Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Adanya dalil atau petunjuk, menghendaki adanya madlul (yang ditunjuk). Karena
yang dimaksud di sini adalah “dalil hukum”, maka madlul-nya adalah hukum itu
sendiri. Setiap dalil hukum menghendaki adanya hukum yang berlaku terhadap sesuatu
yang dikenai hukum. Bila ada suatu dalil yang menghendaki berlakunya hukum atas
suatu kasus, tetapi disamping itu ada pula dalil lain yang menghendaki berlakunya
hukum lain atas kasus itu, maka kedua dalil itu disebut berbenturan atau bertentangan.
Ini dalam istilah hukum Islam disebut ta’arudh atau ta’adul atau taqabul. Ketiga istilah
itu memang pada dasarnya berbeda artinya, namun memiliki kesamaan dalam hal
adanya perbedaan. Jadi, yang dimaksud dengan pembenturan dalil-dalil hukum adalah
saling berlawananya dua dalil hukum yang salah satu di antara dua dalil itu menafikan
hukum yang ditunjuk oleh dalil lainnya.
Pengertian perbenturan dalil itu mencakup dalil naqli (dalil yang ditetapkan
secara tekstual dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi) dan dalil ‘aqli (dalil yang ditetapkan
berdasarkan akal, seperti qiyas). Juga mencakup dalil qath’i (dalil yang kekuatannya
dalam menetapkan hukum, meyakinkan) dan dalil zhanni (dalil yang kekuatannya
dalam menetapkan hukum, tidak meyakinkan).
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang mungkin
berbenturaan. Pendapat terbanyak di kalangan ulama mengatakan bahwa antara dua
dalil yang qath’i tidak mungkin terjadi perbenturan. Alasannya, karena setiap dalil yang
qath’i mengharuskan adanya madlul (hukum). Bila dua dalil qath’i berbenturan, berarti
setiap dalil itu mengharuskan adanya madlul yang antara sesamanya saling berbenturan.
Dengan demikian, akan terjadi dua hal yang saling meniadakan pihak lain dan hal ini
tidak mungkin terjadi. Serta ada juga ulama yang berpendapat bahwa memungkinkan
bertemunya dua dalil qath’i yang saling meniadakan; masing-masing dalil itu dipegang
oleh ulama (mujtahid) tertentu yang memandangnya sebagai dalil qath’i.
Dua pendapat yang berbeda dalam hal mungkin tidaknya terjadi perbenturan
antara dua dalil qath’i itu, tampaknya berawal dari perbedaan pendapat tentang apakah
para mujtahid yang berbeda pendapat itu benar semuanya atau hanya satu yang benar
dan yang lainnya salah.
Perbedaan pendapat pun terjadi mengenai masalah pembenturan dua dalil yang
zhanni. Segolongan ulama menolak terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni
sebagaimana tidak bolehnya terjadi perbenturan antara dua dalil yang qath’i. Sementara,
golongan lain membolehkan terjadinya perbenturan antara dua dalil yang zhanni karena
tidak ada halangan bagi perbenturan tersebut selama terbatas pada dalil yang tidak
qath’i. Kedua golongan itu sepakat bahwa terjadinya perbenturan dalil tersebut hanya
dalam pemikiran para mujtahid saja, sedangkan dalam dalil-dalil itu sendiri tidak ada
perbenturan.

