Anda di halaman 1dari 10

PRINSIP DAKWAH MULTIKULTURAL

¹Hamiruddin
²Karnila

Pascasarjana Prodi Dakwah dan Komunikasi


UIN Alauddin Makassar
Email: drhamiruddin@gmail.com
ilakrnla51@gmail.com

Abstract:
Islam is a proselytizing religion. Islam developed in the midst of the people
throughout the world through preaching. The success of Islamic propagation in
inviting people to the right path, partly because Islam does not discriminate against
race, nation, ethnicity and culture. Islamic preaching in the face of diverse human
cultures, not just in the form of an invitation, but has a principle which is a basic
guideline that refers to the obligation, the human response to God's call, there is no
element of coercion, it is rational and ethics enforcement in assessing good and bad
things according to religious teachings (Islam).

Keywords : Principles, Da’wa, Cultures

PENDAHULUAN

Keanekaragaman makhluk yang ada di bumi ini adalah manifestasi

kemahakuasaan Tuhan, dan bukan suatu alasan untuk menguntungkan satu

makhluk dengan merugikan makhluk lainnya. Demikian pula halnya

keanekaragaman budaya manusia merupakan keniscayaan yang tidak dapat

dielakkan, namun budaya perlu dicermati karena tidak sepenuhnya budaya yang

berkembang dalam masyarakat baik dan membawa kemaslahatan bagi manusia

meskipun budaya tersebut sudah ada dan berkembang di tengah-tengah masyarakat


seperti kebiasaan pesta dengan minum minuman keras dan sebagainya.

Membangun sebuah jembatan antarbudaya (dalam arti ras, kepercayaan, dan

sosio-kultural), dengan landasan persamaan dan persaudaraan saat ini sangat

penting. Karena manusia tidak berdiri sendiri terutama pada kehidupan yang
kontemporer dan kompleks seperti dewasa ini. Hubungan kerja sama dengan

sesama manusia untuk menghindari fanatisme dan etnosentrisme yang berlebihan,


sebab kedua hal tersebut dapat menyebabkan perpecahan di antara manusia.

Salah satu ikhtiar manusia untuk memelihara hubungan dengan sesama

adalah melalui dakwah antarbudaya yaitu dakwah dengan memperhatikan dan

mengindahkan nilai-nilai budaya termasuk tradisi agama yang dianut masyarakat.

Dakwah dalam hal ini berarti memberi bimbingan tidak mencaci maki budaya orang

lain, adat-istiadat dan tradisi agama yang dianut masyarakat. Bila menyimpang dari

agama dapat diluruskan sesuai dengan tuntunan agama itu sendiri, dan
pelaksanaannya berpedoman pada prinsip-prinsip
RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok masalah yang akan diurai
dalam artikel ini yaitu:
1. Bagaimana pengertian dakwah multikultural?
2. Bagaimana prinsip-prinsip dakwah multikultural?
TUJUAN
1. Mengetahui makksud dakwah multicultural
2. Menganalisis prinsip-prinsip dakwah multikultural
PEMBAHASAN

Secara bahasa, dakwah berasal dari kata da’a, yad’u, da’watan, yang berarti

memanggil, mengajak, dan menyeru. Dalam Islam seorang, muslim diwajibkan

untuk berdakwah yaitu dengan mengajak orang lain pada kebaikan di jalan Allah

SWT. Sebagaimana kegiatan dakwah ini didasarkan pada Al-Qur’an Surah An-
Nahl ayat 125.

Sementara itu Muhammad Natsir, memberikan pendapat bahwa dakwah


adalah usaha-usaha untuk menyerukan dan menyampaikan kepada individu dan
seluruh umat atas konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di

dunia ini, yang meliputi amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai macam media

dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengamalannya dalam peri
kehidupan masyarakat dan peri kehidupan bernegara.

A. Pengertian Dakwah Multikultural

Sebelum membahas dari prinsip Dakwah Multikultural perlu sekiranya

dibahas sekilas terkait makna dari multikultural itu sendiri. Multi artinya banyak,

berlipat ganda, sedangkan kulturalisme artinya aliran atau ideologi budaya.

Multikulturalisme berarti pandangan yang mengakomodasi banyaknya aliran atau

ideologi budaya. Multikulturalisme mengkonsepkan pandangan terhadap

keanekaragaman kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang

menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam


budaya di dalam realitas masyarakat.

