Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH USHUL DAKWAH

“Mengenal Objek Dakwah”

(Mad’u)

Disusun Oleh:

Jefri Aman Sitorus

M. Syahril Iza

Dosen Pengampu : Ustadz. Zulkifli Syarif, S.Ag M.Pd

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


INSTITUT SAINS AL-QUR’AN DAN TAFSIR SYEKH IBRAHIM

PASIR PENGARAIAN

ROKAN HULU

2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu unsur dakwah terpenting adalah mad’u, yaitu orang yang menerima ajakan dan
panggilan kepada agama Islam. Para mad’u adalah seluruh manusia dengan berbagai corak
suku, ras, social budaya, social ekonomi, social politik, pendidikan dan sebagainya. Mereka
juga berbeda dari sudut latar belakang teologis dan antropologis. Dalam strategi dakwah
efektif, pengenalan mad’u menjadi sangat urgen bagi pendakwah untuk dapat menyesuaikan
diri dalam sosialisasi nilai-nilai Islam. Rasulullah saw. telah menerapkan strategi dakwah
dengan pengenalan mad’u dalam penyiaran Islam, baik pada periode Mekkah maupun
periode Madinah dengan hasil yang sangat gemilang. Mad’u dapat diklasifikasi menurut jenis
kelamin, usia, latar belakang pendidikan, latar belakang budaya, latar belakang ekonomi,
status sosial, profesi dan sebagainya. Untuk mengenal mad’u dengan tepat dapat menerapkan
metodologi penelitian ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris, historis, maupun yang bersifat
rasional dengan mengintegrasikannya dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan al-Hadits.

B. Rumusan Masalah

Dari makalah ini, kami membuat beberapa rumusan masalah, yaitu:

1. Apa pengertian dari Mad’u?

2. Apa saja ragam jenis Mad’u?

3. Bagaimana cara menghadapi Mad’u?

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa maksud dari Objek dakwah (Mad’u)

2. Untuk mengetahui apa saja ragam jenis objek dakwah (Mad’u)

3. Untuk mengetahui bagaimana cara menghadapi objek dakwah (Mad’u)


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mad'u

Menurut Moh Ali Aziz, objek dakwah (mad’u) adalah manusia yang menjadi sasaran
dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai individu maupun kelompok, baik
manusia yang beragama islam maupun tidak atau dengan kata lain manusia secara
keseluruhan.[1] merupakan sasaran dakwah. Yang tertuju pada masyarakat luas, mulai diri
pribadi, keluarga, kelompok, baik yang menganut Islam maupun tidak ; dengan kata lain
manusia secara keseluruhan. Sejalan dengan firman Allah dalam QS. Saba’ 28:

‫َو َم ا َأْر َس ْلَناَك ِإاَّل َك اَّفًة ِّللَّناِس َبِش يًرا َو َنِذ يًرا َو َٰل ِكَّن َأْكَثَر الَّناِس اَل َيْع َلُم وَن‬

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui” (QS. Saba’:28)

Terkait dengan ayat di atas memberi kejelasan bahwa dakwah itu diajukan kepada seluruh
umat manusia. Menurut pandangan Abdul Munir Mulkhan, bahwa Objek dakwah ada dua
sasaran, yaitu umat dakwah dan umat ijabah. Umat dakwah yang dimaksud adalah
masyarakat luas non Muslim, sementara umat ijabah adalah mereka yang sudah menganut
Agama Islam. Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan untuk
mengajak mereka untuk mengikuti Agama Islam, sedangkan bagi orang-orang yang telah
beragama Islam dakwah bertujuan meningkatkan kualitas Iman, Islam dan Ihsan. Hal yang
sama juga dikemukakan Muhammad Abu Al-Fath al Bayanuni, mengelompokkan mad’u
dalam dua rumpun besar, yaitu rumpun muslim atau umat ijabah (umat yang telah menerima
dakwah) dan non Muslim atau umat dakwah (umat yang belum sampai kepada mereka
dakwah Islam). Umat ijabah dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: pertama, Sabiqun bi al-
khaerat (orang yang saleh dan bertaqwa), kedua, Dzalimun linafsih (orang fasik dan ahli
maksiat), ketiga, muqtashid (mad’u yang labil keimanannya). Sedangkan umat dakwah dibagi
dalam empat kelompok, yaitu: Ateisme, Musyrikun, ahli kitab, dan munafiqun.[2]

