A. Pengertian Dakwah
Secara etimologis Kata dakwah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti
menyeru, memanggil, mengajak, mengundang.
... َوالَّلُه َيْد ُعو ِإىَل اَجْلَّنِة َواْلَم ْغِف َرِة ِبِإْذ ِنِه َو ُيَبُنِّي آَياِتِه ِللَّناِس َلَعَّلُه ْم َيَتَذَّك ُروَن
Sedang kata dakwah yang berarti mengajak kepada kejahatan, antara lain
ِإَّن الَّش ْيَطاَن َلُك ْم َعُد ٌّو َفاِخَّت ُذ وُه َعُد ًّوا ِإَمَّنا َيْد ُعو ِح ْزَبُه ِلَيُك وُنوا ِم ْن َأْص َح اِب الَّس ِعِري
a. Abu Bakar Zakary berpendapat bahwa dakwah adalah usaha para ulama
dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) untuk
memberi pengajaran kepada khalayak hal-hal yang dapat menyadarkan
mereka tentang urusan agama dan urusan dunianya sesuai dengan
kemampuannya.
b. Menurut Syekh Abdullah Ba’lawy al-Haddad, dakwah adalah mengajak,
membimbing dan memimpin orang yang belum mengerti atau sesat
jalannya dari agama yang benar, untuk dialihkan ke jalan ketaatan kepada
Allah, beriman kepada-Nya serta mencegah dari apa yang menjadi lawan
kedua hal tersebut, kemaksiatan dan kekufuran.
c. Menurut Muhammad Natsir, dakwah adakah usaha-usaha menyerukan
dan menyampaikan kepada individu dan seluruh umat konsepsi Islam
tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang meliputi
amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai macam media dan cara yang
diperbolehkan akhlak dan membimbing pengamalannya dalam peri
kehidupan masyarakat dan perikehidupan bernegara.
d. Menurut Shalahuddin Sanusi, dakwah yaitu usaha-usaha perbaikan dan
pembangunan masyarakat, memperbaiki kerusakan-kerusakan,
melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidakwajaran dalam
masyarakat.
B. Prinsip-Prinsip Dakwah
Pembebasan dalam konteks ini memiliki dua makna yaitu, 1) bagi da’i-
daiyah yang melaksanakan tugas dakwah harus bebas dari segala macam
teror yang mengancam keselamatannya, terbebas dari segala kekurangan
materi untuk menghindari fitnah yang merusak citra da’i dan harus benar-
benar yakin bahwa kebenaran ini hasil penilaiannya sendiri. 2) Kebebasan
terhadap mad’u tidak ada paksaan dalam agama Dengan demikian jelas
bahwa dakwah tidak bersifat memaksa apalagi tindakan intimidasi dan teror,
kendatipun terjadi perbedaan antara da’i dan mad’u. Prinsip ini merupakan
prinsip kebebasan yang merupakan ciri manusia yang paling spesifik.
Dan yang lebih penting lagi, prinsip pembebasan di sini memberikan pesan
kepada kita semua untuk tidak memperbudak orang lain. Hal ini disebabkan
Allah menciptakan setiap orang dalam keadaan merdeka. Oleh karenanya,
prinsip tauhid intinya untuk membebaskan manusia dari unsur perbudakan
(penghambaan) kepada makhluk. Penghambaan yang dibenarkan dalam
Islam hanya kepada Allah. Seluruh dai-da’iyah harus mengingatkan prinsip ini.
Tidak boleh ada majikan yang memperlakukan asistennya dengan
memberikan tugas yang di luar kemampuannya. Tidak boleh ada suami yang
memberikan beban penuh tugas pengasuhan anak. Sebab tugas pengasuhan
anak juga menjadi beban bersama antara suami dan istri. Masing- masing
orang harus mendapatkan perlakuan yang layak, dengan cara dihormati hak-
haknya dan ditanya kerelaannya dalam menjalankan aktivitas. Di sinilah
esensi dari prinsip pembebasan dalam Islam.
Pada abad modern ini adalah abad ilmu pengetahuan dan teknologi.
Segala aktivitas manusia berpangkal pada sejauh mana penggunaan
rasionalitas seseorang. Apakah seorang da’i telah menggunakan
pendekatan-pendekatan rasional dalam menyampaikan dakwahnya sesuai
kebutuhan mad’u atau terus-menerus masih menggunakan pendekatan-
pendekatan dogmatic dan menjejali mad’u dengan materi- materi dakwah
yang sudah out of date. Prinsip rasionalitas merupakan respons asasi
terhadap masyarakat yang menggunakan prinsip amal hidupnya dengan
prinsip- prinsip rasional seperti yang sedang terjadi pada masyarakat
sekarang. Hubungan antara individu dengan masyarakat lainnya terikat
kontrak dalam situasi fungsional terutama ukuranukuran yang bersifat
kebutuhan materi.
Jadi posisi da’i dalam perannya menghadapi mad’u yang rasional ini
adalah mengembangnya dengan pendekatan-pendekatan yang rasional, baik
dalam pemahaman nilai agama maupun praktek keagamaan. Sikap proaktif
seorang da’i dalam proses bimbingannya serta ikut berpartisipasi dalam setiap
perkembangan yang terjadi di masyarakat adalah bentuk empirik sikap
rasional.
Prinsip ini sebagai suatu cara pendekatan dakwah yang mengacu pada
kearifan pertimbangan budaya, sehingga orang lain tidak merasa tersinggung
atau merasa dipaksa untuk menerima suatu gagasan atau ide tertentu
terutama menyangkut perubahan diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Kearifan yang berjalan pada suatu cara yang realistis dalam melakukan
suatu perbuatan. Maksudnya ketika seorang da’i akan menyampaikan
dakwahnya pada saat tertentu selalu memperhatikan realitas yang terjadi di
luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis maupun kebudayaan.
Di antara bentuk kearifan dalam berdakwah termasuk keharus da’i untuk
memaknai dalil-dalil Al Qur’an maupun hadis secara lebih bijak. Sejumlah dalil
yang bersifat merendahkan kelompok perempuan dan dianggap masyhur di
kalangan masyarakat harus dikritisi lebih dalam. Jika hadis, harus dilihat
apakah sanad hadisnya terdiri atas perawi yang tsiqah, adil, dan dhabith.
Demikian juga dengan matannya, harus dilakukan kritik matan (naqd al
mutun). Seorang da’i seharusnya tidak terus menyosialisasikan hadis-hadis
yang merendahkan derajat perempuan, karena itu bertentangan dengan
prinsip pembebasan. Misalnya saja hadis tentang perumpanaan kalau ada
hamba diperintah menyembah hamba lain, maka istri diperintah
menyembah suami. Sudah banyak kajian kritik hadis yang mengupas
tentang kualitas sanad hadis tersebut yang dianggap tidak kuat.
Prinsip penegakan etika atas dasar kearifan budaya yang mengacu pada
pemikiran teologi Qur’ani, yaitu prinsip moral dan etik yang diturunkan dari
isyarat AlQur’an dan Sunnah tentang nilai baik dan buruk tentang keharusan
perilaku etika melaksanakan dakwah Islam termasuk di dalamnya dakwah
antarbudaya.
Dalam QS. Ali-Imran 159, artinya “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka. Mohonkan ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya”. Ayat tersebut
menunjukkan keharusan penegakan etika dalam dakwah, termasuk dakwah
pada masyarakat antarbudaya, dan untuk aplikasinya sebagai berikut:
Dakwah yang produktif terlihat pada pencapaian amal shaleh dari seluruh
elemen masyarakat. Elemen iman tanpa amal shaleh tidak bisa disebut
sebagai kesempurnaan, akan tetapi jika keimanan diimbangi dengan
keperdulian kepada sesama manusia dalam ragam bentuk dan pola
pengabdian terhadap upaya peningkatan kepekaan sosial, dedikasi sosial, dan
kesadaran paradigmatik terhadap isu-isu sosial dan global menjadi prinsip
dakwah sosial yang sangat relevan untuk konteks era globalisasi dan
digitalisasi.
C. Fungsi Dakwah
Banyak yang masih sulit membedakan antara fungsi dan tujuan dakwah,
untuk memudahkan membedakan antara fungsi dan tujuan misalnya jika ada
orang yang haus maka dia akan minum air, minum air adalah fungsi
sementara hilangnya rasa haus adalah tujuan.
Secara umum, fungsi dakwah dapat dilihat dari dua segi, yaitu; Pertama,
segi tingkatan isi (pesan) dakwah.
Isi atau pesan dakwah yang disampaikan meliputi beberapa tahap yang
harus dicapai, yaitu:
D. Tujuan Dakwah
Dalam proses pelaksanaan dakwah dalam arti mengajak manusia ke
dalam Islam, diperlukan penetapan tujuan sebagai landasannya. Tujuan
dakwah mengandung arah yang harus ditempuh serta luasnya cakupan
aktifitas dakwah yang dapat dikerjakan. Dalam bahasa Arab, tujuan disebut
dengan istilah al-qarad, al-qa¡d, al-bugyat, al-hadf. Dari beberapa istilah yang
berkenaan dengan tujuan di atas, maka dapat dipahami bahwa tujuan ialah
suatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.
