Hadist

BAB I

PENDAHULUAN

• Pengertian Kehujjahan Hadits

Yang dimaksud dengan kehujahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib
dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-
dalil syariah yang menunjukkannya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Ushul Al-Fiqh Al-Islami,
orang yang pertama kali berpegang dengan dalil-dalil ini diluar ‘ijma adalah Imam Asy-Syafi’I (w. 204 H)
dalam kitabnya Ar-Risalah dan Al-Umm.

Kehujahan hadits sebagai dalil syara’ telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil qath’iy yang
menuturkan tentang kenabian Mohammad saw. Selain itu, keabsahan hadits sebagai dalil juga
ditunjukkan oleh nash-nash qath’iy yang menyatakan, bahwa beliau saw tidak menyampaikan sesuatu
(dalam konteks syariat) kecuali berdasarkan wahyu yang telah diwahyukan. Semua peringatan beliau
saw adalah wahyu yang diwahyukan. Oleh karena itu, hadits adalah wahyu dari Allah swt, dari sisi
maknanya saja, tidak lafadznya. Hadits adalah dalil syariat tak ubahnya dengan al-Quran. Tidak ada
perbedaan antara al-Quran dan Hadits dari sisi wajibnya seorang Muslim mengambilnya sebagai dalil
syariat.

Di dalam al-Qur'an sendiri kita dapati perintah-perintah, akan tetapi tidak disertakan bagaimana
pelaksanaannya, seperti misalnya perintah shalat, puasa dan sebagainya. Dalam hal yang demikian ini
tidak lain kita harus melihat kepada hadits.

Bukankah Allah telah berfirman di dalam al-Qur'an:

"Dan Kami menurunkan kepada kamu adz-dzikr, agar engkau menjelaskan kepada manusia tentang apa
yang telah diturunkan kepada mereka." (an-Nahl: 44)
Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an,
sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan
ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

Sabda Nabi SAW :

"Ingat! Bahwa saya diberi al-Quran dan yang seperti al-Quran (Hadits)." (H.R. Abu Daud)

Karena itu, hadits, baik ia menjelaskan al-Qur'an atau berupa penetapan sesuatu hukum, umat Islam
wajib mentaatinya.

Apabila kita teliti, hadits terhadap al-Qur'an, dapat berupa menetapkan dan mengokohkan ketentuan-
ketentuan yang terdapat di dalam al-Qur'an, atau berupa penjelasan terhadap al-Qur'an, menafsiri serta
memperincinya, atau juga menetapkan sesuatu hukumyang tidak terdapat di dalam al-Qur'an.

Hal ini juga dikemukakan oleh Imam asy-Syafi'i di dalam ar-Risalahnya.

Jika sekiranya, hadits itu bukan merupakan hujah dan tidak pula merupakan penjelasan atas al-Qur'an,
sudah tentu kita tidak akan dapat melaksanakan, bagaimana cara kita beribadah dan melaksanakan
ajaran-ajaran yang terdapat di dalam al-Qur'an.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dalil Kehujjahan Hadist

Ada beberapa dalil yang menunjukan atas kehujjahan hadist dijadikan sebagai sumber hukum Islam,
yaitu sebagai berikut:

1. Dalil Al-Qur’an.

Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang yang memerintahkan untuk patuh kepada rasul dan mengikuti
sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti perintah mengikuti sunnah sebagai hujjah, diantaranya
adalah:

a. Surah An-Nisa’:136
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada
kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya ..............................”

b. Surah Ali-Imran: 32

Artinya: “Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir."

c. Surah At-Taghaabun: 12

Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, jika kamu berpaling sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.”

Beberapa ayat diatas menunjukan bahwa kita diperintahkan untuk ta’at kepada Allah dan mengikuti
Rasulnya. Manusia tidak mungkin bisa mengikuti jejak Rasul tanpa mengetahui sunnahnya.

2. Dalil hadis.

Hadis yang dijadikan sebagai hujjah juga sangat banyak sekali, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. “Aku tinggalkan pada kalain dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh
kepada keduanya, yaitu kitab Alllah dan sunnahku.” (HR. Al-Hakim dan Malik)

b. Saat Rasulullah SAW hendak mengutus Mu’az bin jabal untuk menjadi penguasa di Yaman, terlebih
dahulu dia diajak dialog oleh Rasulullah SAW:

Rasull bertanya: “Bagaimana kamu menetapkan hukum bila dihadapkan kepadamu sesuatu yang
memerlukan penetapan hukum?”

Mu’az menjawab: “Saya akan menetapkan dengan kitab Allah SWT,” lalu Rasull bertanya: “Seandainya
kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah?”

Mu’az menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah,”

Rasull bertanya lagi: “Seandainya kamu tidak mendapatkanya dalam kitab Allah juga dalam sunnah
Rasulullah?”

