Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SOSIOLOGI DAKWAH

SASARAN DAKWAH DAN APLIKASINYA DI MASYARAKAT


Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Sosiologi Dakwah
Dosen Pengampu : Ibu Suprihatiningsih

Disusun Oleh :

1. Aditya ()
2. Ani Fitriyah (2001036063)
3. Aulia Revaldi (2001036064)

MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM WALISONGO SEMARANG
2022
A. LATAR BELAKANG

Salah satu unsur dakwah terpenting adalah mad’u, yaitu orang yang menerima
ajakan dan panggilan kepada agama Islam. Para mad’u adalah seluruh manusia dengan
berbagai corak suku, ras, social-budaya, sosial- ekonomi, sosial-politik, pendidikan dan
sebagainya. Mereka juga berbeda dari sudut latar belakang teologis dan antropologis.
Dalam strategi dakwah efektif, pengenalan mad’u menjadi sangat urgen bagi pendakwah
untuk dapat menyesuaikan diri dalam sosialisasi nilai-nilai Islam. Rasulullah saw. telah
menerapkan strategi dakwah dengan pengenalan mad’u dalam penyiaran Islam, baik
pada periode Mekkah maupun periode Madinah dengan hasil yang sangat gemilang.

Mad’u dapat diklasifikasi menurut jenis kelamin, usia, latar belakang pendidikan,
latar belakang budaya, latar belakang ekonomi, status sosial, profesi dan sebagainya.
Untuk mengenal mad’u dengan tepat dapat menerapkan metodologi penelitian ilmu-ilmu
sosial yang bersifat empiris, historis, maupun yang bersifat rasional dengan
mengintegrasikannya dengan prinsip-prinsip al-Qur’an dan al-Hadits.1

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana mad’u secara sosiologis dan metode pilihannya ?


2. Bagaimana aplikasi dakwah sebagai ajakan, sebagai komunikasi, penyelamatan
dan membangun peradaban ?

3.

1
D A N Psikologis, ‘(G) Kamaluddin’.
C. PEMBAHASAN

1. Mad’u Secara Sosiologis

Masyarakat mad’u terdiri dari individu, kelompok atau masyarakat luas.


Perspektif sosial-ekonomi menunjukkan kalangan mad’u terdiri dari berbagai profesi,
seperti petani, pedagang, pengusaha, buruh, pegawai negeri, karyawan dan
sebagainya. Max Weber pernah meneliti pengaruh stratifikasi sosial-ekonomi
terhadap sifat keagamaan seseorang. Max Weber meneliti lima profesi yaitu:

1) Golongan petani. Mereka lebih religius, dakwah disampaikan secara


sederhana, menghindari hal-hal abstrak, menggunakan lambang dan
perumpamaan yang ada di lingkungan serta tidak terikat kepada waktu dan
tenaga.
2) Golongan pengrajin dan pedagang kecil. Sifat keagamaannya dilandasi
perhitungan ekonomi dan rasional. Mereka menyukai do’a-do’a yang
memperlancar rezeki serta etika agama tentang bisnis, mereka menolak
keagamaan yang tidak rasional.
3) Golongan karyawan. Mereka cenderung mencari untung dan kenyamanan.
Makin tinggi kedudukan seseorang, ketaatan beragamanya semakin cenderung
berbentuk formalitas.
4) Golongan kaum buruh. Mereka lebih mengutamakan teologi pembebasan.
Mereka mengecam segala bentuk penindasan, ketidakadilan dan semacamnya.
5) Golongan elit dan hartawan. Mereka cenderung lebih santai dalam beragama,
suka penghormatan dan menyetujui faham Qadariyah dalam kemampuan
manusia untuk berusaha mencari rezeki. Karena masih menikmati
kekayaannya, mereka mudah menunda ketaatan beragama untuk hari tua.
Kalangan mad’u tersebut di atas ditinjau dari berbagai motivasi dan
sifat keberagamaannya masing-masing memiliki sifat-sifat yang bervariasi.
Kehidupan petani biasanya lebih tenang dan lebih terpengaruh dengan alam
lingkungan, sehingga kehidupan keagamaannya lebih kuat. Namun demikian,
profesi dagang dan buruh juga tidak berarti kurang jiwa keagamaannya
demikian juga golongan elit yang memiliki kemampuan untuk beramal sosial
seperti berinfak dan bersedekah.
Selain itu, kalangan mad’u bisa terdiri dari kalangan awam, pelajar,
guru, birokrat, kepala suku dan kalangan rakyat biasa, seperti halnya
pendakwah. Kalangan mad’u bisa saja dari kalangan raja oleh pendakwah dari
kalangan rakyat, atau sebaliknya mad’u dari kalangan rakyat dihadapi
pendakwah dari kalangan raja. Dakwah Islam disampaikan kepada seluruh
manusia tidak terbatas pada salah satu profesi, atau untuk kelompok tertentu
dari masyarakat etnis tertentu. Islam menjadi rahmatan lil ‘alamin artinya
sebagai rahmat bagi sekalian alam.
Masyarakat mad’u ditinjau dari segi kemajuannya terdapat masyarakat
modern dan masyarakat tradisional. Masyarakat kota pada umumnya lebih
modern pola hidupnya dari masyarakat pedesaan. Tetapi sebaliknya
masyarakat pedesaan pada umumnya lebih teguh memegang nilai-nilai adat
budaya yang dianutnya. Pendakwah pada masyarakat kota lebih majemuk
ditantang untuk menyampaikan pesan-pesan yang lebih argumentatif dari pada
mad’u masyarakat pedesaan yang lebih tradisional. Masyarakat pedesaan
masih suka pesan-pesan yang berkaitan dengan syurga – neraka dihubungkan
dengan pahala dan dosa amal ibadah. Sedangkan masyarakat kota
menganggap lebih baik pesan-pesan alQur’an dikaitkan dengan ilmu
pengetahuan modern.2