Dalam ilmu komunikasi, tujuan disebut dengan term destination yang
berarti sasaran atau arah yang akan dicapai dan dengannya dirumuskan
pesan-pesan oleh komunikator untuk mencapai tujuan komunikator Secara
umum Harold Lasswel dalam bukunya (Roundhonah, 2007:52) menyebutkan
bahwa tujuan komunikasi ada empat, yaitu:
1. Social Change (Perubahan Sosial) Seseorang mengadakan komunikasi
dengan orang lain, diharapkan adanya perubahan sosial padanya,
begitupula dengan dakwah bertujuan untuk melakukan perubahan sosial.
2. Attitude Change (Perubahan Sikap) Seseorang berkomunikasi juga ingin
perubahan sikap, begitupa dengan dakwah, bukan hanya perubahan
kesadaran, akan tetapi terjadi perubahan sikap.
3. Opinion Change (Perubahan Pendapat) Seseorang dalam berkomunikasi
mempunyai harapan untuk mengadakan perubahan pendapat, tujuan
dakwah adalah mengubah pendapat umum atau dikenal dengan istilah
public opinion, sehingga kebaikan mengalahkan keburukan. Behavior
Change (Perubahan Perilaku) Seseorang juga ingin adanya perubahan
perilaku.
Rasulullah saw. ketika berdakwah di Mekkah, perumusan dakwahnya
berbeda ketika di Madinah. Fase Mekkah, materi pesannya adalah bertujuan
mengajak untuk beriman kepada Allah. Pada waktu di Madinah, obyeknya
adalah orang-orang beriman, tujuan pembinaannya agar mereka konsisten
beramal saleh.
Pada prinsipnya, tujuan dakwah hanya kepada Allah atau sabili rabbik,
tetapi keadaan obyek dakwah seperti tersebut variatif (ada yang kafir, ahli
kitab, dan orang-oorang beriman), sehingga masing-masing obyek perlu
ditinjau menurut eksistensinya. Peninjauan yang berbeda bertujuan agar
pesan bersifat kondisional dan situasional dan dapat menunjukkan solusi
setiap permasalahan yang dialami oleh obyek.
1) Tujuan dakwah kepada orang kafir
Orang kafir adalah orang yang mendustakan Allah dan Rasul-rasul-Nya
sekaligus ajaran-ajaranNya. Penolakan mereka menunjukkan bahwa profil
yang tampak itu bukan pada prototipenya yang hakiki.
Salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah sifat ketergantungan.
Maksudnya, manusia dengan segala potensi yang dimiliki tidak mampu
mengatasi segala kebutuhannya, tanpa mengharapkan bantuan dengan
manusia dan alam sekitarnya.
Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa sifat ketergantungan yang dimaksud
dalam ayat ini adalah sifat kodrat ketergantungan selain dirinya, yang
berimplikasi bahwa manusia tidak hanya tergantung secara fisik selama dalam
rahim ibunya, tetapi juga setelah lahir. Ia tetap memerlukan alam
lingkungannya demi kelangsungan hidupnya. Dan lebih jauh dikatakan bahwa
sifat ketergantungan manusia lebih jelas apabila ayat ini dilihat dari segi
kedudukannya. Ayat pertama (QS. al-Alaq (97):2), selain perintah membaca
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. juga memperkenalkan Tuhan
Sang Pencipta. Ayat yang dibahas berkedudukan sebagai keterangan khusus
dari ungkapan terakhir ini. Dengan demikian, kedua ayat tersebut dapat
disusun pernyataan tentang siapa yang dimaksud dengan rabbika dalam ayat
pertama, yaitu khalaqal insana min ‘alaq. Makna kata rabbika tersebut berarti
pemilik, pencipta dan yang memberikan kebaikan kepada sesuatu. Tuhan
yang disebut rabb oleh karena Dialah yang memberikan kebaikan kepada
makhluk-Nya, juga berarti orang yang mengenal Tuhan.
Sebab lain sehingga manusia memiliki sifat kekafiran adalah
ketidaktahuan, ketidaksengajaan, yang ditandai dengan adanya faktor-faktor
yang memungkinkan seseorang mengenal Tuhan. Sifat kesombongan dan
keangkuhan dapat menyebabkan sifat egois, berpandangan sempit dan sukar
menerima dan mengakui realitas di luar dirinya, sehingga sukar menerima dan
mengakui kebenaran dan hidayah. Watak manusia selalu bersenang-senang.
Bila ia memperoleh kenikmatan hidup, dan jika kesenangan itu dicabut atau
gagal dalam memperjuangkan citacitanya, maka ia berputus asa. Manusia
kadang lupa daratan dan tidak mengingat Tuhan bila mendapatkan
kesenangan dunia.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa orang kafir pada hakikatnya
adalah makhluk Tuhan yang juga membawa fitrah bertuhan kepada Allah
sebagaimana dengan manusia lain. Kekafiran mereka disebabkan karena
pengaruh sosio-kulturalnya Menyeru orang kafir ke jalan Allah berarti berusaha
menyadarkan mereka agar memandang diri mereka dan lingkunganya secara
obyektif. Diri manusia bersama cosmos merupakan bahan untuk ditelaah
secara rasional.
Penyampaian dakwah secara intensif bertujuan agar mereka beriman
kepada Tuhan, dan sadar akan kedudukan dan fungsi dirinya, sebagai hamba
Allah. Fungsi unik yang dimiliki manusia menunjukkan fungsi yang melengkapi
kodrat kejadiannya. Karena fungsi ini mencakup tugas-tugas peribadatan,
sehingga ia dapat disebut sebagai fungsi ubudiyah. Keunikan fungsi ini
mengandung makna bahwa keberadaan manusia di muka bumi hanya
semata-mata untuk menjalankan ibadah kepada Allah swt. Olehnya itu,
manusia yang tidak beribadat kepada-Nya berarti mereka berada di luar
fungsinya (disfungsi).
Dengan demikian, mengajak orang kafir ke jalan Islam adalah suatu
kewajiban. Dakwah memberikan informasi tentang eksistensi dirinya sebagai
makhluk ciptaan Allah dan fungsinya, guna membawa mereka kepada
kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
2) Tujuan dakwah kepada ahli kitab
Terhadap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) Alquran menunjukkan agar dai
berusaha menanamkan keyakinan kepada mereka bahwa Nabi Muhammad
saw. adalah rasul terakhir dan kitab suci Alquran adalah petunjuk bagi
manusia secara universal (Ali Hasymi, 1974: 104) Hal tersebut dapat dipahami
dalam QS. al-Syura (42): 15:
ِم ِم ِك ِم ِق ِل ِل
َف َذ َك َفاْدُع َواْس َت ْم َك َم ا ُأ ْرَت َوال َتَّتِبْع َأْه َواَءُه ْم َو ُقْل آَم ْنُت َمِبا َأنزَل الَّلُه ْن َتاٍب َوُأ ْرُت
ألْع ِد َل َبْيَنُك ُم الَّلُه َرُّبَنا َوَرُّبُك ْم َلَنا َأْع َم اُلَنا َو َلُك ْم َأْع َم اُلُك ْم اَل ُح َّج َة َبْيَنَنا َو َبْيَنُك ُم الَّلُه ْجَيَمُع َبْيَنَنا
َِرَّبَنا آِتَنا يِف الُّد ْنَيا َح َس َنًة َويِف اآلِخ َرِة َح َس َنًة َو ِقَنا َعَذ اَب الَّنار
Terjemahnya: ‘...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Berbagai tujuan dakwah yang variatif tersebut menjadi indikasi dalam
penetapan subyek dakwah yang dapat menunjang tercapainya tujuan utama
dakwah.
E. Unsur-unsur Dakwah
5 Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban, Nabi bersabda, “Di
antara umatku selalu ada kelompok yang menegakkan kebenaran.Dan orang-
orang yang membenci mereka tidak dapat memberikan bahaya kepada
mereka. Hingga datangnya keputusan Allah, mereka pun tetap seperti itu.”Di
mana pun, kapan pun dan bagaimana pun pendakwah selalu hadir untuk
mempelajari ajaran Islam sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat
luas.
Abu Fath al-Bayanuni berpendapat bahwa mad’u adalah siapa pun yang
menjadi penerima pesan dakwah. Sebutan lain dari mad’u adalah mitra
dakwah, bukan dikatakan sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah dengan
maksud agar pendakwah menjadi kawan berpikir dan bertindak bersama
dengan mitra dakwah.
3. Pesan Dakwah
Isi pesan dakwah adalah kebenaran Islam. Agar kebenaran pesan dakwah
dapat diterima oleh mitra dakwah dengan yakin, pendakwah harus
menguatkannya dengan argumentasi logis dan fakta dari berbagai sumber.
