Anda di halaman 1dari 97

BAB 1

Apa Itu Dakwah?

A. Pengertian Dakwah

Secara etimologis Kata dakwah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti
menyeru, memanggil, mengajak, mengundang.

Kata dakwah secara etimologis terkadang digunakan dalam arti mengajak


kepada kebaikan yang pelakunya ialah Allah swt., para Nabi dan Rasul serta
orang-orang yang telah beriman dan beramal shaleh. Terkadang pula diartikan
mengajak kepada keburukan yang pelakunya adalah syaitan, orang-orang
kafir, orang-orang munafik dan sebagainya.

Kata dakwah yang mengajak kepada kebaikan antara lain disebutkan

dalam QS. al-Baqarah (2): 221:

... ‫َوالَّلُه َيْد ُعو ِإىَل اَجْلَّنِة َواْلَم ْغِف َرِة ِبِإْذ ِنِه َو ُيَبُنِّي آَياِتِه ِللَّناِس َلَعَّلُه ْم َيَتَذَّك ُروَن‬

Terjemahnya:”...Dan Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin Nya,


dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.

Sedang kata dakwah yang berarti mengajak kepada kejahatan, antara lain

disebutkan dalam firman Allah QS. Fatir (35): 6:

‫ِإَّن الَّش ْيَطاَن َلُك ْم َعُد ٌّو َفاِخَّت ُذ وُه َعُد ًّوا ِإَمَّنا َيْد ُعو ِح ْزَبُه ِلَيُك وُنوا ِم ْن َأْص َح اِب الَّس ِعِري‬

Terjemahnya: ‘Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka


anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan syaitan itu hanya
mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa dakwah secara etimologis
mengandung dua pengertian yakni dakwah kepada kebaikan dan dakwah
kepada kejahatan.

Adapun pengertian dakwah secara terminologis sebagai mana dikemukakan


oleh para ahli, antara lain:

a. Abu Bakar Zakary berpendapat bahwa dakwah adalah usaha para ulama
dan orang-orang yang memiliki pengetahuan tentang agama (Islam) untuk
memberi pengajaran kepada khalayak hal-hal yang dapat menyadarkan
mereka tentang urusan agama dan urusan dunianya sesuai dengan
kemampuannya.
b. Menurut Syekh Abdullah Ba’lawy al-Haddad, dakwah adalah mengajak,
membimbing dan memimpin orang yang belum mengerti atau sesat
jalannya dari agama yang benar, untuk dialihkan ke jalan ketaatan kepada
Allah, beriman kepada-Nya serta mencegah dari apa yang menjadi lawan
kedua hal tersebut, kemaksiatan dan kekufuran.
c. Menurut Muhammad Natsir, dakwah adakah usaha-usaha menyerukan
dan menyampaikan kepada individu dan seluruh umat konsepsi Islam
tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang meliputi
amar ma’ruf nahi mungkar, dengan berbagai macam media dan cara yang
diperbolehkan akhlak dan membimbing pengamalannya dalam peri
kehidupan masyarakat dan perikehidupan bernegara.
d. Menurut Shalahuddin Sanusi, dakwah yaitu usaha-usaha perbaikan dan
pembangunan masyarakat, memperbaiki kerusakan-kerusakan,
melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidakwajaran dalam
masyarakat.

Dengan memperhatikan hakikat yang tersirat dalam pengertian dakwah


yang telah dikemukakan, maka di dalamnya terkandung tiga unsur pokok .

Pertama, al-taujih yaitu memberikan tuntutan dan pedoman serta jalan


hidup mana yang harus dilalui oleh manusia dan jalan mana yang harus
dihindari, sehingga nyatalah jalan hidayah dan jalan yang sesat.
Kedua, al-taghyir yaitu mengubah dan memperbaiki keadaan seseorang
atau masyarakat kepada suasana hidup baru yang didasarkan pada nilai-nilai
Islam.

Ketiga, yaitu memberikan pengharapan akan sesuatu nilai agama yang


disampaikan. Dalam hal ini dakwah harus mampu menunjukkan nilai apa yang
terkandung di dalam suatu perintah agama, sehingga dirasakan sebagai
kebutuhan vital dalam kehidupan masyarakat.

Dengan demikian pengertian serta scoup dan ruang lingkup pelaksanaan


dakwah ini lebih luas dari tabligh yang hanya penyampaian ajaran Islam
dengan lisan dan tulisan saja, termasuk di dalamnya tabsyir (penyampaian
kabar gembira), inzar (pemberian peringatan), mauizah (pengajaran), nasihah
(nasihat), wa¡iyah (wasiat), dan lain-lain yang merupakan pekerjaan lisan dan
tulisan. Sedangkan dakwah meliputi seluruh kegiatan untuk mendorong
seseorang berbuat kebajikan dan menjauhkan diri dari berbagai kejahatan,
baik dengan lisan dan tulisan, lewat rekaman kaset, maupun dengan contoh
perbuatan dan akhlak yang mulia. Karenanya, tablig itu sebagian dari bentuk
pelaksanaan dakwah.

Dari pengertian dakwah yang telah dikemukakan, dapat diambil suatu


kesimpulan bahwa berdakwah itu merupakan suatu perjuangan hidup untuk
menegakkan dan menjunjung tinggi undang-undang Ilahi dalam seluruh aspek
kehidupan manusia dan masyarakat, sehingga ajaran Islam menjadi sibghah
(celupan) yang mendasari, menjiwai dan mewarnai seluruh sikap dan tingkah
laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan hidupnya.

B. Prinsip-Prinsip Dakwah

Penghayatan dan pengalaman agama yang benar merupakan daya


tangkal paling ampuh terhadap provokasi konflik antaragama, etnis dan
budaya. Pengamalan agama dalam masyarakat unsur budaya dapat tumbuh
dan berkembang melalui dakwah dengan mempertimbangkan aspek budaya.
Adapun prinsip dakwah di tengah masyarakat berbagai budaya yakni:

Pertama, prinsip universalitas.


Universalitas dakwah di sini bahwa objek dakwah Islam adalah semua
manusia tanpa mengenal batasan budaya, etnis dan sebagainya. Islam
memandang semua orang mempunyai kewajiban untuk mendengar bukti dan
menerima kebenaran. Islam mengandung ajaran-ajaran dasar yang berlaku
untuk semua tempat dan zaman. Dakwah menyeru semua manusia
kepadaNya, karena manusia adalah makhluk-Nya.

Moh. Ali Aziz mengatakan: universalitas dakwah sebenarnya memiliki dua


dimensi, yaitu universal dalam arti ia berlaku untuk setiap tempat tanpa
mengenal batas-batas etnis, dan universalitas dalam arti ia berlaku untuk
setiap waktu tanpa adanya pembatasan. Hal ini membawa konsekuensi
bahwa ajaran itu bersifat permanen sampai akhir masa yang akan datang.
Untuk itu ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bersifat elastis,
akomodatif, dan fleksibel sehingga dalam hal-hal tertentu ia dapat mengikuti
perkembangan zaman dan memenuhi kebutuhan manusia dan karena
universalitasnya itu ia menjadi penutup bagi ajaran-ajaran nabi terdahulu.

Sedangkan karakteristik dan kualitas dasar-dasar agama Islam


yang mengandung nilai-nilai universal menurut J. Suyuti Pulungan antara lain:
berkaitan dengan tauhid, etika dan moral, bentuk dan sistem pemerintahan,
sosial politik dan ekonomi, demokrasi (musyawarah), keadilan sosial,
perdamaian, pendidikan dan intelektualisme, etos kerja, lingkungan hidup dan
sebagainya. Prinsip universalitas dakwah ini menunjukkan bahwa dakwah
untuk semua manusia, tanpa kecuali termasuk pengutusan Muhammad SAW
untuk semesta alam.

Kedua, prinsip liberation (pembebasan).

Pembebasan dalam konteks ini memiliki dua makna yaitu, 1) bagi da’i-
daiyah yang melaksanakan tugas dakwah harus bebas dari segala macam
teror yang mengancam keselamatannya, terbebas dari segala kekurangan
materi untuk menghindari fitnah yang merusak citra da’i dan harus benar-
benar yakin bahwa kebenaran ini hasil penilaiannya sendiri. 2) Kebebasan
terhadap mad’u tidak ada paksaan dalam agama Dengan demikian jelas
bahwa dakwah tidak bersifat memaksa apalagi tindakan intimidasi dan teror,
kendatipun terjadi perbedaan antara da’i dan mad’u. Prinsip ini merupakan
prinsip kebebasan yang merupakan ciri manusia yang paling spesifik.

Dan yang lebih penting lagi, prinsip pembebasan di sini memberikan pesan
kepada kita semua untuk tidak memperbudak orang lain. Hal ini disebabkan
Allah menciptakan setiap orang dalam keadaan merdeka. Oleh karenanya,
prinsip tauhid intinya untuk membebaskan manusia dari unsur perbudakan
(penghambaan) kepada makhluk. Penghambaan yang dibenarkan dalam
Islam hanya kepada Allah. Seluruh dai-da’iyah harus mengingatkan prinsip ini.
Tidak boleh ada majikan yang memperlakukan asistennya dengan
memberikan tugas yang di luar kemampuannya. Tidak boleh ada suami yang
memberikan beban penuh tugas pengasuhan anak. Sebab tugas pengasuhan
anak juga menjadi beban bersama antara suami dan istri. Masing- masing
orang harus mendapatkan perlakuan yang layak, dengan cara dihormati hak-
haknya dan ditanya kerelaannya dalam menjalankan aktivitas. Di sinilah
esensi dari prinsip pembebasan dalam Islam.

Ketiga, prinsip rasionalitas.

Pada abad modern ini adalah abad ilmu pengetahuan dan teknologi.
Segala aktivitas manusia berpangkal pada sejauh mana penggunaan
rasionalitas seseorang. Apakah seorang da’i telah menggunakan
pendekatan-pendekatan rasional dalam menyampaikan dakwahnya sesuai
kebutuhan mad’u atau terus-menerus masih menggunakan pendekatan-
pendekatan dogmatic dan menjejali mad’u dengan materi- materi dakwah
yang sudah out of date. Prinsip rasionalitas merupakan respons asasi
terhadap masyarakat yang menggunakan prinsip amal hidupnya dengan
prinsip- prinsip rasional seperti yang sedang terjadi pada masyarakat
sekarang. Hubungan antara individu dengan masyarakat lainnya terikat
kontrak dalam situasi fungsional terutama ukuranukuran yang bersifat
kebutuhan materi.

Karena itu dakwah tidak semata-mata berorientasi pada kesemarakan,


tetapi banyak diarahkan pada pendalaman dan pengembangan wawasan. Hal
ini penting mengingat dalam kehidupan masyarakat majemuk, diperlukan
sikap yang terbuka tetapi tidak larut, diperlukan sikap cosmopolitan tetapi
berkepribadian. Dakwah di samping memiliki kepekaan teologis juga harus
memiliki kepekaan sosial. Dakwah Islam merupakan ajakan untuk berpikir,
berdebat, dan berargumentasi untuk menilai suatu kasus yang muncul.
Dakwah Islam tidak dapat disikapi dengan keacuhan kecuali oleh orangorang
yang sinis dengan penolakan atau berhati dengki. Hak berpikir merupakan
sikap dan milik semua manusia. Tak satupun orang yang dapat
mengingkarinya. Karena apa yang sedang diupayakan dalam dakwah adalah
penilaian, maka dari hakikat sifat penilaian tujuan dakwah tak lain adalah
kepasrahan yang beralasan, bebas dan sadar dari objek dakwah terhadap
kandungan dakwah. Dakwah harus merupakan penjelasan tentang kesadaran,
dimana akal maupun hati tidak saling mengabaikan.

Jadi posisi da’i dalam perannya menghadapi mad’u yang rasional ini
adalah mengembangnya dengan pendekatan-pendekatan yang rasional, baik
dalam pemahaman nilai agama maupun praktek keagamaan. Sikap proaktif
seorang da’i dalam proses bimbingannya serta ikut berpartisipasi dalam setiap
perkembangan yang terjadi di masyarakat adalah bentuk empirik sikap
rasional.

Keempat, prinsip kearifan.

Prinsip ini sebagai suatu cara pendekatan dakwah yang mengacu pada
kearifan pertimbangan budaya, sehingga orang lain tidak merasa tersinggung
atau merasa dipaksa untuk menerima suatu gagasan atau ide tertentu
terutama menyangkut perubahan diri dan masyarakat ke arah yang lebih baik.

Kearifan atau bijaksana adalah sikap mendalam sebagai hasil renungan


yang teraktualisasikan pada cara-cara tertentu untuk mempengaruhi orang lain
atas dasar pertimbangan psiko sosiokultural mad’u secara rasional. Kearifan
adalah suatu syarat mutlak suksesnya pencapaian tujuan dakwah. Da’i yang
hendak sukses dalam melakukan dakwah ialah yang sanggup
menyesuaikan dan memposisikan dirinya dalam mengatasi segala keadaan
yang dihadapi. Kearifan atau bijaksana dimaksud bukan berarti tegas dan
kaku dan juga bukan berarti lemah dan apatis dalam melihat segala gejala
budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam dan kemanusiaan.
Dalam menegaskan sikap kearifan lebih berkaitan kepada cara-cara yang
lebih fleksibel (luwes) dalam tugas mengayomi masyarakat, melihat peluang
sebagai kesempatan untuk berbakti, aktif dan proaktif terhadap gejala-gejala
perkembangan yang terjadi dalam lingkungannya kearifan timbul dari budi
pekerja yang halus dan sopan santun. Melaksanakan tugas kewajiban
dalam dakwah, da’i akan berhadapan dengan beragam pendapat, budaya
dan warna di masyarakat. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun
dari sekian banyak perbedaan di masyarakat, sebenarnya ada banyak titik
temu diantara mereka. Kepiawaian dan keuletan da’i mencari titik temu dalam
heterogenitas perbedaan adalah bagian dari hikmah.

Kearifan yang berjalan pada suatu cara yang realistis dalam melakukan
suatu perbuatan. Maksudnya ketika seorang da’i akan menyampaikan
dakwahnya pada saat tertentu selalu memperhatikan realitas yang terjadi di
luar, baik pada tingkat intelektual, pemikiran, psikologis maupun kebudayaan.
Di antara bentuk kearifan dalam berdakwah termasuk keharus da’i untuk
memaknai dalil-dalil Al Qur’an maupun hadis secara lebih bijak. Sejumlah dalil
yang bersifat merendahkan kelompok perempuan dan dianggap masyhur di
kalangan masyarakat harus dikritisi lebih dalam. Jika hadis, harus dilihat
apakah sanad hadisnya terdiri atas perawi yang tsiqah, adil, dan dhabith.
Demikian juga dengan matannya, harus dilakukan kritik matan (naqd al
mutun). Seorang da’i seharusnya tidak terus menyosialisasikan hadis-hadis
yang merendahkan derajat perempuan, karena itu bertentangan dengan
prinsip pembebasan. Misalnya saja hadis tentang perumpanaan kalau ada
hamba diperintah menyembah hamba lain, maka istri diperintah
menyembah suami. Sudah banyak kajian kritik hadis yang mengupas
tentang kualitas sanad hadis tersebut yang dianggap tidak kuat.

Kelima, prinsip penegakan etika.

Prinsip penegakan etika atas dasar kearifan budaya yang mengacu pada
pemikiran teologi Qur’ani, yaitu prinsip moral dan etik yang diturunkan dari
isyarat AlQur’an dan Sunnah tentang nilai baik dan buruk tentang keharusan
perilaku etika melaksanakan dakwah Islam termasuk di dalamnya dakwah
antarbudaya.

Dalam QS. Ali-Imran 159, artinya “maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena
itu maafkanlah mereka. Mohonkan ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya”. Ayat tersebut
menunjukkan keharusan penegakan etika dalam dakwah, termasuk dakwah
pada masyarakat antarbudaya, dan untuk aplikasinya sebagai berikut:

1) Menumbuhkan kasih sayang (rahmah). Ketulusan ini berupa keharusan


menyebarkan kasih sayang dalam rangka ukhuwah islamiah, basyariyyah
(persaudaraan sesama manusia). Dengan tidak mengejek orang lain
karena perbedaan-perbedaan, tetapi mengajak pada titik temu yang
terkandung dalam perbedaan itu.
2) Sikap layyinah (membuka kelembutan hati). Sikap ini mengharuskan bagi
da’i antarbudaya untuk berperilaku lemah lembut memperhatikan
kelayakan, kepatutan dan keserasian atas dasar pertimbangan faktor
psikologis yang harus muncul dalam sikap perkataan dan perbuatan ketika
berinteraksi dengan mad’u yang berbeda budaya.
3) Saling memaafkan kekeliruan interaksi dengan memproporsikan perilaku
yang bertentangan dengan kebiasaan (pengetahuan tentang norma yang
disepakati bersama dalam fokus tertentu), dalam posisi manusiawi.
Dengan demikian akan lahir suasana saling mengerti.
Prinsip penegakan etika ini memperkuat hubungan antaranggota
masyarakat, mempersatukan perasaan yang merupakan dasar kebajikan
universal. Untuk aplikasi dari prinsip-prinsip dakwah antarbudaya tersebut,
antara lain seperti yang dikemukakan oleh Abd. Rohim Ghazali yaitu:

a) Dakwah dilakukan dengan menafikan unsur-unsur kebencian. Ayat Al-


Qur’an dan hadis nabi harus didakwahkan sesuai dengan fungsinya, yakni
untuk menasehati dan menyampaikan kebenaran, bukan untuk memaki
yang salah atau melegitimasi kebencian terhadap orang lain atau umat
agama lain.
b) Jika dakwah dilakukan secara lisan, maka dakwah seyogianya
disampaikan dengan tutur kata yang santun, tidak menyinggung perasaan,
dan menyindir keyakinan umat lain, apalagi mencacimakinya. Ucapan
kasar dalam dakwah bukan saja akan merusak keharmonisan hubungan
antar umat beragama, tetapi juga sangat tidak diperkenankan dalam Islam.
c) Dakwah seyogianya dilakukan secara persuasif, karena sikap memaksa
hanya membuat orang enggan untuk mengikuti apa yang didakwahkan.
d) Dakwah tidak boleh dilakukan dengan jalan menjelek-jelekkan agama yang
menjadi keyakinan umat agama lain. Termasuk dalam hal ini mencaci maki
dan menjelekjelekkan budaya orang lain. Bahkan sebaliknya diperlukan
rasa menghormati dan menghargai perbedaan yang ada tanpa
mengorbankan keyakinan agama sendiri demi untuk keberhasilan dakwah
Keenam, Prinsip Kesetaraan.

Dakwah yang produktif adalah dakwah yang mengedepankan kesetaraan


di tengah-tengah komunitas masyarakat. Kesetaraan menjadi penting karena
ada saling menghormati satu sama lainnya dalam segala dimensi kehidupan.
Kesetaraan dalam makna yang sangat luas, kesetaraan dalam meraih
kesuksesan, yang dimiliki oleh setiap orang tanpa memandang jenis kelamin.
Juga kesetaraan dalam mengakses kemajuan dalam bidang pendidikan,
sosial, ekonomi dan budaya, yang kesemuanya dapat diperoleh oleh semua
elemen masyarakat. Prinsip Kesetaraan dalam dakwah menjadi pilar yang
utama dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat yang beragama dan
berbudaya.

Prinsip kesetaraan dalam dakwah tercermin pada prilaku para dai-


muballigh- kyai dan tokoh agama dalam memperlakukan mad’u atau
komunikan dalam posisi yang sepantasnya dengan tanpa mendeskriditkan
satu kelompok atau seseorang dengan yang lain. Prinsip kesetaraan justru
menjadi perekat dan penetrasi terhadap kesenjangan sosial dan keadilan
sosial sekaligus menjadi penguat terhadap pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak.

Dalam menerapkan prinsip kesetaraan, da’i-dai’yah secara terus menerus


juga harus terus mengingatkan mad’u bahwa Islam sangat komit terhadap
kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Ketika kelompok laki-laki
berhak mendapatkan pendidikan sampai tinggi, maka perempuan juga
mendapatkan hak yang sama. Jika laki-laki memiliki hak untuk bekerja di luar
rumah dan meniti karirnya, maka perempuan juga memiliki hak yang sama.
Da’i-da’iyah harus mengingatkan mad’u bahwa Islam tidak pernah
memperlakukan perempuan dan laki-laki secara berbeda. Tidak benar bahwa
Islam hanya mengizinkan perempuan bekerja atau berkarir di dalam rumah.
Rasulullah sendiri mengizinkan para perempuan untuk aktif di ruang publik,
bukan mengurung mereka dalam ruang domestik.

Ketujuh, Prinsip kesalehan sosial

Dakwah yang produktif terlihat pada pencapaian amal shaleh dari seluruh
elemen masyarakat. Elemen iman tanpa amal shaleh tidak bisa disebut
sebagai kesempurnaan, akan tetapi jika keimanan diimbangi dengan
keperdulian kepada sesama manusia dalam ragam bentuk dan pola
pengabdian terhadap upaya peningkatan kepekaan sosial, dedikasi sosial, dan
kesadaran paradigmatik terhadap isu-isu sosial dan global menjadi prinsip
dakwah sosial yang sangat relevan untuk konteks era globalisasi dan
digitalisasi.

C. Fungsi Dakwah
Banyak yang masih sulit membedakan antara fungsi dan tujuan dakwah,
untuk memudahkan membedakan antara fungsi dan tujuan misalnya jika ada
orang yang haus maka dia akan minum air, minum air adalah fungsi
sementara hilangnya rasa haus adalah tujuan.

Dakwah mempunyai fungsi yang sangat besar, karena menyangkut


aktifitas untuk mendorong manusia melaksanakan ajaran Islam, sehingga
seluruh aktifitas dalam segala aspek hidup dan kehidupannya senantiasa
diwarnai oleh ajaran Islam. Dakwah berfungsi mengarahkan, memotivasi,
membimbing, mendidik, menghibur, mengingatkan umat manusia agar
senantiasa beribadah kepada Allah swt, berperilaku yang baik.

Secara umum, fungsi dakwah dapat dilihat dari dua segi, yaitu; Pertama,
segi tingkatan isi (pesan) dakwah.

