Anda di halaman 1dari 13

KONTRA RADILASISASI AGAMA DAN KEBERAGAMAAN DI ERA

DISRUPSI DIGITAL DAN POST TRUTH


Khorul Hidayah
Mahasiswa Bimbingan dan Penyuluhan Islam UIN Walisongo Semarang (NIM 2201016115)

ABSTRAK
Fungsi dakwah dalam Islam diperlukan sebagai salah satu cara untuk memberitahukan manfaat dari
ajaran islam. Fungsi keberagamaan Islam ini akan menjadi menarik para mad’u untuk menerapkan
ajaran islam. Dalam penyampaian pesan dakwah secara lisan atau langsung, da’i akan berhadapan
dengan kelompok masyarakat yang mempunyai keberagaman, baik dalam sikap maupun sifatnya.
Mewujudkan suasana harmoni pada masyarakat Indonesia yang teramat beragam perlu melakukan
pendekatan dakwah yang kreatif dan inovatif yang merupakan tantangan tersendiri bagi para da’i yang
dituntut untuk mencermati dan memahami realitas masyarakat Indonesia yang beragam tersebut.
Dalam tulisan ini penulis membahas tentang strategi dakwah di tengah keberagaman masyarakat
Indonesia. Seperti yang diketahui bahwa masyarakat Indonesia berasal dari suku dan budaya yang
berbeda-beda, begitu pula dalam sikapnya menyikapi pesan yang disampaikan oleh Da’i. Kesimpulan
dari tulisan ini, yakni fungsi yang ada pada ajaran islam ini harus tersampaikan supaya dapat merubah
pemuda dan pemudi pada zaman ini untuk menjadi penerus bangsa Indonesia.
Kata kunci : fungsi dakwah ajaran Islam, keberagamaan, masyarakat Indonesia
ABSTRACT
The function of da'wah in Islam is needed as a way to convey the benefits of Islamic teachings. This
Islamic religious function will attract mad'u to apply Islamic teachings. In conveying da'wah messages
orally or directly, preachers will be dealing with groups of people who have diversity, both in attitude
and nature. Creating an atmosphere of harmony in the very diverse Indonesian society requires a
creative and innovative da'wah approach which is a challenge for preachers who are required to
examine and understand the reality of the diverse Indonesian society. In this paper the author discusses
the da'wah strategy in the midst of the diversity of Indonesian society. As it is known that Indonesian
people come from different tribes and cultures, so does their attitude towards the message conveyed
by the Da'i. The conclusion of this paper is that the function that exists in Islamic teachings must be
conveyed so that it can change young people and girls in this era to become the successors of the
Indonesian nation.
Keywords : Missionary function of Islmic teachings, diversity, Indonesian society.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan umat beragama mengalami dinamika dari masa ke masa. Perubahan dan
pergeseran semakin signifikan seiring perkem- bangan jaman. Era industri 4.0 yang
ditandai dengan kemajuan Teknologi Informasi (TI) digitalisasi media.
Implikasinya adalah internet dan media sosial menjadi kebutuhan yang umum bagi
masyara- kat. Internet dan sosial media sosial berimplikasi pada banyak sector dalam
kehidupan. Politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan agama. Islam sejatinya agama
yang menebarkan kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Islam sejatinya
agama yang mengajarkan untuk menghargai perbedaan dan menerima keragaman.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa pada hakikatnya manusia diciptakan dalam keraga-
man. Manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling
mengenal satu sama lain.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al Hujurat : 13).
Namun dewasa ini paham radikalisme menjadi ancaman serius bagi kehidupan
berbangsa dan beragama. Ruh islam sebagai penebar rahmat bagi seluruh alam
menjadi pudar karena dampak dari tinda- kan intoleran yang dialkukan oleh sebagian
umat Islam. Pemahaman Islam yang radikal menjadikan praktik-praktik yang
sebenarnya se- makin jauh dari makna Islam yang hakiki. Misi Islam yang
menyebarkan kedamaian rahmatan lil alamin berubah menjadi penebar terror. Hal ini
tidak hanya berdampak bagi internal umat Islam sendiri na- mun juga umat lainnya.
Fenomena ini dipertajam dengan kemajuan teknologi informasi, internet dan media
sosial. Radikalisme dan kekerasan merebak dan menjadi wabah yang meracuni
masyarakat di dunia maya yang berdampak kepada dunia nyata. Fenomena yang
nyata sebagai dampak dari radikalisme ini adalah ketakutan yang berlebihan oleh
warga dunia terhadap Islam (Islamophobia) sebagaimana terjadi di negara-negara
seperti Amerika dan Eropa.
Dampak lain dari radikalisme yang tidak kalah dahsyat adalah terorisme.
Terorisme menjadi ancaman yang menghantui masyarakat dunia. Terorisme seolah
menjadi virus yang terus mewabah yang seolah-olah tiada obat penawarnya. Iming-
iming surga menjadi magnet kuat bagi mereka lewat doktrin pandangan sempit
tentang jihad. Karena pada dasarnya terorisme tumbuh dari paham radikalisme.
“Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu
sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan
men- jungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence)
dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan
paham radikal. Diantaranya sifat-sifat sebagai berikut intoleran (tidak mau
menghargai pendapat & keyakinan orang lain), fanatik (selalu merasa benar sendiri;
mengang- gap orang lain salah), eksklusif (membedakan diri dari umat Islam
umumnya) dan revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk
mencapai tujuan).” (Hendroprioyono, 2009).

A. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana maksud dari dinamika dakwah di era disrupsi digital dan post-
truth?
2. Bagaimana maksud dakwah deradikalisasi agama dan keberagamaan: strategi
moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth?
3. Apa yang dimaksud dengan gerakan deradikalisasi agama dan keberagamaan
di kalangan generasi milenial di era disrupsi digital dan post- truth?

B. Tujuan Masalah
Dari Rumusan masalah yang didapatkan, maka terbentuk tujuan masalah yaitu
1. Memahami maksud dinamika dakwah di era disrupsi digital dan post-truth.
2. Memahami maksud dakwah deradikalisasi agama dan keberagamaan: strategi
moderasi beragama di era disrupsi digital dan post-truth.
3. Memahami dan mengetahui gerakan deradikalisasi agama dan keberagamaan
di kalangan generasi milenial di era disrupsi digital dan post- truth.

PEMBAHASAN
A. DINAMIKA DAKWAH DI ERA DISRUPSI DIGITAL DAN POST TRUTH
1. Pengertian Dakwah
Kata dakwah, bila ditinjau dari segi bahasa atau etimologi, berasal dari bahasa Arab, dalam
bentuk isim masdar dari kata kerja “da’a- yad’u-da’watan” yang berarti “panggilan, ajakan
atau seruan, permohonan (doa). Apabila merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya
kata dakwah memiliki pengertian mengajak kepada hal-hal yang bersifat baik (positif),
namun demikian terdapat pula penggunaan kata dakwah dalam pengertian yang ditunjukan
untuk hal-hal yang tidak baik (negatif) sebagaimana dijelaskan dalam penggalan QS. Al-
Baqarah ayat 221, yang artinya:

“mereka itu menyeru ke dalam neraka, sedang Allah menyeru ke dalam surga”

Definisi dakwah menurut para ahli yaitu menyerukan dan menyampaikan kepada
perorangan manusia dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di
dunia yang meliputi amar ma'ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara
yang diperbolehkan oleh akhlak, dan membimbing pengalamannya dalam perikehidupan
perseorangan, berumah-tangga, bermasyarakat, dan bernegara. (Muhammad Natsir, 2000)
Dakwah mempunyai empat jenis, yaitu :
a. Dakwah bil Lisan adalah dakwah yang disampaikan dalam bentuk
komunikasi lisan(verbal), seperti ceramah, pengajian, khutbah.
b. Dakwah bil Hal adalah dakwah yang dilakukan melalui aksi atau
tindakan nyata, misalnya melalui lembaga sosial-ekonomi (BMT dan
Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah – LAZIS), bakti sosial, dan
sebagainya.
c. Dakwah bil Qalam/bil Kitabah/bit Tadwin adalah dakwah yang
disambaikan melalui tulisan yang diterbitkan atau dipublikasikan
melalui media massa, buku, buletin, brosur, pamflet, dan sebagainya.

d. Dakwah bil Qudwah adalah dakwah melalui keteladanan sikap atau


perilaku yang mencerminkan moralitas/akhlak islam.