Metode Dakwah

Seorang muballigh atau dai harus pandai dan cerdik serta jeli melihat jemaah
yang dihadapinya karena masyarakat atau jemaah yang dihadapi memiliki berbagai
macam watak dan pandangan sesuai dengan tingkat pemahaman masing-masing.

Menghadapi karakteristik mad’u yang beragam memerlukan penerapan


metode dakwah yang sesuai. Secara garis besar metode dakwah dijelaskan dalam Al-
Qur’an surat An-Nahl 125, dari ayat ini pun para da’i dapat menarik pelajaran dari
definisi (An-Nahl) yang berarti lebah. Lebah dan kehidupannya yang apabila dianalisa
dan dicermati dapat memberikan pembelajaran tentang kehidupan lebah yang selalu
hinggap di pohon yang berbunga dan selalu mengisap sari-sari yang bersih dan
berenergi, pohon dan ranting yang dihinggapinya tidak terusik, malah hinggapnya
lebah ini berguna untuk proses pembuahan dari bunga pada pohon itu. Inilah suatu
analogi kehidupan lebah dengan seorang da’i yang senantiasa selektif dalam memilih
sesuatu dari segi legal, halal, bersih, bergizi atau apapun dalam kehidupannya,
hidupnya yang tidak mengganggu masyarakat sekitarnya, tidak merugikan masyarakat
dan menjadi beban tetapi justru memberikan manfaat.
2
Psikologis.
Pada ayat tersebut, ditemukan landasan metode dakwah yang telah
diperintahkan untuk dilaksanakan dalam aktivitas dakwah, metode-metode dakwah
yang telah ditetapkan pada surat An-Nahl ayat 125 ini, secara garis besar terbagi atas
tiga, yakni metode bi alhikmah, mauidzah hasanah, dan metode al-mujadalah. Ragam
metode tersebut bila dipahami dan diaplikasikan oleh para da’i/ da’iah diharapkan
mampu mewujudkan dakwah yang efektif dan efisien.