Moh. Ali Aziz mengemukakan bahwa bagi orang yang menerima dakwah itu lebih tepat
disebut mitra dakwah dari pada sebutan object dakwah, sebab sebutan object dakwah lebih
mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal sebenarnya dakwah adalah suatu
tindakan menjadikan orang lain sebagai kawan berfikir tentang keimanan, syari’ah, dan
akhlak kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama. Menurut hemat
penulis baik sebutan object ataupun mitra dakwah itu sama saja, yang terpenting adalah
bagaimana seorang dai mampu mengkomunikasikan dakwah secara baik dan tepat kepada
mad’unya sehingga mad’u dapat memahami dan mengamalkan isi pesan yang disampaikan.
[3]
B. Ragam Jenis Mad'u

Di dalam kehidupan sosial manusia tidak terlepas antara satu dengan yang lainnya, artinya
manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, hal ini terbukti betapa gundah gulananya
Adam ketika berpisah dengan Hawa demikian pula sebaliknya. Allah SWT berfirman dalam
Q.S. al-Hujurat:13 yang berbunyi:

١٣﴿ ‫﴾َيا َأُّيَها الَّناُس ِإَّنا َخ َلْقَناُك م ِّم ن َذ َك ٍر َو ُأنَثى َو َجَع ْلَناُك ْم ُش ُعوًبا َو َقَباِئَل ِلَتَع اَر ُفوا ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع نَد ِهَّللا َأْتَقاُك ْم ِإَّن َهَّللا َع ِليٌم َخ ِبيٌر‬

Artinya:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal”.

Dari ayat di atas, ada dua domain penting yang harus kita yakini yaitu adanya relasi antara
laki-laki dan perempuan serta adanya berbagai bentuk masyarakat merupakan sunatullah
yang harus kita imani, karena itu di dalam menentukan sasaran dakwah tidak perlu membeda-
bedakan antara laki-laki dan perempuan, antara kulit putih dan kulit hitam, antara desa
dengan kota. Walaupun pendekatan atau metode yang digunakan tentu saja harus berbeda
antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan tingkat pengetahuan dan dinamika sosial yang
dihadapi masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.

Merujuk pada ayat di atas dan data empiris menunjukkan bahwa manusia itu terdiri dari
berbagai kelompok masyarakat dalam melangsungkan kehidupannya, namun dalam mengkaji
mad’u ini akan kita bagi berdasarkan geografis, akidah, usia, status, sosial, dan jenis kelamin.

a) Geografis

Berdasarkan letak geografis, mad’u dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu masyarakat
kota dan desa. Masyarakat kota adalah masyarakat yang cenderung individualis. Kompetisi
satu sama lain untuk meningkatkan status sosial sangat tinggi. Segala sesuatunya di ukur
berdasarkan materi. Selain itu masyarakat kota sangat terpengaruh kepada pola berpikir
rasional. Maksudnya segala macam urusan mereka pertimbangkan terlebih dahulu
berdasarkan rasio dan logika. Maka kalau yang bersifat irrasional akan mereka tolak secara
filosofis.

Masyarakat desa mempunyai ciri kehidupan yang erat hubungannya dengan alam. Pola
berfikir mereka masih terbelakang jika dibandingkan dengan masyarakat kota.
b) Segi Akidah

Dari kacamata akidah, manusia terbagi dua yaitu muslim dan non muslim.[4] Orang muslim
adalah orang yang telah megucapkan kalimat syahadat pertanda bahwa ia telah meyakini
islam sebagai agamanya dan Allah SWT adalah tuhannya. Orang non muslim adalah orang-
orang yang tidak meyakini Islam sebagai agama mereka.

c) Segi Usia

Kalau kita lihat dari segi usia, mad’u pada dasarnya terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu
dewasa, remaja, anak-anak. Orang dewasa pada dasarnya sudah punya wawasan luas. Pola
berfikirnya sudah matang, daya serap atau daya tanggap otaknya sudah tinggi. Lain halnya
dengan remaja, mereka masih tahap dalam pertumbuhan dan perkembangan, baik dari segi
fisik maupun psikis.. Berbeda dengan anak-anak mereka belum mengerti tentang agama,
mereka hanya melakukan apa saja yang mereka lihat dan apa saja yang mereka senangi.

d) Segi Status Sosial

Masyarakat yang menjadi sasran dakwah ini jika kita lihat dari segi status sosial, pada
dasarnya terbagi empat bentuk yaitu: pejabat, rakyat jelata, kaya, dan miskin. Masyarakat
yang tergolong masyarakat jelata atau orang miskin , pada umumnya tidak terlalu sulit untuk
menyampaikan pesan dakwah, karena biasanya mereka mudah dijumpai dimana saja dan
mereka tidak terlalu sibuk.