Dengan demikian dakwah secara etimologi (bahasa) adalah proses penyampaian pesan-pesan
tertentu yang berupa ajakan atau seruan dengan tujuan agar orang lain memenuhi ajakan atau
himbauan tersebut, baik himbauan atau ajakan yang bersifat positif dan negatif. aitu setiap
usaha yang mengarah pada perbaikan kehidupan yang lebih baik dan layak, sesuai dengan
kehendak dan tuntunan kebenaran. Pendapat ini dapat dikatakan bahwa dakwah bukan hanya
saja milik suatu agama atau golongan melainkan dakwah dimiliki oleh semua orang atau juga
komunitas sehingga dapat menciptakan kehidupan yang damai, baik muslim, non-Islam,
masyarakat desa, kota ataupun suku yang terpencil atau terasingkan sekalipun. Dengan
demikian, hakikat dakwah merupakan upaya mengajak manusia agar kembali kepada jalan
Allah yakni mengikuti petunjuknya tanpa adanya paksaan, ancaman, tekanan atau kekerasan
karena pada prinsipnya dakwah islam bersifat persuasif (Hidayat, 2019: 172-173).
1. Pengertian Disrupsi Digital
Era disrupsi merupakan fenomena dimana masyarakat menggeser aktivitas
yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Menurut Guru
Besar Harvard Business School, Clayton M. Cristhensen melalui bukunya
yang berjudul The Innovator Dilemma (1997) menerangkan disrupsi adalah
perubahan besar yang mengubah tatanan.
2. Pengertian Post Truth
Post truth merupakan era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi
kebenaran. Oxford sendiri mendefinisikan post truth sebagai kondisi di mana
fakta tidak terlalu berpengaruh terhadap pembentukan opini masyarakat
dibandingkan dengan emosi dan keyakinan personal.
Atau dalam arti lain, post truth adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi memberikan
pengaruh besar dalam membentuk opini publik, justru malah keyakinan pribadi dan
ketertkaitan emosional yang mendapatkan dukungan terbanyak dari masyarakat
B. Dakwah Deradikalisasi Agama dan Keberagamaan: Strategi Moderasi
Beragama di Era Disrupsi Digital dan Post-Truth
Sebagai seorang Muslim, kita tak dapat menampik bahwa tugas kita adalah
untuk selalu menyebarkan syari'at Allah di seluruh dunia. Dalam agama Islam,
istilah yang digunakan adalah amar ma'ruf nahi munkar (perintah untuk
melakukan kebaikan dan menghindari keburukan). Amar ma'ruf nahi munkar
adalah bentuk nyata dari dakwah yang harus dilakukan oleh semua umat
Muslim. Hal ini sesuai dalam al-Qur'an surat Ali Imron ([3]:104).

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang


menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung” (QS. AliImran
: 104)

