Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia sejak

abad ke-12 atau ke-13. Sekarang di daerah-daerah yang telah beradad-abad

memeluknya, nama orang-orang yang dianggap berjasa dalam menyebarkan

agama itu disebut dengan hormat dan khidmat (De Graaf dan Pegeaud, 1985: 18).

Para penguasa di kota pelabuhan Sumatra Utara dan Aceh pada abad ke-13

sudah menganut Islam. Pada zaman ini pengaruh politik di Jawa Timur masih di

tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha. Pada abad-13 di Jawa juga sudah ada

orang-orang Islam yang menetap. Orang-orang Islam singgah di pusat-pusat

pemukiman di pantai utara Jawa. Pusat pemukiman orang Islam di pantai utara

Jawa berada di Gresik dan Surabaya, sehingga Gresik dan Surabaya dianggap

sebagai pusat-pusat tertua agama Islam di Jawa Timur (De Graaf dan Pegeaud,

1985: 20).

Wali yang merupakan penyebar agama Islam di Jawa muncul pada abad

ke-17 dan ke-18 setelah kesusastraan Jawa banyak bercerita mengenai para wali

yang menyebarkan agama Islam di Jawa. Kedudukan para wali sangat dihormati

dalam masyarakat dan mempunyai pengaruh kerohanian yang cukup besar di

masyarakat. Selain berhasil mendapat kedudukan dan pengaruh di masyarakat,

para wali pun mendapat kekuasaan duniawi di tempat mereka berdakwah (De

Graaf dan Pegeaud, 1985: 30).

1
2

Dalam kaitannya dengan persebaran Islam ke desa, Islam masuk ke desa

akibat adanya desakan di kota-kota besar yang tidak lagi dikuasai oleh orang-

orang Islam maupun pedagang Islam, sehingga orang Islam menyingkir dan

menyebarkan agama Islam ke desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Kuntowijoyo

dalam bukunya Dinamika Sejarah Umat Islam di Indonesia berpendapat bahwa

pada mulanya, Islam masuk ke Indonesia memang melalui kota, tetapi ketika

kota-kota sebagai pusat peradaban Islam itu tidak lagi dikuasi oleh orang-orang

Islam, para pedagang Islam, dan para penyebar agama Islam, maka Islam pun

menyingkir dari pusat-pusat kota ke desa (Kuntowijoyo, 1994: 47).

Abdul Pool berpendapat bahwa aktivitas dakwah seharusnya berlangsung

pada seluruh dimensi kehidupan dan di semua tingkatan. Pada tataran lokal, dalam

hal ini dakwah di sebuah desa, masalah-masalah yang dihadapi dakwah memiliki

kekhasan tersendiri dan berbeda dari masalah-masalah yang berada pada tingkatan

lainnya. Sejalan dengan itu, dakwah memiliki peranan yang sangat penting dalam

melakukan transformasi kehidupan masyarakat. Di sinilah peran agamawan,

cendekiawan, dan da’i menjadi sangat penting sebagai kelompok yang bertugas

untuk meningkatkan umat manusia agar senantiasa dalam jalan agama yang benar.

Desa Kaliori memiliki cara dakwah Islam yang berbeda, perbedaan itu

terletak dari keadaan penduduk yang majemuk dalam hal agama dan

berkembangnya dua agama besar yang dianut penduduk desa Kaliori, yaitu agama

Islam dan Kristen Katholik dan Protestan. Melihat kondisi agama masyarakat desa

Kaliori yang demikian sehingga memerlukan strategi dakwah yang berbeda

dengan tempat lainnya. Dakwah Islam di desa Kaliori harus menjunjung tinggi
3

nilai-nilai persatuan dan toleransi antar pemeluk agama yang berbeda, sehingga

tidak terjadi konflik antar masyarakat di desa Kaliori.

Dari latar belakang masalah di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai perkembangan dakwah Islam, hal ini belum banyak

penelitian yang menyinggung tentang perkembangan dakwah Islam di suatu

daerah secara mendalam. Sebagai objek penelitian, penulis memilih desa Kaliori,

Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas karena di desa Kaliori

perkembangan dakwah Islam dibarengi dengan perkembangan agama lainnya

khususnya agama Kristen dan juga keadaan masyarakat yang majemuk dalam

bidang agama, hal ini tentu berbeda dengan dakwah Islam di tempat lainnya.