Isi atau pesan dakwah yang disampaikan meliputi beberapa tahap yang
harus dicapai, yaitu:

1) Menanamkan pengertian, yaitu memberikan penjelasan sekitar ide-ide


ajaran Islam yang disampaikan, sehingga orang mempunyai persepsi
(gambaran) yang jelas dan benar dari apa yang disampaikan,
menanamkan pengertian merupakan langkah awal yang harus dicapai
dalam aktifitas dakwah, karena dari pengertian yang jelas seseorang dapat
menentukan sikap terhadap ide itu.
2) Membangkitkan kesadaran, yaitu menggugah kesadaran manusia agar
timbul semangat dan dorongan untuk melakukan suatu nilai yang disajikan
kepadanya. Dan dengan bangkitnya kesadaran ini, merupakan ambang ke
arah tindakan amaliah (realisasi perbuatan).
3) Mengaktualisasikan dalam tingkah laku, yaitu sebagai realisasi dari
pengertian dan kesadaran yang baik dan benar, menimbulkan tingkah laku
dan perbuatannya, senantiasa didasari oleh ajaran Islam, sehingga nilai-
nilai ajaran Islam itu benar-benar berintegrasi dan tercermin dalam
kehidupan manusia.
4) Melestarikan dalam kehidupan, yaitu suatu usaha agar ajaran Islam yang
telah terealisasi dalam diri seseorang itu dan masyarakat dapat lestari dan
berkesinambungan dalam kehidupannya, tidak dicemarkan oleh
perubahan zaman yang selalu berkembang.
Untuk melestarikan ajaran Islam dalam kehidupan manusia, dakwah
memperhatikan segi-segi.
1) Preventif, yaitu usaha pencegahan sebelum timbulnya penyimpangan dari
norma agama dengan berusaha mencari pangkal penyebabnya dan cara
mengatasinya.
2) Edukatif, yaitu mendidik, membina dan memperbaiki masyarakat dengan
menanamkan nilai-nilai ajaran Islam.
3) Rehabilitatif, yaitu memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan yang terjadi
dalam masyarakat, berupa penyelewengan, pelanggaran susila dan
kemungkaran-kemungkaran lainnya kemudian diarahkan kembali kepada
jalan yang diridhai oleh Allah swt.
Kedua, dari segi misi perubahan masyarakat (taghyir) M. Syafaat Habib
memberikan penjelasan tentang fungsi dakwah sebagai agen perubahan
masyarakat sebagai berikut:
1) Dari segi praktisnya, maka dakwah memajukan segala bidang tingkah laku
manusia. Maju dalam hal ini adalah maju yang positif dan yang bersifat
baik dan sehat. Dengan demikian, dakwah berfungsi mengarahkan segala
aktifitas, keperluan dan keinginan manusia untuk mencapai sasaran yang
lebih maju tersebut. Dalam hal ini dakwah akan memberikan tuntunan
hidup yang lebih praktis dan religius.
2) Dari segi natur atau keadaan manusia sendiri, maka dakwah bukan saja
hanya mengubah natur manusia, akan tetapi justru dakwah akan
mengembalikan manusia kepada natur (fitrah) yang benar menurut kata
hatinya. Di sini keadaan manusia selalu menjadi perhatian utama dakwah.
Apa yang disebut sebagai amar makruf nahi mungkar adalah sesuai
dengan fitrah hati nurani manusia. Dengan demikian, dakwah sebenarnya
bukan berbuat yang akan berlawanan dengan hati nurani manusia.
Dakwah akan memberikan nilai untuk diri dan miliu manusia dan tidak
bertentangan, akan tetapi justru mengembangkan apa yang telah ada.
3) Dari segi peranannya sebagai pembaharu masyarakat, maka dakwah
sebenarnya memberikan angin baru dan pedoman yang akan lebih
menguntungkan kultur dan civilisasi manusia. Kultur dan civilisasi pasti
akan bergerak ke arah yang lebih baik, maka dalam perjalanannya yang
sudah lebih dari pada yang ada itu dakwah akan selalu memberikan
pengarahan terhadap aktifitas manusia, agar manusia menuju ke arah
yang lebih konstruktif, bukan sebaliknya yang destruktif, sebab agama
tidak menghendaki hal-hal yang dapat merusak Seperti dijelaskan dalam
QS. al-Qashash (28): 77:
‫ِس ِد‬ ‫ِحُي‬ ‫ِإ‬ ‫يِف‬
‫…ال َتْبِغ اْلَف َس اَد األْر ِض َّن الَّلَه ال ُّب اْلُم ْف يَن‬
Terjemahnya:”...Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
4) Dari segi kehidupan manusia dan tujuan hidupnya, maka dakwah akan
memberikan filter (penyaring), akan memberikan arah dan selalu akan
meluruskan arah hidup manusia, apabila sewaktu-waktu terjadi
penyelewengan dalam diri manusia.
5) Dari segi diri manusia terutama dari segi psikhisnya, maka dakwah dapat
memberikan pengembangan psikhis yang lebih baik, dengan kenyataan
bahwa dakwah akan selalu memberikan motivasi terhadap perbuatan baik
dan mengadakan penekanan terhadap setiap perbuatan yang negatif,
yang keji dan tidak baik.
6) Dari segi keinginan manusia yang selalu berkembang, yang sering
membahayakan manusia, maka dakwah memberikan pengetahuan, mana
yang harus dikerjakan dan mana yang harus ditinggalkan dalam memenuhi
kepuasan dan keinginan manusia, sebab tidak semua yang tidak disenangi
oleh manusia itu buruk. Maka esensi ajaran yang akan diberikan kepada
manusia bukan dengan ukuran kesenangan atau ketidaksenangan, tetapi
berdasarkan pemberitahuan wahyu Ilahi yang berkedudukan lebih tinggi
dari pengetahuan manusia tentang manusia sendiri.
7) Dari segi perlunya manusia berhubungan dengan Allah swt., maka
dakwah merupakan “missi uluhiyah”, yang mengajarkan moralitas, etika
islami dan pengembangan rohani manusia, menempatkan manusia dalam
kedudukan yang benar sebagai hamba Allah swt. dan sebagai makhluk
yang tertinggi nilai, sehingga tauhid yang murni menempatkan manusia
sebagai manusia, dan Tuhan sebagai Tuhan Rabbul Alamin, dan alam
sebagai alam, bukan sebaliknya, yaitu dengan menuhankan manusia atau
alam, atau memanusiakan Tuhan atau mengalamkannya dan sebaliknya.
Dari beberapa fungsi tersebut menunjukkan betapa besar dan luasnya
area yang harus dijangkau dan dituju oleh dakwah, dan semuanya itu
berada di sekitar manusia, karena itu manusia menjadi tema dalam
dakwah.

D. Tujuan Dakwah
Dalam proses pelaksanaan dakwah dalam arti mengajak manusia ke
dalam Islam, diperlukan penetapan tujuan sebagai landasannya. Tujuan
dakwah mengandung arah yang harus ditempuh serta luasnya cakupan
aktifitas dakwah yang dapat dikerjakan. Dalam bahasa Arab, tujuan disebut
dengan istilah al-qarad, al-qa¡d, al-bugyat, al-hadf. Dari beberapa istilah yang
berkenaan dengan tujuan di atas, maka dapat dipahami bahwa tujuan ialah
suatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai.
Dalam ilmu komunikasi, tujuan disebut dengan term destination yang
berarti sasaran atau arah yang akan dicapai dan dengannya dirumuskan
pesan-pesan oleh komunikator untuk mencapai tujuan komunikator Secara
umum Harold Lasswel dalam bukunya (Roundhonah, 2007:52) menyebutkan
bahwa tujuan komunikasi ada empat, yaitu:
1. Social Change (Perubahan Sosial) Seseorang mengadakan komunikasi
dengan orang lain, diharapkan adanya perubahan sosial padanya,
begitupula dengan dakwah bertujuan untuk melakukan perubahan sosial.
2. Attitude Change (Perubahan Sikap) Seseorang berkomunikasi juga ingin
perubahan sikap, begitupa dengan dakwah, bukan hanya perubahan
kesadaran, akan tetapi terjadi perubahan sikap.
3. Opinion Change (Perubahan Pendapat) Seseorang dalam berkomunikasi
mempunyai harapan untuk mengadakan perubahan pendapat, tujuan
dakwah adalah mengubah pendapat umum atau dikenal dengan istilah
public opinion, sehingga kebaikan mengalahkan keburukan. Behavior
Change (Perubahan Perilaku) Seseorang juga ingin adanya perubahan
perilaku.
Rasulullah saw. ketika berdakwah di Mekkah, perumusan dakwahnya
berbeda ketika di Madinah. Fase Mekkah, materi pesannya adalah bertujuan
mengajak untuk beriman kepada Allah. Pada waktu di Madinah, obyeknya
adalah orang-orang beriman, tujuan pembinaannya agar mereka konsisten
beramal saleh.
Pada prinsipnya, tujuan dakwah hanya kepada Allah atau sabili rabbik,
tetapi keadaan obyek dakwah seperti tersebut variatif (ada yang kafir, ahli
kitab, dan orang-oorang beriman), sehingga masing-masing obyek perlu
ditinjau menurut eksistensinya. Peninjauan yang berbeda bertujuan agar
pesan bersifat kondisional dan situasional dan dapat menunjukkan solusi
setiap permasalahan yang dialami oleh obyek.
1) Tujuan dakwah kepada orang kafir
Orang kafir adalah orang yang mendustakan Allah dan Rasul-rasul-Nya
sekaligus ajaran-ajaranNya. Penolakan mereka menunjukkan bahwa profil
yang tampak itu bukan pada prototipenya yang hakiki.
Salah satu sifat yang dimiliki manusia adalah sifat ketergantungan.
Maksudnya, manusia dengan segala potensi yang dimiliki tidak mampu
mengatasi segala kebutuhannya, tanpa mengharapkan bantuan dengan
manusia dan alam sekitarnya.
Abd. Muin Salim menjelaskan bahwa sifat ketergantungan yang dimaksud
dalam ayat ini adalah sifat kodrat ketergantungan selain dirinya, yang
berimplikasi bahwa manusia tidak hanya tergantung secara fisik selama dalam
rahim ibunya, tetapi juga setelah lahir. Ia tetap memerlukan alam
lingkungannya demi kelangsungan hidupnya. Dan lebih jauh dikatakan bahwa
sifat ketergantungan manusia lebih jelas apabila ayat ini dilihat dari segi
kedudukannya. Ayat pertama (QS. al-Alaq (97):2), selain perintah membaca
yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw. juga memperkenalkan Tuhan
Sang Pencipta. Ayat yang dibahas berkedudukan sebagai keterangan khusus
dari ungkapan terakhir ini. Dengan demikian, kedua ayat tersebut dapat
disusun pernyataan tentang siapa yang dimaksud dengan rabbika dalam ayat
pertama, yaitu khalaqal insana min ‘alaq. Makna kata rabbika tersebut berarti
pemilik, pencipta dan yang memberikan kebaikan kepada sesuatu. Tuhan
yang disebut rabb oleh karena Dialah yang memberikan kebaikan kepada
makhluk-Nya, juga berarti orang yang mengenal Tuhan.
Sebab lain sehingga manusia memiliki sifat kekafiran adalah
ketidaktahuan, ketidaksengajaan, yang ditandai dengan adanya faktor-faktor
yang memungkinkan seseorang mengenal Tuhan. Sifat kesombongan dan
keangkuhan dapat menyebabkan sifat egois, berpandangan sempit dan sukar
menerima dan mengakui realitas di luar dirinya, sehingga sukar menerima dan
mengakui kebenaran dan hidayah. Watak manusia selalu bersenang-senang.
Bila ia memperoleh kenikmatan hidup, dan jika kesenangan itu dicabut atau
gagal dalam memperjuangkan citacitanya, maka ia berputus asa. Manusia
kadang lupa daratan dan tidak mengingat Tuhan bila mendapatkan
kesenangan dunia.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa orang kafir pada hakikatnya
adalah makhluk Tuhan yang juga membawa fitrah bertuhan kepada Allah
sebagaimana dengan manusia lain. Kekafiran mereka disebabkan karena
pengaruh sosio-kulturalnya Menyeru orang kafir ke jalan Allah berarti berusaha
menyadarkan mereka agar memandang diri mereka dan lingkunganya secara
obyektif. Diri manusia bersama cosmos merupakan bahan untuk ditelaah
secara rasional.
Penyampaian dakwah secara intensif bertujuan agar mereka beriman
kepada Tuhan, dan sadar akan kedudukan dan fungsi dirinya, sebagai hamba
Allah. Fungsi unik yang dimiliki manusia menunjukkan fungsi yang melengkapi
kodrat kejadiannya. Karena fungsi ini mencakup tugas-tugas peribadatan,
sehingga ia dapat disebut sebagai fungsi ubudiyah. Keunikan fungsi ini
mengandung makna bahwa keberadaan manusia di muka bumi hanya
semata-mata untuk menjalankan ibadah kepada Allah swt. Olehnya itu,
manusia yang tidak beribadat kepada-Nya berarti mereka berada di luar
fungsinya (disfungsi).
Dengan demikian, mengajak orang kafir ke jalan Islam adalah suatu
kewajiban. Dakwah memberikan informasi tentang eksistensi dirinya sebagai
makhluk ciptaan Allah dan fungsinya, guna membawa mereka kepada
kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
2) Tujuan dakwah kepada ahli kitab
Terhadap ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) Alquran menunjukkan agar dai
berusaha menanamkan keyakinan kepada mereka bahwa Nabi Muhammad
saw. adalah rasul terakhir dan kitab suci Alquran adalah petunjuk bagi
manusia secara universal (Ali Hasymi, 1974: 104) Hal tersebut dapat dipahami
dalam QS. al-Syura (42): 15:
‫ِم‬ ‫ِم ِك‬ ‫ِم‬ ‫ِق‬ ‫ِل ِل‬
‫َف َذ َك َفاْدُع َواْس َت ْم َك َم ا ُأ ْرَت َوال َتَّتِبْع َأْه َواَءُه ْم َو ُقْل آَم ْنُت َمِبا َأنزَل الَّلُه ْن َتاٍب َوُأ ْرُت‬
‫ألْع ِد َل َبْيَنُك ُم الَّلُه َرُّبَنا َوَرُّبُك ْم َلَنا َأْع َم اُلَنا َو َلُك ْم َأْع َم اُلُك ْم اَل ُح َّج َة َبْيَنَنا َو َبْيَنُك ُم الَّلُه ْجَيَمُع َبْيَنَنا‬

‫َو ِإَلْيِه اْلَم ِص ري‬


Terjemahnya: “Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan
tetaplah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa
nafsu mereka dan katakanlah: “Aku beriman kepada semua kitab yang
diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu.
Allah-lah 19 Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi
kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah
mengumpulkan antara kita dan kepadaNyalah kembali (kita).”
Ayat tersebut merupakan perintah untuk menyampaikan dakwah kepada
ahli kitab. Tujuannya agar mereka sadar dan mengakui kebenaran segala
yang diturunkan Allah kepadanya.
3) Tujuan dakwah kepada orang beriman
Orang mukmin adalah obyek dakwah selain orang kafir dan ahli kitab.
Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah dan segala hal yang wajib
diimani. Sedangkan orang mukmin disebut umat ijabat, karena mereka
menerima dakwah Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. dan
membenarkan ajaran-ajarannya. Predikat mukmin diberikan kepada
seseorang, setelah tumbuhnya tauhid rububiyat dan tauhid uluhiyat.
Pelaksanaan dakwah kepada orang beriman bertujuan agar mereka intensif
melaksanakan amal saleh sebagai bukti ketaatan kepada Allah. Efek amal
saleh yang mereka lakukan adalah terbentuknya akhlak mulia dan di akhirat
mendapat pahala mulia di sisi Allah. Hal ini dijelaskan dalam QS. al-Nahl (16):
97:
‫َمْن َعِم َل َص اًحِلا ِم ْن َذَك ٍر َأْو ُأْنَثى َوُه َو ُمْؤ ِم ٌن َفَلُنْح ِيَيَّنُه َحَياًة َطِّيَبًة َو َلَنْج ِزَيَّنُه ْم َأْج َرُه ْم ِبَأْح َس ِن َم ا‬

‫َك اُنوا َيْع َم ُلوَن‬


Terjemahnya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri
balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan”.
Ayat ini menjelaskan tentang janji Allah kepada orangorang yang beriman
tanpa membedakan jenis kelamin, berupa hayatan tayyibah (kehidupan yang
baik) dan pahala sebagai balasan amal saleh yang dilaksanakan. Selain itu,
dalam ayat tersebut terlihat pula hubungan sebab akibat antara usaha
manusia dengan tujuan yang dicapai. Dalam ayat ini disebutkan bahwa iman
merupakan dasar utama untuk melakukan usaha yang dapat mengantar
tercapainya tujuan tersebut. Amal saleh dalam Alquran oleh Muhammad Syalt-
t disebutnya dengan istilah syari’at.
Ibnu Katsir dan Ibnu Jarir mengartikan amal saleh dengan perbuatan yang
diwajibkan dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw Muhammad Abduh
mengartikan amal saleh sebagai perbuatan baik yang telah terinci dalam
Alquran. Hal ini sejalan dengan pendapat Muhammad Izzat Darwarat yang
mengartikan amal saleh sebagai konsep umum yang mencakup segala segi
kebaikan, baik bersifat ibadah ataupun bukan .
Abdul al-Karim Zaidan menjelaskan bahwa amal saleh adalah semua
perbuatan yang diridhai Allah, yang memenuhi syarat; 1) Perbuatan itu
hendaknya sesuai dengan ajaran Islam dan 2) Perbuatan itu bertujuan untuk
mencapai keridhaan dan ketaatan kepada Allah. Suatu perbuatan tidak
memenuhi kedua syarat atau hanya terpenuhi salah satu dari dua syarat di
atas, tidaklah termasuk perbuatan yang diridhai Allah dan perbuatan itu tidak
mendapat ganjaran.
Abu al-A’la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan dakwah adalah
mengajak manusia untuk mengakui dan meyakini bahwa tidak ada Tuhan
selain Allah. Dia Yang Maha Esa, menguasai, ditaati, membuat peraturan-
peraturan. Karena itu, manusia harus 21 menyerahkan dirinya kepada Allah
dan melaksanakan amal saleh.
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada orang
beriman agar masuk ke dalam Islam secara keseluruhannya, tidak ada satu
aspek yang keluar dari agama Allah.
Mukmin dengan realitas amal saleh yang dikerjakan akan memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sehubungan dengan hal ini, Allah
swt. berfirman dalam QS. alBaqarah (2): 201:

ِ‫َرَّبَنا آِتَنا يِف الُّد ْنَيا َح َس َنًة َويِف اآلِخ َرِة َح َس َنًة َو ِقَنا َعَذ اَب الَّنار‬
Terjemahnya: ‘...Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan
di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
Berbagai tujuan dakwah yang variatif tersebut menjadi indikasi dalam
penetapan subyek dakwah yang dapat menunjang tercapainya tujuan utama
dakwah.
E. Unsur-unsur Dakwah

Dalam berdakwah tentu diperlukan serangkaian alat untuk menunjang


perjalanan dakwah. Terdapat 6 unsur penting dalam kegiatan dakwah:

1. Da’i (orang yang berdakwah)

Dalam ilmu komunikasi, da’i atau pendakwah adalah komunikator, yakni


orang yang menyampaikan pesan dakwah kepada orang lain. Dalam buku
Ilmu Dakwah kualifikasi da’i ada dua macam, yakni secara umum dan khusus.

Secara umum, dakwah diharuskan untuk semua muslim yang mukallaf


sebagai bentuk kepatuhan atas perintah Nabi SAW, untuk menyampaikan
dakwah kepada umat manusia. Secara khusus, penyebaran dakwah Islam
diharuskan pada muslim yang mumpuni dalam bidang agama seperti ulama,
guru, kiai, dan lain sebagainya.

5 Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsauban, Nabi bersabda, “Di
antara umatku selalu ada kelompok yang menegakkan kebenaran.Dan orang-
orang yang membenci mereka tidak dapat memberikan bahaya kepada
mereka. Hingga datangnya keputusan Allah, mereka pun tetap seperti itu.”Di
mana pun, kapan pun dan bagaimana pun pendakwah selalu hadir untuk
mempelajari ajaran Islam sekaligus memperkenalkannya kepada masyarakat
luas.

2. Mad’u (orang yang menerima pesan dakwah)

Abu Fath al-Bayanuni berpendapat bahwa mad’u adalah siapa pun yang
menjadi penerima pesan dakwah. Sebutan lain dari mad’u adalah mitra
dakwah, bukan dikatakan sebagai objek dakwah atau sasaran dakwah dengan
maksud agar pendakwah menjadi kawan berpikir dan bertindak bersama
dengan mitra dakwah.

3. Pesan Dakwah

Isi pesan dakwah adalah kebenaran Islam. Agar kebenaran pesan dakwah
dapat diterima oleh mitra dakwah dengan yakin, pendakwah harus
menguatkannya dengan argumentasi logis dan fakta dari berbagai sumber.
Seperti yang dicontohkan ulama Islam Ahmad Deedat dan Abdullah Wasi’an di
Surabaya, mereka merupakan ulama yang ahli tentang ajaran agama Kristen
(Kristolog).

Ketika berdakwah mereka selalu menunjukkan kebenaran pesan Islam


tentang Nabi Isa bin Maryam AS,. dengan ayat-ayat Al-Qur’an disertai
keterangan dari kitab Injil yang diakui oleh kaum Kristiani. Dengan begitu
dapat disimpulkan bahwa pesan dakwah tidak hanya berupa sumber utama,
yakni ayat Al-Qur’an dan HR. Mulim: Kitabul Imarah No. 3550 5 hadis saja,
tetapi juga beberapa uraian dari sumber-sumber lainnya sebagai penguat.
Pada hakikatnya setiap pesan dakwah tergantung pada niat yang akan dituju.
Secara keseluruhan, pesan dakwah diklasifikan menjadi tiga hal pokok, yaitu:

a. Pesan Aqidah
Aqidah merupakan prinsip seorang muslim untuk mengimani apa yang
diajarkan di dalam agamanya. Maka pesan aqidah meliputi tentang keimanan
kepada Allah SWT, iman kepada malaikat, kitab-kita Allah, Rasul-rasul Allah,
iman pada hari kiamat, dan iman kepada qodlo qodar Allah.

b. Pesan Syari’ah
Pesan syari’ah berhubungan dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Allah
kepada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Sebagai seorang
hamba maka ketentuan yang harus dijalani meliputi sholat, puasa, zakat, haji,
serta ibadah lainnya. Sedangkan ketentuan sebagai sesama manusia
mencakup ibadah yang bersifat muamalah seperti nikah, jual beli, dan lain-
lain.
c. Pesan Akhlak
Pesan akhlak berarti berhubungan dengan tingkah laku manusia baik
sebagai seorang hamba maupun akhlak kepada sesama dan semesta alam.

4. Media Dakwah

Dalam buku Ilmu Dakwah karya Moh. Ali Aziz, dikatakan bahwa media
dakwah merupakan unsur tambahan di dalam dakwah. Maksudnya kegiatan
dakwah boleh dan dapat berlangsung meski tanpa media.

Contohnya seorang ustadz yang sedang menjelaskan tata cara


tayammum kepada seorang tamu di rumahnya adalah salah bentuk dakwah
tanpa media. Demikian dikatakan dakwah tanpa media, jika beranggapan
bahwa sebuah media selalu merupakan alat atau sarana untuk menyampaikan
pesan dakwah kepada mitra dakwah. Kata media berasal dari bahasa Latin
medius yang secara harfiah berarti perantara, tengah atau pengantar. Dalam
bahasa Inggris media merupakan bentuk jamak dari medium yang berarti
tengah, antara.

Dari pengertian tersebut ahli komunikasi sepakat mengartikan bahwa


media merupakan alat yang menghubungkan pesan komunikasi yang
disampaikan oleh komunikator kepada komunikan (penerima pesan).
Sedangkan dalam bahasa Arab media sama dengan wasilah atau dalam
bentuk jamaknya yakni wasail yang berarti alat atau perantara.

5. Efek Dakwah atau Feedback

Sebuah respon atau feedback akan timbul jika terdapat stimulus untuk
menarik sebuah gerakan itu muncul.Sama halnya dengan kegiatan dakwah
yang tujuan utamanya adalah untuk mengajak manusia kepada yang baik dan
yang lebih baik. Dakwah yang dilakukan secara baik sudah barang tentu akan
mendapat respon yang baik pula dari mitra dakwah.

Respon yang baik itu dapat berupa kesadaran seseorang untuk


melaksanakan sesuatu yang dalam hal ini adalah pesan dakwah yang
disampaikan oleh da’i.

6. Metode Dakwah

Dari segi bahasa metode berasal dari dua kata yakni meta yang berarti
“melalui” dan hodos yang berarti “jalan, cara”.

Menurut Toto Tasmara, metode dakwah merupakan cara-cara tertentu


yang dilakukan oleh seorang da’i dalam mengajak mad’u untuk mencapai
suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.