Ketika dakwah menjadi populer dan perlu diterapkan disetiap elemen


masyarakat atau organisasi masyarakat (Ormas) yang mempunyai tujuan
dakwah, berusaha menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan pemahaman dan
pandangan mereka, sesuai dengan aliran dan keyakinan yang mereka anut.Inilah
awal munculnya masalah yang berpotensi memicu tindakan radikal yang
menggunakan agama sebagai kedok. Ormas-ormas yang menekankan dirinya
pada kajian al-Qur'an dan Hadis secara murni atau apa adanya (tekstualis), seperti
Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara
Islam Indonesia (NII), pada realitanya kelompok inilah yang seringkali terlibat
dalam tindakan radikal dan harus diawasi serta ditangani dengan hati- hati agar
tidak menimbulkan aksi yang meresahkan dan menimbulkan ketidaknyamanan.
Menurut Amirsyah, penanganan radikalisasi agama sejauh ini dilandaskan pada
paradigma berikut:
1. Pancasila sebagai Landasan Idill
Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah bangsa tentunya mengikat dan
memiliki kekuatan dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang
ada. Dalam konteks ini, NU yang selalu mendukung dan memperjuangkan
penerapan Pancasila sebagai dasar negara, bukan Piagam Jakarta, memiliki
peran yang strategis dalam menangani deradikalisasi, baik di tingkat pusat,
wilayah, maupun kota.
2. UUD 1945
Dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia tersebut, terutama pada
pasal 28 E ayat 1 menyatakan, "Setiap orang berhak memeluk agama dan
beribadah sesuai dengan keyakinannya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali."
Pasal tersebut menunjukkan kebebasan beragama dan beribadah sebagai
dasar penanganan dan penyelesaian deradikalisasi agama yang ada. Konsep
deradikalisasi agama sejatinya tidak akan muncul jika tidak ada radikalisasi
agama terlebih dahulu. Radikalisasi agama dalam akidahnya sering
menghalalkan cara apa pun untuk mencapai suatu tujuan, baik itu
menggunakan teror fisik atau teror mental seperti sweeping dan penutupan
hiburan malam ketika bulan Ramadan. Namun, penanganan tindakan radikal
yang bernuansa agama dengan menggunakan pendekatan hard power
approach (pendekatan kekuatan) oleh pihak aparat seperti yang dilakukan
oleh Densus 88 Anti-Terorisme, bukanlah solusi yang tepat untuk
menyelesaikan akar persoalan radikalisme agama yang ada. Hal ini terbukti
dari lebih dari 50 tahun Indonesia yang belum berhasil menangani kasus
DI/NII.
Setelah penanganan kasus radikalisasi yang bernuansa agama dengan
menggunakan pendekatan hard measure dirasa tidak berhasil, maka pemerintah
Indonesia secara sistemik mencanangkan program penanganan menggunakan
pendekatan soft approach yang dioperasikan oleh BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) yang sekarang dikenal dengan deradikalisasi. Tak
terasa, disadari atau tidak peradaban manusia sangat berubah. Teknologi
berkembang sangat pesat dan menyebabkan manusia sangat bergantung
kepadanya, tidak hanya itu saja teknologi mengubah cara kerja dan berhubungan
antar sesama, bahkan cara hidup seseorang.

Beberapa tahun belakangan ini, kaum milenial menjadi satu kelompok yang
menjadi sorotan publik karena begitu dekatnya dengan teknologi informasi yang
berkembang sangat pesat. Tidak hanya itu, semakin banyak informasi- informasi
yang dapat diakses secara bebas oleh siapapun, salah satunya adalah informasi
atau konten keagamaan sehingga mereka memiliki jaringan yang sangat luas
dan lebih sering berhubungan dengan berbagai kultur, gaya berfikir, bahkan
beraneka ragam keyakinan. Maka, tak heran jika banyak dari generasi milenial
ini (termasuk muslim) banyak yang terpengaruh ileh ajaran keagamaan yang
tersebar di internet.
Disamping itu, kita tinggal di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama islam dimana kita sudah tidak asing lagi dengan kata dakwah yang
sudah nabi bawa sejak zaman dahulu. Dalam kasus ini, umat muslim dituntut
untuk tangguh menghadapi badai di era post truth ini, Untuk menghadapi situasi
tersebut, umat muslim dianjurkan harus selalu membekali masing-masing dirinya
dengan ilmu yang mumpuni, dan sebagai umat muslim kita harus mendakwahi
diri kita dulu sebelum orang lain, seperti dalam firman Allah SWT dalam surat at
tahrim ayat 6.
Umat muslim harus selalu mengedukasi dirinya agar selalu bersikap kritis
terhadap suatu ilmu, termasuk menerima berita atau hal-hal baru yang belum
diketahui kebenarannya, dan sebelum mengklaim hal tersebut benar maka kita
harus mencari tahu dahulu apakah berita tersebut benar adanya sesuai syariat atau
tidak. Allah juga menegaskan dalam surat al hujurat ayat 6 yang bermaksud agar
kita tidak mudah menerima berita begitu saja.
Adapun mengenai strategi moderasi beragama terhadap generasi milenial di era
digital saat ini:
1. Dapat memanfaatkan media sosial dengan baik dalam penyebaran nilai-nilai
moderasi beragama
2. Mengikutsertakan generasi milenial dalam kegiatan positif yang konkret di
masyarakat
3. Dapat memaksimalkan fungsi keluarga sebagai kunci pembaharuan karakter
yang positif
4. Melakukan dialog bersama generasi milenial, baik dilingkungan rumah,
sekolah, atau masyarakat sekalipun
5. Dapat memilih dan memilah berita yang datang dari media sosial atau dunia
nyata, dan mengkaji kebenarannya.
Disinilah penerapan nilai-nilai moderasi beragama perlu ditanamkan. Di
samping itu,penerapan nilai-nilai moderasi beragama akan menjadi
penangkis dari mencoloknya penyebaran paham radikalisme di media sosial.
Sikap tersebut ditanamkan agar para generasimilenial tidak selalu bergantung
pada berita yang ada di media sosial yang belum tentu jelas kebenarannya.