Indonesia sebagai negara satu-satunya didunia yang didalamnya terdapat

berbagai macam budaya, suku, bahasa, agama, ras, dan etnis. Keberagaman ini

menjadikan bangsa Indonesia memiliki sifat beragam, majemuk atau multikultural.

Pada dasarnya kemajemukan dan multikulturalitas itu merupakan suatu “fitrah”

manusia. Manusia itu sendiri melalui agama yang dianutnya pada umumnya

meyakini bahwa Tuhan sengaja menciptakan (umat) manusia yang berjenis-jenis,


baik fisik maupun sifatnya, disertai perintah untuk saling asah, asih dan asuh di
antara mereka.
Bahkan didalam beberapa ayat al-Qur’an sangat jelas dikatakan yaitu Q.S.
Al-Hujurat ayat 13. “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Dengan demikian bisa kita pahami dari ayat diatas bahwa pada dasarnya

perbedaan diantara manusia merupakan sunatullah yang telah Allah tetapkan.

Dengan adanya perbedaan itulah sebagai anugerah ciptaan Allah yang senantiasa

harus kita syukuri, dipelihara dengan sebaik-baiknya, dan saling menghargai satu
sama lainnya

Selanjutnya Kuntowijoyo (2000: 294) menjelasakan bahwa dakwah kultural

merupakan kegiatan dakwah yang orientasinya secara spesifik untuk mengajak atau

menyeru manusia dengan cara mengutamakan nilai-nilai budaya yang ada pada

suatu masyarakat yang majemuk dan atau masyarakat yang beraneka ragam dengan
berbagai kekhasannya.

Secara konsepsual dakwah multikulturalisme memiliki dua pandangan

dengan makna yang saling berkaitan. Pertama, multikultur sebagai kondisi

kemajemukan kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi

ini diasumsikan dapat membentuk sikap teloransi. Kedua, multikulturalisme

merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang dirancang sedemikian

rupa agar seluruh lapisan masyarakat dapat memberikan perhatian dengan penuh

kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa. Hal ini beralasan,

karena bagaimanapun juga, semua kelompok etnik atau suku bangsa telah memberi

kontribusi bagi pembentukan dan pembangunan suatu bangsa khsusunya dalam


membangun bangsa Indonesia

B. Prinsip Dakwah Multikultural

Prinsip dakwah multikultural dalam tulisan ini dimaksudkan ialah sesuatu

yang menjadi pegangan atau acuan prediktif kebenaran yang menjadi dasar

berpikir dan bertindak merealisasikan bidang dakwah dengan mempertimbangkan


aspek budaya dan keragamannya ketika berinteraksi dengan mad’u dalam rentang
ruang dan waktu sesuai perkembangan masyarakat

Mayoritas atau hampir semua manusia menyadari bahwa keragaman dan

perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diterima dan dihadapi,

walaupun terkadang sikap yang kurang tepat terhadap keragaman yang ada sering

menjadi sumber konflik, jika bukan permusuhan dan peperangan. Berhenti pada

tampakan keragaman dan perbedaan tertentu membuka peluang untuk terjadinya

ragam konflik kemanusiaan. Oleh karenanya, manusia dituntut untuk mencari titik-

titik tertentu yang memungkinkan adanya titik temu atau paling tidak

kebersamaan, sehingga terbuka peluang untuk tumbuhnya sikap toleran dalam


menyikapi pluralitas.

Dengan demikian, penghayatan dan pengalaman agama yang benar

merupakan daya tangkal paling ampuh terhadap provokasi konflik antar agama,

etnis dan budaya. Pengamalan agama dalam masyarakat unsur budaya dapat

tumbuh dan berkembang melalui dakwah dengan mempertimbangkan aspek


budaya. Adapun prinsip dakwah di tengah masyarakat berbagai budaya yakni :

1. Prinsip Universalitas.

Universalitas dakwah disini bahwa objek dakwah Islam adalah semua

manusia tanpa mengenal batasan budaya, etnis dan sebagainya. Islam memandang

semua orang mempunyai kewajiban untuk mendengar bukti dan menerima

kebenaran. Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku untuk semua

tempat dan zaman. Dakwah menyeru semua manusia kepadaNya, karena manusia
adalah makhlukNya.