Ada 3 macam metode dakwah yang terdapat dalam AlQur’an surat An-
Nahl ayat 125ِ

‫ِإ‬ ‫ِة ِد ِب َّل ِه‬ ‫ِب ِحْل ِة ِع ِة‬ ‫ِإ ِب‬


‫اْدُع ىَل َس يِل َرِّبَك ا ْك َم َواْلَمْو َظ اَحْلَس َن َوَج ا ُهْلْم ا يِت َي َأْح َسُن َّن َرَّبَك ُه َو َأْع َلُم‬
‫َمِبْن َض َّل َعْن َس ِبيِلِه َوُه َو َأْع َلُم ِباْلُم ْه َتِد ين‬

Terjemahaannya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah


dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat di jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”
Dari ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa metode dakwah itu
meliputi tiga cakupan, pertama, yakni dengan hikmah yang menurut Imam
Abdullah bin Ahmad Mahmud An-Nasafi adalah dakwah menggunakan
perkataan yang benar dan pasti, yaitu adil dalam menjelaskan kebenaran dan
menghilangkan rasa keraguan. Kedua, dengan mauidloh hasanah atau
dakwah tabligh yang banyak ditemui dalam acara-acara sejenis pengajian.
Ketiga, dengan cara debat yang baik yang tujuannya adalah untuk
menemukan kebenaran tanpa ada sedikit pun rasa untuk menjatuhkan lawan
debat.
BAB 2

MATERI DAKWAH

A. Pendahuluan.
Materi dakwah menjadi pokok bahasan yang penting untuk dipahami oleh
setiap Dai. Materi ini menjadi bagian yang tidak terpisah dari materi lainnya
seperti subjek dakwah (dai), penerima dakwah (mad’u) ,media dakwah, dan
unsur-unsur lainnya dalam dakwah Islam. Pada bagian ini dijelaskan tentang
eksistensi materi dakwah, yang di dalamnya dibahas beberapa topik seperti;
pentingnya materi dakwah, syarat materi dakwah yang baik, dan teknik
penyampaian materi dakwah, serta materi dakwah yang responsif gender.
B. Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Utama Materi Dakwah.
Para pakar dalam ilmu dakwah menyebutkan materi dakwah dengan
istilah almaadah dan mau’du ad dakwah. Sumber utama maddah ad dakwah
adalah al Qur’an dan Hadis.
Secara etimologi al-Qur’an memiliki arti mengumpulkan dan menghimpun.
Kata qiro’ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan
lainnya dalam suatu ucapan yang tersusun rapi. Menurut Quraish Shihab,
secara harfiah, al-Qur’an berarti bacaan yang sempurna. Para Ulama
mendefinisikan al-Qur’an sebagai kalam Allah yang bernilai mukjizat, yang
diturunkan kepada pungkasan nabi dan rasul, dengan perantaraan malaikat
Jibril, yang tertulis pada mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, membacanya
terhitung ibadah, diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an
Nas.
Al-Qur’an adalah wahyu harfiah dari kalam Allah, yang disampaikan dalam
bahasa Arab melalui malaikat Jibril kepada Nabi selama rentang waktu 23
tahun dalam masa tugas kenabiannya. Ayat pertama yang diwahyukan ketika
Nabi sedang berkhalwat di Gua Hira di gunung Cahaya (jabal al-Nur) dekat
Makkah dan ayat yang terakhir diturunkan hanya beberapa waktu sebelum
wafatnya. Ayat-ayat ini dihafal oleh banyak sahabat dan secara lambat laun
mulai ditulis oleh sahabat-sahabat seperti Ali bin abi Thalib dan Zaid bin Tsabit.
Akhirnya pada masa pemerintahan Utsman, khalifah ke tiga, teks definitif yang
didasarkan pada salinan-salinan awal dan konfirmasi dari orang-orang yang
pernah mendengar ayat-ayat itu dari Nabi sendiri, disalin dan dikirim ke empat
penjuru dunia Islam. Dengan demikian teks al-Qur’an bukan didasarkan pada
periode pengumpulan yang lama dan penafsiran manusia. Sebaliknya, al-
Qur’an adalah kalam Allah aktual yang diwahyukan kepada rasulnya.
Konsekwensinya, bukan hanya makna al-Qur’an tetapi juga bentuk dan semua
yang berkaitan dengan al-Qur’an adalah suci. Kata-kata yang ditulis sebagai
kaligrafi, suara dari ayat-ayat yang dilantunkan, fisik dari kitab itu, dan pesan
yan terkandung di dalamnya adalah suci.
Al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan melalui suara. Sifat kesucian
dari al-Qur’an dapat menimbulkan pesona spiritualitas bahkan dalam diri orang
yang tak mengerti bahasa Arab. Sifat kesucian ini terpancar melalui
penghalang bahasa manusia dan dirasakan oleh kaum muslimin non Arab.
Kehadiran al-Qur’an melalui suara, dirasakan secara instingtif oleh manusia
yang bertakwa. Akibatnya ia menemukan kenyamanan dan perlindungan
bahkan dalam wujud fisik kitab itu sendiri.
Kemuliaan al Qur’an juga terindikasi dari tidak ada satu bacaan pun sejak
manusia mengenal tulisan baca 5000 tahun yang lalu yang dapat menandingi
alQur’an. Ia dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya atau
tidak dapat menulis aksaranya bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang
dewasa remaja dan anak-anak. Al-Qur'an yang dipelajari bukan hanya
susunan redaksi dan pemilihan kosa katanya, tapi juga kandungan yang
tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkan. Tata cara
membacanya diatur sedemikian rupa, mana yang dipendekkan, dipanjangkan,
dipertebal atau diperhalus ucapannya, di mana tempat terlarang atau boleh
atau harus memulai dan berhenti, bahkan diatur lagu dan irama nya sampai
kepada etika membacanya.
Kemukjizatan dan kesucian al-Qur’an ini diuraikan Quraish Shihab dalam
bentuk kosa kata dalam al-Qur’an yang berjumlah 77.439 kata dan 323.015
huruf yang seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dan pandanannya,
maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya. Mengulang-ulang membaca
ayat alQur’an menimbulkan penafsiran baru, pengembangan gagasan,
menambah kesucian jiwa dan kesejaheraan lahir.
Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi mereka yang ingin
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia diturunkan untuk seluruh
manusia dan untuk sepanjang masa. Dalam al-Qur’an, Allah menerapkan
kaidah-kaidah syariat serta hukum-hukumnya tidak berubah-ubah karena
perubahan massa dan tempat. Tidak ada khilaf sedikitpun di antara umat
Islam, bahwa Al-Qur’an merupakan pokok asasi bagi syariat Islam dan juga
sebagai sumber utama materi dakwah.
Pedoman kedua bagi para juru dakwah dalam menjalankan tugasnya
yaitu hadis nabawi. Menurut bahasa, hadis berarti; jadid lawan qodim yang
berarti baru, dekat atau warta. Menurut Ahli hadis, hadis adalah segala
perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ikhwalnya. Menurut yang lain, segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi, baik perkataan, perbuatan maupun
ketetapannya.
Posisi hadis sebagai sumber hukum ke dua setelah al-Qur’an dapat
difahami dalam firman Allah yang memerintahkan agar kaum muslimin
mentaati Rasul seperti mentaati-Nya, menerima sebagai pedoman hidup
segala ajaran yang dibawa oleh Rasul,:
‫ِح‬ ‫ِف‬ ‫ِب‬ ‫ِب‬ ‫ِحُت‬ ‫ِإ‬
‫ُقْل ْن ُك ْنُتْم ُّبوَن الَّلَه َفاَّت ُعويِن ْحُي ْبُك ُم الَّلُه َو َيْغ ْر َلُك ْم ُذُنوَبُك ْم َوالَّلُه َغُفوٌر َر يٌم‬
Terjemahaanya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu benar mencintai Allah
maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kamu pula dan mengampuni
dosa dosamu,” Allah maha pengampun, maha penyayang”. (QS. Al-Imran: 31)
‫ِف‬ ‫ِحُي‬ ‫ِإ َّل ِإ‬ ‫ِط‬
‫ُقْل َأ يُعوا الَّلَه َوالَّرُس وَل َف ْن َتَو ْوا َف َّن الَّلَه اَل ُّب اْلَك ا ِريَن‬
Terjemahannya: “Katakanlah (Muhammad), “taatilah Rasul Allah dan Rasul.
Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang
kafir”. QS. Al Imron: 32).
As-Siddiqy mengatakan bahwa Al-Qur’an dalam banyak ayatnya
menegaskan bahwa hadis itu adalah satu dasar dari dasar-dasar hukum umat
Islam dalam abad pertama hingga abad pertengahan kedua Hijriah. Ummat
Islam memandang hadis nabi sebagai suatu dasar hukum dan
menempatkannya pada tempat kedua sesudah Al-Qur’an, hal ini adalah wajar
lantaran hadis memperoleh dasar dasar hukumnya dari Al-Qur’an. Imam
Syafi’i dalam sebagian kitabnya meletakkan al-Qur’an dalam dan hadis dalam
satu martabat atas dasar bahwa hadis ini merupakan kelengkapan bagi Al
Qur’an. Sebagai penjelas atau tambahan terhadap alQur’an, tentu hadis
merupakan peringkat kedua setelah sumber hukum pertama. Al-Qur’an
mengandung segala permasalahan secara paripurna, menyangkut masalah
duniawi dan ukhrowi, tetapi penjelasannya yang global perlu diterangkan
secara rinci melalui hadis (sunnah).
Hadis direpresentasikan oleh himpunan literatur yang memuat ratusan
riwayat mengenai nabi dan para sahabatnya pada bagian fase sejarah Islam
awal walaupun Al-Qur’an dan hadis dipandang sebagai dua sumber hukum
Islam terdapat perbedaan materi di antara kedua sumber tersebut. Berbeda
dari Al Qur’an, hadis tidak dipresentasikan oleh satu teks tunggal yang
disepakati. Hadis tersebar minimal dalam 6 kitab utama karya kompilasi
Bukhari Muslim, Nasa’i, Tarmizi, Ibnu Majah, Abu Daud dan banyak lagi kitab
sekunder misalnya musnad Ahmad, ibn Hayyan dan Ibnu khuzaimah.
Berbeda dengan Al-Qur’an, hadis tidak dicatat dan ditulis pada masa hidup
Nabi. Hadis belum terhimpun dan terdokumentasi secara sistematis untuk
jangka waktu minimal 2 abad sesudah meninggalnya Nabi meskipun sejumlah
aktivitas dokumentasi dimulai pada masa abad Islam, usaha utama ke arah
penghimpunan dan dokumentasi sistematis belum dimulai hingga abad ketiga
Hijriah (abad ke-9 masehi). Dokumentasi hadis yang terlambat ini
menunjukkan bahwa banyak laporan yang dinisbahkan kepada nabi yang
diragukan kebenarannya atau setidaknya memiliki autentitas kesejarahan
yang meragukan. Pada kenyataannya salah satu disiplin yang paling kompleks
di dalam yurisprudensi Islam adalah disiplin yang berusaha memilah-milah
mana yang hadis shahih dan mana yang tidak shahih lebih jauh lagi laporan-
laporan yang dinisbahkan kepada nabi tidak semata-mata dinilai otentik atau
palsu, laporan-laporan seperti itu diasumsikan memiliki keragaman tingkat
kesahihan tergantung pada tingkat kepercayaan seorang, apakah Nabi benar-
benar melakukan perbuatan tertentu atau benar-benar membuat pernyataan
tertentu. Oleh karena itu menurut para sarjana muslim hadis terrentang mulai
dari yang tertinggi hingga yang terendah autensitasnya. meskipun para
sarjana muslim sudah cenderung menyakini bahwa mereka dapat memastikan
apakah nabi betul-betul menyatakan sebuah hadis, status kepengarangan
sebuah hadis secara historis sangat rumit.
Menyangkut relasi antara laki-laki dan perempuan, secara garis besar
hadis dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama secara umum keseluruhan
hadis nabi menunjukkan adanya kesetaraan antara jenis kelamin laki-laki dan
perempuan sebagai makhluk Allah yang dipandang sama mempunyai hak dan
kewajiban yang sama pula. Seluruh ajaran Nabi yang terungkap melalui hadis
pada dasarnya diperuntukkan untuk semua manusia tanpa memandang jenis
kelamin.
Kedua, secara khusus hadis juga memandang laki-laki dan perempuan
berbeda. Adanya perbedaan ini dikarenakan laki-laki dan perempuan masing-
masing dibentuk dan dididik secara berbeda, sehingga sebagian di antara
mereka memiliki karakter yang berbeda. Hal ini terkadang dipahami sebagai
kodrat laki-laki dan perempuan, padahal sejatinya bukan kodrat, namun
konstruksi gender.
Sejumlah hadis dengan tipe kedua ini juga ditemukan. Hadis-hadis ini
tampak seperti menunjukkan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, bahkan
dapat dianggap sebagai hadis misogini. Di sinilah peran da’i-da’iyah untuk
memeberikan pencerahan kepada mitra dakwah. Sebenarnya tidak semua
hadis memiliki kualitas sanad yang baik. Hadis-hadis misoginis telah banyak
diteliti, dan hasilnya menunjukkan bahwa di antara perawinya tidak memenuhi
standar disepakati para ulama ahli hadis. Di samping itu, perlu diperhatikan
lagi dan disosialisasikan kepada mitra dakwah bahwa tidak semua hadis yang
shahih atau hasan secara sanad berarti secara otomatis juga dapat diterima
substansi matannya. Diperlukan kritik matan yang lebih mendalam dan hal itu
menjadi tugas pada da’i-da’iyah untuk mencari tahu materi dakwah yang
benar-benar mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam.

C. Eksistensi dan Inti Materi Dakwah


Materi dakwah atau yang sering juga disebut dengan pesan dakwah
adalah segala sesuatu yang dikomunikasikan oleh sumber (dalam hal ini dai)
kepada kepada penerima (mad’u). Dalam konteks komunikasi dakwah, istilah
lain dari materi dakwah adalah message, content, atau informasi. Pada
dasarnya materi dakwah Islam sejak zaman Rasulullah saw hingga saat ini
tidak ada yang berubah karena semuanya terkait dengan ajaran Islam. Kalau
pun ada perbedaan, hal tersebut hanya dalam konteks isu dan kasus yang
dibahas sesuai dengan kontekstualisasi persoalan di setiap zaman. Namun
apapun kasus dan permasalahan yang muncul di setiap masa, selalu tersedia
jawabannya lewat materi dakwah Islam.
Maudu atau pesan dakwah adalah pesan-pesan, materi atau segala
sesuatu yang harus disampaikan oleh dai (subyek dakwah) kepada mad’u
(objek dakwah), yaitu keseluruhan ajaran Islam, yang ada di dalam Katabullah
maupun Sunnah Rasul-Nya, atau disebut juga al-haq (kebenaran hakiki) yaitu
al-Islam yang bersumber Al-Qur’an (lihat QS. Al-Isra {17}:105). Pendapat di
atas senada dengan pendapat Endang Saepudin Anshari; materi dakwah
adalah al-Islam (AlQuran dan Al-Sunah) tentang berbagai soal prikehidupan
dan penghidupan manusia.
Materi dakwah yang baik adalah yang direncanakan semaksimal mungkin.
Menurut Wahyu Ilaihi,paling tidak ada empat (4) hal yang harus diperhatikan,
sebagai berikut:
1) Pesan harus dirancangkan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga
dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
2) Pesan harus mengguankan tanda-tanda yang tertuju pada pengalaman
yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga sama-sama
dapat mengerti.
3) Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak komunikan, dan
menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebuthan itu.
4) Pesan harus menyarankan suatu cara untuk memperoleh kebutuhan
tersebut yang layak bagi situasi kelompok tempat komunikan berada pada
saat ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.
Dilihat dari kontennya materi dakwah Islam berasal dari seluruh ajaran
Islam. Secara umum Wahyu Ilahi mengklasifikasi materi dakwah ke dalam
masalah pokok sebagai berikut:
Pertama, pesan akidah, yang di dalamnya berisi materi tentang iman
kepada Allah swt., iman kepada Malaikat-Nya, iman kepada Kitab-kitab-Nya,
iman kepada Rasul-rasul-Nya, iman kepada Hari Akhir, dan iman kepada
QadhaQadhar.
Kedua, pesan syariah, yang terdiri dari ibadah; seperti thaharah, shalat,
zakat, puasa, dan haji; sementara Muamalah, yang di dalamnya ada hukum
perdata seperti hukum niaga, hukum nikah, dan hukum waris. Sedangkan
hukum public meliputi hukum pidana, hukum negara, hukum perang, dan
damai.
Ketiga, hukum akhlak yang terdiri dari dua yakni akhlak terhadap Allah swt
dan akhlak terhadap makhluk, yang meliputi; akhlak terhadap manusia yang di
dalamnya menyangkut akhlak pada diri sendiri, tetangga dan masyarakat
lainnya. Sementara akhlak teradap bukan manusia juga tidak bisa dilupakan
seperti berkhlak pada flora dan fauna.
Bertolak dari uraian di atas maka maudlhu (pesan) da’wah adalah seluruh
ajaran Islam yang sering disebut dengan syari’at Islam, yang oleh Schiko
Murata dan William C. Chitik disebut sebagai Trilogi Islam (Islam, Iman, dan
Ihsan) dan menurut Asisi (1994), Al-Jauzi (1089), dan Subandi (1994) di antara
materi (pesan) dakwah bisa dalam bentuk pesan taubat, dzikir, sholat dan
shaum itu secara tegas dijelaskan oleh al-Qur’an dan penjelasannya banyak
menggunakan ungkapan perintah, dan setiap perintah menunjukan wajib.
Dengan demikian yang menjadi pesan dalam dakwah adalah syariat Islam
sebagai kebenaran hakiki yang datang dari Allah melalui Malaikat Jibril
disampaikan kepada Nabi Muhammad saw. pesan dakwah ini dalam Al-Qur’an
diungkapkan dengan istilah yang beranekaragaman yang kandungannya
menunjukkan fungsi ajaran Islam, misal dalam QS. An-Nahl ayat 125 disebut
sebagai sabili rabbika (jalan tuhan).
Sukriadi Sambas menyebut sumber utama ajaran Islam sebagai pesan
dakwah adalah al-Qur’an itu sendiri yang memiliki maksud spesifik. Setidaknya
terdapat sepuluh maksud pesan al-Qur’an, yaitu:
1) Menjelaskan hakikat tiga rukun agama Islam, yaitu Iman, Islam, dan
Ihsan yang didakwahkan oleh para rasul dan nabi.
2) Menjelaskan segala sesuatu yang belum diketahui oleh manusia tentang
hakikat kenabian, risalah, dan tugas para Rasul Allah.
3) Menyempurnakan aspek psikologis manusia secara individu, kelompok,
dan masyarakat.
4) Mereformasi kehidupan social kemasyarakatan dan social politik atas
dasar kesatuan nilai kedamaian, dan keselamatan dalam keagamaan;
5) Mengokohkan keistemewaan universalitas ajaran Islam dalam
pembentukan kepribadian melalui kewajiban dan larangan;
6) Menjelaskan hukum Islam tentang kehidupan politik negara;
7) Membimbing penggunaan urusan harta;
8) Mereformasi system peperangan guna mewujudkan dan menjamin
kedamaian dan kemasyalahatan manusia dan mencegah dehumanisasi;
9) Menjamin dan memberikan kedudukan yang layak bagi hak-hak
kemanusiaan wanita dalam beragama dan berbudaya; dan
10) Membebaskan perbudakan

Secara umum pesan dakwah atau materi dakwah adalah semua ajaran
Islam yang bersumber dari Al Qur’an dan hadis. Namun demikian, para pakar
dakwah memetakan materi dakwah dalam ranah yang sempit maupun yang
lebih luas. Menurut Muhammad Ali Aziz, materi dakwah mencakup 8 hal:
pertama, AlQur’an;, kedua, hadis; ketiga, pendapat para sahabat nabi;
keempat, pendapat para ulama; kelima, hasil penelitian ilmiah; keenam, kisah
dan pengalaman teladan; ketujuh, berita dan peristiwa; delapan,karya sastra
dan karya seni. Al-Qur’an dan hadis disebutkan sebagai pesan utama
sementara tujuh (7) lainnya merupakan pesan penunjang.
Barmawi Umari mengklasifikasikan materi dakwah menjadi: pertama,
Aqidah, menyebarkan dan menanamkan pengertian aqidah islamiyah
berpangkal dari rukun iman yang prinsipil dengan semua perinciannya. Kedua,
Akhlak, menerangkan mengenai akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah
dengan segala dasar, hasil dan akibatnya, diikuti oleh contoh-contoh yang
telah pernah berlaku dan terjadi dalam sejarah. Ketiga, Ahkam, menjelaskan
aneka hukum meliputi soal-soal ibadah, al ahwal as syakhsiyah, muamalah
yang wajib diamalkan oleh setiap muslim. Keempat, Ukhwah, menggambarkan
persaudaraan yang dikehendaki oleh Islam antara penganutnya sendiri serta
sikap pemeluk Islam terhadap pemeluk agama lain. Kelima, Pendidikan,
melukiskan sistem pendidikan model Islam yang telah dipraktekkan oleh
tokoh-tokoh pendidikan Islam di masa sekarang. Keenam, Sosial,
mengemukakan solidaritas menurut tuntunan ajaran Islam, tolong-menolong,
kerukunan sesuai ajaran Al-Qur’an dan hadis. Ketujuh, Kebudayaan,
mengembangkan perilaku kebudayaan yang tidak bertentangan dengan
norma-norma agama, mengingat pertumbuhan kebudayaan dengan sifat
asimilasi dan akulturasi yang sesuai dengan ruang dan waktu. Kedelapan,
Kemasyarakatan, menguraikan konstruksi masyarakat yang berisi ajaran
Islam, dengan tujuan keadilan dan kemakmuran bersama. Kesembilan, Amar
ma’ruf mengajak manusia untuk berbuat baik guna memperoleh kebahagiaan
dunia dan akhirat. Kesepuluh, Nahyi mungkar, melarang manusia dari
perbuatan jahat agar terhindar dari malapetaka yang akan menimpa manusia
di dunia dan akhirat .

Muhammad Syaltut, mantan Rektor Universitas Al-Azhar


mengklasifikasikan lebih ringkas ajaran Islam yang menjadi materi dakwah
kepada dua bagian saja yaitu aqidah dan syariah sedangkan Sayyid Qutb
membagi kepada akidah, syariah, nidhzom atau sistem. Di samping itu masih
dijumpai pembidangan lainnya yaitu Aqidah, Ibadah, Akhlak, syariah dan
muamalah dan pembagian ke dalam tiga (3) klasifikasi, akidah, syariah dan
muamalah.

a. Akidah (Keimanan)
Akidah adalah pokok kepercayaan dalam ajaran Islam. Akidah Islam
disebut tauhid dan merupakan inti kepercayaan. Tauhid adalah suatu
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam Islam, aqidah merupakan
tekad batiniah yang mencakup masalah-masalah yang erat hubungannya
dengan rukun iman. masalah akidah ini secara garis besar ditunjukkan oleh
Rasulullah artinya: Iman ialah Engkau percaya kepada Allah, malaikat-
malaikat-nya, kitab-kitab-nya, rasul-rasul-nya, hari akhir dan Percaya adanya
ketentuan Allah yang baik maupun yang buruk( H R muslim).
Dalam Al-Qur’an istilah iman tampil dalam berbagai variasi sebanyak
kurang lebih 244 kali. yang paling sering adalah melalui ungkapan orang-
orang yang beriman yaitu sebanyak 55 kali meskipun istilahnya ini pada
dasarnya ditujukan kepada para pengikut nabi Muhammad, 11 diantaranya
merujuk kepada para pengikut nabi Musa dan pengikutnya, dan 22 kali kepada
para nabi lain dan para pengikut mereka. orang yang memiliki iman yang
benar itu akan cenderung untuk berbuat baik, karena ia mengetahui bahwa
perbuatannya itu adalah baik dan akan menjauhi perbuatan jahat, karena ia
tahu perbuatan jahat itu akan berkonsekuensi pada hal-hal buruk. Iman hakiki
itu sendiri terdiri atas amal sholeh, karena mendorong untuk melakukan
perbuatan yang nyata. posisi Iman inilah yang berkaitan dengan dakwah Islam
di mana amar ma’ruf nahyi mungkar dikembangkan dengan kemudian menjadi
tujuan utama dari proses dakwah.
Cakupan materi dakwah dalam bidang aqidah bukan saja
pembahasannya tertuju pada masalah-masalah yang wajib diimani, akan
tetapi materi dakwah juga meliputi masalah-masalah yang dilarang sebagai
lawannya misalnya syirik atau menyekutukan adanya Tuhan, ingkar adanya
Tuhan dan lain sebagainya. Secara umum pembahasan aqidah tauhid atau
keimanan telah tertuang dalam rukun iman hal ini berkaitan dengan rukun
iman yang iman dalilnya ditemukan di dalam al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an
yang turun pada periode Mekkah umumnya berkaitan dengan keimanan dan
akhlak.
b. Syari’ah
Syari’ah adalah keseluruhan hukum dan perundang-undangan yang
terdapat dalam Islam baik hubungan antara manusia dengan Tuhan maupun
antara manusia dengan manusia. dalam Islam, syariat berhubungan erat
dengan amal lahir atau nyata dalam rangka mentaati semua peraturan atau
hukum Allah guna mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya dan
mengatur antara sesama manusia. Syariat bersifat universal, yang
menjelaskan hak-hak umat Islam dan nonmuslim bahkan hak seluruh umat
Islam. Syariah Islam mengembangkan hukum bersifat komprehensif yang
meliputi segenap kehidupan manusia. materi dakwah yang menyajikan unsur
syariah harus dapat menggambarkan atau memberikan informasi yang jelas di
bidang hukum dalam bentuk status hukum yang bersifat wajib, mubah
(dibolehkan), dianjurkan (mandub), makruh (dianjurkan supaya tidak
dikerjakan), dan haram (dilarang).
c. Akhlak (budi pekerti)
Secara etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab jamak dari
khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai dan tingkah laku atau tabiat.
kalimat-kalimat tersebut memiliki segi-segi persamaan dengan perkataan
kholqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan kholiq yang
berarti pencipta dan makhluq yang berarti yang diciptakan. sedangkan secara
terminologi pembahasan akhlak berkaitan dengan masalah tabiat atau kondisi
temperatur batin yang mempengaruhi perilaku manusia. Term khuluqun tidak
ditemukan dalam al-Qur’an, yang ditemukan hanyalah bentuk tunggal kata
tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam surah al-Qolam ayat 4, Kata
akhlak banyak ditemukan dalam hadis-hadis nabi dan salah satu yang paling
populer adalah antara lain yang artinya:
“aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Islam mengajarkan agar manusia berbuat baik dengan ukuran yang
bersumber kepada Allah. Sebagaimana telah diaktualisasi oleh Rasulullah.
apa yang menjadi sifat dan digariskan baik olehNya dapat dipastikan baik
secara esensial oleh akal pikiran manusia. dalam konteks ini ketentuan Allah
menjadi standar penentuan kriteria baik yang rumusannya dapat dibuktikan
dan dikembangkan oleh akal manusia. dalam Al-Qur’an dikemukakan bahwa
kriteria baik itu antara lain bertumpu pada sifat Allah sendiri yang terpuji
(alasmaul husna), karena itu Rasulullah memerintahkan umatnya untuk
berperilaku baik sebagaimana perilaku Allah. berdasarkan hal tersebut dapat
disimpulkan bahwa apa yang menjadi sifat Allah pasti dinilai baik oleh manusia
sehingga harus dipraktekkan dalam perilaku sehari-hari. dalam mewujudkan
sifat itu manusia harus konsisten dengan esensi kebaikannya sehingga dapat
diterapkan secara proporsional.
Materi akhlak ini diorientasikan untuk dapat menentukan baik dan buruk,
akal, qalbu berupaya untuk menemukan standar umum melalui kebiasaan
masyarakat, karena ibadah dalam Islam sangat erat kaitanya dengan akhlak.
pemakaian akal dan pembinaan akhlak mulia merupakan ajaran Islam. Ibadah
dalam Al-Qur’an selalu dikaitkan dengan takwa berarti pelaksanaan perintah
Allah dan menjauhi larangannya. perintah Allah selalu berkaitan dengan
perbuatan baik sedangkan larangan-larangannya senantiasa berkaitan dengan
perbuatan perbuatan yang tidak baik. Akhlak dalam aktivitas dakwah (sebagai
materi dakwah) merupakan pelengkap saja yaitu untuk melengkapi keimanan
dan keislaman seseorang. meskipun akhlak ini berfungsi sebagai pelengkap,
bukan berarti masalah akhlak kurang penting dibandingkan dengan masalah
keimanan dan keislaman akan tetapi akhlak merupakan penyempurna
keimanan dan keislaman seseorang.
Sementara Quraish Shihab, mengklasifikasikan pokok-pokok materi
dakwah tercantum dalam tiga hal yaitu pertama, Memaparkan ide-ide agama
sehingga dapat mengembangkan gairah generasi muda untuk mengetahui
hakekatnya melalui partisipasi positif mereka. Kedua, Sumbangan agama
ditujukan kepada masyarakat luas yang sedang membangun, khususnya di
bidang sosial ekonomi dan budaya. Ketiga, Studi tentang pokok-pokok agama
yang menjadikan landasan bersama demi terwujudnya kerjasama antar
agama tanpa mengabaikan identitas masing-masing. Yang perlu digarisbawahi
dari pendapat pendapat Quraish Shihab di atas, bahwa da’i-da’iyah
berkewajiban terus memperbaharui pengetahuannya untuk dijadikan materi
dakwah. Materi dakwah yang disampaikan harus mampu membangun
peradaban baru, yakni peradaban yang menghormati hak-hak asasi manusia,
menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap bangsa, dan memerangi segala
bentuk diskrimasi dan kekerasan kepada umat manusia.