C. Gerakan Deradikalisasi Agama dan Keberagamaan di Kalangan Generasi


Milenial di Era Distrupsi dan Post-Truth
Deradikalisasi adalah sebuah program yang bertujuan untuk menetralkan
pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terkapar dengan radikalisme. Yang
menjadi sasarannya yaitu para teroris yang ada di dalam lapas maupun di luar
lapas. Deradikalisasi memiliki tujuan untuk menetralisir pemikiran radikalisme.
Maksudnya, untuk membersihkan pemikiran-pemikiran radikalisme yang ada
pada para teroris sehingga mereka bisa kembali menjadi masyarakat biasa
sebagaimana masyarakat lainnya.
Perubahan strategi kontra-radikalisme yang paling mutakhir, tertuang dalam
formulasi deradikalisasi. Deradikalisasi, secara konseptual mempunyai kaitan
erat dengan term deideologisasi. Dalam ranah leksikal, kata deradikalisasi berasal
dari istilah bahasa Inggris deradicalization, dengan kata dasarnya adalahradical.
Dalam penelusuran Prasanta Chakravarty, kata radical berasal dari bahasa Latin yaitu
radix yang berarti ‘pertaining to the roots’ (memiliki hubungan dengan akar) (Petrus
R. Golose, 2010: 79-80). Lebih lanjut, agama menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2015) adalah sistem yang mengatur tata keimanan, kepercayaan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan
dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata ‘agama’
berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti ‘tradisi’. Dalam definisi di atas,
sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan
manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak nampak di
dalamnya (Roland Robertson, 1992: v).
Beberapa fungsi Dakwah Islamiyah, yaitu :
Pada dasarnya dakwah memiliki dakwah memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi risalah
dan fungsi kerahmatan, secara kerisalahan dakwah islamiyah dapat dipahami sebagai
proses pengembangan dan perwujudan perubahan sosial menuju kehidupan yang lebih
baik. Sedangkan dakwah dalam fungsi kerahmatan adalah upaya menjadi Islam sebagai
konsep bagi manusia dalam menjalankan kehidupan.
Keragaman dalam bangsa Indonesia ini sangatlah nyata, sehingga keragaman ini dapat
menjadi kebanggan atau ancaman untuk bangsa, sehingga fungsi ini dapat menjadi
motivasi bahkan pegangan untuk pendirian bagi bangsa Indonesia untuk menjadikan
keragaman yang membanggakan. Karena setiap ajaran Islam ini mengajarkan suatu attitude
yang baik. Pada dasarnya nabi Muhammad di turunkan di dunia untuk menyempurnakan
manusia yang berakhlak baik.
Beberapa fungsi tersebut, dikembangkan bebrapa fungsi lain diantaranya:
a. Fungsi informatif, yaitu menyampaikan suatu informasi kepada objek yang
diinginkan.
b. Fungsi tabyin, yaitu merupakan fungsi kedua setelah syri’at Al-Quran itu
diinformasikan kepada public. Seorang da’I harus bertindak sebagai narasumber
yang berfungsi menjelaskan hakikat Islam kepada audien. Karena itu tabyin
merupakan salah satu konsep berdakwah yang dipeerkenalkan oleh Al-Quran.
c. Fungsi tabsyir, yaitu gembera bagi penerima dakwah dan sebaliknya
menginformasikan tentang ancaman yang akan menimpa orang-orang yang
menolak kehadiran dakwah Islam.
d. Sebagai sebuah petunjuk, dakwah islam mutlak dilakukan agar men jadi rahmat
penyejuk bagi kehidupan manusia.
e. Menjaga orisinal pesan dakwah dari Nabi Muhammad Saw. dan menyebarkan
kepada lintas generasi.
f. Mencegah laknat Allah, yakni siksaan untuk keseluruhan manusia di muka bumi
ini.
g. Dengan dakwah, umat islam dapat menjadi saudara. Dakwah islam mutlak
diperlukan agar menjadi rahmat penyejuk bagi seluruh manusia melalui dakwah,
islam tersebut keseluruh penjuru dunia. Jadi dakwah islam dapat menjadi tongkat
estafet peradaban manusia. Dakwah berfungsi menjaga orisinal pesan dakwah nabi
Muhammad Saw. Dakwah berefungsi mencegah laknat Allah, yakni siksaan bagi
umat manusia.