A. Pengertian Tarjih

Dalam pembahasan terdahulu dijelaskan bahwa bila terdapat perbenturan dua dalil
syar’i yang tidak mungkin untuk dikompromikan dengan cara apapun, tidak mungkin
pula diperlukan ketentuan takhsis, tidak ditemukan pula cara untuk memberlakukan
nasakh, tetapi ditemukan petunjuk yang mungkin menguatkan salah satu di anatr dua dalil
itu, maka digunakanlah dalil yang memiliki petunjuk yang menguatkan itu. Cara tersebut
dinamai tarjih.
Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Dalam arti istilah, terdapat beberapa
definisi. Yang lebih kuat di antara definisi itu adalah yang dikemukakan Saifuddin al-
Amidi dalam bukunya Al-ihkam:
“Ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas yang
menunjukkan kepada apa yang di kehendaki disamping keduanya berbenturan yang
mewajibkan untuk mengamalkan satu di antaranya dan meninggalkan yang satu lagi.”
Kata satu di antara dua dalil yang pantas mengandung arti bahwa bila dua dalil itu
atau satu di antara dua dalil itu tidak pantas untuk dijadikan dalil, maka yang demikian
tidaklah dinamakan tarjih.
Kata disamping keduanya berbenturan mengandung arti bahwa meskipun keduanya
adalah dalil yang patut, namun tidak berbenturan, tidak dinamakan tarjih, karena tarjih
itu diperlukan waktu menghadapi dua dalil yang berbenturan; dan tidak perlu tarjih bila
tidak terdapat perbenturan.
Dari definisi di atas dapat diketahui hakikat tarjih dan sekaligus merupakan
persyaratan bagi tarjih, yaitu:
1. Dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk mengamalkan
keduanya dengan cara apapun. Dengan demikian, tidak terdapat tarjih dalam dua
dalil yang qath’i karena dua dalil qath’i tidak mungkin saling berbenturan.
2. Kedua dalil yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk memberi petunjuk
kepada yang dimaksud.
3. Ada pentunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu di antara dua dalil
dan meninggalkan dalil dan meninggalkan dalil yang satu lagi.
Ibnu Subki dalam kitabnya jamu al-Jawami’ahli ushul fiqih di kalangan mazhab
Syafi’i mendefinisikan tarjih itu dengan:‫ية ا حد ا لطر يقني ا لرت جيح تقو‬yang artinya tarjih itu
adalah menguatkan salah satu dari dua thariq.
Definisi yang dikemukakan al-Amidi yang begitu panjang dan dianggap oleh ahli
ushul fiqh sebagai definisi yang lebih tepat belum menjelaskan apakah tarjih itu hanya
berlaku untuk menguatkan dua dalil yang berbenturan yang dikemukakan dua mujtahid
yang berbeda pendapat dalam internal mazhab tertentu, atau berlaku dalam lintas mazhab.
Dengan meneliti definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Subki di atas dan tambahan
penjelasan yang diberikan oleh al-Mahalli sebagai syariahnya, dapat disimpulkan bahwa
tarjih itu hanya berlaku antara dua dalil yang dikemukakan oleh dua mujtahid dalam
muzhab yang sama dan tidak berlaku lintas mazhab. Dalil atau argumen untuk
mendukung kesimpulan ini adalah bahwa dalam definisi disebutkan “salah satu dari dua
thariq” sedangkan yang dimaksud dengan “thariq” itu adalah pendapat yang berbeda di
kalangan ashhab (pengikut/pendukung imam mazhab) dalam mengembangkan dan
menukilkan pendapat imam mazhab. Hal ini berarti tarjih itu adalah dalam internal
mazhab dan tidak keluar dari lingkungan mazhab tertentu. Tidak dapatnya berlaku tarjih
itu antar mazhab adalah karena untuk melakukan tarjih itu harus menggunakan alat ukur
atau kriteria yang diakui dan diikuti oleh semua mazhab. Kriteria atau alat ukur seperti ini
yang diterima semua mazhab ternyata belum ada.

B. Tarjih yang Berlaku dalam Sunnah

Tarjih yang berlaku antara dua dalil sunnah dapat dilihat dari bebrapa segi: dari segi
sanad, dari segi madlul (apa yang ditunjuk oleh dalil itu) dan dari segi pengaruh luar.
Tinjauan sanad dapat dilihat dari segi orang yang meriwayatkan dan dari siapa kabar itu
diriwayatkan. Tinjauan dari segi orang yang meriwayatkan dapat pula dilihat dari segi
orangnya dan dari segi tazkiyah (kedudukannya sebagai periwayat).