D. Teknik Penyampaian Materi Dakwah


Materi Dakwah Islam tidak hanya terkait dengan konten, tetapi juga
berhubungan dengan teknik penyampaian pesan. Dakwah tentu saja bukan
cara yang sembarangan dan cara yang asal-asalan. Dakwah juga bukan
sekedar proses yang membutuhkan waktu singkat. Dalam berdakwah pun
tentu juga membutuhkan proses yang baik dan berkualitas. Berikut adalah ciri-
ciri atau karakteristik dari dakwah yang baik dalam Islam:
1) Menggunakan Bahasa Kaumnya
Dakwah yang baik haruslah menggunakan bahasa kaum yang tepat atau
sesuai kondisi setempat. Artinya bahasa ini bukan sekedar bahasa melainkan
kebiasaan dan tradisi agar mudah untuk dapat diterima dan adaptasi tanpa
harus Islam merubah nilai inti dari ajarannya. Andaikata Islam di dakwahkan
tidak menggunakan bahasa kaumnya, tentu saja sampai saat ini pasti Islam
akan sulit untuk berkembang. Karena Islam tidak bisa ditangkap dan dikenal
oleh orangorang yang tidak mengenal bahasa Arab. Akan tetapi, dakwah Islam
lintas negara dan bangsa. Untuk itu, dalam proses berdakwah, mengenal
tradisi, budaya, dan juga bahasa kaum yang akan didakwahi adalah proses
awal yang harus dilakukan. Termasuk yang penting diperhatikan dalam hal ini
adalah tidak menggunakan bahasa yang merendahkan kelompok perempuan.
Seringkali kita menjumpai pendakwah yang dalam senda guraunya
melecehkan martabat perempuan. Tentu praktik-praktik semacam ini justru
bertentangan dengan substansi ajaran akhlak yang diusung oleh Islam itu
sendiri.
2) Mengikuti Perkembangan Zaman
Dakwah Islam yang baik juga harus dapat mengikuti perkembangan
zaman tanpa harus juga merubah nilai inti dari Islam. Perkembangan zaman
ini khususnya adalah perkembangan teknologi dan karakteristik masyarakat.
Kita bisa melihat hari ini bahwa proses dakwah bisa dilakukan dengan
berbagai cara seperti memanfaatkan sosial media dan teknologi. Dengan
memanfaatkan hal tersebut, maka perkembangan dakwah Islam akan semakin
massif dan cepat.
3) Menyentuh Hati dan Jiwa
Dakwah yang baik juga harus mampu untuk menyentuh hati dan jiwa
manusia. Dakwah harus dapat menggugah hati seseorang sehingga dari
situlah muncul kesadaran dan dorongan untuk melaksanakan perintah Allah.
Dakwah yang tidak mampu menyentuh hati dan jiwa tidak akan bisa diterima
dengan baik, dan tentunya akan kering jika hanya aspek pemikiran yang
disampaikan. Aspek menyentuh hati dan jiwa ini tentu dibutuhkan oleh setiap
manusia karena hal ini adalah kebutuhan mendasar dari manusia. Dengan
menyentuh hati dan jiwa maka akan muncul juga kesegaran ruhani dalam diri.
4) Memiliki Pendasaran yang Kuat
Dakwah yang baik juga harus memiliki pendasaran yang kuat. Pendasaran
yang kuat ini tentu berdasarkan dalil naqli dan aqli yang valid. Tanpa
pendasaran yang kuat, tentu saja akan menjadi dakwah yang kurang kuat
dalam pikiran manusia. Manusia tentu membutuhkan alasan yang mampu
masuk akal dan menggugah dirinya. Tentu saja aturan islam tidak ada satupun
yang tidak masuk akal bahwa semuanya dapat dipertanggungjawabkan
dengan benar dan baik. Untuk itu dakwah Islam harus dapat memiliki
pendasaran yang kuat.
5) Tidak Asal Klaim atau Judgement
Dakwah Islam yang baik juga tidak boleh asal-asalan untuk mengklaim
atau judgement pada manusia. Dakwah tidak boleh asal mengatakan
seseorang kafir atau munafik atau menstatusi seseorang dengan ungkapan
tertentu. Yang harus dilakukan justru haruslah menggugah dan memberikan
kesadaran dengan kalimat dan kata-kata yang baik. Semoga umat Islam dapat
menjalankan amanah dakwah dimanapun mereka berada. Karena dakwah
bukanlah tugas para ustad dan usdadzah atau ulama saja, melainkan seluruh
umat Islam dengan menyesuaikan kapasitas yang dimilikinya.
Menurut Quraish Shihab, dalam menyajikan materi dakwah terlebih dahulu
meletakkan satu prinsip bahwa manusia yang dihadapinya adalah mahluk
yang terdiri dari unsur jasmani, akal, dan jiwa. Oleh karena itu, mereka (mad’u)
harus dipandang dihadapi dan diperlakukan dengan keseluruhan unsur-
unsurnya secara serempak dan simultan, baik dari segi materi maupun waktu
penyajiannya. Untuk menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam
penyajian materi-materi dakwah, Quraish Shihab mengutip metode yang
dianjurkan dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
a. Mengemukakan kisah-kisah yang bertalian dengan salah satu tujuan
materi. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an berkisar pada peristiwa sejarah yang
terjadi dengan menyebut pelaku-pelaku dan tempat terjadinya (seperti
kisah nabinabi), peristiwa yang telah terjadi dan masih dapat berulang
kejadiannya atau kisah simbolik yang tidak menggambarkan suatu
peristiwa yang telah terjadi, namun dapat saja terjadi sewaktu-waktu.
b. Nasihat dan panutan. Al-Qur’an juga menngunakan kalimat-kalimat yang
menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide-ide yang
dikehendakinya seperti terdapat dalam QS. 31:13-19. Tetapi nasihat yang
dikemukakan itu tidak banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan
contoh teladan dari pemberi atau penyampai nasihat, dalam hal pribadi
Rasulullah. Pada diri beliau telah terkumpul segala macam keistimewaan,
sehingga orang-orang yang mendengar ajaran-ajaran al-Qur’an melihat
penjelmaan ajaran tersebut dalam dirinya, yang pada akhirnya mendorong
mereka untuk meyakini keistemewaan dan mencontoh pelaksanaannya.
c. Pembiasaan. Pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam
kehidupan manusia, karena dengan pembiasaan seseorang dapat
melakukan hal-hal yang penting dan berguna tanpa menggunakan energi
dan waktu yang banyak, dari sini dijumpai al-Qur’an menggunakan
“pembiasaan” sebagai proses mencapai target yang dinginkannya dalam
penyajian materi. Pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif
(meninggalkan sesuatu).

BAB 3
SEPUTAR TENTANG DA’I

A. Pengertian Da’i
Kata da’i berasal dari bahasa Arab bentuk mudżakar (laki-laki) yang
berarti orang yang mengajak, kalau muanas (perempuan) disebut
da’iyah. Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia, da’i adalah
orang yang pekerjaannya berdakwah, pendakwah. Melalui kegiatan
dakwah para da’i menyebarluaskan ajaran Islam.Dengan kata lain, da’i
adalah orang yang mengajak kepada orang lain baik secara langsung
atau tidak langsung, melalui lisan, tulisan, atau perbuatan untuk
mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam,
melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut
Islam

Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun


tulisan ataupun perbuatan dan baik secara individu, kelompok atau
berbentuk organisasi atau lembaga. Da’i sering disebut kebanyakan
orang dengan sebutan mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran
Islam). Allah swt berfirman:

‫ِر ِئ‬ ‫ِف‬ ‫ِب‬ ‫ِإ ِرْي‬ ‫ِم‬


‫َو ْلَتُك ْن ْنُك ْم ُأَّم ٌة َيْد ُعوَن ىَل اَخْل َو َيْأُمُر وَن اْلَم ْع ُر و َو َيْنَهْو َن َعِن اْلُم ْنَك َو ُأول َك ُه ُم‬
‫اْلُم ْف ِلُح ون‬

Terjemahannya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat


yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntun”. (QS. Ali
Imran: 104)

Menurut tafsir Al-Mishbah ayat diatas menceritakan bahwa kalaulah tidak


semua anggota masyarakat dapat melaksanankan fungsi dakwah, Maka
hendaklah ada di antara kamu wahai orang-orang yang beriman segologan
umat, yakni kelompok yang pendangannya mengarah kepadanya untuk
diteladani dan didengar nasihatnya yang mengajak orang lain secara terus
menerus tanpa bosan dan lelah kepada kebajikan, yakni petunjuk-petunjuk
Ilahi, menyuruh masyarakat kepada yang ma‟ruf, yakni nilai-nilai luhur serta
adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakat mereka, selama hal itu tidak
bertentangan dengan nilai-nilai ilahiyah dan mencegah mereka dari yang
munkar; yakni yang dinilai buruk lagi diingkari oleh akal sehat masyarakat.
Mereka yang mengindahkan tuntunan ini dan yang sungguh tinggi lagi jauh
martabat kedudukannya itulah orang-orang yang beruntung, mendapatkan
apa yang mereka dambakan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dengan adanya kata minkum. Kata itu menunjukkan bahwa umat


Muhammad punya kewajipan untuk melaksanakan dakwah. Dalam, masalah
ini, paling kurang terdapat dua pendapat. Pertama, seandainya kata min yang
terdapat dalam ayat itu menunjukkan li al-tab‟idh (sebagian), maka berarti
tidak semua umat Muhammad wajib melaksanakan dakwah. Tetapi, kalau min
itu sebagai li al- bayan (penjelas) berarti semua umat Muhammad wajib
melaksanakan dakwah. Perbedaan itu sebenarnya bisa dikompromikan untuk
masalah-masalah yang lebih khusus dan memerlukan pemikiran, ketrampilan
dan kajian yang lebih mendalam serta tidak semua orang bisa memahami
masalah itu, maka kewajipan berdakwah dalam hal seperti ini memang hanya
untuk orang-orang tertentu sahaja. Sedangkan terhadap masalah yang
mudah diketahui benar atau salahnya (hal-hal yang bersifat universal, seperti
membantu orang lemah itu baik, dan mencuri itu buruk), maka menyampaikan
dakwah dalam hal seperti itu, adalah kewajipan semua muslim.

Dalam al-Quran dan Sunnah, terdapat penjelasan tentang amar ma‟ruf


nahi munkar dan perintah terhadap mereka yang layak untuk membawa
bendera dakwah Islam. Merekalah yang mampu mengajarkan agama, baik
melalui tulisan, ceramah maupun pengajaran sehingga individu dan
masyarakat dapat memahaminya.

Penyataan ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyatakan sebagai


pengikut Nabi Muhammad hendaknya menjadi seorang da’i, dijalankan
sesuai dengan hujjah yang nyata dan kukuh. Dengan demikian wajib baginya
untuk mengetahui kandungan dakwah baik dari sisi akidah, syariah, maupun
dari akhlak.

Da’i juga harus tahu apa yang disajikan dakwah tentang Allah, alam
semesta, dan kehidupan, serta apa yang dihadirkan dakwah untuk
memberikan solusi, terhadap masalah yang dihadapi manusia, juga metode-
metode yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran dan perilaku
manusia tidak salah dan tidak melencong. Berkaitan dengan hal-hal yang
memerlukan ilmu dan ketrampilan khusus, memang kewajipan berdakwah
terpikul di pundak orang- orang tertentu. Hal ini sesuai dengan sabda
Rasulullah saw. “Ulama itu pewaris Nabi”. Firman Allah dalam Surah an-Nahl
(16): 43

‫ِّذ ِر ِإ‬ ‫ِح ِإ ِه‬ ‫ِم ِل ِإ ِر‬


‫َو َم ا َأْر َس ْلَنا ْن َقْب َك ال َج اال ُنو ي َلْي ْم َفاْس َأُلوا َأْه َل ال ْك ْن ُك ْنُتْم اَل َتْع َلُم‬
Terjemahannya ; dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-
orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada
orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Qs. An-
Nahl:43)

Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan M. Quraish Shihab ayat-ayat ini


menguraikan kesesatan pandangan kaum Musyrikin menyangkut kerasulan
Nabi Muhammad saw. Dalam penolakan itu, mereka selalu berkata bahwa
manusia tidak wajar menjadi utusan Allah, atau paling tidak dia harus
disertai oleh malaikat. Ayat ini menegaskan bahwa: Dan kami tidak mengutus
sebelum kamu kepada umat manusia kapan dan dimana pun, kecuali orang-
orang lelaki yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang kami beri wahyu
kepada mereka antara lain melalui malaikat jibril: maka wahai orang-orang
yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada ahl adz-Dzikr, yakni orang-
orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.

Orang yang menyampaikan pesan dakwah disebut dengan da’i. Yang


dimaksudkan dengan da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik
secara lisan, tulisan, ataupun perbuatan, baik sebagai individu, kelompok, atau
berbentuk organisasi atau kelompok. Allah swt berfirman kepada Nabi
Muhammad untuk memberitahu bahwa baginda diutuskan untuk menjadi da’i
yakni penyeru kepada agama-Nya. Allah berfirman:

(‫) َو َد اِعًي ا ِإىَل الَّلِه ِبِإْذِنِه َو ِس َر اًج ا ُم ِن ًريا‬45( ‫َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب ِإَّنا َأْر َس ْلَناَك َش اِه ًد ا َو ُمَبِّش ًر ا َو َنِذ يًر ا‬

)46

Terjemahannya: “Hai Nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi


saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang
menerangi.(Qs. Al-Ahzab: 45-46)

M.Quraish Shihab mentafsirkan ayat diatas ini menegaskan bahwa, Hai


Nabi Muhammad sesungguhnya Kami mengutusmu kepada seluruh umat
manusia sebagai yakni untuk menjadi saksi kebenaran, dan pembawa berita
gembira bagi orang-orang beriman berupa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
dan pemberi peringatan kepada siapa pun yang enggan menerima tuntunan
Allah. Serta disamping itu, engkau juga menjadi penyeru kepada agama Allah
dengan izin- Nya sehingga dengan restu dan izin-Nya itu ringanlah beban
tugas ini atas dirimu dan juga engkau merupakan cahaya yang menerangi
jalan manusia yang diliputi oleh kegelapan syirik dan kedurhakaan.

Kata da’i secara umum sering disebut dengan sebutan mubaligh (orang
yang menyempurnakan ajaran Islam) namun sebenarnya sebutan ini
konotasinya sangat sempit kerana masyarakat umum cenderung mengartikan
sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti ceramah
agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya.

Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para pakar dalam


bidang dakwah yaitu:

1. Hasyimi, juru dakwah adalah penasihat, para pemimpin dan pemberi ingat,
yang memberi nasihat dengan baik yang mengarah dan berkhotbah, yang
memusatkan jiwa dan raganya dalam wa‟at dan wa‟id (berita gembira dan
berita siksa) dan dalam membicarakan tentang kampong akhirat untuk
melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia.
2. Nasaraddin Lathief mendefinasikan bahwa da’i itu ialah Muslim dan
Muslimat yang menjadikan dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi
tugas ulama. Ahli dakwah ialah wa‟ad, mubaligh mustamin (juru penerang)
yang menyeru mengajak dan memberi pengajaran dan pelajaran agama
Islam.
3. M.Natsir,pembawa dakwah merupakan orang yang memperingatkan atau
memanggilsupaya memilih, yaitu memilih jalan yang membawa pada
keuntungan.
Namun pada dasarnya semua peribadi Muslim itu berperan secara
otomatis sebagai mubaligh atau orang yang menyampaikan atau dalam
bahasa komunikasi dikenal sebagai komunikator. Untuk itu komunikasi dakwah
berperan sebagai da’i atau mubaligh ialah;

1. Secara umum adalah setiap Muslim atau Muslimat yang mukallaf


(dewasa) dimana mereka kewajipan dakwah merupakan suatu yang
melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai
dengan perintah; “sampaikanlah walaupun satu ayat
2. Secara khusu adalah mereka yang mengambil spesialisasi khusus
(mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal panggilan dengan
ulama.
B. Tugas dan Tanggung jawab Da’i
Seorang da’i harus mengetahui bahwa dirinya seorang da’i. Artinya,
sebelum menjadi da’i, ia perlu mengetahui apa tugas da’i. Tugas seorang da’i
identik dengan tugas rasul. Semua rasul adalah anutan para da’i, telebih lagi
Nabi Muhammad saw, Sebagai rasul yang paling agaung. Firman Allah swt:

)46( ‫) َو َداِعًيا ِإىَل الَّلِه ِبِإْذ ِنِه َو ِس َراًج ا ُم ِنًريا‬45( ‫َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب ِإَّنا َأْرَس ْلَناَك َش اِه ًد ا َوُمَبِّش ًرا َو َنِذ يًرا‬
Terjemahannya: “Hai Nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi saksi,
dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi penyeru
kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi”.
(QS. Al-Ahzab: 45-46)
Ayat diatas menurut tafsir Al-Mishbah memberitahu bahwa, Hai Nabi
Muhammad sesungguhnya Kami mengutusmu kepada seluruh umat
manusia sebagai yakni untuk menjadi saksi kebenaran, dan pembawa berita
gembira bagi orang-orang beriman berupa kebahagiaan duniawi dan ukhrawi
dan pemberi peringatan kepada siapa pun yang enggan menerima tuntunan
Allah. Serta disamping itu, engkau juga menjadi penyeru kepada agama Allah
dengan izin- Nya sehingga dengan restu dan izin-Nya itu ringanlah beban
tugas ini atas dirimu dan juga engkau merupakan cahaya yang menerangi
jalan manusia yang diliputi oleh kegelapan syirik dan kedurhakaan.
Sayyid Quthub menghubungkan ayat ini dengan ayat yang lalu dengan
memahami ayat yang lalu sebagai keterangan tentang Allah yang harus
disucikan dan diingat, sedang ayat di atas adalah penjelasan tentang Nabi
Muhammad saw. Ulama ini menulis bahwa: “Itulah Tuhan yang menetapkan
syariat dan memilihkannya buat mereka. Siapakah yang enggan menerima
pilihan itu? Adapun Nabi yang menyampaikan kepada mereka pilihan Allah itu,
serta menerapkan dengan sunnah amaliahnya apa yang dipilih dan
disyariatkan Allah itu, maka disini (ayat 45-46) dijelaskan siapa dia sambil
menjelaskan fungsi, keutamaan serta jasa-jasanya terhadap orang-orang
mukmin.” Demikian lebih ditulis sayyid Quthub.
Allah berfirman:
‫ِك‬ ‫ِم‬ ‫ِت ِه‬
‫َوال َيُصُّدَّنَك َعْن آَيا الَّل َبْع َد ِإْذ ُأنزَلْت ِإَلْيَك َواْدُع ِإىَل َرِّبَك َوال َتُك وَنَّن َن اْلُم ْش ِر َني‬
Terjemahannya: “Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu,
dan Serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali
kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”. (QS. Al-
Qashash: 87)
Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan M.Quraish Shihab ayat di atas
mengingatkan berhubung karena masih banyak dan kuatnya orang-orang kafir
ketika turunnya ayat ini bahwa janganlah sekali-kali mereka dapat
menghalangimu dari tugas menyampaikan dan mengamalkan ayat-ayat Allah,
sesudah ia yakni ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka
dengan sekuat kemampuanmu menuju jalan Tuhanmu, yakni lanjutkan seruan
yang telah engkau lakukan selama ini, jangan bosan berdakwah kendati
mereka enggan mendengar atau menghalag-halangi, dan janganlah sekali-kali
dalam keadaan apapun engkau diam tidak menegur kedurhakaan yang
mengandung kemusyrikan, apalagi merestuinya dan jangan juga menjadi
penolong mereka dalam kemusyrikan karena jika demikian engkau termasuk
orang-orang musyrik yang mempersekutukan Tuhan. Dan jangan juga engkau
menyembah bersama dengan penyembahanmu kepada Allah, Tuhan apapun
yang lain, apa dan siapa pun yang dianggap Tuhan itu, karena sebenarnya
tidak ada Tuhan pengendali dan penguasa seluruh alam lagi berhak disembah
melainkan Dia Yang Maha Esa lagi Maha kekal itu. Tiap-tiap sesuatu pasti
akan binasa dan fana‟, kecuali wajah-Nya, yakni kecuali Allah swt. Bagi-Nya
sendiri tanpa campur tangan siapa dan apapun, segala penentuan, dalam
kehidupan dunia dan akhirat, dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.

Tidak dapat disangkal bahwa perintah-perintah diatas-walau redaksinya


ditujukan kepada NabiMuhammadsaw ,tetapi maksudnya tidak mungkin tertuju
kepada baginda. Ia tertuju kepada kaum muslimin.