Moh. Ali Aziz mengatakan : universalitas dakwah sebenarnya memiliki dua


dimensi, yaitu universal dalam arti ia berlaku untuk setiap tempat tanpa mengenal
batas-batas etnis, dan universalitas dalam arti ia berlaku untuk setiap waktu tanpa

adanya pembatasan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa ajaran itu bersifat

permanen sampai akhir masa yang akan datang. Untuk itu ajaran yang dibawa Nabi

Muhammad saw. bersifat elastis, akomodatif, dan fleksibel sehingga dalam hal-hal

tertentu ia dapat mengikuti perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan

manusia. Prinsip universalitas dakwah ini menunjukkan bahwa dakwah untuk

semua manusia, tanpa kecuali termasuk pengutusan Muhammad saw untuk semesta
alam.

2. Prinsip Liberation (Pembebasan)

Pembebasan disini memiliki dua arti yaitu, 1) bagi da’i yang melaksanakan

tugas dakwah harus bebas dari segala macam teror yang mengancam

keselamatannya, terbebas dari segala kekurangan materi untuk menghindari fitnah

yang merusak citra da’i dan harus benar-benar yakin bahwa kebenaran ini hasil

penilaiannya sendiri. 2) Kebebasan terhadap mad’u tidak ada paksaan dalam

agama. Dengan demikian jelas bahwa dakwah tidak bersifat memaksa apalagi

tindakan intimidasi dan teror, kendatipun terjadi perbedaan antara da’i dan mad’u.

Prinsip ini merupakan prinsip kebebasan yang merupakan ciri manusia yang paling
spesifik.

3. Prinsip Rasionalitas

Pada abad modern ini adalah abad ilmu pengetahuan dan teknologi. Segala

aktivitas manusia berpangkal pada sejauh mana penggunaan rasionalitas seseorang.

Apakah seorang da’i telah menggunakan pendekatan-pendekatan rasional dalam

menyampaikan dakwahnya sesuai kebutuhan mad’u atau terus-menerus masih

menggunakan pendekatan-pendekatan dogmatic dan menjejali mad’u dengan

materi-materi dakwah yang sudah out of date. Prinsip rasionalitas merupakan


respons asasi terhadap masyarakat yang menggunakan prinsip amal hidupnya

dengan prinsip-prinsip rasional seperti yang sedang terjadi pada masyarakat


sekarang.

Karena itu dakwah tidak semata-mata berorientasi pada kesemarakan, tetapi

banyak diarahkan pada pendalaman dan pengembangan wawasan. Hal ini penting

mengingat dalam kehidupan masyarakat majemuk, diperlukan sikap yang terbuka

tetapi tidak larut, diperlukan sikap cosmopolitan tetapi berkepribadian. Dakwah


disamping memiliki kepekaan teologis juga harus memiliki kepekaan sosial.

Jadi posisi da’i dalam perannya menghadapi mad’u yang rasional ini adalah

mengembangnya dengan pendekatan-pendekatan yang rasional, baik dalam

pemahaman nilai agama maupun praktek keagamaan. Sikap proaktif seorang da’i

dalam proses bimbingannya serta ikut berpartisipasi dalam setiap perkembangan


yang terjadi di masyarakat adalah bentuk empirik sikap rasional

4. Prinsip Kearifan

Prinsip ini sebagai suatu cara pendekatan dakwah yang mengacu pada

kearifan pertimbangan budaya, sehingga orang lain tidak merasa tersinggung atau

merasa dipaksa untuk menerima suatu gagasan atau ide tertentu terutama
menyangkut perubahan diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Kearifan atau bijaksana adalah sikap mendalam sebagai hasil renungan yang

teraktualisasikan pada cara-cara tertentu untuk mempengaruhi orang lain atas dasar

pertimbangan psiko sosiokultural mad’u secara rasional. Kearifan adalah suatu

syarat mutlak suksesnya pencapaian tujuan dakwah. Da’i yang hendak sukses

dalam melakukan dakwah ialah yang sanggup menyesuaikan dan memposisikan

dirinya dalam mengatasi segala keadaan yang dihadapi. Kearifan atau bijaksana
dimaksud bukan berarti tegas dan kaku dan juga bukan berarti lemah dan apatis
dalam melihat segala gejala budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama
Islam dan kemanusiaan.

Kearifan yang berjalan pada suatu cara yang realistis dalam melakukan

suatu perbuatan. Maksudnya ketika seorang da’i akan menyampaikan dakwahnya

pada saat tertentu selalu memperhatikan realitas yang terjadi di luar, baik pada
tingkat intelektual, pemikiran, psikologis maupun kebudayaan.