A. Tarjih dengan memandang kepada keadaan perawi dapat dirinci sebagai berikut:
1. Perawi salah satu dari dua dalil itu lebih banyak dibandingkan dengan yang lain,
karena perawi dalam bilangan ang banyak itu lebih kuat menimbulkan zhann dari
segi kemungkinan terjadinya kesalahan dan kebohongan alam kuantitas yang
banyak lebih jauh dibanding yang kecil. Dalam hal ini, Abu Bakar tidak mau
menerima kabar Mughirah ibn Syu’bah tentang Nabi memberi hak kewarisan
untuk nenek sebanyak seperenam, sampai diperkuat kabar itu oleh Muhammad
bin Maslamah. Begitu pula Umar bin Khaththab tidak menerima kabar dari Abu
Musa hingga diperkuat oleh kabar Abi Said al-Khudri.
2. Perawi salah satu dari dua dalil itu masyhur tentang keadilan dan kekuatan
pribadinya dibandingkan dengan yang lainnya; atau paling masyhur dalam hal itu.
Peiwayatnya oleh perawi seperti ini dianggap lebih kuat karena ketetapan hati
kepadanya lebih tinggi dan adanya zhann dengan ucapannya lebih kuat.

3. Perawi salah satu diantara dua dalil itu lebih mengetahui dan lebih kuat
ingatannya, lebih wara’ dan lebih takwa ketimbang yang lain. Periwayatnya oleh
pegawai dengan sifat tersebut adalah lebih kuat karena ia lebih kuat menimbulkan
zhann.

B. Tarjih dengan memandang kepada tazkiyah perawi atau bagaiman caranya orang
menilai perawi itu bersih dapat dirinci sebagai berikut:

1. Orang yang menyatakan perawi salah satu dari dua dalil itu adalah dzaki, lebih
banyak ketimbang yang satu lagi atau orang yang menyatakan dzaki-nya perawi
itu lebih adil atau lebih dipercaya. Kabar yang diriwayatkan perawi seperti ini
lebih kuat karena lebih mendekati kepada zhann.
2. Cara menyatakan zaki-nya perawi salah satu diantara dua dalil titu adalah dengan
terang-terangan seperti ucapan, “si A yang meriwayatkan hadits itu adalah
seorang yang bersih.” Sedangkan cara menyatakan zaki-nya perawi yang satu lagi
adalah dengan meriwayatkan apa yang disampaikannya. Cara menyatakan zaki
dengan terang-terangan lebih kuat dari meriwayatkan apa yang disampaikannya.
3. Menyatakan zakinya adalah salah satu diantara dua dalil itu adalah dengan cara
dasar kesaksiannya sedangkan yang satu lagi dengan cara meriwayatkan apa yang
disampaikannya. Cara menyatakan zaki-nya dengan menerima kesaksian lebih
kuat ketimbang meriwayarkan apa yang disampaikannya; karena kehati-hatian
dalam hal kesaksian lebih tinggi ketimbang cara periwayatan atau mengamalkan
apa yang disampaikannya.
C. Tarjih dengan memandang kepada bentuk periwayatannya dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Satu di antara dua dalil itu adalah dalam bentuk kabar mutawatir sedangkan yang
satu lagi dalam bentuk kabar ahad. Kabar mutawaiir karena meyakinkannya lebih
didahulukan atas kaba ahad karena sifatnya yang zhanni.
2. Salah satu di antara dua kabar itu adalah musnad (berkesinambungan) sedangkan
yang satu lagi mursal (terpurus hubungannya). Kabar yang musnad lebih
didahulukan atas kabar mursal karena yang musnad itu jelas diketahui perawinya.
3. Salah satu di antara dua kabar yang sesama mursal itu adalah dari mursal-tabi'i,
sedangkan yang satu lagi adalah mursal-tabi' tabi'in. Mursal-tabi ' lebih
diutamakan daripada yang lainnya karena yang menurut lahirnya dari tabi'i, ia
tidak meriwayarkan kecuali dari sahabat.

D. Tarjih dengan memandang kepada apa yang diriwayatkan dapat dirinci sebagai
berikut:
1. Salah satu di antara dua kabar itu diriwayatkan dengan cara langsung mendengar
dari Nabi, sedangkan yang satu lagi dengan cara menerima tulisan dari Nabi.
Kabar yang diriwayatkan secara pendengaran, lebih kuat dari yang diriwayatkan
dari tulisan karena jauh kemungkinan adanya kesalahan.
2. Salah satu di antara dua kabar itu diterima melalui pendengaran dari Nabi
sedangkan yang satu lagi kabar tentang apa yang berlaku pada tempat dan masa
Nabi. Kabar melalui pendengaran lebih utama karena jauh dari kemungkinan Nabi
tidak memerhatikannya.
3. Salah satu di antara dua kabar itu dari segi kemungkinan mendatangkan bahaya
untuk mendiamkannya lebih besar dibandingkan kabar yang satu lagi. Kabar yang
mendiamkannya itu mendatangkan bahaya lebih kuat dibandingkan dengan yang
lainnya.