Allah berfirman:

‫ِم‬ ‫ِك‬ ‫ِم‬ ‫ِك‬ ‫ِذ‬


‫َواَّل يَن آَتْيَناُه ُم اْل َتاَب َيْف َرُح وَن َمِبا ُأنزَل ِإَلْيَك َو َن األْحَزاِب َمْن ُيْن ُر َبْع َض ُه ُقْل ِإَمَّنا ُأ ْرُت‬
‫َأْن َأْع َد الَّلَه ال ُأْش ِرَك ِبِه ِإَلْيِه َأْد ُعو ِإَلْيِه آِب‬
‫َو َم‬ ‫َو‬ ‫ُب‬

Terjemahannya: “Orang-orang yang Telah kami berikan Kitab kepada mereka


bergembira dengan Kitab yang diturunkan kepadamu, dan di antara golongan-
golongan (Yahudi dan Nasrani) yang bersekutu, ada yang mengingkari
sebahagiannya. Katakanlah "Sesungguhnya Aku Hanya diperintah untuk
menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatupun dengan Dia.
Hanya kepada-Nya Aku seru (manusia) dan Hanya kepada- Nya Aku kembali”.
(QS. Ar-Rad: 36)
Surah Ar.Rad ayat 36 ini menceritakan bahwa Orang-orang kafir menolak
ajakan Nabi Muhammad saw sehingga mereka wajar mendapat siksa neraka,
dan adapun orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka al-Kitab,
yang tidak mengingkari ar-Rahman tidak juga mendustakan wahyu-wahyu-Nya
atau ustusan- Nya, maka mereka itu bergembira dengan apa, yakni kitab suci
yang diturunkan kepadamu wahai Muhammad, dan di antara golongan-
golongan musyrik, Yahudi dan Nasrani yang bersekutu dan bekerja sama
dalam upaya memadamkan ajaran Ilahi, ada yang mengingkari sebagiannya,
yakni sebagian dari kandungan al-Quran yaitu hal-hal yang tidak sejalan
dengan keyakinan mereka, seperti keesaan Allah, atau keNabian Muhammad
saw. Mereka itu mengusulkan perubahan-perubahan kandungan Al-Quran.
Katakan“sesungguhnya aku hanya diperintahkan secara tegas dan pasti untuk
menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak mempersekutukan sesuatu
pun dengan-Nya. Hanya kepada-Nya saja aku berdakwah menyeru manusia
kepad kebenaran dan hanya kepada-Nya aku kembali yakni bertubat jika aku
melakukan sesuatu yang kurang tepat”.
Dalam dakwah, tugas umat Islam juga sama dengan rasul. Ayat-ayat yang
memerintahkan Nabi agar berdakwah, maksudnya bukan saja ditujukan
kepada Nabi, melainkan juga umat Islam. Karena pengertian khitab (tugas)
Allah kepada Rasul-Nya juga berarti tugas Allah bagi umat manusia, kecuali
ada sesuatu yang dikhususkan untuk Rasul. Adapun perintah Allah kepada
umat Islam untuk berdakwah tidaklah termasuk pengecualian.
Pada bagian lain, Allah menggambarkan tugas utama dalam berdakwah
sebagai ila sabbili rabbika, sebagaimana firman-Nya:
‫ِإ‬ ‫ِة ِد ِب َّل ِه‬ ‫ِب ِحْل ِة ِع ِة‬ ‫ِإ ِب‬
‫اْدُع ىَل َس يِل َرِّبَك ا ْك َم َواْلَمْو َظ اَحْلَس َن َوَج ا ُهْلْم ا يِت َي َأْح َسُن َّن َرَّبَك ُه َو َأْع َلُم‬
‫ِب ِد‬ ‫ِب ِلِه‬
‫َمِبْن َض َّل َعْن َس ي َوُه َو َأْع َلُم اْلُم ْه َت يَن‬
Terjemahannya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl: 125)
Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan M.Quraish Shihab ayat diatas
menerangkan berkenaan Nabi Muhammad saw yang diperintahkan untuk
mengikuti Nabi Ibrahim as. Sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu, kini
diperintahkan lagi untuk mengajak siapa pun agar mengikuti pula prinsip-
prinsip ajaran Bapak para nabi dan Pengumandang Tauhid itu. Ayat ini
menyatakan “ wahai Nabi Muhammad, serulah, yakni lanjutkan usahamu untuk
menyeru semua yang engkau sanggup seru kepada jalan yang ditunjukkan
Tuhanmu, yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan
bantahlah mereka, yaknin siapa pun yang menolak atau meragukan jalan
ajaran Islam dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah yang
hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia yang beraneka ragam
peringkat dan kecenderungannya. Jangan hiraukan cemuhan, atau tuduhan-
tuduhan tidak berdasar kaum musyrikin dan serahkan urusanmu dan urusan
mereka pada Allah, karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing
dan berbuat baik kepadamu. Dialah sediri yang lebih mengetahui dari siapa
pun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga tersesat
dari jalan-Nya dan Dialah saja juga yang lebih mengetahui orang-orang
yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.
Menyeru manusia kepada jalan Tuhan bukan jalan-jalan yang lain, sebab
hanya jalan Allah yang lurus. Jalan-jalan lain yang terbentang akan
memisahkan dan menyesatkan manusia. Dengan yang demikian seluruh da’i
atau aktivis dakwah dari masa kemasa hingga akhir zaman tiba, telah
disatukan oleh kesatuan tugas dan tujuan utama, yaitu mengajak manusia
kepada Allah dengan menyembah-Nya, tanpa mempersekutukan-Nya dengan
ilah-ilah yang lain
C. Keutamaan Da’i
Melalui dakwah yang dilakukan oleh da’i untuk memperjuangkan agama
ini, maka dengan izin Allah umat akan berhasil menggapai kejayaan,
keagungan, dan kepimpinan. Hal itu hanya bisa dicapai dengan keikhlasan,
keteguhan, kekuatan, keteladanan, dan kecerdasan mereka. Dengan semua
itu, Allah mengangkat panji kebenaran dan mewujudkan kebaikan sehingga
umat ini menjadi umat paling baik yang senantiasa memerintahkan kebajikan,
mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah. Allah swt berfirman:
‫ِلِم‬ ‫ِم‬ ‫ِه ِم‬
‫َوَمْن َأْح َسُن َقْوال َّمِمْن َدَعا ِإىَل الَّل َو َع َل َص اًحِلا َو َقاَل ِإَّنيِن َن اْلُمْس َني‬
Terjemahannya: Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang
menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata:
"Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS.
Fussilat: 33)
M.Quraish Shihab menafsirkan ayat diatas ini merupakan pujian bagi
mereka yang beriman, konsisten, lagi berupaya membimbing pihak lain agar
menjadi manusia-manusia muslim yang taat dan patuh kepada Allah. Ia juga
melukiskan sikap kaum beriman yang benar-benar bertolak belakang dengan
para pendurhaka yang melakukan aneka kegiatan untuk menghalangi orang
lain mendengar tutunan al-Quran. Dengan demikian ayat diatas bukanlah
lanjutan dari ucapan malaikat. Ayat di atas menyatakan, dan siapakah yang
lebih baik perkataannya daripada seorang yang menyeru kepada Allah agar
Yang Maha Kuasa itu selalu diesakan, disembah dan ditaati secara tulus, dan
dia menyampaikan seruannya itu dalam keadaan telah mengerjakan amal
yang saleh sehingga seruannya semakin mantap dan berkata kepada teman
dan lawan, yang taat dan durhaka bahwa “sesungguhnya aku termasuk
kelompok orang-orang yang berserah diri? Pastilah tidak ada yang lebih baik
dari orang ini. Dialah yang terbaik, dan dengan demikian dia tidak sama
dengan para pendurhaka dan memang tidaklah sama kebaikan dan
pelakunya dengan kejahatan dan pelakunya, dan tidak sama juga kejahatan
dan pelakunya dengan kebaikan dan pelakunya.
Ayat tersebut merupakan peringatan bagi para da’i, dan sekaligus
sanjungan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih baik perkataannya
daripada mereka, terutama para Rasul, kemudian pengikutnya, sesuai dengan
tingkatan mereka dalam dakwah, ilmu, dan keutamaan.
Bukankah merupakan kemuliaan bagimu jika kamu termasuk orang yang
berdakwah kepada Allah dan beramal saleh serta menyatakan bahwa kamu
termasuk orang-orang muslim? Tidakkah itu cukup bagimu sebagai suatu
kebahagiaan dan kemuliaan yang kamu rasakan, karena kamu telah
berdakwah kepada ke jalan Rabb-mu? Sesungguhnya dakwah itu tidak
dilakukan kecuali dengan izin Allah swt. Allah berfirman:

)46( ‫) َو َداِعًيا ِإىَل الَّلِه ِبِإْذ ِنِه َو ِس َراًج ا ُم ِنًريا‬45( ‫َيا َأُّيَه ا الَّنُّيِب ِإَّنا َأْرَس ْلَناَك َش اِه ًد ا َوُمَبِّش ًرا َو َنِذ يًرا‬
Terjemahannnya: “ Hai nabi, Sesungguhnya kami mengutusmu untuk jadi
saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan, Dan untuk jadi
penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang
menerangi. (QS. Al-Ahzab: 45-46)
Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan M.Quraish Shihab Ayat diatas
menegaskan bahwa, Hai Nabi Muhammad sesungguhnya Kami mengutusmu
kepada seluruh umat manusia sebagai yakni untuk menjadi saksi kebenaran,
dan pembawa berita gembira bagi orang-orang beriman berupa kebahagiaan
duniawi dan ukhrawi dan pemberi peringatan kepada siapa pun yang enggan
menerima tuntunan Allah. Serta disamping itu, engkau juga menjadi penyeru
kepada agama Allah dengan izin-Nya sehingga dengan restu dan izin-Nya itu
ringanlah beban tugas ini atas dirimu dan juga engkau merupakan cahaya
yang menerangi jalan manusia yang diliputi oleh kegelapan syirik dan
kedurhakaan.
Bagaimana mungkin seorang da’i itu tidak bergembira dan merasa
memperoleh karunia Allah? Bukankah Allah swt telah berfirman:

‫ُقْل ِبَفْض ِل الَّلِه َو ِبَرَمْحِتِه َفِبَذ ِلَك َفْلَيْف َرُح وا ُه َو َخ ْيٌر َّمِما ْجَيَم ُعوَن‬
Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu
mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari
apa yang mereka kumpulkan". (QS. Yunus: 58)
Ayat diatas menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan
menghimbau semua manusia agar menyambut kitab suci dengan suka cita.
Katakanlah, wahai Muhammad, kepada seluruh manusia, “hendaklah
mereka bergembira dengan karunia Allah yakni al-Quran dan dengan
rahmat-Nya yakni tuntunan Islam. Kalau mereka bergembira tentang sesuatu
maka hendaklah disebabkan oleh karunia yang sangat tinggi kedudukannya
itu saja hendaknya mereka bergembira. Ia yakni karunia Allah swt dan rahmat-
Nya itu lebih baik daripada apa yang mereka, yakni kaum musyrikin itu terus-
menerus kumpulkan dari gemerlapan duniawi dan kenikmatannya.
Tidak cukup dengan ini, Rasulullah juga membawa khabar gembira kepada
orang yang menyebarkan dakwah. Rasulullah saw bersabda:
“Barang siapa menunjukkan kepada kebaikan, ia berhak memperoleh pahala
sebagaimana pahala orang yang melakukannya”. (HR. Muslim No 1893)
Ini merupakan nikmat yang besar, kedudukan yang mulia, dan kebaikan
merata, karena engkau telah diciptakan untuk kebaikan dan kebaikan
diciptakan untukmu, dan Allah telah menakdirkan kebaikan itu ada di
tanganmu. Adalah keberuntungan bagimu karena engkau mendengar
Rasulullah bersabda:
“sesungguhnya Allah, Malaikat-Nya, serta penduduk langit dan bumi, hingga
semut yang ada di dalam lubangnya dan ikan-ikan yang ada di laut,
(semuanya) berselawat atas orang yang mengejarkan kebaikan kepada
manusia.” (HR. Tirmidzi)

D. Tantangan Seorang Da’i


Di samping menyadari akan kedudukan dan fungsi yang tinggi dari
pendukung da‟wah, baiklah seorang da’i menyadari, bahwa di mana dan di
zaman manapun dia melakukan pekerjaan dakwah itu, tidak pernah ia akan
sunyi daripada ujian dan cobaan yang harus ditempuhnya. Baik dalam arti
lahir ataupun batin, atau kedua-duanya. Banyak peringatan Allah kepada para
Rasul, Nabi dan pembawa dakwah yang mengingatkan mereka bahwa mereka
akan berjumpa bermacam macam tantangan dalam menyebarkan agama
Allah. Antara firman Allah swt ialah:

‫َفاْص ْرِب َك َم ا َص َبَر ُأوُلو اْلَعْزِم ِم َن الُّرُس ِل َوال َتْس َتْع ِج ْل ُهَلْم َك َأَّنُه ْم َيْوَم َيَرْو َن َم ا ُيوَعُد وَن ْمَل َيْلَبُثوا ِإال‬

‫َس اَعًة ِم ْن َنَه اٍر َبالٌغ َفَه ْل ُيْه َلُك ِإال اْلَق ْوُم اْلَف اِس ُقوَن‬

Terjemahannnya:“Maka Bersabarlah kamu seperti orang-orang yang


mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul Telah bersabar dan janganlah
kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat
azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di
dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang
cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik. (QS. Al-
Ahqaaf: 35)
Menurut Tafsir Al-Mishbah tulisan ayat diatas memberitahu berkenaan
segala sesuatu akan diperhitungkan dan diberi balasan oleh Allah, maka tabah
dan bersabarlah wahai Nabi Muhammad menghadapi ulah dan kedurhakaan
orang kafir, sebagaimana telah bersabar lagi tabah Ulul „Azmi yakni mereka
yang memiliki keteguhan hati dan ketabahan dalam menghadapi kesulitan
serta tekad yang membaja utuk mewujudkan kebaikan dari yakni sebagian
dari atau yaitu para rasul, dan janganlah engkau meminta disegerakan siksa
bagi mereka dengan jalan melakukan sesuatu yang menimbulkan antipati
karena siksa itu pasti akan menimpa juga, betapa pun lamanya mereka
durhaka. Pada hari mereka melihat siksa yang diancamkan kepada mereka,
yaitu menjelang kematian atau pada hari kiamat, merasa seolah-olah mereka
tidak tinggal di dunia ini melainkan sesaat pada siang hari saja. Apa yang
Kami nasihatkan ini adalah suatau pelajaran yang sangat luhur dan berharga
serta cukup untuk bekal hidup maka tidaklah dibinasakan pada masa lalu dan
masa datang melainkan kaum yang fasik yang keluar dari koridor ajaran
agama serta telah mendarah daging kedurhakaannya- seperti orang-orang
yang dibicarakan disini.

Sabar adalah keberhasilan menahan gejolak nafsu untuk meraih yang baik
atau lebih baik. Ia adalah pelaksanaan tuntunan Allah secara konsisten
tanpa meronta atau mengeluh. Adapun yang belum mencapai tingkat
kebajikan itu, maka diharapkan dapat peroleh petunjuk melalui Nabi
Muhammad saw.

Pesanan Luqman al-Hakim kepada anaknya:

‫َلى ا َأ ا ِإَّن ِل ِم ِم‬ ‫ِف‬ ‫ِق‬


‫َي ا ُبَّيَن َأ ِم الَّص الَة َوْأُم ْر ِب اْلَم ْع ُرو َواْن َه َعِن اْلُم ْنَك ِر َواْص ْرِب َع َم َص َبَك َذ َك ْن َع ْز‬
‫األُموِر‬

Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu
termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqman: 17)
M.Quraish Shihab menafsirkan ayat ini memberitahu berkenaan lanjutan
nasihat Luqman as kepada anaknya. Luqman as melanjutkan nasihatnya
kepada anaknya nasihat yang dapat menjamin kesinambungan Tauhid serta
kehadiran Ilahi dalam kalbu sanag anak. Beliau berkata sambil tetap
memanggilnya dengan panggilan mesra: Wahai anakku sayang,
laksanakanlah shalat dengan sempurna syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya.
Dan disamping engkau memperhatikan dirimu dan membentenginya dari
kekejian dan kemungkaran, anjurkan pula orang lain berlaku serupa. Karena
itu, perintahkanlah secara baik-baik siapa pun yang mampu egkau ajak
mengerjakan yang ma‟ruf dan cegahlah mereka dri kemugkaran.
Memang, engkau akan mengalami banyak tantangan dan rintangan dalam
melaksanakan tuntunan Allahm karena itu tabah dan bersabarlah terhadap
apa yang meimpamu dalam melaksanakan aneka tugasmu. Sesungguhnya
yang demikian itu sangat tinggi kedudukannya dan jauh tingkatnya dalam
kebaikan yakni shalat, amr ma‟ruf dan nahi munkar atau kesabaran termasuk
hal-hal yang diperintah Allah agar diutamakan, sehingga tidak ada alasan
untuk mengabaikannya.

Nasihat Luqman di atas menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan amal-


amal shaleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebjikan yang
tercermin dalam amr ma‟ruf dan nahi mungkar, juga nasiat berupa perisai
yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah.

Menyuruh mengerjakan ma‟ruf, mengandung pesan untuk


mengerjakannya, karena tidak wajar menyuruh sebelum diri sendiri
mengerjakannya. Demikian juga melarang kemungkaran, menuntut agar yang
melarang terlebih dahulu mencegah dirinya. Itu agaknya yang menjadi sebab
mengapa Luqman tidak memerintahkan, menyuruh dan mencegah. Di sisi lain
membiasakan anak melaksanakan tuntunan ini menimbulkan dalam dirinya
jiwa kepimpinan serta kepedulian sosial.

Ayat ini secara tidak langsung menerangkan bahwa satu kali da’i masuk
kedalam masyarakat manusia, mengajak ummat kepada jalan yang benar dan
melarang menempuh jalan yang salah, pasti da’i akan berhadapan
dengan bermacam rintangan, halangan dan cobaan. Maka da’i harus
mempersiapkan diri untuk teguh menghadapi ujian.

Menurut buku Paradigma dakwah Sayyid Quthub yang ditulis oleh Dr. A.
Ilyas Ismail, MA., beliau mengatakan bahwa Sayyid Quthub mengatakan,
secara umum ada enam bentuk tantangan yang biasa dihadapi para da’i dan
pejuang Islam. Enam bentuk ujian itu ialah:

1. Ancaman dan siksaan fisik dari para pendukung kejahatan

Dalam menghadapi ancaman ini, da’i biasanya berjuang sendiri, tidak ada
orang lain yang membantunya. Ia sendiri tak dapat mencegahnya dan tidak
ada kekuatan dapat digunakan untuk melawan kesewenang-wenangan ini.
Ujian dalam bentuk yang pertama ini merupakan ujian yang paling umum dan
inilah ujian pertama kali terbayang dalam hati bilamana disebut “fitnah”.

2. Ujian dari keluarga dan orang-orang terdekat

Pihak keluarga bisa mendapat musibah atau kesulitan karena sang da’i.
Menurut kelazimannya, pihak keluarga akan meminta sang da’i melakukan
berbagai kompromi dengan pihak yang memusuhi atau kalau perlu berhenti
berdakwah demi keselamatan dan keamanan keluarga. Menurut Sayyid
Quthub, bentuk ujian seperti ini sering terjadi, terutama dengan pihak orang
tua, misalnya kasus yang menimpa sahabat Nabi, Sa‟ad Ibn Abi Waqqash.

3. Ujian kekayaan dan kemewahan duniawi

Para pendukung kejahatan, musuh-musuh da,i justru merupakan orang-


orang yang memiliki kekayaan yang berlimpah-limpah. Masyarakat
memandang mereka sebagai orang-orang yang berhasil dan sukses. Mereka
mendapat pujian dan acungan jempol dari masyarakat. Mereka sangat
dihormati dan berpengaruh. Kehidupan mereka sangat lancar tanpa ada
banyak hambatan. Sebaliknya, sang da’i tidak memiliki apa-apa dan sama
sekali kurang diperhitungkan. Ia berjuang sendiri, tidak ada orang lain
membelanya dan tidak ada yang memberi apreasiasi terhadap nilai kebenaran
yang ia bawa kecuali segelintir orang dari mereka yang seperjuangan, yaitu
orang-orang yang tidak memiliki apa-apa dalam urusan dunia.

4. Ujian keterasingan

Seorang da,i pasti merasa terasing ketika ia melihat lingkungan dan orang-
orang disekitarnya tenggelam dalam gelombang kesesatan yang amat dalam.
Dia menjadi gelisah dan bingung sendiri, menjadi orang asing di tengah-
tengah lingkungannya sendiri.

5. Ujian modernisme

Ujian ini tampak jelas pada masa kita sekarang ini. Di satu pihak, orang
mukmin melihat umat dan bangsa-bangsa lain tenggelam dalam kehinaan.
Namun di lain pihak, kehidupan sosial mereka tampak maju dan berbudaya.
Dalam kehidupan mereka ada penghargaan dan perlindungan yang tinggi
terhadap hak- hak asasi manusia. Mereka juga kaya dan kuat, namun mereka
melawan dan memerangi agama atau Tuhan.

6. Ujian dan godaan nafsu

Ini merupakan ujian paling besar dan paling berat, melebihi ujian-ujian
yang lain. Godaan nafsu dapat berwujud konsumerisme, kecintaan yang
berlebihan pada kesenangan dan kenikmatan. Godaan nafsu dapat pula
berupa kesulitan membangun sikap hidup istiqamah dijalan iman, ditambah
lagi kecenderungan lain yang menghambat baik dalam diri sendiri, orang lain,
lingkungan maupun dalam pemikiran dan gagasan. Ujian ini sungguh berat
dan tidak banyak orang yang dapat bertahan dengan ujian ini kecuali sedikit
orang yang mendapat perlindungan dari Allah swt.

E. Bekal Seorang Da’i


Bekal yang perlu disiapkan seorang da’I (juru dakwah) dalam berdakwah
adalah sebagai berikut.

1. Memiliki ilmu dan mengamalkan


Perlu diketahui, bahwa sebelum berdakwah, seseorang harus memiliki
ilmu dan mengamalkan ilmu tersebut. Demikianlah keadaan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam; di mana Beliau diutus Allah di atas hudaa (ilmu)
dan diinul haq (amal saleh), Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

‫ُه َو اَّلِذي َأْرَس َل َرُس وَلُه ِباُهْلَد ى َو ِد يِن اَحْلِّق ِلُيْظِه َرُه َعَلى الِّديِن ُك ِّلِه َو َلْو َك ِرَه اْلُم ْش ِرُك وَن‬

Terjemahannya: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa


petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas segala
agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (QS. Ash Shaff: 9)

Mendahulukan ilmu kemudian amal adalah manhaj (jalan yang ditempuh) oleh
para nabi dalam berdakwah, Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

Terjemahnnya: “Katakanlah, "Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang


yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.
Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik." (QS.
Yusuf: 108)

Bashirah atau hujjah yang nyata di sini adalah ilmu yang yakin; yang tidak
disusupi syubhat dan keraguan, ilmu ini tegak di atas dalil naqli (Al Qur’an dan
As Sunnah). Oleh karena itu, hendaknya seorang da’i benar-benar paham dan
yakin dengan ilmu yang diketahuinya serta mengamalkannya.

Di antara ulama ada yang menafsirkan bashirah di ayat tersebut dengan


memiliki ilmu terhadap tiga perkara:

1. Memiliki ilmu terhadap dakwah yang diserukannya.

Oleh karena itu, seorang da'i tidak berbicara kecuali jika diketahuinya bahwa
hal itu benar, atau menurut perkiraannya yang kuat bahwa seruannya benar,
jika memang yang diserukan itu masih dalam perkiraan. Adapun jika ia
berdakwah di atas kejahilan, maka kerusakan yang diakibatkan masih jauh
lebih besar daripada perbaikan yang dilakukannya.

2. Mengetahui kondisi mad'u (orang yang didakwahi).

3. Mengetahui uslub (cara) berdakwah.

Mengetahui kondisi mad'u dimaksudkan agar para da'i dapat memposisikan


manusia pada tempatnya. Tidak mungkin seorang da'i menyamaratakan
antara berdakwah kepada orang yang masih awam sama sekali dengan yang
sudah mengetahui, namun tetap berpaling. Oleh karena itu, Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

‫َوال َجُتاِد ُلوا َأْه َل اْلِكَتاِب ِإال ِباَّليِت ِه َي َأْح َسُن ِإال اَّلِذ يَن َظَلُم وا ِم ْنُه ْم َو ُقوُلوا آَم َّنا ِباَّلِذي ُأنزَل ِإَلْيَن ا‬

‫َوُأنزَل ِإَلْيُك ْم َو ِإُهَلَنا َو ِإُهَلُك ْم َواِح ٌد َوْحَنُن َلُه ُمْس ِلُم وَن‬

Terjemahannya:"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab melainkan


dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara
mereka, dan katakanlah, "Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang
diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan
Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri." (QS. Al
'Ankabut: 46)

Terhadap orang-orang yang zalim, maka kita tidak membantah dengan


cara sama dengan yang lain, bahkan membantah mereka dengan cara yang
layak bagi mereka.

Demikian juga seorang da'i harus mengetauhui uslub (cara) berdakwah.


Apakah dalam berdakwah ia menampakkan kekerasan dan kemarahan serta
mengkritik langsung aliran yang mereka ikuti ataukah dalam berdakwah
kepada manusia ia menampakkan kelembutan serta menghias seruannya
agar mereka mau menyambutnya tanpa perlu menyudutkan langsung aliran
mereka? Perhatikanlah firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala kepada Nabi-
Nya dan sekaligus kepada hamba-hamba-Nya,"Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti
akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan."QS. Al
An'am: 108)

Kita semua mengetahui, bahwa memaki sesembahan kaum musyrik


adalah perkara yang diperintahkan, karena memang penyembahan kepada
mereka adalah hal yang batil, sebagaimana firman Allah Ta'ala, "Yang
demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang haq
dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain dari Allah, itulah yang
batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar." (QS.
Al Haj: 62)

Memaki hal yang batil dan menerangkan kebatilannya di tengah-tengah


manusia adalah perkara yang diperintahkan. Akan tetapi, apabila yang
demikian dapat menimbulkan mafsadat yang lebih besar, padahal masih ada
cara lain untuk menyingkirkan kebatilan itu maka memaki sesembahan
tersebut dilarang.