Berbeda halnya dengan menghadapi para pejabat dan orang kaya, di samping kesibukannya
yang seolah-olah tidak punya waktu untuk mendengarkan dakwah, juga rasa ingin dihormati
sesuai dengan status sosialnya. Biasanya mereka dalam mendengar atau mengundang da’i
selalu memilih-milih yang sesuai dengan keinginan mereka. Pada umumnya mereka tidak
mau kalu ada pengajian dan ceramah yang berbentuk dogma, sebab mereka termasuk
golongan orang-orang intelektual.

e) Segi Jenis Kelamin

Dari jenis kelamin dapat dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Pada dasarnya kedua
sasaran dakwah ini tidak berbeda antara satu dengan lainnya, namun sering sekali orang
membeda-bedakannya. Padahal menurut Mahmud Syaltut, mantan Syaikh (pemimpin
tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir menulis: “tabiat kemanusian antara laki-laki
dan perempuan hampir (dapat) dikatakan sama. Allah telah menganugrahkan kepada
perempuan sebagaimana menganugrahkan kepada laki-laki, yaitu potensi dan kemampuan
yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis kelamin ini
dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum atau khusus.[5]
Selain itu M. Bahri Ghazali, juga mengelompokkan Mad’u berdasarkan tipologi dan
klasifikasi masyarakat, yang dibagi dalam lima tipe, yaitu:[6]

1. Tipe inovator, yaitu masyarakat yang memiliki keinginan keras pada setiap fenomena
sosial yang sifatnya membangun, bersifat agresif dan tergolong memiliki kemampuan
antisipatif dalam setiap langkah.

2. Tipe pelopor, yaitu masyarakat yang selektif dalam menerima pembaharuan dalam
membawa perubahan yang positif. Untik menerima atau menolak ide pembaharuan, mereka
mencari pelopor yang mewakili mereka dalam menggapai pembaharuan itu.

3. Tipe pengikut dini, yaitu masyarakat sederhana yang kadang-kadang kurang siap
mengambil resiko dan umumnya lemah mental. Kelompok masyarakat ini umumnya adalah
kelompok kelas dua di masyarakatnya, mereka perlu seorang pelopor dalam mengambil tugas
kemasyarakatan.

4. Tipe pengikut akhir, yaitu masyarakat yang ekstra hati-hati sehingga berdampak kepada
anggota masyarakat yang skeptis terhadap sikap pembaharuan, karena faktor kehati-hatian
yang berlebihan, maka setiap gerakan pembaharuan memerlikan waktu dan pendekatan yang
sesuai untuk bisa masuk.

5. Tipe kolot, ciri-cirinya, tidak mau menerima pembaharuan sebelum mereka benar-benar
terdesak oleh lingkungannya.[7]

Mad’u bisa juga dilihat dari segi kemampuan berfikirnya sebagai berikut :

a. Umat yang berfikir kritis, yaitu orang-orang yang berpendidikan, yang selalu berfikir
mendalam sebelum menerima sesuatu yang dikemukakan kepadanya.

b. Umat yang mudah dipengaruhi, yaitu masyarakat yang mudah dipengaruhi oleh paham
baru tanpa mempertimbangkan secara mantap apa yang dikemukakan padanya.

c. Umat bertaklid, yaitu golongan yang fanatik, buta brerpegang pada tradisi, dan kebiasaan
turun-temurun tempat menyelidiki kebenarannya.[8]

Menyimak pendapat Hamzah Ya’cub dan M.Natsir. Maka dalam kerangka kemampuan
intelektual mad’u di kelompokkan menjadi : [9]