Seperti yang dicontohkan ulama Islam Ahmad Deedat dan Abdullah Wasi’an di
Surabaya, mereka merupakan ulama yang ahli tentang ajaran agama Kristen
(Kristolog).
a. Pesan Aqidah
Aqidah merupakan prinsip seorang muslim untuk mengimani apa yang
diajarkan di dalam agamanya. Maka pesan aqidah meliputi tentang keimanan
kepada Allah SWT, iman kepada malaikat, kitab-kita Allah, Rasul-rasul Allah,
iman pada hari kiamat, dan iman kepada qodlo qodar Allah.
b. Pesan Syari’ah
Pesan syari’ah berhubungan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah
kepada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Sebagai seorang
hamba maka ketentuan yang harus dijalani meliputi sholat, puasa, zakat, haji,
serta ibadah lainnya. Sedangkan ketentuan sebagai sesama manusia
mencakup ibadah yang bersifat muamalah seperti nikah, jual beli, dan lain-
lain.
c. Pesan Akhlak
Pesan akhlak berarti berhubungan dengan tingkah laku manusia baik
sebagai seorang hamba maupun akhlak kepada sesama dan semesta alam.
4. Media Dakwah
Dalam buku Ilmu Dakwah karya Moh. Ali Aziz, dikatakan bahwa media
dakwah merupakan unsur tambahan di dalam dakwah. Maksudnya kegiatan
dakwah boleh dan dapat berlangsung meski tanpa media.
Sebuah respon atau feedback akan timbul jika terdapat stimulus untuk
menarik sebuah gerakan itu muncul.Sama halnya dengan kegiatan dakwah
yang tujuan utamanya adalah untuk mengajak manusia kepada yang baik dan
yang lebih baik. Dakwah yang dilakukan secara baik sudah barang tentu akan
mendapat respon yang baik pula dari mitra dakwah.
6. Metode Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yakni meta yang berarti
“melalui” dan hodos yang berarti “jalan, cara”.
Ada 3 macam metode dakwah yang terdapat dalam AlQur’an surat An-
Nahl ayat 125ِ
MATERI DAKWAH
A. Pendahuluan.
Materi dakwah menjadi pokok bahasan yang penting untuk dipahami oleh
setiap Dai. Materi ini menjadi bagian yang tidak terpisah dari materi lainnya
seperti subjek dakwah (dai), penerima dakwah (mad’u) ,media dakwah, dan
unsur-unsur lainnya dalam dakwah Islam. Pada bagian ini dijelaskan tentang
eksistensi materi dakwah, yang di dalamnya dibahas beberapa topik seperti;
pentingnya materi dakwah, syarat materi dakwah yang baik, dan teknik
penyampaian materi dakwah, serta materi dakwah yang responsif gender.
B. Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Utama Materi Dakwah.
Para pakar dalam ilmu dakwah menyebutkan materi dakwah dengan
istilah almaadah dan mau’du ad dakwah. Sumber utama maddah ad dakwah
adalah al Qur’an dan Hadis.
Secara etimologi al-Qur’an memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun.
Kata qiro’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan
lainnya dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Menurut Quraish Shihab,
secara harfiah, al-Qur’an berarti bacaan yang sempurna. Para Ulama
mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalam Allah yang bernilai mukjizat, yang
diturunkan kepada pungkasan nabi dan rasul, dengan perantaraan malaikat
Jibril, yang tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, membacanya
terhitung ibadah, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an
Nas.
Al-Qur’an adalah wahyu harfiah dari kalam Allah, yang disampaikan dalam
bahasa Arab melalui malaikat Jibril kepada Nabi selama rentang waktu 23
tahun dalam masa tugas kenabiannya. Ayat pertama yang diwahyukan ketika
Nabi sedang berkhalwat di Gua Hira di gunung Cahaya (jabal al-Nur) dekat
Makkah dan ayat yang terakhir diturunkan hanya beberapa waktu sebelum
wafatnya. Ayat-ayat ini dihafal oleh banyak sahabat dan secara lambat laun
mulai ditulis oleh sahabat-sahabat seperti Ali bin abi Thalib dan Zaid bin Tsabit.
Akhirnya pada masa pemerintahan Utsman, khalifah ke tiga, teks definitif yang
didasarkan pada salinan-salinan awal dan konfirmasi dari orang-orang yang
pernah mendengar ayat-ayat itu dari Nabi sendiri, disalin dan dikirim ke empat
penjuru dunia Islam. Dengan demikian teks al-Qur’an bukan didasarkan pada
periode pengumpulan yang lama dan penafsiran manusia. Sebaliknya, al-
Qur’an adalah kalam Allah aktual yang diwahyukan kepada rasulnya.
Konsekwensinya, bukan hanya makna al-Qur’an tetapi juga bentuk dan semua
yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah suci. Kata-kata yang ditulis sebagai
kaligrafi, suara dari ayat-ayat yang dilantunkan, fisik dari kitab itu, dan pesan
yan terkandung di dalamnya adalah suci.
Al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan melalui suara. Sifat kesucian
dari al-Qur’an dapat menimbulkan pesona spiritualitas bahkan dalam diri orang
yang tak mengerti bahasa Arab. Sifat kesucian ini terpancar melalui
penghalang bahasa manusia dan dirasakan oleh kaum muslimin non Arab.
Kehadiran al-Qur’an melalui suara, dirasakan secara instingtif oleh manusia
yang bertakwa. Akibatnya ia menemukan kenyamanan dan perlindungan
bahkan dalam wujud fisik kitab itu sendiri.
Kemuliaan al Qur’an juga terindikasi dari tidak ada satu bacaan pun sejak
manusia mengenal tulisan baca 5000 tahun yang lalu yang dapat menandingi
alQur’an. Ia dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya atau
tidak dapat menulis aksaranya bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang
dewasa remaja dan anak-anak. Al-Qur'an yang dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tapi juga kandungan yang
tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkan. Tata cara
membacanya diatur sedemikian rupa, mana yang dipendekkan, dipanjangkan,
dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat terlarang atau boleh
atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan irama nya sampai
kepada etika membacanya.
Kemukjizatan dan kesucian al-Qur’an ini diuraikan Quraish Shihab dalam
bentuk kosa kata dalam al-Qur’an yang berjumlah 77.439 kata dan 323.015
huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dan pandanannya,
maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Mengulang-ulang membaca
ayat alQur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan,
menambah kesucian jiwa dan kesejaheraan lahir.
Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia diturunkan untuk seluruh
manusia dan untuk sepanjang masa. Dalam al-Qur’an, Allah menerapkan
kaidah-kaidah syariat serta hukum-hukumnya tidak berubah-ubah karena
perubahan massa dan tempat. Tidak ada khilaf sedikitpun di antara umat
Islam, bahwa Al-Qur’an merupakan pokok asasi bagi syariat Islam dan juga
sebagai sumber utama materi dakwah.
Pedoman kedua bagi para juru dakwah dalam menjalankan tugasnya
yaitu hadis nabawi. Menurut bahasa, hadis berarti; jadid lawan qodim yang
berarti baru, dekat atau warta. Menurut Ahli hadis, hadis adalah segala
perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ikhwalnya. Menurut yang lain, segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya.
Posisi hadis sebagai sumber hukum ke dua setelah al-Qur’an dapat
difahami dalam firman Allah yang memerintahkan agar kaum muslimin
mentaati Rasul seperti mentaati-Nya, menerima sebagai pedoman hidup
segala ajaran yang dibawa oleh Rasul,:
ِح ِف ِب ِب ِحُت ِإ
ُقْل ْن ُك ْنُتْم ُّبوَن الَّلَه َفاَّت ُعويِن ْحُي ْبُك ُم الَّلُه َو َيْغ ْر َلُك ْم ُذُنوَبُك ْم َوالَّلُه َغُفوٌر َر يٌم
Terjemahaanya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu benar mencintai Allah
maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kamu pula dan mengampuni
dosa dosamu,” Allah maha pengampun, maha penyayang”. (QS. Al-Imran: 31)
ِف ِحُي ِإ َّل ِإ ِط
ُقْل َأ يُعوا الَّلَه َوالَّرُس وَل َف ْن َتَو ْوا َف َّن الَّلَه اَل ُّب اْلَك ا ِريَن
Terjemahannya: “Katakanlah (Muhammad), “taatilah Rasul Allah dan Rasul.
Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang
kafir”. QS. Al Imron: 32).
As-Siddiqy mengatakan bahwa Al-Qur’an dalam banyak ayatnya
menegaskan bahwa hadis itu adalah satu dasar dari dasar-dasar hukum umat
Islam dalam abad pertama hingga abad pertengahan kedua Hijriah. Ummat
Islam memandang hadis nabi sebagai suatu dasar hukum dan
menempatkannya pada tempat kedua sesudah Al-Qur’an, hal ini adalah wajar
lantaran hadis memperoleh dasar dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Imam
Syafi’i dalam sebagian kitabnya meletakkan al-Qur’an dalam dan hadis dalam
satu martabat atas dasar bahwa hadis ini merupakan kelengkapan bagi Al
Qur’an. Sebagai penjelas atau tambahan terhadap alQur’an, tentu hadis
merupakan peringkat kedua setelah sumber hukum pertama. Al-Qur’an
mengandung segala permasalahan secara paripurna, menyangkut masalah
duniawi dan ukhrowi, tetapi penjelasannya yang global perlu diterangkan
secara rinci melalui hadis (sunnah).