Penjelasan di ataas mengajarkan bahwa dakwah sangatlah penting dan mutlak


dilakukan oleh manusia agar semua umat manusia bisa terarah kejalan Allah SWT.
Karena manusia tanpa dakwah bagikan orang buta tanpa tongkatnya.
Fungsi dakwah ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, karena inti
dari hidup ini adalah seberapa besar ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dan kunci
dari hidup adalah Al-Quran, sebab Al-Quran ini diturunkan karena adanya pesan-
pesan bagi manusia menuju jalan Allah SWT.

PENUTUP
KESIMPULAN
Kesimpulan
Dakwah secara bahasa dari kata da’a yang artinya memanggil, mengundang,
imbauan dan hidangan. Sedangkan, secara istilah dakwah adalah mengajak atau
menyeru manusia agar menempuh kehidupan di jalan Allah SWT. Definisi
dakwah menurut para ahli yaitu usaha menyerukan dan menyampaikan kepada
perorangan manusia dan seluruh umat tentang pandangan dan tujuan hidup
manusia di dunia yang meliputi amar ma'ruf nahi munkar, dengan berbagai
macam media dan cara yang diperbolehkan oleh akhlak, dan membimbing
pengalamannya dalam perikehidupan perseorangan, berumah-tangga,
bermasyarakat, dan bernegara. Dakwah mempunyai 4 jenis, diantaranya adalah
Dakwah bil Lisan, Dakwah bil Hal, Dakwah bil Qalam/bil Kitabah/bit Tadwin,
Dakwah bil Qudwah.
Ketika dakwah menjadi populer dan perlu diterapkan disetiap elemen
masyarakat atau organisasi masyarakat (Ormas) yang mempunyai tujuan
dakwah, berusaha menafsirkan ayat tersebut sesuai dengan pemahaman dan
pandangan mereka, sesuai dengan aliran dan keyakinan yang mereka anut.
Ormas-ormas yang menekankan dirinya pada kajian al-Qur'an dan Hadis secara
murni atau apa adanya (tekstualis), seperti Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), pada realitanya
kelompok inilah yang seringkali terlibat dalam tindakan radikal dan harus
diawasi serta ditangani dengan hati-hati agar tidak menimbulkan aksi yang
meresahkan dan menimbulkan ketidaknyamanan.
Dalam konteks ini, NU yang selalu mendukung dan memperjuangkan
penerapan Pancasila sebagai dasar negara, bukan Piagam Jakarta, memiliki
peran yang strategis dalam menangani deradikalisasi, baik di tingkat pusat,
wilayah, maupun kota. Namun, penanganan tindakan radikal yang bernuansa
agama dengan menggunakan pendekatan hard power approach (pendekatan
kekuatan) oleh pihak aparat seperti yang dilakukan oleh Densus 88 Anti-
Terorisme, bukanlah solusi yang tepat untuk menyelesaikan akar persoalan
radikalisme agama yang ada. Setelah penanganan kasus radikalisasi yang
bernuansa agama dengan menggunakan pendekatan hard measure dirasa tidak
berhasil, maka pemerintah Indonesia secara sistemik mencanangkan program
penanganan menggunakan pendekatan soft approach yang dioperasikan oleh
BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang sekarang dikenal
dengan deradikalisasi.
Tidak hanya itu, semakin banyak informasi-informasi yang dapat diakses
secara bebas oleh siapapun, salah satunya adalah informasi atau konten
keagamaan sehingga mereka memiliki jaringan yang sangat luas dan lebih sering
berhubungan dengan berbagai kultur, gaya berfikir, bahkan beraneka ragam
keyakinan.
Era disrupsi merupakan fenomena dimana masyarakat menggeser aktivitas
yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya. Sedangkan post
truth merupakan era dimana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran.
Atau dalam arti lain, post truth adalah kondisi di mana fakta objektif tidak lagi
memberikan pengaruh besar dalam membentuk opini publik, justru malah
keyakinan pribadi dan ketertkaitan emosional yang mendapatkan dukungan
terbanyak dari masyarakat.
Deradikalisasi adalah sebuah program yang bertujuan untuk menetralkan