Berdasarkan hal ini, apabila seorang da'i melihat orang lain berada di atas
kebatilan, namun orang itu menyangka dirinya benar, maka bukan termasuk
cara dakwah yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya mengkritik langsung apa
yang dipegangnya itu, karena yang demikian dapat membuatnya menjauh,
bahkan terkadang membuatnya mengkritik kebenaran yang ada pada da'i
tersebut.Cara yang benar adalah menerangkan kebenaran dan
menjelaskannya, karena kebanyakan manusia–terutama kaum muqallid
(yangikut-ikutan)-tertimpa kesamaran terhadap kebenaran disebabkan hawa
nafsu yang dominan dan taqlid (ikut-ikutan). Kita yakin, bahwa kebenaran
akan diterima oleh fitrah yang masih selamat, dan lambat laun kebenaran ini
akan mewarnai pikirannya dan membekas di hatinya. Kita tidak mengatakan
bahwa pengaruhnya segera, karena merubah hati manusia tidak semudah
membalikan tangan, bahkan biasanya pengaruhnya akan tampak setelah
beberapa lama.
Di samping hal di atas, seorang da'i harus sudah mengamalkan ilmunya.
Janganlah ia seperti lilin yang menerangi sekitarnya namun dirinya habis
terbakar. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

“Perumpamaan orang yang mengajar kebaikan kepada manusia, namun ia


melupakan dirinya sendiri adalah seperti sebuah sumbu, ia menerangi
manusia sedangkan dirinya sendiri terbakar.” (HR. Thabrani dari Abu Barzah
dan Jundab, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no.
5837)

2. Ikhlas

Seorang da'i hendaknya Ikhlas dalam berdakwah, tidak ada unsur riya’,
mencari popularitas, martabat, jabatan, kekuasaan, harta dan segala ambisi
dunia lainnya. Demikian pula tidak berdakwah kepada dirinya dan untuk
membesarkan dirinya. Perhatikanlah kata-kata para nabi,

“Wahai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini. Upahku
tidak lain hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Maka tidakkah kamu
memikirkan(nya)?" (QS. Huud: 51)

Ini salah satu bukti keikhlasan mereka, dimana perhatian mereka tertuju
kepada keridhaan Allah dan pahala-Nya. Ingatlah selalu bahwa orang yang
tidak ikhlas itu ibarat seorang musafir yang berbekal dengan mengumpulkan
pasir, di mana apa yang dikumpulkannya tidak bernilai apa-apa dan menjadi
sia-sia.

3. Bersabar

Dalam berdakwah hendaknya seorang da’i bersabar ketika menghadapi


rintangan dan tantangan. Karena sejak dahulu, dakwah itu tidak berjalan
mulus begitu saja, tetapi penuh hambatan dan rintangan, maka hadapilah
tantangan dan rintangan itu dengan kesabaran. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman,
‫ِم ِلَك َف وا َلى ا ُك ِّذ وا ُأوُذوا ىَّت َأَتا َن َنا اَل ِّد َل ِلَك ِل اِت‬
‫َم‬ ‫َو َلَقْد ُك ِّذ َبْت ُرُس ٌل ْن َقْب َص َبُر َع َم ُب َو َح ُه ْم ْص ُر َو ُمَب‬
‫ِل‬ ‫ِم‬ ‫ِه‬
‫الَّل َو َلَقْد َج اَءَك ْن َنَبِإ اْلُمْرَس َني‬

Terjemahannya: “Dan Sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul


sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan
penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan
Allah kepada mereka.” (QS. Al An’aam: 34)

Lihatlah para nabi, mereka dihina, dicaci-maki, diberi gelar dengan gelaran
yang buruk, diancam akan dibunuh atau diusir dan lain-lain, tetapi mereka
bersabar dan tidak lekas marah.

Perhatikanlah keadaan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.


Sebelum Beliau diutus, Beliau dikenal di kalangan orang-orang Quraisy
sebagai orang yang jujur lagi terpercaya, namun setelah Beliau diangkat
menjadi rasul, Beliau dikatakan pendusta, pesihir, penyair, dukun, orang gila
dan sebutan-sebutan buruk lainnya. Begitulah seorang da'i, ia akan
mengalami rintangan dan gangguan baik dengan lisan maupun perbuatan.
Namun semua rintangan itu akan luluh oleh kesabaran yang dimilikinya.

Ketahuilah, semakin besar gangguan yang menimpa da’i, maka semakin


dekat pertolongan Allah. Ketahuilah, pertolongan Allah tidak mesti pada masa
hidup seorang da’i, bahkan pertolongan Allah bisa diberikan kepada da’i
setelah wafatnya, yakni dengan dijadikan-Nya hati-hati manusia menerima
dakwahnya.

Tempuhlah jalan para nabi, mereka menghadapi tantangan, rintangan dan


gangguan dengan kesabaran dan tidak membalas keburukan orang itu, tetapi
membalasnya dengan kebaikan, mereka pun tidak marah karena dirinya
disakiti, tetapi marah jika larangan Allah yang dilanggar. Ingatlah baik-baik
firman Allah Ta'ala, “Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan,
sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diutamakan.” (QS.Asy Syuuraa: 43)
Untuk mencapai kesabaran, hendaknya seorang da’i meminta pertolongan
kepada Allah, karena Allah-lah yang memberikan kesabaran dan
membantunya untuk bersabar. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

Terjemahannya: “Bersabarlah dan tidak ada kesabaranmu itu melainkan


dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
(penolakan) mereka serta janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang
mereka tipu dayakan. (QS. An Nahl: 127)
4. Tidak bosan
Seorang da’i pun hendaknya tidak bosan dalam berdakwah dan tetap
bersabar, karena dengan begitu ia akan mendapatkan pahala kesabaran dan
akan mendapatkan kesudahan yang baik. Allah Subhaanahu wa Ta'aala
berfirman:

‫ِتْلَك ِم ْن َأْنَباِء اْلَغْيِب ُنوِح يَه ا ِإَلْيَك َم ا ُك ْنَت َتْع َلُم َه ا َأْنَت َو ال َقْو ُمَك ِم ْن َقْبِل َه َذ ا َفاْص ْرِب ِإَّن‬

‫ِق ِل ِق‬
‫اْلَعا َبَة ْلُم َّت َني‬
Terjemahannya: “Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik
adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Hud: 49)
Perhatikanlah Nabi Nuh 'alaihis salam yang berdakwah selama 950 tahun.
Beliau berdakwah di siang dan malam tanpa bosan, dengan sembunyi-
sembunyi maupun terang-terangan, namun dakwah yang Beliau lakukan tidak
membuat kaumnya kembali, bahkan membuat mereka menjauh dan malah
menjauh. Setiap kali Beliau berdakwah, kaumnya sengaja menaruh jari-
jemarinya ke telinga dan menutup kepala dengan bajunya karena tidak suka
terhadap seruan Nabi Nuh 'alaihis salam (lihat Surat Nuh: 5-9). Namun Beliau
menghadapi semua itu dengan bersabar. Bayangkan selama 950 tahun
lamanya Beliau berdakwah; waktu yang tidak sebentar (lihat surat Al 'Ankabut:
14), tetapi Beliau tidak bosan
Jangan pula seorang da’i tidak bersabar sampai langsung mendoakan
keburukan kepada mad’unya (orang yang didakwahi). Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:
Terjemahannnya: “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang
mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah
kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. ”(QS.Al Ahqaaf: 35)
Ingatlah kewajiban da’i hanyalah menyampaikan. Allah Subhaanahu wa
Ta'aala berfirman:

Terjemahannya: “karena sesunggunya tugasmu hanya menyampaikan saja,


sedang kami lah yang menghisab amalan mereka.”(QS. Ar Ra’d: 40)
Da’i tidaklah dibebani agar orang-orang menerima hidayah, Allah-lah yang
memberi hidayah. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

Terjemahannya: “Dan kalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua


orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang- orang yang beriman semuanya?”
(QS. Yunus: 99)
5. Tidak berdakwah untuk kepentingan pribadinya
Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah dalam risalahnya "Ta'awunud du'aat"
berkata, "Kemudian seorang da'i tidak patut berdakwah untuk kepentingan
pribadinya, bahkan ia harus berdakwah kepada Allah, yakni ia tidak peduli baik
dirinya berhasil atau diterima perkataannya sewaktu hidupnya atau setelah
wafatnya, yang penting kebenaran yang diserukannya diterima di kalangan
manusia, baik sewaktu hidupnya atau setelah wafatnya. Memang, seorang
merasa gembira dan semangat ketika kebenaran yang diserukan diterima
sewaktu hidupnya. Akan tetapi, jika ditaqdirkan, Allah mengujinya untuk
mengetahui ia bersabar atau tidak, (misalnya) Allah mengujinya dengan tidak
diterima secara langsung atau tidak segera diterima, maka hendaknya ia
bersabar dan mengharap pahala terhadapnya. Selama dirinya mengetahui
berada di atas kebenaran, maka tetaplah di atasnya, dan ia akan memperoleh
kesudahan yang baik, berbeda dengan sebagian da'i yang ketika mendengar
perkataan yang menyakitkan atau disakiti dengan perbuatan yang
menyakitkan, ia kemudian mundur, ragu atau merasa syak terhadap
kebenaran yang dipegangnya. Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabi-Nya
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam:

Terjemahannya: "Jika kamu (Muhammad) berada dalam keragu-raguan


tentang apa yang Kami turunkan kepadamu, maka tanyakanlah kepada orang-
orang yang membaca kitab sebelum kamu. Sesungguhnya telah datang
kebenaran kepadamu dari Tuhanmu, karena itu janganlah sekali-kali kamu
temasuk orang-orang yang ragu-ragu." (Terj. QS. Yunus: 94)
Seorang da'i, apabila tidak mendapati penerimaan segera terkadang
mundur, ragu-ragu dan bimbang, apakah dirinya di atas kebenaran atau tidak
di atas kebenaran? Akan tetapi, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah
menerangkan yang hak, menjadikan untuk kebenaran tanda yang diketahui.
Oleh karena itu, jika anda mengetahui bahwa diri anda di atas kebenaran,
maka tetaplah (di atasnya), meskipun anda mendengarkan kata-kata miring
atau menyaksikan sesuatu yang tidak anda sukai. Bersabarlah! karena
sesungguhnya kesudahan yang baik akan didapatkan oleh orang-orang yang
bertakwa."
Di bagian akhir risalah tersebut, Beliau rahimahullah juga berkata,
"Termasuk adab para da'i yang mesti dilakukan adalah saling tolong-
menolong, yakni tolong-menolong antara sesama mereka. Jangan ada
keinginan salah seorang di antara mereka agar perkataannya diterima dan
didahulukan daripada yang lain. Bahkan seharusnya, yang menjadi harapan
para da'i adalah agar dakwah diterima, baik dakwah itu muncul darinya
maupun dari orang lain, selama anda menginginkan agar kalimat Allah
menjadi tegak, baik olehnya maupun oleh yang lain. Jika maksudnya seperti
ini, tentu yang lain akan saling bantu-membantu dalam dakwah ilallah,
meskipun manusia lebih menerima orang lain daripada dirinya. Yang wajib
bagi para da'i adalah sama-sama satu tangan, saling bahu- membahu, saling
bantu-membantu, saling bermusyawarah di antara mereka dan berangkat
bersama serta mereka bangkit karena Allah, baik dua orang, tiga orang
maupun empat orang."
Apabila kita melihat para penyeru keburukan dan kejahatan berkumpul dan
bersatu serta membuat rencana, mengapa para da'i tidak mengamalkan
seperti ini, sehingga satu sama lain saling menutupi kekurangan yang ada
pada yang lain, baik terkait dengan ilmu maupun sarana dakwah dan
sebagainya?!" Apabila kita melihat nash-nash Al Qur'an dan As Sunnah, tentu
kita akan mendapatkan bahwa Allah Ta'ala menyifati kaum mukmin dengan
sifat-sifat yang menunjukkan bahwa mereka selalu bersatu dan saling
membantu. Allah Ta'ala berfirman:

‫َو اْلُم ْؤ ِم ُنوَن َو اْلُم ْؤ ِم َناُت َبْع ُضُه ْم َأْو ِلَياُء َبْع ٍض َيْأُم وَن ِباْلَم ْع وِف َو َيْنَهْو َن َعِن اْلُم ْنَك ِر‬
‫ُر‬ ‫ُر‬
‫ِئ‬ ‫ِط‬ ‫ِق‬
‫َو ُي يُم وَن الَّص الَة َو ُيْؤ ُتوَن الَّز َك اَة َو ُي يُعوَن الَّلَه َو َرُس وَلُه ُأوَل َك َس َيْر ُمَحُه ُم الَّلُه ِإَّن الَّلَه َعِز يٌز‬
‫ِك‬
‫َح يٌم‬
Terjemahannya: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. At Taubah: 71)
6. Mengawali dari yang terpenting
Para da’i hendaknya mengawali dakwahnya dari yang terpenting.
Demikianlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau mengirimkan para
da’i ke beberapa tempat agar mereka memulai dari yang terpenting; Beliau
menyuruh da’i yang Beliau kirim agar mengajak mereka mentauhidkan Allah,
mengajak mereka mendirikan shalat, berzakat dst. Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda kepada utusannya untuk berdakwah, yaitu Mu’adz
bin Jabal radhiyallahu 'anhu:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi segolongan ahli kitab, maka
hendaknya dakwah yang pertama kamu serukan adalah agar mereka
beribadah hanya kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, maka
beritahukanlah, bahwa Allah mewajibkan mereka mengerjakan shalat lima
waktu dalam sehari semalam. Jika mereka mau melakukannya, maka
beritahukanlah, bahwa Allah mewajibkan mereka mengeluarkan zakat yang
diambil dari harta mereka (yang kaya) dan diberikan kepada kaum fakir
mereka. Jika mereka mau mentaatimu, maka ambillah zakat itu, dan jauhilah
mengambil harta berharga manusia.” (HR. Bukhari)
Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa seorang da'i hendaknya
mengetahui keadaan mad'u (orang atau masyarakat yang didakwahi).

7. Berdakwah dengan hikmah


Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman,

‫ِإ‬ ‫ِة ِد ِب َّل ِه‬ ‫ِع ِة‬ ‫ِب ِحْل ِة‬ ‫ِإ ِب‬
‫اْد ُع ىَل َس يِل َر ِّبَك ا ْك َم َو اْلَمْو َظ اَحْلَس َن َو َج ا ُهْلْم ا يِت َي َأْح َسُن َّن َر َّبَك ُه َو‬
‫ِب ِد‬ ‫ِب ِلِه‬
‫َأْع َلُم َمِبْن َض َّل َعْن َس ي َو ُه َو َأْع َلُم اْلُم ْه َت يَن‬
Terjemahannya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. An Nahl: 125)
Hikmah artinya tepat sasaran; yakni dengan memposisikan sesuatu pada
tempatnya. Termasuk ke dalam hikmah adalah berdakwah dengan ilmu,
berdakwah dengan mendahulukan yang terpenting, berdakwah
memperhatikan keadaan mad’u (orang yang didakwahi), berbicara sesuai
tingkat pemahaman dan kemampuan mereka, berdakwah dengan kata-kata
yang mudah dipahami mereka, berdakwah dengan membuat permisalan,
berdakwah dengan lembut dan halus, dan berdakwah dengan menyebutkan
kisah-kisah yang menyentuh, dsb.
Setelah dengan hikmah, kemudian dengan nasihat yang baik, yakni
dengan targhib (mendorong) dan tarhib (memperingatkan).
Perhatikanlah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam memberikan
nasihat! Beliau melihat waktu yang tepat dan tidak setiap hari atau terlalu
sering agar para sahabat tidak bosan3. Imam Bukhari dan Muslim
meriwayatkan dari Abu Wa'il, bahwa Abdullah bin Mas'ud mengingatkan
manusia pada setiap hari Kamis, lalu ada seorang yang berkata, "Wahai Abu
Abdirrahman, saya senang sekali jika engkau mengingatkan kami setiap hari."
Ia (Abdullah bin Mas'ud) berkata,
"Sesungguhnya yang menghalangiku melakukan demikian adalah karena aku
tidak ingin membuat kalian bosan, dan sesungguhnya aku memperhatikan
waktu semangat kalian untuk memberikan tausiyah sebagaimana Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam memperhatikan waktu semangat kami karena
takut kami bosan."
Dalam memberikan nasihat, Beliau juga tidak panjang lebar, dan kata-kata
Beliau dalam nasihatnya menyentuh hati. Di samping itu, Beliau mengikuti Al
Qur’an dalam memberikan nasihat, yaitu menyertakan targhib dengan tarhib,
sehingga tidak membuat putus asa manusia dan tidak membuat manusia
berani melakukan maksat. Sebagian kaum salaf berkata,
“Sesungguhnya orang yang betul-betul faqih adalah orang yang tidak
membuat putus asa manusia dari rahmat Allah dan tidak membuat mereka
berani mengerjakan maksiat kepada Allah.”
Bukanlah termasuk hikmah jika anda terburu-buru agar manusia bisa
langsung berubah keadaannya, bahkan harus bertahap agar mudah diserap
dan diterima oleh mereka.
Demikian pula bukan termasuk hikmah, ketika kita melihat kemungkaran
dilakukan oleh orang, lalu kita malah menjauhi, bukan menasihati atau
mendakwahi. Janganlah seorang da’i mengatakan “Mereka adalah orang-
orang fasik” atau “mereka adalah orang-orang golongan ini”, lalu ia tidak mau
mendekati mereka untuk mendakwahkan. Ini sama sekali bukan termasuk
hikmah.
Demikian juga bukan termasuk hikmah jika dakwah di atas semangat yang
tidak terkendali, saat ia melihat orang lain mengerjakan kemungkaran
langsung dikerasi, tetapi dakwahilah dengan cara yang lembut dahulu, karena
mungkin ia melakukan hal itu karena ketidaktahuan.
Dalam ayat di atas (An Nahl: 125), Allah memerintahkan kita berdakwah
dengan menempuh beberapa tahapan, yaitu:
1. Dengan hikmah

2. Dengan nasehat yang baik

3. Berdebat dengan cara yang baik

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah ‘Azza wa Jalla menjadikan


tingkatan (dalam) berdakwah sesuai tingkatan manusia; bagi orang yang
menyambut, menerima dan cerdas, di mana dia tidak melawan yang hak
(benar) dan menolaknya, maka didakwahi dengan cara hikmah. Bagi orang
yang menerima namun ada sisi lalai dan suka menunda, maka didakwahi
dengan nasihat yang baik, yaitu denga diperintahkan dan dilarang disertai
targhib (dorongan) dan tarhib (membuat takut), sedangkan bagi orang yang
menolak dan mengingkari didebat dengan cara yang baik.”

Perlu diingat, berdebat dengan cara yang baik bukanlah bertujuan untuk
mughalabah (siapa yang menang), tetapi tujuannya untuk menunjukkan
hidayah kepada orang lain.

8. Tidak malu mengatakan “Saya tidak tahu”

Termasuk manhaj para nabi adalah tidak takalluf (membebani diri). Allah
Subhaanahu wa Ta'aala berfirman memerintahkan Nabi-Nya shallallahu 'alaihi
wa sallam:

“Katakanlah (hai Muhammad), "Aku tidak meminta upah sedikit pun padamu
atas dakwahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang takalluf.” (QS.
Shaad: 86)

Masruq pernah mengatakan, “Kami datang kepada Abdullah bin Mas’ud,


lalu ia berkata, “Wahai manusia, barang siapa yang mengetahui sesuatu maka
katakanlah, namun barang siapa yang tidak mengetahui, ucapkanlah “Allahu
a’lam” (Allah lebih mengetahui). Karena termasuk ilmu seseorang
mengatakan terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya, “Allahu a’lam”, Allah
Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi kalian, “Katakanlah (hai Muhammad),
"Aku tidak meminta upah sedikit pun kepadamu atas dakwahku dan bukanlah
aku termasuk orang-orang yang takalluf.
9. Memiliki akhlak yang mulia

Seorang da’i hendaknya memiliki akhlak yang mulia. Jadikanlah Rasulullah


shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai panutan, di mana akhlak Beliau sangat
mulia, sehingga Allah memuji Beliau dengan firman-Nya:

Terjemahannya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang


agung.” (Al Qalam: 4)

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata, “Di antara akhlak yang patut anda
miliki wahai da’i adalah memiliki sikap halim (santun) dalam dakwahmu,
bersikap lembut, siap memikul beban dan bersabar sebagaimana yang
dilakukan oleh para rasul ‘alaihimush shalaatu was salam. Hindarilah sikap
terburu-buru, sikap kasar dan keras. Milikilah sikap sabar dan santun serta
bersikap lembutlah dalam dakwahmu.”

Sungguh akhlak mulia sangat penting dimiliki seorang da’i. Dengan akhlak
mulia, manusia akan menilai sendiri dan akhirnya mereka akan mengikuti
ajakannya. Berbeda, jika seorang da’i akhlaknya buruk, bagaimana orang lain
mau mengikuti ajakannya, mendekat saja sudah enggan apalagi sampai mau
menerima dakwahnya.

Perlu diketahui, bahwa dakwah bil hal (dengan akhlak mulia) terkadang
lebih meresap di hati mad'u, dibanding dakwah billisan (dengan lisan).

10. Menampakan kemudahan Islam dan menyampaikan busyraa (berita


yang menyenangkan

Ini pun termasuk hal yang tidak kalah penting. Rasulullah shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda:

“Berikan kemudahan dan jangan menyusahkan, sampaikan kabar yang


menyenangkan dan jangan membuat orang lari.” (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan:

1. Hendaknya seorang da’i bersikap lembut dan tidak keras terhadap orang
yang masih baru belajar,

2. Hendaknya mencegah kemungkaran didahulukan dengan cara yang


lembut agar orang yang berbuat maksiat mau menerima,

3. Belajar mengenal syari’at perlu tahapan, karena apabila orang merasakan


kemudahan di awalnya maka akan membuat orang lain semakin tertarik
sehingga siap menerima materi selanjutnya.

Sabda Beliau, “Sampaikan kabar yang menyenangkan” adalah kepada


orang yang masih baru masuk Islamnya, dan kepada orang yang bertaubat
dari maksiat karena luasnya rahmat Allah dan besar-Nya pahala bagi orang
yang beriman dan beramal saleh.

Adapun kebalikan hal di atas adalah menyusahkan, misalnya memaksa


manusia mengerjakan hal yang sunat, mememilihkan yang berat untuk umat
daripada yang ringan padahal kedua-duanya boleh. Aisyah radhiyallahu 'anha
pernah berkata:
“Tidaklah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam diberikan pilihan antara dua
perkara kecuali mengambil yang paling ringannya, selama tidak berdosa. Jika
ada dosanya, maka Beliau adalah orang yang paling jauh terhadapnya.
Rasulullah juga tidak pernah membalas karena dirinya disakiti kecuali jika
larangan Allah yang dilanggar, saat itulah Beliau marah karena Allah.” (HR.
Bukhari)

Contoh lainnya yang dapat membuat manusia menjauh adalah sering


membawakan tarhib (ancaman terhadap suatu amalan) tanpa adanya targhib
(keutamaan suatu amalan), bersikap kasar dan keras serta menyusahkan
manusia, dsb.
BAB 4

Sejarah dakwah Rasulullah

A. PENDAHULUAN

Selama Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah di Mekah, terdapat


dua fase atau dua tahap masa yang dilakukan oleh nabi Muhammad
dalam berdakwah yaitu tahap sembunyi-sembunyi dan tahap terang-
terangan. Berbagai tantangan dan hambatan yang dilalui oleh nabi
Muhammad SAW dalam melakukan dakwah, dan berbagai strategi yang
dilaksanakan untuk melakukan dakwah baik pada fase sembunyi-
sembunyi maupun pada fase terang-terangan.
Seperti yang diceritakan dalam sejarah bahwa bangsa Arab, kaum
kafir Quraisy tidak serta merta dapat menerima apa yang disampaikan
oleh nabi Muhammad SAW. Hal ini disebabkan karna kondisi dari
bangsa Arab itu sendiri yang telah terbiasa menyembah berhala sebagai
tuhannya. Karena mereka telah dipengaruhi oleh agama nenek
moyangnya.
Demikianlah kondisi masyarakat Arab sebelum hadirnya Nabi
Muhammad SAW, Ketika Nabi Muhammad SAW telah dilahirkan, beliau
diutus Allah SWT untuk menyebarkan menyiarkan Islam kepada seluruh
umat manusia. Akan tetapi, usaha dalam mengembangkan ajaran tauhid
di tengah-tengah masyarakat Arab dalam menyiarkan Islam tidaklah
berjalan dengan mulus. Dalam setiap dakwah yang beliau lakukan selalu
mendapat penolakan dari masyarakat Arab yang masih menyembah
berhala. Bahkan dari lingkungan keluarga Nabi Muhammad SAW pun
beliau ada mendapat dukungan dan juga mendapat tantangan yang
sangat keras.