Hadis direpresentasikan oleh himpunan literatur yang memuat ratusan
riwayat mengenai nabi dan para sahabatnya pada bagian fase sejarah Islam
awal walaupun Al-Qur’an dan hadis dipandang sebagai dua sumber hukum
Islam terdapat perbedaan materi di antara kedua sumber tersebut. Berbeda
dari Al Qur’an, hadis tidak dipresentasikan oleh satu teks tunggal yang
disepakati. Hadis tersebar minimal dalam 6 kitab utama karya kompilasi
Bukhari Muslim, Nasa’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Abu Daud dan banyak lagi kitab
sekunder misalnya musnad Ahmad, ibn Hayyan dan Ibnu khuzaimah.
Berbeda dengan Al-Qur’an, hadis tidak dicatat dan ditulis pada masa hidup
Nabi. Hadis belum terhimpun dan terdokumentasi secara sistematis untuk
jangka waktu minimal 2 abad sesudah meninggalnya Nabi meskipun sejumlah
aktivitas dokumentasi dimulai pada masa abad Islam, usaha utama ke arah
penghimpunan dan dokumentasi sistematis belum dimulai hingga abad ketiga
Hijriah (abad ke-9 masehi). Dokumentasi hadis yang terlambat ini
menunjukkan bahwa banyak laporan yang dinisbahkan kepada nabi yang
diragukan kebenarannya atau setidaknya memiliki autentitas kesejarahan
yang meragukan. Pada kenyataannya salah satu disiplin yang paling kompleks
di dalam yurisprudensi Islam adalah disiplin yang berusaha memilah-milah
mana yang hadis shahih dan mana yang tidak shahih lebih jauh lagi laporan-
laporan yang dinisbahkan kepada nabi tidak semata-mata dinilai otentik atau
palsu, laporan-laporan seperti itu diasumsikan memiliki keragaman tingkat
kesahihan tergantung pada tingkat kepercayaan seorang, apakah Nabi benar-
benar melakukan perbuatan tertentu atau benar-benar membuat pernyataan
tertentu. Oleh karena itu menurut para sarjana muslim hadis terrentang mulai
dari yang tertinggi hingga yang terendah autensitasnya. meskipun para
sarjana muslim sudah cenderung menyakini bahwa mereka dapat memastikan
apakah nabi betul-betul menyatakan sebuah hadis, status kepengarangan
sebuah hadis secara historis sangat rumit.
Menyangkut relasi antara laki-laki dan perempuan, secara garis besar
hadis dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama secara umum keseluruhan
hadis nabi menunjukkan adanya kesetaraan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan sebagai makhluk Allah yang dipandang sama mempunyai hak dan
kewajiban yang sama pula. Seluruh ajaran Nabi yang terungkap melalui hadis
pada dasarnya diperuntukkan untuk semua manusia tanpa memandang jenis
kelamin.
Kedua, secara khusus hadis juga memandang laki-laki dan perempuan
berbeda. Adanya perbedaan ini dikarenakan laki-laki dan perempuan masing-
masing dibentuk dan dididik secara berbeda, sehingga sebagian di antara
mereka memiliki karakter yang berbeda. Hal ini terkadang dipahami sebagai
kodrat laki-laki dan perempuan, padahal sejatinya bukan kodrat, namun
konstruksi gender.
Sejumlah hadis dengan tipe kedua ini juga ditemukan. Hadis-hadis ini
tampak seperti menunjukkan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan
dapat dianggap sebagai hadis misogini. Di sinilah peran da’i-da’iyah untuk
memeberikan pencerahan kepada mitra dakwah. Sebenarnya tidak semua
hadis memiliki kualitas sanad yang baik. Hadis-hadis misoginis telah banyak
diteliti, dan hasilnya menunjukkan bahwa di antara perawinya tidak memenuhi
standar disepakati para ulama ahli hadis. Di samping itu, perlu diperhatikan
lagi dan disosialisasikan kepada mitra dakwah bahwa tidak semua hadis yang
shahih atau hasan secara sanad berarti secara otomatis juga dapat diterima
substansi matannya. Diperlukan kritik matan yang lebih mendalam dan hal itu
menjadi tugas pada da’i-da’iyah untuk mencari tahu materi dakwah yang
benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam.
Secara umum pesan dakwah atau materi dakwah adalah semua ajaran
Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis. Namun demikian, para pakar
dakwah memetakan materi dakwah dalam ranah yang sempit maupun yang
lebih luas. Menurut Muhammad Ali Aziz, materi dakwah mencakup 8 hal:
pertama, AlQur’an;, kedua, hadis; ketiga, pendapat para sahabat nabi;
keempat, pendapat para ulama; kelima, hasil penelitian ilmiah; keenam, kisah
dan pengalaman teladan; ketujuh, berita dan peristiwa; delapan,karya sastra
dan karya seni. Al-Qur’an dan hadis disebutkan sebagai pesan utama
sementara tujuh (7) lainnya merupakan pesan penunjang.
Barmawi Umari mengklasifikasikan materi dakwah menjadi: pertama,
Aqidah, menyebarkan dan menanamkan pengertian aqidah islamiyah
berpangkal dari rukun iman yang prinsipil dengan semua perinciannya. Kedua,
Akhlak, menerangkan mengenai akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah
dengan segala dasar, hasil dan akibatnya, diikuti oleh contoh-contoh yang
telah pernah berlaku dan terjadi dalam sejarah. Ketiga, Ahkam, menjelaskan
aneka hukum meliputi soal-soal ibadah, al ahwal as syakhsiyah, muamalah
yang wajib diamalkan oleh setiap muslim. Keempat, Ukhwah, menggambarkan
persaudaraan yang dikehendaki oleh Islam antara penganutnya sendiri serta
sikap pemeluk Islam terhadap pemeluk agama lain. Kelima, Pendidikan,
melukiskan sistem pendidikan model Islam yang telah dipraktekkan oleh
tokoh-tokoh pendidikan Islam di masa sekarang. Keenam, Sosial,
mengemukakan solidaritas menurut tuntunan ajaran Islam, tolong-menolong,
kerukunan sesuai ajaran Al-Qur’an dan hadis. Ketujuh, Kebudayaan,
mengembangkan perilaku kebudayaan yang tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, mengingat pertumbuhan kebudayaan dengan sifat
asimilasi dan akulturasi yang sesuai dengan ruang dan waktu. Kedelapan,
Kemasyarakatan, menguraikan konstruksi masyarakat yang berisi ajaran
Islam, dengan tujuan keadilan dan kemakmuran bersama. Kesembilan, Amar
ma’ruf mengajak manusia untuk berbuat baik guna memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Kesepuluh, Nahyi mungkar, melarang manusia dari
perbuatan jahat agar terhindar dari malapetaka yang akan menimpa manusia
di dunia dan akhirat .
a. Akidah (Keimanan)
Akidah adalah pokok kepercayaan dalam ajaran Islam. Akidah Islam
disebut tauhid dan merupakan inti kepercayaan. Tauhid adalah suatu
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Islam, aqidah merupakan
tekad batiniah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya
dengan rukun iman. masalah akidah ini secara garis besar ditunjukkan oleh
Rasulullah artinya: Iman ialah Engkau percaya kepada Allah, malaikat-
malaikat-nya, kitab-kitab-nya, rasul-rasul-nya, hari akhir dan Percaya adanya
ketentuan Allah yang baik maupun yang buruk( H R muslim).
Dalam Al-Qur’an istilah iman tampil dalam berbagai variasi sebanyak
kurang lebih 244 kali. yang paling sering adalah melalui ungkapan orang-
orang yang beriman yaitu sebanyak 55 kali meskipun istilahnya ini pada
dasarnya ditujukan kepada para pengikut nabi Muhammad, 11 diantaranya
merujuk kepada para pengikut nabi Musa dan pengikutnya, dan 22 kali kepada
para nabi lain dan para pengikut mereka. orang yang memiliki iman yang
benar itu akan cenderung untuk berbuat baik, karena ia mengetahui bahwa
perbuatannya itu adalah baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena ia
tahu perbuatan jahat itu akan berkonsekuensi pada hal-hal buruk. Iman hakiki
itu sendiri terdiri atas amal sholeh, karena mendorong untuk melakukan
perbuatan yang nyata. posisi Iman inilah yang berkaitan dengan dakwah Islam
di mana amar ma’ruf nahyi mungkar dikembangkan dengan kemudian menjadi
tujuan utama dari proses dakwah.