E. Tarjih dengan memandang kepada narasumber tempat menerima riwayat dapat


dirinci berikut:
1. Perawi salah satu diantara dua dalil itu meriwayatkan dari seseorang yang
mengingkari periwayatannya, sedangkan perawi yang satu lagi tidak demikian.
Periwayatan yang tidak diingkari oleh narasumber lebih kuat ketimbang yang
diingkari karena yang demikian lebih kuat menimbulkan zhann.
2. Diantara sesama perawi dua dalil itu satu diantaranya dingkari oleh
narasumbernya atas dasar kelupaan, sedangkan yang satu lagi dingkari karena
kebohongan. Yang diingkari karena kelupaan lebih kuat ketimbang perawi yang
diingkari karena kebohongan, karena kekuatan zhan periwayatannya lebih kuat.

F. Tarjih dengan memandang kepada matan atau teks yang diriwayatkan adalah
sebagai berikut:
1. Teks salah satu di antara dua dalil itu adalah dalam bentuk amar (perintah)
sedangkan yang satu lagi dalam bentuk larangan. Teks larangan ditinjau dari segi
ia larangan lebih kuat dari pada perintah dari beberapa segi:
a. Tuntutan pada larangan itu adalah meninggalkan keadaannya lebih kuat.
b. Menurut biasanya larangan itu tuntutan untuk menghindarkan kerusakan.
Sedangkan tuntutan pada suruhan adalah untuk menghasilkan kemaslahatan.
Mementingkan menolak kerusakan lebih kuat dari menghasilkan
kemaslahatan.
2. Teks salah satu di antara dua dalil itu adalah dalam bentuk menyuruh sedangkan
yang satu lagi dalam bentuk membolehkan. Dalil dengan teks menyuruh lebih
didahulukan atas dalil dengan teks membolehkan; karena pada suruhan itu
terdapat bentuk tuntutan yang menghendaki kehati-hatian.
3. Salah satu di antara dua dalil dalam bentuk kabar atau berita yang mengandung
taklif (beban hukum) sedang yang satu lagi dalam bentuk suruhan atau larangan.
Dalil dalam bentuk beri ta didahulukan atas dalil dalam bentuk tuntutan; karena
berita lebih kuat dari tuntutan, sebab padanya tidak ada kemungkinan untuk di-
nasakh-kan.

G. Tarjih dengan memandang kepada dialah-nya penunjukan lafaz atas maksud dan
hukum yang terkandung di dalamnya) adalah sebagai berikut:
1. Salah satu diantara dua dalil itu mengandung lafaz musytarak yang menunjuk
kepada beberapa maksud, sedangkan dalil yang datu lagi tidak mengandung lafaz
musytarak tetapi lafaz dengan satu arti. Lafaz yang mengandung satu arti lebih
kuat ketimbang lafaz yang mengandung banyak arti, karena jauh kemungkinan
terjadi kesalahan.
2. Diantara dua dalil yang sama-sama mengadung lafaz musytarak salah satu lebih
sedikit penunjukan kandungan artinya dan yang satu lagi lebih banyak artinya.
Yang mengandung sedikit arti lebih kuat dari musytarak yang banyak arti karena
sedikit terjadinya keraguan dan lebih dekat penggunaannya kepada yang
dimakdsud.
3. Satu diantara dua dalil itu mengandung lafaz hakiki (menunjuk kepada arti
sebenarnya) sedangkan yang satu lagi mengandung lafaz mujazi (menunjuk
kepada arti yang tidak sebenarnya). Dalil yang mengadung lafaz hakiki lebih kuat
dari pada dalil yang mengadung lafaz mujazi (metafora) karena yang hakiki tidak
memerlukan karinah (petunjuk) untuk memahaminya.