pemikiran-pemikiran bagi mereka yang sudah terkapar dengan radikalisme.
Deradikalisasi memiliki tujuan untuk menetralisir pemikiran radikalisme.
Maksudnya, untuk membersihkan pemikiran-pemikiran radikalisme yang ada
pada para teroris sehingga mereka bisa kembali menjadi masyarakat biasa
sebagaimana masyarakat lainnya. Konsep deradikalisasi agama sejatinya tidak
akan muncul jika tidak ada radikalisasi agama terlebih dahulu. Radikalisasi
agama dalam akidahnya sering menghalalkan cara apa pun untuk mencapai suatu
tujuan, baik itu menggunakan teror fisik atau teror mental seperti sweeping dan
penutupan hiburan malam ketika bulan Ramadan. Menurut Amirsyah,
penanganan radikalisasi agama sejauh ini dilandaskan pada paradigma berikut:
1. Pancasila sebagai Landasan Idill. Pancasila sebagai dasar negara dan
falsafah bangsa tentunya mengikat dan memiliki kekuatan dalam
mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang ada. Dalam konteks ini,
NU yang selalu mendukung dan memperjuangkan penerapan Pancasila
sebagai dasar negara, bukan Piagam Jakarta, memiliki peran yang strategis
dalam menangani deradikalisasi, baik di tingkat pusat, wilayah, maupun
kota.
2. UUD 1945. Pada pasal 28 E ayat 1 menyatakan, "Setiap orang berhak
memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali."
Ilmu agama dapat dengan mudah diakses itu artinya semua orang dapat
mengunggah hasil olah pikirnya ke media online meski pemikiran tersebut
belum jelas sanadnya. Pengaruh teknologi digital yang dapat mengakibatkan
perubahan dalam kehidupan manusia salah satu contohnya adalah perubahan
dalam hal keagamaan.
Dengan adanya kemajuan teknologi informasi terutama pada dunia digital
seperti di era sekarang ini, sebagian masyarakat khususnya generasi milenial
tidak lagi memperoleh ilmu agama dari guru atau kyai yang sifatnya otaratif.
Mereka lebih menyukai belajar agama dengan cara yang instan dan praktis
dengan memanfaatkan situs-situs online dengan alasan lebih mudah diakses
tanpa harus keluar rumah untuk mengunjungi suatu majlis ta’lim.
Untuk mencegah adanya pemahaman agama yang bersifat radikal, maka
diperlukan sikap moderasi beragama. Moderasi beragama adalah cara pandang
kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami ajaran agama dengan
tidak ekstrim. Moderasi disebut juga sebagai rahmatan lil’alamin yaitu islam
yang senantiasa tidak menenkankan kekerasan serta tidak bersifat ekstrim dan
radikal.
Menumbuhkan sikap moderat dalam mempelajari agama pada era disrupsi
digital seperti saat ini sangatlah penting. Yang mana sikap moderat dalam
beragama memiliki prinsip adil dan seimbang atau dengan kata lain
beragama dengan tidak ekstrim. Dengan menumbuhkan sikap moderasi
beragama, akan membuat seseorang dapat bersikap adil dalam menerima
sesuatu informasi keagamaan yang diperoleh. Adil disini diartikan
sebagai “sesuai porsinya”, maksudnya dengan bersikap adil akan
menjadikan kita selalu selektif ketika mendapatkan informasi dari dunia
digital atau internet yang belum diketahui kebenarannya.

Daftar Referensi

https://www.researchgate.net/profile/Abdul-Sakban-
2/publication/345325290_Multicultural_Keberagaman_Sosial/links/5fa3f2
0e299bf10f73252282/Multicultural-Keberagaman-Sosial.pdf

Al-Quran Alkarim QS Ali Imran 104, Al Hujurrat 13, At Tahrim 6


Alinda Devi Sabrina. 2020. Moderasi Beragama di Era
Distrupsi Digital. https://kumparan.com/sabrina-devi-
alinda/moderasi-beragama-di-era- disrupsi-digital
Finaka W Andrean. 2019. Indonesiabaik.id. pengertian
deradikalisasi. diakses dari
https://indonesiabaik.id/infografis/cegah-radikalisme-dengan-
deradikalisasi,

Anda mungkin juga menyukai