Cakupan materi dakwah dalam bidang aqidah bukan saja
pembahasannya tertuju pada masalah-masalah yang wajib diimani, akan
tetapi materi dakwah juga meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai
lawannya misalnya syirik atau menyekutukan adanya Tuhan, ingkar adanya
Tuhan dan lain sebagainya. Secara umum pembahasan aqidah tauhid atau
keimanan telah tertuang dalam rukun iman hal ini berkaitan dengan rukun
iman yang iman dalilnya ditemukan di dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an
yang turun pada periode Mekkah umumnya berkaitan dengan keimanan dan
akhlak.
b. Syari’ah
Syari’ah adalah keseluruhan hukum dan perundang-undangan yang
terdapat dalam Islam baik hubungan antara manusia dengan Tuhan maupun
antara manusia dengan manusia. dalam Islam, syariat berhubungan erat
dengan amal lahir atau nyata dalam rangka mentaati semua peraturan atau
hukum Allah guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan
mengatur antara sesama manusia. Syariat bersifat universal, yang
menjelaskan hak-hak umat Islam dan nonmuslim bahkan hak seluruh umat
Islam. Syariah Islam mengembangkan hukum bersifat komprehensif yang
meliputi segenap kehidupan manusia. materi dakwah yang menyajikan unsur
syariah harus dapat menggambarkan atau memberikan informasi yang jelas di
bidang hukum dalam bentuk status hukum yang bersifat wajib, mubah
(dibolehkan), dianjurkan (mandub), makruh (dianjurkan supaya tidak
dikerjakan), dan haram (dilarang).
c. Akhlak (budi pekerti)
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab jamak dari
khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai dan tingkah laku atau tabiat.
kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan perkataan
kholqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan kholiq yang
berarti pencipta dan makhluq yang berarti yang diciptakan. sedangkan secara
terminologi pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi
temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Term khuluqun tidak
ditemukan dalam al-Qur’an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata
tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam surah al-Qolam ayat 4, Kata
akhlak banyak ditemukan dalam hadis-hadis nabi dan salah satu yang paling
populer adalah antara lain yang artinya:
“aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Islam mengajarkan agar manusia berbuat baik dengan ukuran yang
bersumber kepada Allah. Sebagaimana telah diaktualisasi oleh Rasulullah.
apa yang menjadi sifat dan digariskan baik olehNya dapat dipastikan baik
secara esensial oleh akal pikiran manusia. dalam konteks ini ketentuan Allah
menjadi standar penentuan kriteria baik yang rumusannya dapat dibuktikan
dan dikembangkan oleh akal manusia. dalam Al-Qur’an dikemukakan bahwa
kriteria baik itu antara lain bertumpu pada sifat Allah sendiri yang terpuji
(alasmaul husna), karena itu Rasulullah memerintahkan umatnya untuk
berperilaku baik sebagaimana perilaku Allah. berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah pasti dinilai baik oleh manusia
sehingga harus dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari. dalam mewujudkan
sifat itu manusia harus konsisten dengan esensi kebaikannya sehingga dapat
diterapkan secara proporsional.
Materi akhlak ini diorientasikan untuk dapat menentukan baik dan buruk,
akal, qalbu berupaya untuk menemukan standar umum melalui kebiasaan
masyarakat, karena ibadah dalam Islam sangat erat kaitanya dengan akhlak.
pemakaian akal dan pembinaan akhlak mulia merupakan ajaran Islam. Ibadah
dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan takwa berarti pelaksanaan perintah
Allah dan menjauhi larangannya. perintah Allah selalu berkaitan dengan
perbuatan baik sedangkan larangan-larangannya senantiasa berkaitan dengan
perbuatan perbuatan yang tidak baik. Akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai
materi dakwah) merupakan pelengkap saja yaitu untuk melengkapi keimanan
dan keislaman seseorang. meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap,
bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah
keimanan dan keislaman akan tetapi akhlak merupakan penyempurna
keimanan dan keislaman seseorang.
Sementara Quraish Shihab, mengklasifikasikan pokok-pokok materi
dakwah tercantum dalam tiga hal yaitu pertama, Memaparkan ide-ide agama
sehingga dapat mengembangkan gairah generasi muda untuk mengetahui
hakekatnya melalui partisipasi positif mereka. Kedua, Sumbangan agama
ditujukan kepada masyarakat luas yang sedang membangun, khususnya di
bidang sosial ekonomi dan budaya. Ketiga, Studi tentang pokok-pokok agama
yang menjadikan landasan bersama demi terwujudnya kerjasama antar
agama tanpa mengabaikan identitas masing-masing. Yang perlu digarisbawahi
dari pendapat pendapat Quraish Shihab di atas, bahwa da’i-da’iyah
berkewajiban terus memperbaharui pengetahuannya untuk dijadikan materi
dakwah. Materi dakwah yang disampaikan harus mampu membangun
peradaban baru, yakni peradaban yang menghormati hak-hak asasi manusia,
menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap bangsa, dan memerangi segala
bentuk diskrimasi dan kekerasan kepada umat manusia.
BAB 3
SEPUTAR TENTANG DA’I
A. Pengertian Da’i
Kata da’i berasal dari bahasa Arab bentuk mudżakar (laki-laki) yang
berarti orang yang mengajak, kalau muanas (perempuan) disebut
da’iyah. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, da’i adalah
orang yang pekerjaannya berdakwah, pendakwah. Melalui kegiatan
dakwah para da’i menyebarluaskan ajaran Islam.Dengan kata lain, da’i
adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung
atau tidak langsung, melalui lisan, tulisan, atau perbuatan untuk
mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam,
melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut
Islam
Da’i juga harus tahu apa yang disajikan dakwah tentang Allah, alam
semesta, dan kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah untuk
memberikan solusi, terhadap masalah yang dihadapi manusia, juga metode-
metode yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran dan perilaku
manusia tidak salah dan tidak melencong. Berkaitan dengan hal-hal yang
memerlukan ilmu dan ketrampilan khusus, memang kewajipan berdakwah
terpikul di pundak orang- orang tertentu. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw. “Ulama itu pewaris Nabi”. Firman Allah dalam Surah an-Nahl
(16): 43
() َو َد اِعًي ا ِإىَل الَّلِه ِبِإْذِنِه َو ِس َر اًج ا ُم ِن ًريا45( َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب ِإَّنا َأْر َس ْلَناَك َش اِه ًد ا َو ُمَبِّش ًر ا َو َنِذ يًر ا
)46
Kata da’i secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang
yang menyempurnakan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini
konotasinya sangat sempit kerana masyarakat umum cenderung mengartikan
sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti ceramah
agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya.
1. Hasyimi, juru dakwah adalah penasihat, para pemimpin dan pemberi ingat,
yang memberi nasihat dengan baik yang mengarah dan berkhotbah, yang
memusatkan jiwa dan raganya dalam wa‟at dan wa‟id (berita gembira dan
berita siksa) dan dalam membicarakan tentang kampong akhirat untuk
melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.
2. Nasaraddin Lathief mendefinasikan bahwa da’i itu ialah Muslim dan
Muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi
tugas ulama. Ahli dakwah ialah wa‟ad, mubaligh mustamin (juru penerang)
yang menyeru mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran agama
Islam.
3. M.Natsir,pembawa dakwah merupakan orang yang memperingatkan atau
memanggilsupaya memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada
keuntungan.
Namun pada dasarnya semua peribadi Muslim itu berperan secara
otomatis sebagai mubaligh atau orang yang menyampaikan atau dalam
bahasa komunikasi dikenal sebagai komunikator. Untuk itu komunikasi dakwah
berperan sebagai da’i atau mubaligh ialah;
)46( ) َو َداِعًيا ِإىَل الَّلِه ِبِإْذ ِنِه َو ِس َراًج ا ُم ِنًريا45( َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب ِإَّنا َأْرَس ْلَناَك َش اِه ًد ا َوُمَبِّش ًرا َو َنِذ يًرا
Terjemahannya: “Hai Nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi,
dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi penyeru
kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”.
(QS. Al-Ahzab: 45-46)
Ayat diatas menurut tafsir Al-Mishbah memberitahu bahwa, Hai Nabi
Muhammad sesungguhnya Kami mengutusmu kepada seluruh umat
manusia sebagai yakni untuk menjadi saksi kebenaran, dan pembawa berita
gembira bagi orang-orang beriman berupa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
dan pemberi peringatan kepada siapa pun yang enggan menerima tuntunan
Allah. Serta disamping itu, engkau juga menjadi penyeru kepada agama Allah
dengan izin- Nya sehingga dengan restu dan izin-Nya itu ringanlah beban
tugas ini atas dirimu dan juga engkau merupakan cahaya yang menerangi
jalan manusia yang diliputi oleh kegelapan syirik dan kedurhakaan.
Sayyid Quthub menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu dengan
memahami ayat yang lalu sebagai keterangan tentang Allah yang harus
disucikan dan diingat, sedang ayat di atas adalah penjelasan tentang Nabi
Muhammad saw. Ulama ini menulis bahwa: “Itulah Tuhan yang menetapkan
syariat dan memilihkannya buat mereka. Siapakah yang enggan menerima
pilihan itu? Adapun Nabi yang menyampaikan kepada mereka pilihan Allah itu,
serta menerapkan dengan sunnah amaliahnya apa yang dipilih dan
disyariatkan Allah itu, maka disini (ayat 45-46) dijelaskan siapa dia sambil
menjelaskan fungsi, keutamaan serta jasa-jasanya terhadap orang-orang
mukmin.” Demikian lebih ditulis sayyid Quthub.