a) Metode bi Al-hikmah
Dakwah bi al-hikmah berarti dakwah bijak, yakni selalu memperhatikan suasana,
situasi, dan kondisi mad’u. menggunakan metode yang relevan dan realistis
sebagaimana tantangan dan kebutuhan, dengan memperhatikan kadar pemikiran
dan intelektual, suasana psikologis, serta sosial kultural mad’u. prinsip-prinsip
metode bi al-hikmah ini ditujukan terhadap mad’u yang kapasitas intelektual
pemikirannya terkategorisasikan khawas, cendikiawan, atau ilmuwan.
M. Natsir seperti dikutip Acep Aripuddin menyatakan bahwa metode bi al-
hikmah adalah metode yang digunakan untuk setiap golongan baik golongan
cerdik, golongan awam, ataupun golongan antara keduanya. Menurutnya metode
dakwah bi al-hikmah bisa berarti hikmah dalam berbicara sesuai dengan kondisi
mad’u yang dihadapi. Begitu pula hikmah dengan akhlak dan metode memberi
contoh.
b) Metode Mauidzah Hasanah
Secara bahasa mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’idzah dan
hasanah. Kata mauidzah berasal dari kata wa’adzaya’idzu-wa’dzan-‘idzatan yang
berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan, sementara hasanah berarti
kebaikan.
Pengertian mauidzah hasanah menurut istilah berdasarkan pendapat Abdul Hamid
Al-Bilali adalah, Al-mau’izhah hasanah merupakan salah satu manhaj (metode)
dalam dakwah untuk mengajak kejalan Allah dengan memberikan nasihat atau
membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.
c) Metode Al-Mujadalah
Metode al-Mujadalah adalah metode ketiga yang diperintahkan dalam Al-Qur’an
pada surat An-Nahl ayat 125, untuk lebih memahami bagaimana, kapan, dan
dimana harus diterapkan maka perlu terlebih dahulu dipahami definisinya. Dari
segi etimologi (bahasa) lafadz mujadalah terambil dari kata ‚jadala‛ yang
bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang
mengikuti wazan faa ala, ‚jaa dala‛ dapat bermakna berdebat, dan ‚mujadalah‛
perdebatan.
Muhammad Husain Yusuf, menyatakan bahwa metode al-mujadalah ditujukan
kepada manusia jenis ketiga yakni orang-orang yang hatinya dikungkung secara
kuat oleh tradisi jahiliyah, yang dengan sombong dan angkuh melakukan
kebatilan, serta mengambil posisi arogan dalam menghadapi dakwah.37 Adapun
menurut Sayyid Muhammad Thantawi, menyatakan bahwa metode al-mujadalah
adalah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan
cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.3

Seorang da’i akan memberikan materi dakwah berbeda sesuai dengan


kemampuan dan latar belakang mad’u nya. Sebagai contoh, Quraish Shihab ketika
memberikan materi dakwah hanya bisa ditelaah oleh kalangan yang berintelektual
tinggi, karena materi yang disampaikan sangat “tinggi” bahasanya (ilmiah). Berbeda
dengan apa yang disampaikan oleh Mamah Dedeh, Umi Qurratun ‘ayun, Ustad
Maulana, almarhum Zainudin MZ., semua kalangan bisa menerima materi yang
disampaikan, karena bahasa yang digunakan sangat ringan dan sesuai dengan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Kirun (pelawak) yang sekarang bertransformasi menjadi da’i dan lebih banyak
berdakwah di sekitar Jawa Timur, kebanyakan mad’u-nya adalah dari kalangan bawah
dan abangan, sehingga materi yang disampaikan sangat ringan dan cenderung lucu
(kocak). Meskipun demikian, materi tetap pada koridor ajaran agama Islam.
Karenanya akan mengena ke sasaran yang memang sudah di-goal-kan oleh Kirun
tersebut.

Contoh-contoh diatas menunjukkan bahwa meskipun latar belakang dan


materi dakwah berbeda, para da’i tersebut mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk
memperbaiki akhlak atau akidah mad’u ke arah yang lebih baik. Sehingga diharapkan
masyarakat mengerti terhadap teori yang disampaikan sekaligus menjalankan atau
mempraktekkan. Inilah tujuan dari dakwah baik menggunakan metode al-hikmah, al-
Mau’idza Hasanah, ataupun mujadalah.4