Mu’az menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri.” Maka Rasulullah menepuk-
nepuk belakang Mu’az seraya mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan urusan
seorang Rasull dengan sesuatu yang Rasull kehendaki.” (HR. Abu Daud dan Al-Tarmidzi)

c. “Wajib bagi sekalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah khulafa ar-sasyidin (khalifah
yang mendapat petunjuk), berpagang tegulah kamu sekalian denganya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)
Hadist-hadist diatas menjelaskan kepada kita bahwa seseorang tidak akan tersesat selamanya apabila
hidupnya berpegang teguh atau berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Orang yang tidak berpegang
teguh akan keduanya berarti tergolong kepada orang yang sesat. Nabi tidak pernah memerintahkan
kecuali dengan diperintah Allah, dan siapa yang taat kepada Nabi berarti ia taat kepada zat yang
memerintahkan kepadanya untuk melaksanakan perintah itu.

B. Perdebatan Seputar Kehujjahan Hadist.

1. Gerakan Ingkar Sunnah

Dewasa ini banyak orang atau golongan yang bermunculan yang berupaya mendasari sumber ajaran
Islam itu semata-mata hanya kepada Al-qur’an. Sedangkan untuk sunnah/ hadist mereka tidak
menempatkanya sebagai sumber ajaran agama Islam. Karena menurut mereka sunnah baru ada setelah
200 tahun sesudah Nabi wafat.

Orang-orang atau golongan ini terkenal dengan istilah ingkar sunnah, yaitu suatu paham yang timbul
dari sebagian kecil kaum muslimin. Secara umum mereka melakukan ini hanya untuk mencari
kepopuleran dalam masyarakat Islam.

Aliran-aliran ingkar sunnah dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Ingkar sunnah mutlaq, yaitu mengingkari sunnah secara seluruhnya.

b. Ingkar sunnah Ba’dh As-sunnah, yaitu mengingkari sebagian dari sunnah.

c. Ingkar sunnah Bigharit Tariqi, yaitu mengingkari sunnah yang sanadnya tidak memenuhi dengan
syarat-syarat yang mereka gariskan.

Pada umumnya alasan-alasan para pengingkar sunnah adalah sebagai berikut:

a. Menurut mereka, tugas Rasul adalah menyampaikan isi kandungan Al-qur’an/ wahyu dari Allah
SWT yang telah diturunkan kepadanya, bukan menerangkan ayat-ayat Al-qur’an yang akan
menimbulkan hukum-hukum baru.

b. Menurut mereka Al-qur’an adalah firman yang telah lengkap isinya dan tidak diragukan lagi
kandunganya, yang juga terdapat keterangan ayat yang kurang jelas, maka tidak dibutuhkan lagi sunnah
untuk memperjelasnya.

Ditambah lagi, mereka menjadikan ayat-ayat berikut sebagai alasan keingkaran terhadap sunnah:

- “..............Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar
perkataannya dari pada Allah ?” (QS. An-Nisa’: 122)

- “...............Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah


mereka dihimpunkan.”(QS. Al-A’am: 38)
- “...................Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)

Dr. Ahmad Zaki dalam bukunya “Tsaurah Al Islam” mengatakan bahwa, hadist itu adalah suatu
kedustaan, terutama bagi perawi-perawinya. Karena hadist itu adalah hal yang dibuat-buat oleh
manusia setelah 200 tahun kematian Nabi.

Ahmad Dien adalah seorang guru disekolah Islam Amritsan, dia memiliki pemikiran yang sangat
cemerlang dalam mengkaji agama. Namun, ia hanya merujuk pada Al-qur’an semata sebagai satu-
satunya dasar ajaran agama Islam. Baginya hadist bukanlah hujjah dalam agama, karna itu umat tidak
boleh berpegang pada sunnah sebagai sumber ajaran agama Islam.

Sedangkan menurut Ahmad khan, salah satu ahli Qur’an, menyatakan bahwa para ulama sangat
ceroboh dan salah dalam penyaringan terhadap sanad dan matan hadist. Hadist yang dapat dijadikan
sebagi hujjah adalah hadist yang diriwayatkan secara mutawatir, yang harus ada kesaksian bahwa kata-
kata dalam riwayat yang mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasull. Selain hadist yang dapat
memenuhi syarat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.

2. Pembelaan Terhadap Sunnah Sebagai Sumber Ajaran Islam

Menurut Imam malik ibn Anas, Al-qur’an itu adalah pokok hukum syari’at, pegangan umat Islam yang
secara rinci menerima penjelasan dari sunnah. Al-qur’an menjelaskan syar’i secara kulit, sedangkan
sunnah menjelaskan hukum-hukumnya secara terperinci. Kita memerlukan sunnah bukan karena dia
adalah sebagi sumber hukum kedua, tapi karena dia menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an yang mujmal.