Allah berfirman:
ِك ِم ِت ِه
َوال َيُصُّدَّنَك َعْن آَيا الَّل َبْع َد ِإْذ ُأنزَلْت ِإَلْيَك َواْدُع ِإىَل َرِّبَك َوال َتُك وَنَّن َن اْلُم ْش ِر َني
Terjemahannya: “Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu,
dan Serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali
kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al-
Qashash: 87)
Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan M.Quraish Shihab ayat di atas
mengingatkan berhubung karena masih banyak dan kuatnya orang-orang kafir
ketika turunnya ayat ini bahwa janganlah sekali-kali mereka dapat
menghalangimu dari tugas menyampaikan dan mengamalkan ayat-ayat Allah,
sesudah ia yakni ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka
dengan sekuat kemampuanmu menuju jalan Tuhanmu, yakni lanjutkan seruan
yang telah engkau lakukan selama ini, jangan bosan berdakwah kendati
mereka enggan mendengar atau menghalag-halangi, dan janganlah sekali-kali
dalam keadaan apapun engkau diam tidak menegur kedurhakaan yang
mengandung kemusyrikan, apalagi merestuinya dan jangan juga menjadi
penolong mereka dalam kemusyrikan karena jika demikian engkau termasuk
orang-orang musyrik yang mempersekutukan Tuhan. Dan jangan juga engkau
menyembah bersama dengan penyembahanmu kepada Allah, Tuhan apapun
yang lain, apa dan siapa pun yang dianggap Tuhan itu, karena sebenarnya
tidak ada Tuhan pengendali dan penguasa seluruh alam lagi berhak disembah
melainkan Dia Yang Maha Esa lagi Maha kekal itu. Tiap-tiap sesuatu pasti
akan binasa dan fana‟, kecuali wajah-Nya, yakni kecuali Allah swt. Bagi-Nya
sendiri tanpa campur tangan siapa dan apapun, segala penentuan, dalam
kehidupan dunia dan akhirat, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.
Allah berfirman:
)46( ) َو َداِعًيا ِإىَل الَّلِه ِبِإْذ ِنِه َو ِس َراًج ا ُم ِنًريا45( َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب ِإَّنا َأْرَس ْلَناَك َش اِه ًد ا َوُمَبِّش ًرا َو َنِذ يًرا
Terjemahannnya: “ Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi
saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang
menerangi. (QS. Al-Ahzab: 45-46)
Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan M.Quraish Shihab Ayat diatas
menegaskan bahwa, Hai Nabi Muhammad sesungguhnya Kami mengutusmu
kepada seluruh umat manusia sebagai yakni untuk menjadi saksi kebenaran,
dan pembawa berita gembira bagi orang-orang beriman berupa kebahagiaan
duniawi dan ukhrawi dan pemberi peringatan kepada siapa pun yang enggan
menerima tuntunan Allah. Serta disamping itu, engkau juga menjadi penyeru
kepada agama Allah dengan izin-Nya sehingga dengan restu dan izin-Nya itu
ringanlah beban tugas ini atas dirimu dan juga engkau merupakan cahaya
yang menerangi jalan manusia yang diliputi oleh kegelapan syirik dan
kedurhakaan.
Bagaimana mungkin seorang da’i itu tidak bergembira dan merasa
memperoleh karunia Allah? Bukankah Allah swt telah berfirman:
ُقْل ِبَفْض ِل الَّلِه َو ِبَرَمْحِتِه َفِبَذ ِلَك َفْلَيْف َرُح وا ُه َو َخ ْيٌر َّمِما ْجَيَم ُعوَن
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari
apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus: 58)
Ayat diatas menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan
menghimbau semua manusia agar menyambut kitab suci dengan suka cita.
Katakanlah, wahai Muhammad, kepada seluruh manusia, “hendaklah
mereka bergembira dengan karunia Allah yakni al-Quran dan dengan
rahmat-Nya yakni tuntunan Islam. Kalau mereka bergembira tentang sesuatu
maka hendaklah disebabkan oleh karunia yang sangat tinggi kedudukannya
itu saja hendaknya mereka bergembira. Ia yakni karunia Allah swt dan rahmat-
Nya itu lebih baik daripada apa yang mereka, yakni kaum musyrikin itu terus-
menerus kumpulkan dari gemerlapan duniawi dan kenikmatannya.
Tidak cukup dengan ini, Rasulullah juga membawa khabar gembira kepada
orang yang menyebarkan dakwah. Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, ia berhak memperoleh pahala
sebagaimana pahala orang yang melakukannya”. (HR. Muslim No 1893)
Ini merupakan nikmat yang besar, kedudukan yang mulia, dan kebaikan
merata, karena engkau telah diciptakan untuk kebaikan dan kebaikan
diciptakan untukmu, dan Allah telah menakdirkan kebaikan itu ada di
tanganmu. Adalah keberuntungan bagimu karena engkau mendengar
Rasulullah bersabda:
“sesungguhnya Allah, Malaikat-Nya, serta penduduk langit dan bumi, hingga
semut yang ada di dalam lubangnya dan ikan-ikan yang ada di laut,
(semuanya) berselawat atas orang yang mengejarkan kebaikan kepada
manusia.” (HR. Tirmidzi)
َفاْص ْرِب َك َم ا َص َبَر ُأوُلو اْلَعْزِم ِم َن الُّرُس ِل َوال َتْس َتْع ِج ْل ُهَلْم َك َأَّنُه ْم َيْوَم َيَرْو َن َم ا ُيوَعُد وَن ْمَل َيْلَبُثوا ِإال
َس اَعًة ِم ْن َنَه اٍر َبالٌغ َفَه ْل ُيْه َلُك ِإال اْلَق ْوُم اْلَف اِس ُقوَن
Sabar adalah keberhasilan menahan gejolak nafsu untuk meraih yang baik
atau lebih baik. Ia adalah pelaksanaan tuntunan Allah secara konsisten
tanpa meronta atau mengeluh. Adapun yang belum mencapai tingkat
kebajikan itu, maka diharapkan dapat peroleh petunjuk melalui Nabi
Muhammad saw.
Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
M.Quraish Shihab menafsirkan ayat ini memberitahu berkenaan lanjutan
nasihat Luqman as kepada anaknya. Luqman as melanjutkan nasihatnya
kepada anaknya nasihat yang dapat menjamin kesinambungan Tauhid serta
kehadiran Ilahi dalam kalbu sanag anak. Beliau berkata sambil tetap
memanggilnya dengan panggilan mesra: Wahai anakku sayang,
laksanakanlah shalat dengan sempurna syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya.
Dan disamping engkau memperhatikan dirimu dan membentenginya dari
kekejian dan kemungkaran, anjurkan pula orang lain berlaku serupa. Karena
itu, perintahkanlah secara baik-baik siapa pun yang mampu egkau ajak
mengerjakan yang ma‟ruf dan cegahlah mereka dri kemugkaran.
Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam
melaksanakan tuntunan Allahm karena itu tabah dan bersabarlah terhadap
apa yang meimpamu dalam melaksanakan aneka tugasmu. Sesungguhnya
yang demikian itu sangat tinggi kedudukannya dan jauh tingkatnya dalam
kebaikan yakni shalat, amr ma‟ruf dan nahi munkar atau kesabaran termasuk
hal-hal yang diperintah Allah agar diutamakan, sehingga tidak ada alasan
untuk mengabaikannya.
Ayat ini secara tidak langsung menerangkan bahwa satu kali da’i masuk
kedalam masyarakat manusia, mengajak ummat kepada jalan yang benar dan
melarang menempuh jalan yang salah, pasti da’i akan berhadapan
dengan bermacam rintangan, halangan dan cobaan. Maka da’i harus
mempersiapkan diri untuk teguh menghadapi ujian.
Menurut buku Paradigma dakwah Sayyid Quthub yang ditulis oleh Dr. A.
Ilyas Ismail, MA., beliau mengatakan bahwa Sayyid Quthub mengatakan,
secara umum ada enam bentuk tantangan yang biasa dihadapi para da’i dan
pejuang Islam. Enam bentuk ujian itu ialah:
Dalam menghadapi ancaman ini, da’i biasanya berjuang sendiri, tidak ada
orang lain yang membantunya. Ia sendiri tak dapat mencegahnya dan tidak
ada kekuatan dapat digunakan untuk melawan kesewenang-wenangan ini.
Ujian dalam bentuk yang pertama ini merupakan ujian yang paling umum dan
inilah ujian pertama kali terbayang dalam hati bilamana disebut “fitnah”.
Pihak keluarga bisa mendapat musibah atau kesulitan karena sang da’i.