B. Masyarakat Arab Jahiliah Sebelum Islam


Masyarakat Arab jahiliah sebelum Islam adalah objek dakwah dalam
bidang agama secara umum dan khususnya masalah tauhid dan
keimanan, Karena dari perilaku kehidupan sehari-hari, masyarakat sudah
jauh dan menyimpang dari ajaran tauhid yang dibawa oleh para Nabi
sebelum-sebelumnya. Kehidupan masyarakat Arab sebelum Islam datang
dikenal dengan sebutan zaman jahiliah.
Zaman yang tatanan sosial dan akhlaknya tidak berjalan semestinya,
zaman yang penuh kegelapan terhadap kebenaran, yang kuat menindas
yang lemah, serta rendahnya penghargaan terhadap wanita. Masyarakat
Arab jahiliah hidup tanpa dasar keimanan. Beberapa bentuk perilaku
buruk yang dilakukan bangsa Arab jahiliah antara lain: Al-qimar (judi),
yaitu kebiasaan yang dilakukan penduduk Mekah dan lainnya.
Menenggak Khamr, merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh
kalangan pembesar, hartawan dan pujangga sastra. Nikah Istibdha’ yaitu
jika istri seorang lelaki diantara mereka sudah haid kemudian mereka
telah bersuci maka lelaki termulia serta yang bagus nasabnya diantara
mereka bisa meminta wanita tersebut untuk disetubuhi dan mewarisi sifat
dari laki- laki tersebut.
Mengubur hidup-hidup anak perempuan yang baru lahir merupakan
salah satu yang dilakukan oleh laki-laki jahiliah karena mereka
menganggap anak perempuan adalah aib. Membunuh anak laki-laki
maupun perempuan juga dilakukan dengan alasan takut miskin dan
kelaparan. Pada waktu itu wanita banyak yang berdandan untuk keluar
rumah dengan maksud untuk memperlihatkan kecantikannya juga salah
satu perbuatan yang dilakukan kaum jahiliah.
Pada saat melewati lelaki bukan mahramnya, dia berjalan lemah
gemulai, dan bersikap genit. Wanita merdeka menjadi teman dekat lelaki.
Mereka menjalin hubungan gelap. Padahal lelaki tersebut bukan
mahramnya. Menjajakan para budak perempuan sebagai pelacur. Di
depan pintu rumah si budak perempuan akan dipasang bendera merah,
supaya orang-orang tahu bahwa dia adalah pelacur dan para lelaki akan
mendatanginya. Dengan hal demikian, budak perempuan tersebut akan
menerima upah berupa harta yang sebanding dengan pelacuran yang
telah dilakukannya. Saling menyerang dan memerangi satu sama lain,
untuk merebut dan merampas harta. Suku yang kuat memerangi suku
yang lemah untuk merampas hartanya. Yang demikian ini terjadi karena
tidak ada hukum maupun peraturan yang menjadi acuan pada mayoritas
waktu itu di sebagian besar negeri.
Di antara perperangan yang terkenal adalah: Perang Dahis dan
Perang Ghabara’ (perang antara Suku ‘Abs melawan Suku Dzibyan dan
Fizarah), Perang Basus, (Perang yang paling membuat sial adalah Perang
Basus yang berlangsung sepanjang tahun. Perang ini terjadi antara Suku
Bakr dan Taghlub), Perang Bu’ats (perang antara Suku Aus dan Khazraj
di kota Al-Madinah An- Nabawiyyah), Perang Fijar (perang antara Qays
‘Ilan melawan Kinanah dan Quraisy. Disebut “Perang Fijar” karena terjadi
saat bulan-bulan haram).

Fijar adalah bentukan wazan dari kata fujur; Mereka sangat


mendurhakai Allah yang dikenal dengan sangat fujur, karena berani
berperang pada bulan-bulan yang diharamkan untuk berperang. Enggan
mengerjakan profesi tertentu, karena kesombongan dan keangkuhan.
Mereka tidaklah bekerja sebagai pandai besi, penenun, tukang bekam,
dan petani. Pekerjaan-pekerjaan itu hanya diperuntukkan bagi budak
perempuan dan budak laki-laki mereka. Adapun bagi orang- orang
merdeka, profesi mereka terbatas sebagai pedagang, penunggang kuda,
pasukan perang, dan pelantun syair. Selain itu, di tengah bangsa Arab
jahiliah tumbuh kebiasaan berbangga-bangga dengan kemuliaan leluhur
dan jalur keturunan.
Walaupun masyarakat bangsa Arab dikenal dengan masa jahiliah,
namun dalam bidang sosial masyarakat, mereka terkenal dengan
masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kejujuran, setia kepada kawan,
setia kepada janji, sangat menghormati tamu dan sikap tolong menolong
di antara sesama kabilah sangat kua
C. Nasab Kelahiran Nabi Muhammad SAW
Adapun Nasab Nabi Muhammad SAW adalah, Nabi Muhammad SAW
bin Abdul Muththalib (namanya Syaibatu al- Hamid) bin Hisyam bin Abdi
Manaf (namanya al-Mughirah) bin Quraisy (namanya Zaid) bin Kilab bin
Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin
Mudhar bin Nazar bin Mu’iddu bin Adnan. Itulah nasab Rasulullah SAW
yang telah disepakati. Selebihnya dari yang telah disebutkan di atas masih
diperselisihkan.
Tetapi yang tidak diperselisihkan lagi ialah, bahwa Adnan termasuk
anak Isma’il bin Ibrahim. Bahwa Allah telah memilihnya (Nabi Muhammad
SAW) dari kabilah yang paling bersih, keturunan yang paling suci dan
utama. Tak sedikitpun dari karat-karat jahiliah yang menyusup ke dalam
nasabnya. Seperti yang terdapat dalam riwayat Muslim dengan sanadnya
dari Rasulullah SAW beliau bersabda “Sesungguhnya Allah telah memiliki
Kinanah dari anak Isma’il dan memilih Quraisy dari Kinanah, kemudian
memilih Hasyim dari Quraisy dan memilihku dari Bani Hasyim”.
D. Masa Kelahiran dan Pertumbuhan Nabi Muhammad SAW
Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin pagi, pada 9 Rabiul awal,
tahun Gajah. Bertepatan tanggal 20 atau 22 April 571 M. Beliau lahir dari
Suku Quraisy, yaitu Suku yang paling terhormat di jazirah Arab. Dari suku
Quraisy itu, beliau berasal dari Bani Hasyim, anak suku yang juga paling
terhormat di dalam suku Quraisy. Dan memilihku dari bani Hasyim.

E. Masa Kelahiran dan Pertumbuhan Nabi Muhammad SAW


Rasulullah SAW dilahirkan pada hari Senin pagi, pada 9 Rabiul awal,
tahun Gajah. Bertepatan tanggal 20 atau 22 April 571 M. Beliau lahir dari
Suku Quraisy, yaitu Suku yang paling terhormat di jazirah Arab. Dari suku
Quraisy itu, beliau berasal dari Bani Hasyim, anak suku yang juga paling
terhormat di dalam suku Quraisy. Rasulullah lahir dalam keadaan
yatim. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih berada di dalam
kandungan dalam usia 2 bulan. Setelah melahirkan, ibu beliau segera
membawanya kepada kakeknya Abdul Muthalib, lalu kakeknya
membawanya ke Ka’bah. Dia berdoa kepada Allah dan bersyukur
kepadaNya.
Lalu beliau diberi nama “Muhammad”, nama yang belum dikenal
pada masyarakat Arab masa itu. Pada hari ketujuh pasca kelahirannya
Nabi Muhammad dikhitan. Setelah itu beliau di susukan kepada Halimah
binti Abi Dzu’aib dari Suku Sa’ad bin Bakr yang kemudian dikenal dengan
nama Halimah Assa’diyyah. Muhammad disusui oleh Halimah selama 5
tahun di perkampungan Bani Sa’ad. Pada usia itu pula, beliau mengalami
peristiwa pembelahan dada (Syaqqus Shadr).
Suatu hari beliau tengah bermain bersama teman-temannya, tiba-tiba
Malaikat Jibril menghampiri beliau. Lalu beliau dibaringkan, kemudian
dadanya dibelah, lalu hatinya diambil selanjutnya dikeluarkan segumpal
darah darinya, seraya berkata:”Inilah bagian setan yang ada padamu”.
Kemudian hati tersebut dicuci di bejana emas dengan air zam-zam,
setelah itu dikembalikan ke tempat semula.
Sementara itu teman-temannya melaporkan kejadian itu kepada
Halimah seraya berkata:”Muhammad di bunuh… Muhammad di bunuh”.
Sehingga mereka bergegas menuju tempat Muhammad, mereka
mendapatinya dalam keadaan pucat pasi. Halimah sangat khawatir dan
kemudian mengembalikan beliau kepada ibunya.
Pada umurnya yang ke-6 Muhammad dibawa ibunya untuk berziarah
ke makam ayahnya, namun di tengah perjalanannya tepat di kampung
Abwa’ ibu beliau meninggal karena sakit. Kemudian setelah
meninggalnya ibu beliau, Muhammad diasuh oleh kakeknya Abdul
Muththalib. Namun pada usia ke-8, kakeknya meninggal. Sebelum
kakeknya wafat, kakeknya sempat berpesan agar Muhammad diasuh oleh
pamannya, Abu Thalib. Beliau diasuh oleh pamannya hingga dewasa.
Selama bersama pamannya, muhammad sering diajak dalam
berdagang, saat berdagang itulah hingga beliau kenal Siti Khadijah.
Kepribadian Muhammad yang mulia menjadikan Khadijah kagum dan
akhirnya Khadijah menginginkan dirinya dinikahi oleh Muhammad.
Khadijah menceritakan keinginannya itu kepada sahabatnya Nafisah binti
Mani’ah dan segera Nafisah menyampaikan keinginan tersebut kepada
Muhammad, memohon agar beliau menikahi Khadijah. Akhirnya
Muhammad setuju, segera diberitahukan paman-pamannya dan akhirnya
pamannya datang kepada paman Khadijah untuk melamarnya untuk
Muhammad.

F. Pengangkatan Muhammad Menjadi Rasul


Pada usia Muhammad mendekati sekitar 40 tahun, beliau lebih suka
menyendiri dan menjauh dari kesyirikan- kesyirikan yang ada di Mekah.
Beliau menyendiri di Gua Hira’yang terletak sekitar 2 mil dari Mekkah.
Pada hari Hijriah datanglah Malaikat Jibril.
Beliau dipeluk 3 kali, setiap kali memeluk Muhammad, dia berkata
”bacalah”, setiap kali itu pula Muhammad menjawab: ”aku tidak bisa
membaca”. Saat itu Muhammad sangat takut dan panik. Setelah itu Jibril
membacakan QS. Al- Alaq:1-5 yang artinya, Bacalah dengan (menyebut)
nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dengan Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. Kemudian Jibril meninggalkan
beliau
Sejak saat itulah Muhammad diangkat menjadi seorang Nabi. Lantas
Nabi Muhammad pulang ke rumah dalam keadaan gemetaran dan
ketakutan. Lalu menceritakan kejadian tersebut kepada Khadijah dan
berkata:”selimuti aku…selimuti aku”. Pada saat itu wahyu yang kedua
diturunkan yakni QS. Al-Muddatsir:1-7 yang artinya:”hai orang yang
berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! Dan Tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa
(menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi
(dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak Dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah”.

Dengan turun ayat ini, jelas Rasulullah diutus untuk menyeru kepada
masyarakat Quraisy dalam mengagungkan Rabbnya untuk tunduk dan
patuh kepadaNya. Supaya nabi Muhammad mensyiarkan ajaran Islam
kepada masyarakat. Selanjutnya, ketika Muhammad berada di Mekah
atau lebih dikenal dengan periode Mekah, dalam waktu 13 tahun (610 –
622 M) secara beransur-ansur telah diturunkan kepadanya, Al Qur’an
sebanyak 4726 ayat, yang meliputu 89 surat. Surat yang diturun dikenal
dengan surat- surat makkiyah yang diturunkan di Mekah.
Nabi Muhammad secara berangsur- angsur dalam menerima Al Qur’an
dalam waktu 23 tahun. Ayat yang turun berdasarkan kepada kejadian
faktual yang sedang terjadi, sehingga hampir setiap ayat Al Qur’an turun
disesuaikan dengan asbabun nuzul-nya. Ayat yang turun sejauh itu
dikumpulkan sebagai kompilasi yang dikenal dengan nama almushaf.

G. Strategi Dakwah Pada Periode Mekah


Nabi Muhammad SAW melakukan dakwah di Mekah dengan tujuan
agar masyarakat bangsa Arab meninggalkan kejahiliyahan yang telah
dilakukan baik pada bidang agama, moral maupun hukum sehingga
menjadi umat yang meyakini kebenaran dari kerasullan nabi Muhammad
SAW dan ajaran Islam yang telah disampaikan, kemudian untuk
diamalkan dalam kehidupan sehari- hari.
Adapun strategi yang dilaksanakan dan dilakukan oleh Nabi
Muhammad SAW dalam menyampaikan dakwah agar tercapainya dakwah
tersebut adalah sebagai berikut: Dakwah secara sembunyi- sembunyi
pada waktu nabi Muhammad dalam menerima wahyu pertama, surat Al
Alaq ayat 1-5, Nabi tidak lansung mensyiarkan Islam. Namun, setelah
turun wahyu yang memerintahkan Nabi Muhammad untuk melakukan
syiar Islam yaitu surat al Mudatsir 1-7 maka mulailah Nabi Muhammad
SAW melakukan dakwah yaitu secara sembunyi-sembunyi.

Fase ini merupakan fase dakwah dengan cara Nabi Muhammad


mengajak keluarga dan para sahabat dekatnya, seperti Siti Khadijah yang
berstatus sebagai istri nabi Muhammad SAW yang masuk Islam
dihadapan suaminya. Sehingga ia lah orang pertama masuk Islam.
Kemudian dilanjutkan oleh sahabatnya yaitu Ali bin Abi Thalib yang
merupakan sepupu dari nabi Muhammad SAW yang tinggal serumah
dengan beliau.
Setelah itu, barulah Zaid bin Haritshah seorang budak yang
dimerdekakan oleh Khadijah (anak angkat Nabi Muhammad SAW),
Rasulullah juga bercerita kepada teman dekatnya Abu Bakar (sahabat
yang selalu setia mendampingi beliau baik suka maupun duka), ia pun
beriman tanpa keraguan. Kemudian Abu Bakar juga berdakwah kepada
teman-teman dekatnya sehingga bertambah yang masuk Islam, di
antaranya adalah: Usman bin Affan bin Awwam, kemudia Sa’ad bin Abi
Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurahman bin Auf, Abu Ubaidah bin
Jarrah dan Al Arqam bin Abil Arqam.
Termasuk yang masuk Islam pada saat itu adalah Ummu Aiman
(pengasuh Rasulullah pada waktu kecil). Merekalah orang-orang yang
pertama masuk Islam pada fase sembunyi-sembunyi ini yang dikenal
dengan sebutan assabiquna awwalun yaitu pemeluk Islam generasi awal.
Fase dakwah yang dilakukan oleh nabi Muhammad SAW secara
sembunyi- sembunyi ini berlansung selama lebih kurang tiga tahun.
Adapun strategi yang dilakukan oleh Muhammad dalam berdakwah
selama fase sembunyi-sembunyi ini, dilakukan mulai di rumahnya Al-
Arqam bin Abil Arqam. Mengapa di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam
dilakukannya? Pertama, karena tempat tinggal Al-Arqam bin Abil Arqam
berada di dekat bukit Shafa tempat yang selalu ramai sehingga aktifitas
yang berjalan atau berlangsung di daerah tersebut tidak menimbulkan
kecurigaan bagi siapapun.
Tentu hal ini juga menyebabkan tidak ada yang curiga terhadap orang
yang datang ke rumah Al-Arqam bin Abil Arqam dan mengadakan
pertemuan di sana. Kedua, Al-Arqam bin Abil Arqam adalah musuh Nabi
Muhammad SAW dari Bani Mahzu yang sangat menentang dakwah yang
dilakukan Nabi, sehingga mereka melakukan dakwah tepat di jantung
musuh, tentu hal ini tidak akan terduga oleh siapapun bahwa Nabi
Muhammad melakukan dakwah Islam pada tempat tersebut.

Sehingga akhirnya tercapai tujuan Rasulullah untuk menyampaikan


dan memberikan pelajaran kepada para sahabat, mengajarkan Al-Quran
dan menyampaikan keimanan dan tauhid, serta beriman dengan Hari
Akhir. Dakwah secara terang-terangan Pada tahun ke empat masa
keNabian, Nabi Muhammad tetap melanjutkan dakwah beliau dan ini
mulai dilakukan secara terang-terangan di tempat-tempat orang
berkumpul, bahkan di Ka’bah sekalipun.
Hal ini beliau lakukan setelah datang perintah Allah dalam Al-Qu’an
surat Al-Hijr; 94 agar melanjutkan dakwah beliau bukan hanya secara
sembunyi-sembunyi, akan tetapi dilakukan secara terang- terangan dan
terbuka. Dakwah terang- terangan yang dilaksanakan oleh Rasulullah
justru mendatangkan, dan menimbulkan kebencian bagi orang-orang kafir
terhadap apa yang dibawa dan disampaikan oleh Muhammad SAW, maka
dilakukanlah penyiksaan-penyiksaan terhadap orang- orang yang lemah di
antaranya adalah terhadap keluarga Yasir dan putranya Amar dan istrinya
Sumaiyyah yang akhirnya menjadi wanita yang mati syahid.
1. Tantangan Kaum Kafir Quraisy Terhadap Dakwah Nabi Muhammad
SAW
Rasulullah dalam berdakwah yang dilakukan secara terang-terangan
dan terbuka, maka mulai timbul tantangan demi tantangan. Tantangan
yang dihadapi mulai dari yang bentuk dan sifatnya lunak dan bahkan ada
yang sifatnya keras dengan cara menyakiti, menyiksa, dan melakukan
pemboikotan terhadap Muhammad beserta kaum muslim.
Adapun bentuk tantangan dan rintangan yang dihadapi oleh Rasulullah
dalam berdakwah diantaranya adalah: tantangan yang sifatnya halus atau
bersifat lunak, yaitu seperti pemimpin kaum Quraisy mendatangi Nabi
Muhammad SAW secara lansung maupun mendatangi paman beliau, Abu
Thalib. Kemudian Nabi Muhammad SAW juga mendapat bujukan berupa
harta, kedudukan dan bujukan wanita.

Kaum kafir Quraisy mengutus utusannya yaitu Utbah bin Rabi’ah untuk
merayu dan bernegosiasi pada Nabi Muhammad SAW dengan
menjanjikan berapapun harta yang diinginkan Nabi, mereka juga
membujuk Nabi untuk dijadikan raja, serta diiming-imingi dengan wanita
asalkan Muhammad mau untuk menghentikan dakwahnya. Tapi hal
demikian rayuan dan bujukan tersebut ditolak dan tidak diterima oleh
Muhammad. Bujukan lainnya yaitu dengan menawarkan pertukaran
sesembahan, maksudnya kaum kafir Quraisy menawarkan supaya Nabi
Muhammad SAW mau menyembah Latta dan Uzza untuk beberapa hari,
kemudian mereka akan bersedia menyembah Allah SWT.
Namun hal ini tetap ditantang oleh Nabi Muhammad SAW melalui
firman Allah SWT dalam QS Al-Kafirun (109; 1- 3). Begitu teguhnya
Rasulullah melakukan dakwah sehingga beliau mengatakan “seandainya
matahari berada dalam genggaman tangan kananku dan rembulan berada
dalam genggaman tangan kiriku, maka hal ini tidak akan bisa
memberhentikan aku dalam berdakwah karenanya.”

Karena bujukan lansung terhadap Nabi tidak berhasil, maka kaum


pemimpin kafir mengunjungi paman Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib.
Mereka meminta kepada Abu Thalib agar bersedia mengganti Rasulullah
dengan pemuda yang lebih gagah dan ganteng asalkan paman Nabi mau
menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk menghentikan dakwahnya serta
tidak berusaha menghalangi kaum Quraisy dalam membunuh
Muhammad. Hal ini ditentang dengan keras oleh Abu Thalib.
Karena bujukan secara lunak tidak berhasil dilakukan oleh kaum kafir
Quraisy, akhirnya mereka mulai melakukan tindakan kekerasan.
Tantangan yang bersifat keras setelah dengan berbagai cara dilakukan
kaum kafir Quraisy untuk Rasulullah agar menghentikan dakwahnya
namun tidak juga berhasil, akhirnya dilakukan upaya kekerasan terhadap
Nabi dan umat muslim.
Adapun tantangan yang dihadapi adalah Nabi Muhammad SAW
menghadapi penghinaan, ancaman dan penyiksaan. Nabi Muhammad
dihina dengan panggilan orang gila bahkan disebut sebagai tukang sihir.
Bahkan bukan hanya itu saja, tetapi beliau pernah dilempari dengan
kotoran.

Mereka juga berusaha mencelakai Muhammad dengan cara


meletakkan benda- benda yang berbahaya di depan rumah. Nabi
Muhammad SAW tetap sabar dan tidak membalas perbuatan mereka.
Bentuk tantangan lainnya yaitu penyiksaan terhadap umat muslim, seperti
yang dilakukan terhadap Bilal, ia dijemur sambil dilempari batu di bawah
terik matahari. Bahkan Bilal juga mendapat penyiksaan dengan dicambuk
dan ditimpakan batu yang sangat besar pada tubuh Bilal.
Kemudian oleh Abu Bakar diselamatkan Bilal dengan membeli Bilal
pada tuannya dengan harga sangat tinggi. Penyiksaan juga dirasakan
oleh ayah serta ibu Ammar bin Yasir. Bahkan mereka dibunuh dengan
cara jantungnya ditusuk oleh Abu Jahal. Sementara sahabat yang lain,
Zamirah matanya dicungkil hingga buta, Hibah tubuhnya terbelah karena
tubuhnya ditarik oleh dua ekor unta yang berlawanan arah.
Masih banyak penyiksaan yang dilakukan oleh kaum Quraiysy
terhadap umat muslim, namun semua dihadapi dengan mengharap ridho
Allah SWT. Bahkan Nabi Muhammad SAW bersama umat muslim lainnya
menghadapi puncak kesengsaraan yang luar biasa dari kafir Quraisy pada
saat melakukan pemboikotan terhadap umat muslim.
Mereka melarang siapapun untuk melakukan interaksi, baik melakukan
jual beli, menikahi atau dinikahi, melihat orang sakit, ataupun memberi
pertolongan terhadap umat muslim. Pengumuman pemboikotan tersebut
dipajang pada pintu gerbang Ka’bah. Sehingga bagi yang melanggar akan
mendapatkan ancaman berat. Peristiwa pemboikotan ini berlansung
selama tiga tahun sehingga amat melemahkan umat muslim.
Tekanan yang diberikan oleh orang-orang kafir semakin keras
terhadap dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, terlebih setelah
meninggalnya dua orang yang selalu melindungi dan menyokong Nabi
Muhammad SAW dari orang-orang kafir, yaitu paman beliau, Abu Thalib,
dan istri tercinta beliau, Khadijah. Peristiwa itu terjadi pada tahun
kesepuluh keNabian. Tahun itu merupakan tahun kesedihan bagi Nabi
Muhammad sehingga dinamakan Amul Khuzn_ Yang lebih menyedihkan
adalah bahwa Abu Thalib meninggal dalam keadan kafir.
Rasulullah mencoba hijrah ke Taif dengan harapan Islam bisa diterima
dengan baik, namun ternyata malah sebaliknya di sana malah ditolak.
Pada tahun yang sama di bulan Syawal, Rasulullah menikahi Saudah bin
Zumah. Awalnya Saudah adalah istri dari Sakran bin Amr yang dahulu
ikut hijrah ke Habasyah, namun suaminya meninggal disana.
Pada tahun kesepuluh keNabian. datang orang-orang Yatsrib
menemui Nabi Muhammad SAW. Kedatangan Mereka untuk masuk dan
memeluk agama Islam dan menerapkan ajarannya sebagai upaya untuk
mendamaikan permusuhan yang terjadi antara kedua suku yaitu suku
Aus dan suku Kazraj. Usai mereka masuk Islam, Mereka melanjutkan
dakwah di Yatsrib. Ini adalah gelombang pertama orang-orang Yatsrib
mendatangi Nabi Muhammad SAW.
Setahun kemudian, mereka orang- orang Yatsrib kembali datang untuk
menemui Nabi dan mengadakan perjanjian yang dikenal dengan
perjanjian ”Aqabah pertama”. Ini adalah gelombang kedua orang-orang
Yatsrib mendatangi Nabi Muhammad SAW. Kelompok ini yang kemudian
kembali ke Yatsrib untuk berdakwah yang disertai oleh Mus’ab bin Umair
yang diutus untuk berdakwah bersama mereka.
Di Gelombang ketiga, pada tahun ke-13 keNabian, mereka datang
kembali kepada Nabi untuk mengajak pindah ke Yatsrib. Mereka akan
mengangkat Nabi sebagai pemimpin. Nabi pun akhirnya menyetujui usul
mereka untuk berhijrah. Perjanjian ini disebut perjanjian ”Aqabah kedua”
karena terjadi pada tempat yang sama._ Akhirnya Nabi Muhammad
bersama kurang lebih 150 kaum muslimin hijrah ke Yatsrib.
Ketika sampai di Yatsrib, sebagai penghormataan terhadap Nabi,
nama Yatsrib diubah menjadi Madinah. Demikian dakwah Nabi
Muhammad SAW di Mekah terjadi. Dalam masa ini Nabi Muhammad
mengalami hambatan dan kesulitan dalam dakwah Islamiyah. Pada
periode ini Nabi Muhammad belum terpikir untuk menyusun suatu
masyarakat Islam yang teratur, karena perhatian Nabi lebih fokus pada
penanaman teologi atau keimanan masyarakat.