5. Prinsip Penegakan Etika

Prinsip penegakan etika atas dasar kearifan budaya yang mengacu pada

pemikiran teologi Qur’ani, yaitu prinsip moral dan etik yang diturunkan dari isyarat

Al-Qur’an dan Sunnah tentang nilai baik dan buruk tentang keharusan perilaku
etika melaksanakan dakwah Islam termasuk di dalamnya dakwah antar budaya.
Dalam QS. Ali-Imran 159, artinya “maka disebabkan rahmat dari Allah-
lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka. Mohonkan ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakkal kepadaNya”

Ayat tersebut menunjukkan keharusan penegakan etika dalam dakwah, termasuk


dakwah pada masyarakat antarbudaya, dan untuk aplikasinya sebagai berikut :

1) Menumbuhkan kasih sayang (rahmah). Ketulusan ini berupa keharusan

menyebarkan kasih sayang dalam rangka ukhuwah islamiah, basyariyyah

(persaudaraan sesama manusia). Dengan tidak mengejek orang lain karena

perbedaan-perbedaan, tetapi mengajak pada titik temu yang terkandung dalam


perbedaan itu.

2) Sikap layyinah (membuka kelembutan hati). Sikap ini mengharuskan bagi da’i

antarbudaya untuk berperilaku lemah lembut memperhatikan kelayakan, kepatutan


dan keserasian atas dasar pertimbangan faktor psikologis yang harus muncul dalam

sikap perkataan dan perbuatan ketika berinteraksi dengan mad’u yang berbeda
budaya.

3) Saling memaafkan kekeliruan interaksi dengan memproporsikan perilaku yang

bertentangan dengan kebiasaan (pengetahuan tentang norma yang disepakati

bersama dalam fokus tertentu), dalam posisi manusiawi. Dengan demikian akan
lahir suasana saling mengerti

4) Istighfar (memohon ampunan), yaitu upaya menyadarkan mad’u untuk mengakui


terhadap dosa dan kesalahan dengan proses taubat, memohon ampunan kepada
Allah SWT.

5) Selalu mengupayakan musyawarah dalam segala urusan terutama menyangkut

urusan sosial, yaitu upaya mencari solusi berbagai persoalan kehidupan yang

dihadapi melalui tukar pikiran dalam rangka mencari kebenaran dengan tetap

mengacu pada tradisi lokal. 6) Tindakan pengambilan keputusan yang efektif dan

efisien (tepat situasi dan tepat guna). Dengan landasan musyawarah, da’i

antarbudaya dituntut untuk mengambil keputusan yang menyelesaikan masalah


tidak membuat atau menambah masalah.

7) Sikap tawakkal/ Penyerahan total diri (aslamtu). Prinsip ini mengharuskan da’i

antarbudaya untuk selalu ada dalam hukum kausalitas yang diciptakan Allah untuk

mengatur alam termasuk manusia dari sisi kedirian jasadnya dan ketentuan hukum
kausalitas sosial yang mengatur tata kehidupan manusia berupa dinul Islam.

Prinsip penegakan etika ini memperkuat hubungan antar anggota


masyarakat, mempersatukan perasaan yang merupakan dasar kebajikan universal.
DAFTAR PUSTAKA

Badudu, J.S, Kamus Kata-kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia ,Jakarta :
Kompas, 2005
Dep. Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Jakarta : Balai Pustaka, 2001
Ghazali, Abd. Rohim, Agama dan Kearifan Dakwah Dalam Masyarakat Majemuk,
dimuat dalam Buku Atas Nama Agama ,Bandung : Pustaka Hidayah,
1998
Harahap, Syahrin, Teologi Kerukunan Jakarta : Prenada Media Group, 2011
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah,Jakarta : Prenada Media, 2004
Mulyana, Deddy & Jalaluddin Rakhmat (ed), Komunikasi Antar Budaya, Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung :
Remaja Rosdakarya, 2005
Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar ,Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2002
Pulungan , J. Suyuthi, Universalisme Islam ,Jakarta : Moyo Segoro Agung (MSA),
2002
Sambas, Syukriadi & Acep Aripuddin, Dakwah Damai Pengantar Dakwah Antar
Budaya,Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007
Suparta, Munzier & Harjani Hefni (ed), Metode Dakwah ,Jakarta : Prenada Media,
2003
Tamara, M.Nasir & Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Peradaban ,Jakarta,
Paramadina, 1996
Yaqub , Ali Mustofa, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi ,Jakarta : Pustaka Firdaus,
200

Anda mungkin juga menyukai