Menurut kelazimannya, pihak keluarga akan meminta sang da’i melakukan
berbagai kompromi dengan pihak yang memusuhi atau kalau perlu berhenti
berdakwah demi keselamatan dan keamanan keluarga. Menurut Sayyid
Quthub, bentuk ujian seperti ini sering terjadi, terutama dengan pihak orang
tua, misalnya kasus yang menimpa sahabat Nabi, Sa‟ad Ibn Abi Waqqash.
4. Ujian keterasingan
Seorang da,i pasti merasa terasing ketika ia melihat lingkungan dan orang-
orang disekitarnya tenggelam dalam gelombang kesesatan yang amat dalam.
Dia menjadi gelisah dan bingung sendiri, menjadi orang asing di tengah-
tengah lingkungannya sendiri.
5. Ujian modernisme
Ujian ini tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Di satu pihak, orang
mukmin melihat umat dan bangsa-bangsa lain tenggelam dalam kehinaan.
Namun di lain pihak, kehidupan sosial mereka tampak maju dan berbudaya.
Dalam kehidupan mereka ada penghargaan dan perlindungan yang tinggi
terhadap hak- hak asasi manusia. Mereka juga kaya dan kuat, namun mereka
melawan dan memerangi agama atau Tuhan.
Ini merupakan ujian paling besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian
yang lain. Godaan nafsu dapat berwujud konsumerisme, kecintaan yang
berlebihan pada kesenangan dan kenikmatan. Godaan nafsu dapat pula
berupa kesulitan membangun sikap hidup istiqamah dijalan iman, ditambah
lagi kecenderungan lain yang menghambat baik dalam diri sendiri, orang lain,
lingkungan maupun dalam pemikiran dan gagasan. Ujian ini sungguh berat
dan tidak banyak orang yang dapat bertahan dengan ujian ini kecuali sedikit
orang yang mendapat perlindungan dari Allah swt.
ُه َو اَّلِذي َأْرَس َل َرُس وَلُه ِباُهْلَد ى َو ِد يِن اَحْلِّق ِلُيْظِه َرُه َعَلى الِّديِن ُك ِّلِه َو َلْو َك ِرَه اْلُم ْش ِرُك وَن
Mendahulukan ilmu kemudian amal adalah manhaj (jalan yang ditempuh) oleh
para nabi dalam berdakwah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
Bashirah atau hujjah yang nyata di sini adalah ilmu yang yakin; yang tidak
disusupi syubhat dan keraguan, ilmu ini tegak di atas dalil naqli (Al Qur’an dan
As Sunnah). Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i benar-benar paham dan
yakin dengan ilmu yang diketahuinya serta mengamalkannya.
Oleh karena itu, seorang da'i tidak berbicara kecuali jika diketahuinya bahwa
hal itu benar, atau menurut perkiraannya yang kuat bahwa seruannya benar,
jika memang yang diserukan itu masih dalam perkiraan. Adapun jika ia
berdakwah di atas kejahilan, maka kerusakan yang diakibatkan masih jauh
lebih besar daripada perbaikan yang dilakukannya.
َوال َجُتاِد ُلوا َأْه َل اْلِكَتاِب ِإال ِباَّليِت ِه َي َأْح َسُن ِإال اَّلِذ يَن َظَلُم وا ِم ْنُه ْم َو ُقوُلوا آَم َّنا ِباَّلِذي ُأنزَل ِإَلْيَن ا
َوُأنزَل ِإَلْيُك ْم َو ِإُهَلَنا َو ِإُهَلُك ْم َواِح ٌد َوْحَنُن َلُه ُمْس ِلُم وَن
Berdasarkan hal ini, apabila seorang da'i melihat orang lain berada di atas
kebatilan, namun orang itu menyangka dirinya benar, maka bukan termasuk
cara dakwah yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya mengkritik langsung apa
yang dipegangnya itu, karena yang demikian dapat membuatnya menjauh,
bahkan terkadang membuatnya mengkritik kebenaran yang ada pada da'i
tersebut.Cara yang benar adalah menerangkan kebenaran dan
menjelaskannya, karena kebanyakan manusia–terutama kaum muqallid
(yangikut-ikutan)-tertimpa kesamaran terhadap kebenaran disebabkan hawa
nafsu yang dominan dan taqlid (ikut-ikutan). Kita yakin, bahwa kebenaran
akan diterima oleh fitrah yang masih selamat, dan lambat laun kebenaran ini
akan mewarnai pikirannya dan membekas di hatinya. Kita tidak mengatakan
bahwa pengaruhnya segera, karena merubah hati manusia tidak semudah
membalikan tangan, bahkan biasanya pengaruhnya akan tampak setelah
beberapa lama.
Di samping hal di atas, seorang da'i harus sudah mengamalkan ilmunya.
Janganlah ia seperti lilin yang menerangi sekitarnya namun dirinya habis
terbakar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
2. Ikhlas
Seorang da'i hendaknya Ikhlas dalam berdakwah, tidak ada unsur riya’,
mencari popularitas, martabat, jabatan, kekuasaan, harta dan segala ambisi
dunia lainnya. Demikian pula tidak berdakwah kepada dirinya dan untuk
membesarkan dirinya. Perhatikanlah kata-kata para nabi,
“Wahai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku
tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu
memikirkan(nya)?" (QS. Huud: 51)
Ini salah satu bukti keikhlasan mereka, dimana perhatian mereka tertuju
kepada keridhaan Allah dan pahala-Nya. Ingatlah selalu bahwa orang yang
tidak ikhlas itu ibarat seorang musafir yang berbekal dengan mengumpulkan
pasir, di mana apa yang dikumpulkannya tidak bernilai apa-apa dan menjadi
sia-sia.
3. Bersabar
Lihatlah para nabi, mereka dihina, dicaci-maki, diberi gelar dengan gelaran
yang buruk, diancam akan dibunuh atau diusir dan lain-lain, tetapi mereka
bersabar dan tidak lekas marah.
ِتْلَك ِم ْن َأْنَباِء اْلَغْيِب ُنوِح يَه ا ِإَلْيَك َم ا ُك ْنَت َتْع َلُم َه ا َأْنَت َو ال َقْو ُمَك ِم ْن َقْبِل َه َذ ا َفاْص ْرِب ِإَّن
ِق ِل ِق
اْلَعا َبَة ْلُم َّت َني
Terjemahannya: “Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Hud: 49)
Perhatikanlah Nabi Nuh 'alaihis salam yang berdakwah selama 950 tahun.
Beliau berdakwah di siang dan malam tanpa bosan, dengan sembunyi-
sembunyi maupun terang-terangan, namun dakwah yang Beliau lakukan tidak
membuat kaumnya kembali, bahkan membuat mereka menjauh dan malah
menjauh. Setiap kali Beliau berdakwah, kaumnya sengaja menaruh jari-
jemarinya ke telinga dan menutup kepala dengan bajunya karena tidak suka
terhadap seruan Nabi Nuh 'alaihis salam (lihat Surat Nuh: 5-9). Namun Beliau
menghadapi semua itu dengan bersabar. Bayangkan selama 950 tahun
lamanya Beliau berdakwah; waktu yang tidak sebentar (lihat surat Al 'Ankabut:
14), tetapi Beliau tidak bosan
Jangan pula seorang da’i tidak bersabar sampai langsung mendoakan
keburukan kepada mad’unya (orang yang didakwahi). Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
Terjemahannnya: “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah
kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. ”(QS.Al Ahqaaf: 35)
Ingatlah kewajiban da’i hanyalah menyampaikan. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
َو اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َو اْلُم ْؤ ِم َناُت َبْع ُضُه ْم َأْو ِلَياُء َبْع ٍض َيْأُم وَن ِباْلَم ْع وِف َو َيْنَهْو َن َعِن اْلُم ْنَك ِر
ُر ُر
ِئ ِط ِق
َو ُي يُم وَن الَّص الَة َو ُيْؤ ُتوَن الَّز َك اَة َو ُي يُعوَن الَّلَه َو َرُس وَلُه ُأوَل َك َس َيْر ُمَحُه ُم الَّلُه ِإَّن الَّلَه َعِز يٌز
ِك
َح يٌم
Terjemahannya: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. At Taubah: 71)
6. Mengawali dari yang terpenting
Para da’i hendaknya mengawali dakwahnya dari yang terpenting.
Demikianlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau mengirimkan para
da’i ke beberapa tempat agar mereka memulai dari yang terpenting; Beliau
menyuruh da’i yang Beliau kirim agar mengajak mereka mentauhidkan Allah,
mengajak mereka mendirikan shalat, berzakat dst. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda kepada utusannya untuk berdakwah, yaitu Mu’adz
bin Jabal radhiyallahu 'anhu:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi segolongan ahli kitab, maka
hendaknya dakwah yang pertama kamu serukan adalah agar mereka
beribadah hanya kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, maka
beritahukanlah, bahwa Allah mewajibkan mereka mengerjakan shalat lima
waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mau melakukannya, maka
beritahukanlah, bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan zakat yang
diambil dari harta mereka (yang kaya) dan diberikan kepada kaum fakir
mereka. Jika mereka mau mentaatimu, maka ambillah zakat itu, dan jauhilah
mengambil harta berharga manusia.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa seorang da'i hendaknya
mengetahui keadaan mad'u (orang atau masyarakat yang didakwahi).