1. Mad’u yang kapasitasnya intelektual tinggi . atau mad’u yang memiliki daya kritis yang
tinggi , yang dipengaruhi oleh pendidikan tinggi . golongan juga di anggap kalangan
cendikiawan , baik yang menghendaki kebenaran atau yang hanya bersikap kritis tetapi di
dalam kapasitas bukan untuk menerima (ini biasanya banyak di jumpai dari orang non
muslim yang “anti” islam ).
2. Golongan awam atau masyarakat biasa yang tidak banyak bersikap kritis melainkan
cenderung menerima segala pendapat baru secara constant . golongan awam ini umumnya
kurang mampu menangkap pengertian atau istilah tinggi serta sangat mudah dipengaruhi
karena sifatnya yang cenderung mempertimbangkan secara seksama apa apa yang
dikemukakan padanya .

3. Golongan yang hanya suka mendengar seruan agama ( sering tidak mendalam ) tetapi
pengalaman agamanya banyak dipengaruhi oleh sikap fanatisme yang diterima nya secara
turun temurun . golongan ini yang sulit menerima pendapat baru yang dianggap bersebrangan
dengan keyakinan dan pemahaman yang sudah mentradisi dalam kehidupannya .[10]

C. Cara Menghadapi Mad'u

Setiap da’i harus mengetahui bahwa dalam mengajak pada kebaikan tidak selamanya akan
berhasil dan dapat diterima oleh setiap orang. Seorang da’i dalam proses dakwahnya akan
berhadapan dengan mad’u yang memiliki keunikan, karakter, dan kepribadiannya masing-
masing yang dipengaruhi oleh faktor psikologis ataupun sosiokultural. Karena itulah ketika
dakwah disampaikan, maka reaksi mad’u terhadap pesan dakwah pun berbeda beda, ada yang
menerima dengan senang hati dan mengamalkannya, ada juga yang menerima namun tidak
mengamalkannya dan ada yang mengingkari dakwah secara keseluruhan. Jadi seorang da'i
haruslah menghadapi mad'u dengan bijak tanpa mengkedepankan emosi ataupun tidak
berpegang pada hal-hal yang telah ditetapkan didalam Al-Qur'an dan Hadist, serta memahami
betul tingkatan dari mad'u yang hendak kita dakwahkan.[11]

Selain itu, cara menghadi Mad’u juga berbeda-beda berdasarkan klasifikasi Mad’u nya juga,
yaitu:

a) Geografis

Berdasarkan letak geografis, mad’u dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu
masyarakat kota dan desa. Masyarakat kota sangat terpengaruh kepada pola berpikir rasional.
Karena itulah berdakwah di tengah-tengah masyarakat kota perlu mencari materi yang
sifatnya rasional. Sehingga mereka merasakan bahwa beragama itu bukan hanya sekedar
kewajiban, akan tetapi sebagai kebutuhan.

Masyarakat desa mempunyai ciri kehidupan yang erat hubungannya dengan


alam. Pola berfikir mereka masih terbelakang jika dibandingkan dengan masyarakat kota.
Maka kalau berdakwah di tengah-tengah masyarakat desa, tidak perlu mamakai bahasa
ilmiah, sebab tidak akan komunikatif.

b) Segi Akidah

Dari kacamata akidah, manusia terbagi dua yaitu muslim dan non muslim.[12]
Untuk menghadapi masyarakat yang non muslim, diperlukan pemikiran dan argumentasi.
Disinilah letak peranan ilmu perbandingan agama yang harus dipelajari oleh setiap da’i.
Menghadapi masyarakat yang sudah muslim sebenarnya tidak ada problem,
apalagi kalau agamanya sudah mapan. Akan tetapi bagi yang belum mapan atau dengan kata
lain masih awam, diperlukan juga cara tersendiri. Setidaknya jangan sempat dia bingung
dikarenakan banyaknya masalah khilafiyah yang kita bentangkan. Sebaiknya hal semacam itu
dihindari saja.

c) Segi Usia

Dari segi usia, mad’u pada dasarnya terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu
dewasa, remaja, anak-anak. Orang dewasa pada dasarnya sudah punya wawasan luas. Pola
berfikirnya sudah matang, daya serap atau daya tanggap otaknya sudah tinggi. Lain halnya
dengan remaja, mereka masih tahap dalam pertumbuhan dan perkembangan, baik dari segi
fisik maupun psikis. Demikian juga dalam pola berfikir, pada umumnya mereka lebih tertarik
jika berdakwah dengan menggunakan metode diskusi, sebab mereka ingin mencoba atau
menguji ilmu yang mereka peroleh. Berbeda dengan anak-anak, mereka lebih senang dengan
bentuk cerita-cerita yang menarik.