Penyebab tantangan Nabi Muhammad SAW di Mekah mengapa


dakwah yang dilakukan tidak mudah dan selalu mendapatkan tantangan
dari kaum Quraisy? Hal tersebut timbul karena beberapa faktor, yaitu
sebagai berikut : Mereka kaum kafir Quraisy tidak dapat membedakan
antara kenabian dan kekuasaan. mereka mengira bahwa tunduk kepada
seruan Nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani
Abdul Muthalib.
Nabi Muhammad mengajak dan menyeru akan persamaan hak antara
bangsawan dan hamba sahaya. Para pemimpin Quraisy tidak mau
percaya ataupun mengakui serta tidak menerima ajaran tentang
kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat. Taklid kepada nenek
moyang adalah kebiasaan yang berurat akar pada bangsa Arab, sehingga
sangat berat bagi mereka untuk meninggalkan agama nenek moyang dan
mengikuti agama Islam. Inilah salah satu contoh yang terjadi pada diri
paman Nabi Muhammad SAW, Abu Thalib. Pemahat dan penjual patung
memandang Islam sebagai penghalang rezeki.

2. Hijrah ke Habsyi

Pada tahun 615, tanda-tanda kongkrit bahwa Nabi Muhammad akan


menjadi pimpinan komunitas baru berdasarkan ajarannya, dan terlepas dari
komunitas Mekah lainnya. Bulan ketujuh tahun kelima kenabian berangkatlah
11 orang laki-laki beserta 4 wanita. Kemudian rombongan berikut menyusul
hingga jumlah yang hijrah ke Habsyi mencapai 70 orang. Di antaranya adalah
Utsman bin Affan dan istrerinya (Ruqayyah puteri Nabi Muhammad saw),
Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Ja‟far bin Abi Thalib, dan lain-lain.
Mereka melakukan hijrah untuk mengamankan agama yang baru mereka
anut, bahkan bersedia melepaskan keluarga dalam rangka membentuk
kehidupan bersama di sebuah negeri asing. Ikatan keagamaan ini lebih kuat
daripada ikatan darah. Dengan cara demikian,agama baru tersebut menganca
mtata kemasyarakatan yang lama sekaligus menggantinya dengan tata
kemasyarakatan yang baru

Kedatangan orang-orang Islam di Habsyi disambut dengan baik oleh Raja


Nejus. Bahkan ia memberikan perlindungan dan diizinkan untuk
melaksanakan ibadah Islam. Dia juga menolak permintaan suku quraisy
supaya mengembalikan orang-orang mukmin ke Mekah.
Di saat pengikut nabi hijrah ke Habsyi, dia tetap berada di Mekah untuk
berdakwah. Dia mendapat perlindungan dari Bani Hasyim. Bahkan dua orang
tokoh quraisy masuk ke dalam Islam yakni Hamzah bin Abdul Muttalib dan
Umar bin Khattab.

Masuknya Umar ke dalam Islam, dimana awalnya dia adalah musuh Islam
yang sangat kuat. Diceritakan bahwa sewaktu Umar akan pergi mencari Nabi
untuk membunuhnya. Di tengah jalan dia berjumpa dengan Naim bin Abdullah
dan menanyakan tujuan kepergian Umar. Umar lalu menceritakan tentang
keputusannya membunuh nabi. Dengan mengejek Naim mengatakan agar
Umar lebih baik memperbaiki urusan rumah tangganya lebih dahulu. Seketika
itu juga Umar kembali ke rumah dan mendapati iparnya sedang asyik
membaca al-Quran. Umar marah dan memukul sang ipar dengan ganas.
Kejadian itu tidak membuat ipar dan adiknya meninggalkan Islam. Sehingga
Umar meminta dibacakan kembali al-Quran tersebut. Kandungan arti dan
alunan ayat-ayat Kitabullah ternyata membuat Umar begitu terpesona,
sehingga ia bergegas ke rumah nabi dan langsung memeluk agama Islam.

3. Pergi Ke Thaif

Tahun kesepuluh kenabian dikenal dengan tahun duka bagi Nabi


Muhammad saw, sebab 2 orang yang sangat dicintainya telah meninggal
dunia, yaitu Siti Khadijah dan Abu Thalib. Kedua orang ini adalah pembela
dan pelindung yang sangat tabah, kuat dan disegani Masyarakat
Mekah.Dengan meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir
quraisy semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi Muhammad saw,
karena penderitaan yang dialami Nabi Muhammad saw semakin hebat, maka
ia berencana memperluas wilayah dakwahnya di luar Mekah seperti ke
Thaif. Beliau melakukan perjalanan ke Thaif ditemani oleh Zaid bin Haritsah.
Kepergiannya ke Thaif untuk menyebarkan Islam kepada pembesar-
pembesar dan kepala-kepala suku di tempat tersebut.

Nabi berharap dakwahnya diterima masyarakat Thaif, akan tetapi,


harapan tersebut tidak menjadi kenyataan, bahkan beliau diusir dan dihina
dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Beliau diusir dan dilempari batu oleh
para pemuda Kota Thaif. Mereka tidak mau mengambil resiko, karena
mereka pasti akan mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari masyarakat
Mekah bila menerima Islam sebagai agama baru mereka. Para pembesar
Kota Thaif menganggap Muhammad adalah orang gila yang terusir dari
Mekah, berdasarkan informasi yang mereka terima dari Abu Jahal, bahwa
apa yang diajarkan Muhammad adalah kebohongan besar yang akan
menyesatkan bangsa Arab.
4. Perjanjian Aqabah
Perjanjian Aqabah di awali dengan dakwah yang dilakukan Nabi terhadap
orang-orang Yastrib yang datang ke Mekah pada musim haji. Sebagian
mereka menerima seruan Nabi dan masuk ke dalam Islam. Peristiwa ini
merupakan titik terang dalam perjalanan dakwah nabi, karena penerimaan
masyarakat Yastrib terhadap misi yang disampaikannya membuka lembaran
baru dalam usaha beliau menyampaikan ajaran Islam.
Akhirnya terjadilah perjanjian Aqabah I pada tahun 621 dan setahun
kemudian diadakan perjanjian Aqabah II. Isi perjanjian tersebut, mereka
mengundang nabi dan para pengikutnya datang dan tinggal di kota mereka,
dan bahkan menjadikan nabi sebagai penengah dan juru damai dalam
pertikaian-pertikaian yang terjadi di antara mereka. Mereka juga menyatakan
kesanggupan membela nabi dan para pengikutnya dan menyertai beliau
pindah dari Mekah ke kota mereka, sebagaimana halnya mereka membela
warga mereka sendiri.
Dari perjanjian ini, nabi mengirimkan kira-kira 60 keluarga ke Yastrib
terlebih dahulu, kemudian nabi menyusul mereka ke Yastrib. Kepindahan nabi
dan para pengikutnya dari Kota Mekah ke Yastrib, dalam bahasa Arab dikenal
hijrah, yang secara harfiah berarti migrasi atau berpindah, peristiwa ini sangat
menentukan sejarah kerasulan Muhammad, bahkan penanggalan hijriah
diambil dari peristiwa ini. Kota Yastrib menjadi pusat keagamaan dan
komunitas muslim, nama Yastrib berubah menjadi al-madinah yang berarti
kota. Komunitas muslim disebut ummat yang berarti masyarakat.
Di Mekah Muhammad merupakan pribadi biasa yang berjuang melawan
ketidakacuhan atau ketidakpedulian yang ada di lingkungannya, dan
kemudian juga melawan sikap permusuhan dari golongan yang berkuasa.
Masyarakat Mekah pada waktu itu terbagi atas dua bagian besar, golongan
merdeka dan golongan budak belian (al-hurr wal-abd). Dalam hal kekayaan,
mereka terbagi dua, orang kaya dan orang miskin (al-aghniya wal-fuqara).
Dalam kekuatan politik, mereka hanya mengenal yang kuat dan yang lemah
(al-mala wal-dhu‟afa). Status social sedemikian pentingnya, sehingga budak
belian bukan saja tak dianggap sebagai manusia, melainkan diperjualbelikan
seperti binatang, sehingga melahirkan bayi wanita dianggap aib yang
luarbiasa. Dilukiskan di dalam al-Quran:

Terjemahannya: “ingatlah ketika anak perempuan itu ditanya dosa apa (yang
mereka lakukan, sehingga) mereka dibunuh?” (QS. 81: 8-9).

H. Strategi Dakwah Pada periode Madinah


Madinah dianggap sebagai kelahiran baru agama Islam setelah ruang
dakwah di Mekah terasa sempit bagi kaum muslimin. Allah SWT memilih
Madinah sebagai pilot project pembentukan masyarakat Islam pertama.
Madinah memang layak dijadikan kawasan percontohan (Wahyu Ilaihi &
Harjani Hefni, 2007: 55). Berawal dari respon orang-orang Yastrib yang
datang ke Mekah pada bulan haji terhadap seruan nabi, juga tidak terlepas
dari pribadi nabi yang dikenal sebagai orang yang tak pernah berbohong.
Keberhasilan dakwah nabi dapat dilihat pada sikap orang-orang Yastrib di
perjanjian Aqabah I dan II, dimana mereka mau mengubah sikap dan
perilaku mereka, bahkan bersedia menjadi pelindung nabi. Sebab dakwah
pada hakekatnya merupakan suatu upaya seorang dai dan sekaligus juga
sebagai media untuk mengubah perilaku masyarakat dari yang negative
menjadi positif atau berakhlak mulia, tertinggal menjadi maju serta bodoh
menjadi pandai (M. Bahri. Inilah yang dilakukan Nabi terhadap masyarakat
Yastrib, membentuk suatu masyarakat baru, dan meletakkan dasar-dasar
untuk suatu masyarakat yang besar yang sedang ditunggu oleh sejarah.
Dalam mewujudkan semua ini, nabi menempuh langkah-langkah dakwah
sebagai berikut:
Pertama: Membangun masjid
Waktu Rasulullah saw masuk Madinah, penduduk Madinah yang sudah
memeluk Islam (kaum Anshar) banyak yang mengundang serta menawarkan
rumah untuk beristrahat. Setelah nabi sampai di tanah milik kedua orang anak
yatim bernama Sahal dan Suhail keduanya anak Amr bin Amarah dibawah
asuhan Mu‟adz bin „Afra, berhentilah unta yang ditunggangi nabi, kemudian
beliau dipersilahkan oleh Abu Ayub Anshari untuk tinggal di rumahnya.
Setelah beberapa bulan nabi di situ maka beliau membangun Masjid
Nabawi pada sebuah tanah milik kedua anak yatim tersebut, tanah itu dibeli
oleh nabi untuk pembangunan masjid, juga untuk tempat tinggal. Masjid yang
di bangun tersebut berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah shalat.
Dalam kesempatan ini nabi dan para pengikutnya berdiri bahu-membahu,
mengajarkan keuntungan yang tak terkirakan dari persaudaraan, dan
menanamkan semangat persamaan antar manusia (Jamil Ahmad, 2000: 4).
Masjid juga sebagai sarana penting untuk mempersatukan kaum muslimin
dan mempertalikan jiwa mereka, di samping sebagai tempat bermusyawarah
merundingkan masalah-masalah yang dihadapi, masjid pada masa Nabi
bahkan juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan
Kedua: Menciptakan persaudaraan baru
Kaum muslimin yang berhijrah dari Mekah ke Madinah disebut “muhajirin”
dan kaum muslimin penduduk Madinah disebut “anshor”. Kaum muslimin
Mekah yang berhijrah ke Madinah banyak menderita kemiskinan, karena
harta benda dan kekayaan mereka ditinggalkan di Mekah, diwaktu mereka
berhijrah ke Madinah melarikan agama dan keyakinan yang mereka anut.
Nabi Muhammad saw menciptakan persaudaraan baru antara kaum
muhajirin dengan kaum anshor. Ali ibn Abi Thalib dipilih menjadi saudara nabi
sendiri. Abu Bakar nabi saudarakan dengan Kharijah ibnu Zuhair. Ja‟far ibnu
Abi Thalib dengan Mu‟az ibnu Jabal. Rasulullah telah mempertalikan
keluarga- keluarga Islam. Masing-masing keluarga mempunyai pertalian yang
erat dengan keluarga-keluarga yang banyak, karena ikatan persaudaraan
yang diadakan rasulullah. Persaudaraan ini pada permulaannya mempunyai
kekuatan dan akibat sebagai yang dipunyai oleh persaudaraan nasab,
termasuk di antaranya hal pusaka, hal tolong menolong dan lain-lain.
Ketiga: Perjanjian dengan masyarakat Yahudi Madinah
Setelah mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan anshor,
selanjutnya nabi menjalin hubungan antara kaum muslim dengan golongan
Yahudi penduduk Madinah. Jalinan hubungan ini terwujud dalam bentuk
perjanjian atau undang-undang yang kemudian dikenal sebagai “Piagam
Madinah” yang ditulis pada tahun 623 M atau tahun ke-2 H. di antara dictum
perjanjian paling penting adalah sebagai berikut:
- Kaum muslimin dan kaum Yahudi hidup secara damai, bebas memeluk
dan menjalankan ajaran agamanya masing-masing.
- Orang-orang Yahudi berkewajiban memikul biaya mereka sendiri, dan
kaum muslimin wajib memikul biaya mereka sendiri.
- Apabila salah satu pihak diperangi musuh, maka mereka wajib membantu
pihak yang diserang.
- Di antara mereka saling mengingatkan, dan saling berbuat kebaikan, serta
tidak akan saling berbuat kejahatan.
- Kaum muslimin dan Yahudi wajib saling menolong dalam
melaksanakan kewajiban untuk kepentingan bersama.

- Bumi Yastrib menjadi tanah suci karena naskah perjanjian ini.


- Nabi Muhammad adalah pemimpin umum untuk seluruh penduduk
Madinah. Bila terjadi perselisihan di antara kaum muslimin dengan kaum
Yahudi, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada nabi sebagai
pemimpin tertinggi di Madinah.
Nabi berhasil membangun sebuah Negara baru yakni Negara Madinah,
secara aklamasi nabi diangkat sebagai kepala Negara yang diberikan otoritas
untuk memimpin dan melaksanakan ketatanegaraan yang telah disepakati
bersama. Jadi, di Madinah beliau seorang penguasa, yang menjalankan
kekuasaan politik dan militer dan juga keagamaan.
Keempat: Pembangunan pranata sosial dan pemerintahan.
Madinah adalah wilayah pertanian, dihuni oleh berbagai klan dan tidak
oleh sebuah kesukuan yang tunggal, namun berbeda dengan Mekah,
Madinah merupakan perkampungan yang diributkan oleh permusuhan yang
sengit dan anarkhis antara kelompok kesukuan yang terpandang –Suku Aws
dan Khazraj. Permusuhan yang berkepanjangan mengancam keamanan
rakyat kecil dan mendukung timbulnya permasalahan eksistensi Madinah.
Berbeda dengan masyarakat Badui, masyarakat Madinah telah hidup saling
bertetangga dan tidak berpindah dari tempat satu ke tempat lainnya.
Selanjutnya berbeda dengan Mekah, Madinah senantiasa mengalami
perubahan social yang meninggalkan bentuk kemasyarakatan absolut model
Badui. Kehidupan sosial Madinah secara berangsur-angsur diwarnai oleh
unsur kedekatan ruang daripada oleh system kekerabatan. Madinah juga
memiliki sejumlah warga Yahudi, yang mana sebagian besar penduduknya
lebih simpatik terhadap monotheisme. Namun setelah masyarakat muslim
berkembang menjadi besar dan berkuasa, mereka mulai menaruh rasa
dendam dan tidak suka.
Islam di Madinah bukan hanya sebuah agama, tetapi juga mengatur
Negara. Karena masyarakat Islam telah terwujud, maka menjadi suatu
keharusan Islam untuk menentukan dasar-dasar yang kuat bagi masyarakat
yang baru terwujud itu. Sebab itu ayat-ayat al-Quran yang diturunkan dalam
periode ini terutama ditujukan kepada pembinaan hukum. Ayat-ayat yang
diturunkan itu diberi penjelasan oleh rasulullah. Mana- mana yang belum jelas
dan belum terperinci dijelaskan oleh Rasulullah dengan perbuatan-
perbuatan beliau.
Islam yang diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi melalui perantaraan
kenabian Muhammad saw, ditujukan sebagai pedoman bagi kehidupan di
dunia dan akhirat. Islam mengembang amanat untuk memerdekakan
manusia dari segala perbudakan dan membebaskan manusia dari segala
penindasan. Islam tidak mengenal batas- batas suku, keturunan, tempat
tinggal, atau jenis kelamin. Semua umat manusia, dalam pandangan Islam,
mempunyai kedudukan setara. Sebab, kemuliaan kedudukan manusia dalam
Islam tergantung dari kwalitas ketaqwaannya pada Allah SWT atau amal
salehnya. Tentu saja kwalitas ketaqwaan atau amal saleh ini tidak hanya
diukur dengan perilaku vertical kepada Tuhannya, namun juga akhlak
horizontal kepada sesama manusia. Sesuai dengan firman Tuhan al-Hujurat:
13: “hai manusia, sesungguhnya kami jadikan kamu bersal- dari laki-laki dan
perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu berkenal- kenalan, sesungguhnya orang yang termulia di
antaramu pada sisi Allah ialah orang yang lebih taqwa”.
1. Respon masyrakat Madinah Terhadap Dakwah Nabi Muhammad
Sesudah peristiwa hijrah, penduduk Madinah terdiri atas tiga golongan:
kaum muslimin, bangsa Yahudi (Banu Nadhir dan Banu Quraizhah) dan
bangsa Arab yang belum menganut agama Islam. Kepada ketiga golongan
tersebut, nabi terus berusaha menyebarkan agama Islam. Hal itu dilakukan
nabi saw selain karena kewajiban yang harus dilaksanakannya, juga karena ia
melihat mayoritas masyarakat Madinah menyambut dengan baik saat beliau
dan umat Islam tiba di kota tersebut.
Pada hakekatnya dakwah nabi merupakan aktualisasi imani yang
dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan, dalam bidang kemasyarakatan
yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berfikir,
bersikap, dan bertindak masyarakat Madinah, dengan menggunakan cara
tertentu. Dakwah nabi berusaha mengubah lingkungan Madinah dengan cara
meletakkan dasar eksistensi masyarakat Islam, menanamkan nilai-nilai
keadilan, persamaan, persatuan, perdamaian, kebaikan, dan keindahan,
sebagai inti penggerak perkembangan masyarakat, membebaskan individu
dari sistem kehidupan zalim (perbudakan) menuju system kemerdekaan,
menyampaikan kritik sosial atas penyimpangan yang berlaku dalam
masyarakat Madinah, dalam rangka mengembang tugas nahi mungkar, dan
memberi alternative konsepsi atas kemacetan sistem, dalam rangka
melaksanakan amar ma‟ruf, merealisasi sistem budaya yang berakar pada
dimensi spiritual yang merupakan dasar ekspresi akidah, meningkatkan
kesadaran masyarakat Madinah untuk menegakkan hukum, mengintegrasikan
kelompok- kelompok kecil (muslim, Yahudi, bangsa Arab nonmuslim) menjadi
suatu kesatuan kekuatan untuk mengamankan Negara Madinah dari
serangan luar, merealisasi keadilan dalam bidang ekonomi, dengan
mempersaudarakan golongan aghniyaa (anshor) dengan golongan ekonomi
lemah (muhajirin).
Dakwah yang dilakukan nabi mendapat sambutan beragam, ada yang
menerima kemudian masuk Islam dan ada pula yang menolak secara diam-
diam, misalnya, orang-orang Yahudi yang tidak senang atas kehadiran nabi
dan umat Islam. penolakan ini mereka lakukan secara diam-diam dan tidak
berani berterus terang untuk menantang nabi dan umat Islam yang mayoritas
tersebut. Kedengkian orang-orang Yahudi semakin menjadi-jadi, sewaktu
mereka menyaksikan sendiri perkembangan pesat agama yang dibawa nabi,
seakan- akan jalan untuk mencapai kemenangan telah terhampar datar.
Apalagi sekutu mereka (suku Aus dan Khazraj) setelah memeluk Islam, sudah
tak membutuhkan mereka lagi, karena telah mendapat pimpinan yang ideal
yakni Muhammad saw.
Akhirnya Yahudi Madinah menggalang koalisi dengan kafir Quraisy
Mekah, untuk menghancurkan kekuatan umat Islam. bahkan peperangan
terjadi antara kaum muslim Madinah dengan musyrik quraisy Mekah. Perang
pertama yang sangat menentukan masa depan negara Islam ini adalah
perang Badar pada tanggal 8 Ramadhan tahun ke 2 Hijriah, nabi bersama 305
orang muslim bergerak keluar kota membawa perlengkapan yang sederhana.
Di daerah Badar, kurang lebih 120 Kilometer dari Madinah, pasukan nabi
bertemu dengan pasukan quraisy yang berjumlah sekitar 900 sampai 1000
orang. Nabi sendiri yang memegang komando. Dalam perang ini kaum
muslimin keluar sebagai pemenang.
Dalam beberapa tahun berikutnya, pihak Quraisy Mekah menyerang pihak
Muhammad di Madinah. Sehingga terjadi lagi peperangan, yakni perang
Uhud (625) dan kemudian disusul perang Khandak (627). Dalam perang
Uhud, pihak Muhammad menderita kekalahan, sedang dalam perang
Khandaq pihak Muhammad berhasil menghancurkan dan membuat kecewa
pihak Mekah, pihak Muhammad diuntungkan dalam kedua peperangan
tersebut. Ia berhasil bertahan dari serangan yang dilancarkan pihak Mekah,
dan bahkan pada setiap kesempatan menyusun rencana pengusiran atau
penghukuman terhadap sisa-sisa klan Yahudi, merampas kekayaan mereka
dan memperluas pengaruh dirinya terhadap suku-suku di padang pasir di
Arabia. Setelah enam tahun meninggalkan Mekah, mereka ingin kembali
mengunjungi kampung halamannya untuk bertemu dengan kerabat, dan
menziarahi Ka‟bah. Namun keinginan mereka tak dapat terpenuhi, sehingga
terjadilah Perjanjian Hudaibiah. Perjanjian Hudaibiah ini memperlihatkan
bahwa suku Quraisy yang ada di Mekah sudah mengakui nabi Muhammad
sebagai pemimpin negara Madinah. Sebuah perjanjian baru terjadi apabila
ada pengakuan setara dengan kedua belah pihak. Memasuki tahun ke-8 H
terjadi perang Mu‟tah yang disebabkan utusan (Al-Harits ibnu Umar al-Azdi)
yang dikirim nabi kepada Ghasasinah (Bani Ghassan) dibunuh oleh mereka.
perang Mu‟tah merupakan cikal bakal perluasan Islam keluar Jazirah Arab.
Pada tahun yang sama terjadi peperangan menaklukkan kota Mekah,
peristiwa ini disebabkan pengkhianatan Quraisy terhadap perjanjian yang
telah dibuat antara Quraisy dengan kaum Muslimin. Pada kejadian ini umat
Islam menang tanpa terjadi pertumpahan darah, bahkan Abbas dan Abu
Sufyan menyatakan keislamannya. Takluknya kota Mekah membuat delegasi
dari berbagai penjuru di Jazirah Arab mendatangi nabi sehingga tahun ke-9 H
dianggap sebagai tahun delegasi. Agama Islam telah meratai seluruh Jazirah
Arab, nabi Muhammad telah merasakan kenikmatan yang tak terhingga, dia
telah menyaksikan sendiri dakwah yang dilaksanakan telah berbuah. Bahkan
ini dianggap sebagai asbabun nuzulnya Surat an Nashr. Pada tahun 10 H
Nabi mengerjakan haji terakhir, yang dikenal dalam sejarah dengan “Hijjatul
Wada”.

Anda mungkin juga menyukai