ِإ ِة ِد ِب َّل ِه ِع ِة ِب ِحْل ِة ِإ ِب
اْد ُع ىَل َس يِل َر ِّبَك ا ْك َم َو اْلَمْو َظ اَحْلَس َن َو َج ا ُهْلْم ا يِت َي َأْح َسُن َّن َر َّبَك ُه َو
ِب ِد ِب ِلِه
َأْع َلُم َمِبْن َض َّل َعْن َس ي َو ُه َو َأْع َلُم اْلُم ْه َت يَن
Terjemahannya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125)
Hikmah artinya tepat sasaran; yakni dengan memposisikan sesuatu pada
tempatnya. Termasuk ke dalam hikmah adalah berdakwah dengan ilmu,
berdakwah dengan mendahulukan yang terpenting, berdakwah
memperhatikan keadaan mad’u (orang yang didakwahi), berbicara sesuai
tingkat pemahaman dan kemampuan mereka, berdakwah dengan kata-kata
yang mudah dipahami mereka, berdakwah dengan membuat permisalan,
berdakwah dengan lembut dan halus, dan berdakwah dengan menyebutkan
kisah-kisah yang menyentuh, dsb.
Setelah dengan hikmah, kemudian dengan nasihat yang baik, yakni
dengan targhib (mendorong) dan tarhib (memperingatkan).
Perhatikanlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan
nasihat! Beliau melihat waktu yang tepat dan tidak setiap hari atau terlalu
sering agar para sahabat tidak bosan3. Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Wa'il, bahwa Abdullah bin Mas'ud mengingatkan
manusia pada setiap hari Kamis, lalu ada seorang yang berkata, "Wahai Abu
Abdirrahman, saya senang sekali jika engkau mengingatkan kami setiap hari."
Ia (Abdullah bin Mas'ud) berkata,
"Sesungguhnya yang menghalangiku melakukan demikian adalah karena aku
tidak ingin membuat kalian bosan, dan sesungguhnya aku memperhatikan
waktu semangat kalian untuk memberikan tausiyah sebagaimana Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikan waktu semangat kami karena
takut kami bosan."
Dalam memberikan nasihat, Beliau juga tidak panjang lebar, dan kata-kata
Beliau dalam nasihatnya menyentuh hati. Di samping itu, Beliau mengikuti Al
Qur’an dalam memberikan nasihat, yaitu menyertakan targhib dengan tarhib,
sehingga tidak membuat putus asa manusia dan tidak membuat manusia
berani melakukan maksat. Sebagian kaum salaf berkata,
“Sesungguhnya orang yang betul-betul faqih adalah orang yang tidak
membuat putus asa manusia dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka
berani mengerjakan maksiat kepada Allah.”
Bukanlah termasuk hikmah jika anda terburu-buru agar manusia bisa
langsung berubah keadaannya, bahkan harus bertahap agar mudah diserap
dan diterima oleh mereka.
Demikian pula bukan termasuk hikmah, ketika kita melihat kemungkaran
dilakukan oleh orang, lalu kita malah menjauhi, bukan menasihati atau
mendakwahi. Janganlah seorang da’i mengatakan “Mereka adalah orang-
orang fasik” atau “mereka adalah orang-orang golongan ini”, lalu ia tidak mau
mendekati mereka untuk mendakwahkan. Ini sama sekali bukan termasuk
hikmah.
Demikian juga bukan termasuk hikmah jika dakwah di atas semangat yang
tidak terkendali, saat ia melihat orang lain mengerjakan kemungkaran
langsung dikerasi, tetapi dakwahilah dengan cara yang lembut dahulu, karena
mungkin ia melakukan hal itu karena ketidaktahuan.
Dalam ayat di atas (An Nahl: 125), Allah memerintahkan kita berdakwah
dengan menempuh beberapa tahapan, yaitu:
1. Dengan hikmah
Perlu diingat, berdebat dengan cara yang baik bukanlah bertujuan untuk
mughalabah (siapa yang menang), tetapi tujuannya untuk menunjukkan
hidayah kepada orang lain.
Termasuk manhaj para nabi adalah tidak takalluf (membebani diri). Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman memerintahkan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi
wa sallam:
“Katakanlah (hai Muhammad), "Aku tidak meminta upah sedikit pun padamu
atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang takalluf.” (QS.
Shaad: 86)
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Di antara akhlak yang patut anda
miliki wahai da’i adalah memiliki sikap halim (santun) dalam dakwahmu,
bersikap lembut, siap memikul beban dan bersabar sebagaimana yang
dilakukan oleh para rasul ‘alaihimush shalaatu was salam. Hindarilah sikap
terburu-buru, sikap kasar dan keras. Milikilah sikap sabar dan santun serta
bersikap lembutlah dalam dakwahmu.”
Sungguh akhlak mulia sangat penting dimiliki seorang da’i. Dengan akhlak
mulia, manusia akan menilai sendiri dan akhirnya mereka akan mengikuti
ajakannya. Berbeda, jika seorang da’i akhlaknya buruk, bagaimana orang lain
mau mengikuti ajakannya, mendekat saja sudah enggan apalagi sampai mau
menerima dakwahnya.
Perlu diketahui, bahwa dakwah bil hal (dengan akhlak mulia) terkadang
lebih meresap di hati mad'u, dibanding dakwah billisan (dengan lisan).
Ini pun termasuk hal yang tidak kalah penting. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:
1. Hendaknya seorang da’i bersikap lembut dan tidak keras terhadap orang
yang masih baru belajar,
A. PENDAHULUAN
Dengan turun ayat ini, jelas Rasulullah diutus untuk menyeru kepada
masyarakat Quraisy dalam mengagungkan Rabbnya untuk tunduk dan
patuh kepadaNya. Supaya nabi Muhammad mensyiarkan ajaran Islam
kepada masyarakat. Selanjutnya, ketika Muhammad berada di Mekah
atau lebih dikenal dengan periode Mekah, dalam waktu 13 tahun (610 –
622 M) secara beransur-ansur telah diturunkan kepadanya, Al Qur’an
sebanyak 4726 ayat, yang meliputu 89 surat. Surat yang diturun dikenal
dengan surat- surat makkiyah yang diturunkan di Mekah.
Nabi Muhammad secara berangsur- angsur dalam menerima Al Qur’an
dalam waktu 23 tahun. Ayat yang turun berdasarkan kepada kejadian
faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Al Qur’an turun
disesuaikan dengan asbabun nuzul-nya. Ayat yang turun sejauh itu
dikumpulkan sebagai kompilasi yang dikenal dengan nama almushaf.
Kaum kafir Quraisy mengutus utusannya yaitu Utbah bin Rabi’ah untuk
merayu dan bernegosiasi pada Nabi Muhammad SAW dengan
menjanjikan berapapun harta yang diinginkan Nabi, mereka juga
membujuk Nabi untuk dijadikan raja, serta diiming-imingi dengan wanita
asalkan Muhammad mau untuk menghentikan dakwahnya. Tapi hal
demikian rayuan dan bujukan tersebut ditolak dan tidak diterima oleh
Muhammad. Bujukan lainnya yaitu dengan menawarkan pertukaran
sesembahan, maksudnya kaum kafir Quraisy menawarkan supaya Nabi
Muhammad SAW mau menyembah Latta dan Uzza untuk beberapa hari,
kemudian mereka akan bersedia menyembah Allah SWT.
Namun hal ini tetap ditantang oleh Nabi Muhammad SAW melalui
firman Allah SWT dalam QS Al-Kafirun (109; 1- 3). Begitu teguhnya
Rasulullah melakukan dakwah sehingga beliau mengatakan “seandainya
matahari berada dalam genggaman tangan kananku dan rembulan berada
dalam genggaman tangan kiriku, maka hal ini tidak akan bisa
memberhentikan aku dalam berdakwah karenanya.”
2. Hijrah ke Habsyi
Masuknya Umar ke dalam Islam, dimana awalnya dia adalah musuh Islam
yang sangat kuat. Diceritakan bahwa sewaktu Umar akan pergi mencari Nabi
untuk membunuhnya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Naim bin Abdullah
dan menanyakan tujuan kepergian Umar. Umar lalu menceritakan tentang
keputusannya membunuh nabi. Dengan mengejek Naim mengatakan agar
Umar lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya lebih dahulu. Seketika
itu juga Umar kembali ke rumah dan mendapati iparnya sedang asyik
membaca al-Quran. Umar marah dan memukul sang ipar dengan ganas.
Kejadian itu tidak membuat ipar dan adiknya meninggalkan Islam. Sehingga
Umar meminta dibacakan kembali al-Quran tersebut. Kandungan arti dan
alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat Umar begitu terpesona,
sehingga ia bergegas ke rumah nabi dan langsung memeluk agama Islam.
3. Pergi Ke Thaif
Terjemahannya: “ingatlah ketika anak perempuan itu ditanya dosa apa (yang
mereka lakukan, sehingga) mereka dibunuh?” (QS. 81: 8-9).