C. Tarjih dalam Ijma’ yang Dinukilkan

Bila terjadi pembenturan antara ijma’ yang dinukilkan ditempuh usaha tarjih sebagai
berikut:
1. Salah satu di antara dua dallil yang dinukilkan itu adalah nash, sedangkan yang
satu lagi aadalah ijma’. Ijma’ didahulukan atas nash karena ijma’ tidak mungkin
dimasuki nasakh sedangkan nash mungkin dimasuki nasakh. Dalil yang tidak
mungkin dimasuki nasakh adalah lebih kuat.
2. Kedua dalil itu adalah sama-sama ijma’, satu di antaranya masuk dalam ijma’ dari
semua ahli di masanya sedangkan yang satu lagi hanya terdiri dari ahlul halli wal
‘aqdi yang mewakili umat. Ijma’ yang dimasuki oleh semua ahli di masanya lebih
kuat karena lebih dekat kepada zhann dan jauh dari beda pendapat.
3. Salah satu di antara dua ijma’ itu adalah ijma’ sahabat sedangkan satunya lagi
ijma’ tabi’in dan umat sesudahnya karena dipercayai keadilan mereka dan lebih
jauh dari khilaf tentang kedudukan.
4. Satu di antara dua ijma’ itu adalah ijma’ sahabat yang tak dihadiri kecuali oleh
mujtahidnya sedangkan yang satunya lagi adalah ijma’ tabi’in yang diikuti oleh
semua ahli di masanya. Ijma’ sahabat meskipun terbatas, lebih kuat dari ijma’
tabi’in yang luas karena keadilannya dipercayai dan kelebihannya dalam
kesungguhan menghadapi hukum.
5. Salah satu di antar ijma’ itu telah punah ahli di masanya sedangkan yang satu lagi
tidak demikian. Ijma’ yang munqaridh (punah ahli di masanya) adalah lebih kuat
karena ijma’ tersebut telah bertahan dan jauh dari perselisihan pendapat.
6. Salah satu di antara ijma’ itu terdapat mujtahid yang menjadi pesertannya ada
yang menarik pendapatnya sedangkan ijma’ yang satunya lagi tidak demikian.
Ijma’ yang tidak seorang pun anggotanya menarik pendapatnya dinyatakan lebih
kuat, karena jauh dari kemungkinan penolakan dan beda pendapat.
7. Salah satu di antara dua ijma’ itu diikuti oleh semua ahli di masanya tetapi ahli
ijma’ itu belum punah sedangkan ijma’ yang satu lagi telah punah ahlinya, tetapi
tidak semua ahli pada masanya mengikuti. Ijma’ yang diikuti semua ahli pada
masanya lebih kuat meskipun belum punah karena zhann-nya lebih meyakinkan
sedangkan kemungkinan adanya mujtahid yang menarik diri dari pendapatnya
belum meyakinkan.
8. Salah satu di antara dua ijma’ itu terjadi sesudah didahului oleh beda pendapat,
sedangkan ijma’ yang satunya lagi tidak didahului oleh beda pendapat. Ijma’ yang
tidak didahului oleh beda pendapat adalah lebih kuat karena lebih kuat zhann-nya
dan lebih jauh dari kemungkinan diperselisihkan.

D. Tarjih antara Dua Dalil ‘Aqli

Perbenturan antara dua dalil ‘aqlii dapat terjadi antara dua dalil qiyas atau antara dua
istidlal atau antara qiyas dan istidlal. Bila terjadi perbenturan antara dua qiyas, maka
tarjih antara keduannya tidak berlaku dengan memandang kepada ashal dari qiyas dan
dapat pula dari segi furu-nya, dapat pula dari segi madlul-nya begitu pula dari faktor
luarnya. Hal yang menyangkut ashal dapat memandang kepada hukumnya dan dapat pula
dari segi ‘illat-nya.
Tarjih dengan memandang kepada hukum ashal di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Hukum ashal salah satu di antara dua qiyas itu adalah dalam bentuk qath’i
sedangkan yang satu nya lagi dalam bentuk zhanni. Qiyas yang hukum ashal-nya
qath’i didahulukan atas qiyas yang hukum ashal-nya zhanni, karena masuknya
kesalahan disebabkan oleh hukum ashal yang qath’i dapat disingkirkan.
2. Kedua qiyas itu hukum ashal-nya sama-sama zhanni, namum salah satu
diantaranya ditetapkan dengan cara yang lebih kuat. Hukum ashal yang ditetapkan
dengan dalil yang lebih kuat didahulukan dari pada yang lain.
3. Hukum ashal dalam salah satu di antara dua qiyas itu diperselisihkan tentang
nasakh-nya sedangkan yang satunya lagi tidak. Hukum ashal yang tidak
diperselisihkan lebih tentang nasakh-nya lebih kuat karena jauh dari kemungkinan
kesalahan.
4. Hukum ashal dalam salah satu dari dua qiyas itu tidak menyimpang dari
ketentuan qiyas, sedangkan yang satunya lagi menyimpang dari aturan qiyas.
Hukum ashal yang tidak menyimpang dari ketentuan qiyas lebih kuat karena lebih
dekat kepada rasio dan lebih sesuai dengan dalil.