d) Segi Status Sosial

Dari segi status sosial, pada dasarnya terbagi empat bentuk yaitu: pejabat,
rakyat jelata, kaya, dan miskin. Masyarakat yang tergolong masyarakat jelata atau orang
miskin , pada umumnya tidak terlalu sulit untuk menyampaikan pesan dakwah, karena
biasanya mereka mudah dijumpai dimana saja dan mereka tidak terlalu sibuk.

Berbeda halnya dengan menghadapi para pejabat dan orang kaya, di samping
kesibukannya yang seolah-olah tidak punya waktu untuk mendengarkan dakwah, juga rasa
ingin dihormati sesuai dengan status sosialnya. Metode ceramah yang mereka inginkan
sifatnya ilmiah dan rasional. Pada umumnya mereka tidak mau kalu ada pengajian dan
ceramah yang berbentuk dogma, sebab mereka termasuk golongan orang-orang intelektual.

e) Segi Jenis Kelamin

Dari jenis kelamin dapat dibedakan menjadi laki-laki dan perempuan. Pada
dasarnya kedua sasaran dakwah ini tidak berbeda antara satu dengan lainnya, namun sering
sekali orang membeda-bedakannya. Padahal menurut Mahmud Syaltut, mantan Syaikh
(pemimpin tertinggi) lembaga-lembaga Al-Azhar di Mesir menulis: “tabiat kemanusian
antara laki-laki dan perempuan hampir (dapat) dikatakan sama. Allah telah menganugrahkan
kepada perempuan sebagaimana menganugrahkan kepada laki-laki, yaitu potensi dan
kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan yang menjadikan kedua jenis
kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum atau khusus.[13]
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pengertian Mad’u

Mad'u adalah objek dari kegiatan dakwah, mad'u memiliki ragam jenis yang
dibagi berdasarkan lingkup tertentu. Seorang da'i harus memiliki cara yang mantap agar
dakwah yang dilakukan tidak sia sia yakni pesan yang disampaikan itu sampai kepada
mad'u dan membekas, sehingga mad'u mendapat asupan rohaniah yang akan
mengembalikan pemikiran mereka kepada faham faham islam dan terciptanya
masyarakat islami yang penuh hikmat dibawah naungan Al-Qur'an dan Hadist.

2. Ragam Jenis Mad’u antara lain:

A. Mad’u ditinjau dari segi sosiologisnya berupa:

a. masyarakat terasing

b. masyarakat pedesaan

c. masyarakat kota

d. masyarakat marjinal dari kota besar.

B. Mad’u ditinjau dari segi struktur kelembagaan berupa:

a. masyarakat dari kalangan pemerintah

b. masyarakat keluarga.

C. Mad’u ditinjau dari segi sosial kultur berupa:

a. golongan priyayi

b. golongan abangan

c. golongan santri.

D. Mad’u ditinjau dari segi tingkat usia berupa:

a. golongan anak-anak

b. golongan remaja

c. golongan dewasa.

E. Mad’u ditinjau dari segi profesi dan pekerjaan berupa:


a. golongan petani

b. golongan pedagang

c. golongan buruh

d. golongan pegawai

e. golongan administrator.

F. Mad’u ditinjau dari jenis kelamin berupa golongan

a) pria dan

b) wanita.

G. Mad’u ditinjau dari segi khusus berupa:

a. tuna susila

b. tuna karya

c. nara pidana, dan sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA

Razak, Nasaruddin.1976.Metodologi Dakwah. Semarang: Toha Putra

Ghazali, M. Bahri.1997. Dakwah Komunikatif. Jakarta :CV.Pedoman Ilmu Jaya.

Jalil, Abdul.1997. Maman ,afiudin. Prinsip dan Strategi Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.

Rasyidah.2009.Ilmu Dakwah “perspektif gender”.Banda Aceh: Bandar Publishing

Jasafat.2012.Meniti Aktivitas Dakwah.Banda Aceh:Ar-Raniry Press

Aziz,Moh Ali.2004.Ilmu Dakwah.Jakarta:Prenada Media

Anda mungkin juga menyukai