Imam Syafi’i memandang Al-qur’an dan sunnah berada dalam satu martabat, bahkan baginya hanya
keduanyalah yang menjadi sumber hukum Islam. Ia dengan tegas membantah kaum khawarij yang
menolak kehujjahan sunnah. Sedangkan pandanganya terhadap hadist ahad, ia menyatakan bahwa
hadist ini tidak bisa dijadikan hujjah.

Menurut Imam Hambali, barang siapa menolak hadist maka ia itu telah berada diatas jurang
kehancuran. Ia mengatakan lagi bahwa:

- Rasulullah SAW adalah penafsir Al-qur’an, tidak boleh seorangpun menafsirkan Al-qur’an tanpa
sunnah rasulullah SAW.

- Tafsir sahabat harus kita terima dalam menafsirkan Al-quran apabila tidak menemukan dalam
sunnah, karena sahabat lebih memahami sunnah Nabi terutama tentang nuzulul Qur’an dan
penjelasanya.
C. Hubungan Dan Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an.

Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu
dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Al-qur’an sebagai sumber ajaran utama yang memuat
ajaran-ajaran yang bersifat umum. Oleh karena itu, kehadiran hadist sebagai sumber ajaran kedua
tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-qur’an tersebut. Sesuai firman Allah SWT:

Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
mereka memikirkan.”(QS. An-Nahl:44)

Allah SWT menurunkan Al-qur’an agar dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul di perintahkan untuk
menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajaranya kepada mereka melalui hadis-hadisnya.

Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam, diantaranya:

Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi
Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi
sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa, dalam
kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu sebagai bayan
Ta’kid dan bayan Tafsir.

Imam malik bin Annas, menyebutkan ada lima macam fungsi hadist terhadapm Al-qur’an, yaitu: Bayan
Al-Taqrir, Bayan Al-Tafsir, Bayan Al-Tafshil, Bayan Al-Ba’ts, Bayan Al-Tasyri’. Sedangkan imam Syafi’i
menyebutkan ada lima fungsi yaitu: Bayan Al-Tafshil, Bayan At-Takhshish, Bayan Al-Ta’yin, Bayan Al-
Tasyri’, Bayan Al-Nasakh.

1. Bayan Al-Taqrir.

Yang dimaksud dengan bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan
dalam Al-qur’an. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan Al-qur’an. Contoh :

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka
berbukalah.” (HR. Muslim)

Hadist ini mentaqrirkan surah Al-baqarah: 185

Artinya: “..................... Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di
bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu,...................” (QS. Al-Baqarah:185)

2. Bayan Al-Tafsir.

Yang dimagsud bayan al-Tafsir adalah hadist berfungsi untuk memberi penjelasan secara rinci terhadap
ayat-ayat Al-qur’an yang masih bersifat global (mujmal), memberikan batasan(taqyid) ayat-ayat Al-
qur’an yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan(takhsish) ayat-ayat Al-qur’an yang bersifat umum.
a. Menjelaskan secara rinci terhadap ayat Al-qur’an:

“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat” (HR. Bukhari)

Hadist ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-qur’an tidak menjelaskan secara
rinci tentang mendirikan shalat. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah:

“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”(Al-Baqarah:43)

b. Memberi batasan terhadap ayat Al-qur’an:

“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan
pencuri dari pergelangan tangan.”

Hadist ini menberi batasan terhadap ayat:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah:38)

c. Mengkhususkan keumuman ayat Al-qur’an:

“Kami kelompok para nabi tidak meninggalkan harta waris, apa yang kami tinggalkan adalah sebagai
sedekah.

Hadis ini mengkhususkan Ayat:

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian
seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ..................” (QS. An-Nisa’: 11)

BAB III

PENUTUP

• Kesimpulan

- Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an
dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya.

- Al-qur’an dan hadist sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara yang satu
dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan

- Al-qur’an itu adalah pokok hukum syari’at, pegangan umat Islam yang secara rinci menerima
penjelasan dari sunnah
DAFTAR PUSTAKA

-Suparta Munzier, 2002, Ilmu Hadis, Edisi Pertama, Cetakan Ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Kelapa
Gading Permai, Jakarta

-Majid Khon Abdul, 2008, Ulumu Hadis, Edisi Pertama, Cetakan Pertama, PT Amzah, Jakarta

-Djunied Daniel, 2002, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis; Rekontruksi Fiqh Al-Hadis, Cetakan Pertama, PT
Citra Karya, Banda Aceh

-Rahman Zufran, 1995, Kajian Sunnah Nabi SAW Sebagai Sumber Hukum Islam, cetakan pertama, PT
Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta pusat

Anda mungkin juga menyukai