3
Ahmad Zuhdi, ‘Syekh H. Mukhtar Abdul Karim Ambai Dan Pembaharuan Dakwah Di Kerinci’, Jurnal Dakwah
Dan Komunikasi, 6.2 (2021), 255–68.
4
Amaliyah, ‘ISLAM DAN DAKWAH: SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI AGAMA’."},"properties":
{"noteIndex":2},"schema":"https://github.com/citation-style-language/schema/raw/master/csl-
citation.json"}Efa Ida Amaliyah, ‘ISLAM DAN DAKWAH: SEBUAH KAJIAN ANTROPOLOGI AGAMA’.
1. Pengaplikasian Dakwah Sebagai Ajakan, Sebagai Komunikasi Pembebasan,
Penyelamatan Dan Membangun Peradaban
A. Aplikasi Dakwah Sebagai Ajakan
Aplikasi atau dengan kata ain dapat dimaknai sebagai Implementasi
merupakan sebuah hal yang perlu adanya sebuah pelaksanaan, penerapan, dan
pertemuan yang bermaksud mencari bentuk tentang yang disepakati. Sedangkan kata
ajakan dalam KBBI memiliki sebuah arti sebuah anjuran atau perintah agar seseorang
mau melakukan sesuatu yang diucapkan oleh penutur. Melihat dari definisi ini, maka
kalimat ajakan bisa disebut sebagai kalimat perintah. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa aplikasi dakwah sebagai ajakan merupakan proses pelaksanaan atau
penerapan dakwah bersifat mengajak seseorang untuk melakukan apa yang
disampaikan oleh da’i dalam proses dakwah berlangsung agar dapat di
implementasikan atau di aplikasikan oleh pendengar atau mad’u.
Dari penjelasan diatas, terdapat sebuah contoh aplikasi dakwah sebagai ajakan
yang dilakukan oleh Rasulullah pada masa dakwah di Mekkah dan Madinah dengan
melakukan beberapa pendekatan kepada masyarakat pada saat itu,5 sebagai berikut :
1. Pendekatan personal; dilakukan dengan cara individual antara pelaku dakwah dan
sasaran dakwah dengan tatap muka sehingga materi yang disampaikan langsung
diterima dan menimbulkan reaksi dari sasaran dakwah yang langsung diketahui.
2. Pendekatan pendidikan; dilakukan seiring dengan masuk islamnya para sahabat,
dan hingga sekarang hal tersebut masih teraplikasi pada lembaga pendidikan
pesantren, yayasan bernuansa Islam, atau perguruan tinggi yang terdapat materi-
materi keislaman.
3. Pendekatan diskusi; dilakukan oleh pelaku dakwah sebagai nara sumber, dan
sasaran dakwah sebagai audience (peserta diskusi), dengan tujuan dari diskusi
tersebut membahas serta menemukan solusi dari problematika yang berkaitan
dengan dakwah sehingga dapat diselesaikan.
4. Pendekatan penawaran; dilakukan dengan menawarkan atau mengajak untuk
beriman kepada Allah SWT tanpa memaksa (persuasif).
5. Pendekatan misi; dilakukan dengan mengutus atau mengirimkan para pelaku
dakwah ke daerah di luar tempat berdomisili (ekspansi).

5
Muhammad Amahzun, Manhaj Dakwah Rasulullah (Qisthi Press, 2006).
Dengan memperhatikan beberapa hal yang telah diuraikan mengenai metode
dakwah Rasulullah, dapat dijadikan sebagai pelajaran kepada umat Islam dalam
pelaksanaan dakwah memerlukan beberapa faktor sebagai berikut:

1. Mengembangkan pola pikir dan wawasan keilmuan


2. Pola pikir dan wawasan yang luas tersebut mempengaruhi kepribadian, sehingga
tidak mudah terlarut dengan sikap-sikap negatif
3. Mampu menguraikan materi sesuai dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.

Memanfaatkan Pengaplikasian Dakwah Melalui Media Sosial

Media sosial (medsos) telah menjadi fenomena yang semakin mengglobal dan
mengakar. Keberadaannya nyaris tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebagai
bentuk aplikasi dalam komunikasi secara virtual, media sosial merupakan hasil dari kemajuan
Teknologi Informasi dan Komunikasi. Media sosial merupakan sebuah media online, di mana
para penggunanya melalui aplikasi berbasis internet dapat berbagi, berpatisipasi, dan
menciptakan konten berupa blog, wiki, forum, jejaring sosial, dan ruang dunia virtual yang
disokong oleh teknologi multimedia yang kian canggih. Pada saat ini, jejaring sosial, blog,
dan wiki merupakan media sosial yang paling banyak digunakan dan tumbuh pesat di antara
yang lainnya.6

Kemajuan teknologi dan informasi sangat berpengaruh dalam pola dan gaya hidup
masyarakat sehari-hari. Salah satu pengaruhnya menjadikan seseorang malas untuk keluar
rumah karena mereka merasa sudah mampu menjangkau semuanya. Di sini terdapat celah
dakwah bahwa dalam menyampaikan pesan-pesan agama, juru dakwah tidak harus bertatap
muka langsung dengan masyarakat.

Dakwah dapat disampaikan melalui berbagai cara dan berbagai media. Salah satu di
antaranya adalah melalui media sosial. Di zaman sekarang, media sosial telah menjadi
fenomena yang semakin mengglobal dan mengakar. Seperti diketahui bersama, bahwa
aplikasi-aplikasi media sosial sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari alat komunikasi
yang “dibenamkan” di dalam smartphone, tablet, laptop, dan PC. Kini, dengan semakin luas,
cepat dan lebarnya koneksi internet, konsumen semakin dimudahkan dalam mengakses
aplikasi media sosial.