E. Beberapa Had (Definisi) Tarjih yang Membawa Kepada Makna Mufrad dalam
Artian Tashauri

Had atau definisi dalam keragaman bentuknya terbagi kepada aqliyah dan sam’iyah
(menurut apa yang didengar dalam suatu bahasa). Dalam bahasan lain ini yang dituju
adalah had dalam artian sam’iyah. Di antara had sam’iyah itu ada yang berbentuk
zhannii. Terkadang di antara dua had sam’iyah terdapat perbenturan, dalam
penyelesaiannya berlakulah tarjih sebagai berikut:
1. Satu di antara had tersebut mengandung lafaz-lafaz yang sharih. Lafaz-laafaz
tersebut sesuai dengan tujuan yang dituntut tanpa mengandung arti majaz, tidak
isytirak dan tidak pula gharib; sedangkan yang satu lagi mengandung hal-hal
tersebut. Had dalam bentuk ini lebih kuat karena lebih dekat dengan pemahaman
dan lebih terjauh dari kesalahan.
2. Muarraf (definendum) salah satu had tersebut lebih diketahui dari muarraf had
yang satu lagi. Had yang muarraf-nya lebih dikenal lebih kuat karena lebih
membawa kepada maksud ta’rif (definisi).
3. Salah satu di antaara had tersebut didefinisikan dengan hal-hal yang bersifat dzati
sedangkan yang sau lagi didefinisikan bersifat ardhi (menggunakan sifat
tambahan). Had yang didefinsikan dengan dzattiyat lebih utama dari pada yang
mengandung sifat ardhiyat.
4. Salah satu di antara dua had itu lebih umum ibandingkan dengan yang lain. Had
yang lebih umum dianggap lebih kat karena dpat pula menjangkau kepada
muarraf yang lain.
5. Salah satu di antara dua had itu mengandung unsur dzatiyat seluruhnya,
sedangkan yang lainnya sebagian saja dari unsur dzatiyat. Had yang
menggunakan unsur dzatiyat keseluruhannya itu dinyatakan lebih kuat ketimbang
yang lain karena lebih tinggi mutu definisinya.

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

F. Simpulan

Dari berbagai penjelasan yang telah penulis paparkan di bab sebelumnya, penulis
dapat menyimpulkan bahwa:
1. Tarjih adalah ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil yang pantas
yang menunjukkan kepada apa yang di kehendaki disamping keduanya
berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu di antaranya dan
meninggalkan yang satu lagi;
2. Uraian sebelum ini adalah tentang hal-hal yang dapat dijadikan indikator dalam
menetapkan mana yang terkuat diantara dua dalil yang berbenturan untuk
menngetahui mana yang rajih untuk diamalkan dan mana yang marjuh untuk
selanjutnya tidak boleh diamalkan;
3. Indikator yang disusun daalam bentuk kriteria atau alat ukur untuk menyatakan
bahwa salah satu di antaara dua dalil yang berbentran itu adalah lebih kuat. Alat
ukur ini tentunya dalam bentuk sesuatu yang pasti dan dapat diterima oleh semua
pihak;
4. Kriteria ataau alat ukur yang digunakan untuk menilai yang rajih dari dua dalil
yang berbenturan yang sudah dirumuskan oleh ulama terdahulu masih ada yang
perlu disempurnakan sehingga usaha tarjih yang dilakukan dapat menyelesaikan
masalah dan tidak menimbulkan masalah baru.

Anda mungkin juga menyukai