Akan tetapi ada pula dampak negatifnya, di antaranya; berkurangnya interaksi


interpersonal secara langsung, menyebabkan kecanduan, serta persoalan etika dan hukum
6
Dudung Abdul Rohman, “Komunikasi Dakwah Melalui Media Sosial,” Tatar Pasundan: Jurnal Diklat
Keagamaan 13, no. 2 (2019): 121.
karena kontennya yang melanggar moral, privasi serta peraturan. Sehingga, pada akhirnya
melahirkan budaya baru di masyarakat tentang pemanfaatan waktu yang dipengaruhi oleh
media sosial. Pengguna media sosial sekarang tidak hanya di waktu luang saja, namun juga
pada waktu-waktu sibuk, karena dimanfaatkan sebagai sarana untuk bekerja. Batasan waktu,
ruang dan jangkauan menjadi hilang, sehingga gaungnya pun menjadi luas tanpa sekatsekat
seperti pada efek dari media konvensional. Oleh karenanya, kearifan dalam pemakaian media
sosial harus dipertimbangkan karena dampaknya sulit diprediksi, apalagi kalau kontennya
melanggar kepatutan, etika, norma-norma masyarakat, budaya dan yang lainnya.

B. Apikasi Dakwah sebagai Komunikasi Pembebasan

Pengertian Dakwah sebagai komunikasi pembebasan menurut pemakalah tidak jauh


berbeda dengan pengertian dari metode da’wah bi al-hal. Penggunaan istilah ini
dikarenakan tujuan utama dakwah bi al-hal ialah membebaskan umat dari berbagai
persoalan hidup yang dihadapinya, baik berupa diskriminasi, kemiskinan, kebodohan,
dan keterbelakangan. Oleh karenanya, dakwah ini disebut juga “dakwah aksi nyata”,
yakni upaya dakwah yang dilakukan untuk membangkitkan kesadaran masyarakat akan
potensi yang dimilikinya, sehingga tercipta suatu tatanan sosial yang damai, adil, harmonis
dengan berbagai keragaman, yang mencerminkan Islam sebagai rahmat lil ‘alamin.7

Metode dakwah bi al-hal merupakan upaya dakwah yang bertujuan


mengembangkan dan atau meningkatkan minat usaha dan etos kerja mad’userta berupaya
membangkitkan dan mengoptimalisasikan sumber ekonomi umat. Sedangkan upaya
dakwah yang dilakukan dalam rangka pengembangan sosial kemasyarakatan dilakukan
guna menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang timbul akibat
modernisasidan globalisasi, seperti sempitnya lapangan kerja yang menyebabkan
banyaknya jumlah pengangguran, lemahnya supremasi hukum, pelanggaran HAM serta
pemberdayaan perempuan yang masih dipandang sebelah mata.

Secara singkat, dakwah bi al-hal bertujuan memberikan bantuan kepada mad’u baik
moral maupun material agar mereka terbebas dari permasalahan hidup yang dihadapinya.
Dakwah hadir sebagai konduktor nilai-nilai kebaikan kepada umat manusia dengan
tanpa mengabaikan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah terhadap sesama hamba Allah SWT.

Rasulullah mengajarkan, seorang muslim yang membiarkan saudaranya dalam


penindasan, maka ia berbuat dosa; dan menolong saudaranya terbebas dari persoalan

7
Akhmad Sagir, ‘Dakwah Bil-Hal: Prospek Dan Tantangan Da’i’, Alhadharah: Jurnal Ilmu Dakwah, 14.27 (2015),
1–13.
hidup yang dihadapi adalah ibadah yang bernilai dakwah. Islam sangat tidak menghendaki
kemiskinan. Hal ini senada dengan pernyataan berbagai komponen ajaran Islam. Karena,
ketika kebutuhan fisik mad’u dapat terpenuhi, maka ia bisa menjalankan perintah agama
secara sempurna dan khusuk. Dengan begitu, maka tujuan dakwah dapat dikatakan tercapai
dengan sempurna, yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

C. Aplikasi Dakwah sebagai Penyelamat dan Pembangun Peradaban


D. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Amahzun, Muhammad, Manhaj Dakwah Rasulullah (Qisthi Press, 2006)

Psikologis, D A N, ‘(G) Kamaluddin’

Rohman, Dudung Abdul, ‘Komunikasi Dakwah Melalui Media Sosial’, Tatar Pasundan:
Jurnal Diklat Keagamaan, 13.2 (2019), 121–33

Sagir, Akhmad, ‘Dakwah Bil-Hal: Prospek Dan Tantangan Da’i’, Alhadharah: Jurnal Ilmu
Dakwah, 14.27 (2015), 1–13

Zuhdi, Ahmad, ‘Syekh H. Mukhtar Abdul Karim Ambai Dan Pembaharuan Dakwah Di
Kerinci’, Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 6.2 (2021), 255–68

Anda mungkin juga menyukai