Penulis akan melakukan penelitian di desa tersebut dimulai dari sejarah dakwah

Islam di desa Kaliori, kehidupan beragama masyarakat desa Kaliori, dan

perkembangan dakwah Islam di desa Kaliori Kecamatan Kalibagor Kabupaten

Banyumas tahun 1980 – 2015. Alasan penulis mengambil batasan tahun dari

tahun 1980 karena pada tahun ini mulai berkembang agama lainnya, terutama

Kristen sehingga menjadikan tantangan tersendiri bagi perkembangan dakwah

Islam.

B. Rumusan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah dakwah Islam di desa Kaliori?

2. Bagaimana kehidupan beragama masyarakat desa Kaliori?


4

3. Bagaimana perkembangan dakwah Islam di desa Kaliori kecamatan

Kalibagor kabupaten Banyumas tahun 1980-2015?

C. Tujuan Penelitian

Dari Permasalahan yang sudah dipaparkan di atas, maka tujuan dari penelitian ini

bermaksud untuk memaparkan:

1. Sejarah dakwah Islam di desa Kaliori.

2. Kehidupan beragama masyarakat desa Kaliori.

3. Perkembangan dakwah Islam di desa Kaliori kecamatan Kalibagor kabupaten

Banyumas tahun 1980-2015.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Dengan adanya penelitian ini, maka dapat dijadikan sebagai pengembangan

ilmu sejarah, memberi masukan bagi penelitian berikutnya, dan dapat

dijadikan sebagai referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan

perkembangan dakwah Islam.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat:

a. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pembelajaran bagi masyarakat

maupun pembaca lainnya untuk lebih meningkatkan kualitas


5

keimanannya, dan juga mengajarkan masyarakat tentang pentingnya rasa

toleransi yang tinggi terhadap sesama masyarakat, serta untuk

mengembangkan sikap toleransi tersebut agar terbentuk sebuah

keserasian dalam kehidupan bermasyarakat.

b. Pemuka Agama

Dapat menjadi masukan bagi para pemuka agama, khususnya agama

Islam mengenai bagaimana cara pengembangan dakwah Islam dan

bagaimana cara menyebarkan agama Islam dikalangan masyarakat yang

majemuk.

E. Kajian Pustaka

1. Konsep Dakwah Islam

Dakwah adalah bentuk kata kasar (Masdar) bahasa Arab dari kata kerja

da’a yad’u – da’wah yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Dakwah juga

berarti doa atau permohonan. Pengertian dakwah secara istilah menurut Thaha

Yahya Umar dalam buku Ilmu Dakwah, bahwa dakwah berarti mengajak manusia

dengan cara bijaksana ke jalan yang benar sesuai dengan perintah Tuhan, untuk

kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akherat. Menurut K. H. M.

Isa Ansary, Dakwah ialah menyampaikan seruan Islam, mengajak dan memanggil

umat manusia agar menerima dan mempercayai keyakinan dan pandangan hidup

Islam (Wibowo, dkk, 1996: 207).

Dakwah sebagai proses komunikasi, karena pada tingkat (objek)

individual, kegiatan dakwah tidak lain adalah suatu kegiatan komunikasi, yaitu
6

kegiatan penyampaian pesan dari komunikator (da’i) kepada komunikan (objek

dakwah) dengan media tertentu, agar terjadi perubahan pada diri komunikan.

Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi pemahaman (pengetahuan), sikap

dan tindakan individu. Dengan demikian, dalam terminologi agama perubahan

yang terjadi akan menyangkut aspek akidah (iman), akhlak, ibadah, dan

mu’amalah (Wibowo, dkk, 1996: 209).

Unsur-unsur dakwah adalah komponen-komponen yang terdapat dalam

setiap kegaiatan dakwah. Unsur-unsur dakwah tersebut adalah da’i (pelaku

dakwah), mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media

dakwah), thariqah (metode), dan atsar (efek dakwah) (Munir dan Wahyu, 2009:

21).

Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan, maupun

perbuatan yang dilakukan baik secara individu, kelompok, maupun lewat

organisasi/lembaga. Secara umum kata da’i sering disebut dengan sebutan

mubaligh (orang yang menyampaikan ajaran Islam). Nasaruddin lathief

mendefinisikan bahwa da’i adalah muslim dan muslimat yang menjadikan

dakwah sebagai suatu amaliah pokok bagi tugas ulama. Da’i harus mengetahui

cara menyampaikan dakwah tentang Allah, alam semesta, kehidupan, dan apa

yang dihadirkan dakwah untuk memberikan solusi terhadap problema yang

dihadapi manusia, juga metode-metode yang dihadirkannya untuk mejadikan agar

pemikiran dan perilaku manusia tidak salah dan melenceng (Munir dan Wahyu,

2009: 21).
7

Mad’u adalah manusia yang menjadi sasaran dakwah, atau manusia

penerima dakwah, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok, baik manusia

yang beragama Islam maupun tidak, atau dengan kata lain manusia secara

keseluruhan. Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah bertujuan

untuk mengajak mereka untuk mengikuti agama Islam, sedangkan kepada orang-

orang yang telah beragama Islam dakwah bertujuan untuk meningkatkan kualitas

iman, Islam, dan ihsan (Munir dan Wahyu, 2009: 23).

Maddah dakwah adalah isi pesan atau materi yang disampaikan da’i

kepada mad’u. Dalam hal ini sudah jelas bahwa yang menjadi maddah dakwah

adalah ajaran Islam itu sendiri. Masalah pokok yang dikaji dan mejadi materi

dakwah antara lain adalah masalah akidah, masalah syariah, dan masalah akhlak

(Munir dan Wahyu, 2009: 23 – 31).

Wasilah adalah media dakwah, yaitu alat yang digunakan untuk

menyampaikan materi dakwah (ajaran Islam) kepada mad’u. Untuk

menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai

wasilah. Hamzah Ya’qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam yaitu

lisan, tulisan, lukisan, audiovisual, dan akhlak (Munir dan Wahyu, 2009: 32).

Thariqah atau metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru

dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah Islam. Dalam menyampaikan

dakwah, metode sangat penting peranannya. karena suatu pesan walaupun baik,

tapi jika disampaikan lewat metode yang tidak benar maka pesan itu bisa saja

ditolak oleh si penerima pesan (Munir dan Wahyu, 2009: 32).


8

Atsar adalah efek yang ditimbulkan akibat adanya dakwah, atau sering

disebut juga umpan balik. Efek ditunjukan untuk masyarkat, baik secara langsung

maupun tidak langsung (Munir dan Wahyu, 2009:45).

2. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian secara khusus mengenai perkembangan dakwah Islam di desa

Kaliori kecamatan Kalibagor kabupaten Banyumas sejauh pengamatan penulis

belum pernah dilakukan. Untuk inilah penulis mencoba mengungkap

Perkembangan Dakwah Islam di Desa Kaliori Kecamatan Kalibagor Kabupaten

Banyumas tahun 1980-2015. Penelitian ini menunjuk pada beberapa tinjauan

pustaka yang penulis gunakan, tinjauan pustaka tersebut terdiri dari penelitian

yang berkaitan dengan dakwah Islam yang sudah ada diantaranya yaitu:

Artikel yang ditulis oleh Masmuddin (2011: 1) dengan judul Dakwah dan

Perkembangan Masyarakat membahas hubungan dakwah dan perkembangan

masyarakat. Dakwah dalam Islam adalah sebuah upaya untuk mengajak manusia

kepada jalan yang benar yang diridhai oleh Allah SWT. Dakwah masa kini tidak

cukup dimaknai sebagai aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar saja, tetapi lebih

jauh dakwah dapat dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan kemaslahatan

hidup manusia sesuai bidang yang digelutinya masing-masing. Dakwah dan

perkembangan masyarakat tidak dapat dipisahkan, karena sasaran dakwah dalam

Islam adalah manusia tanpa kecuali. Manusia, secara sosiologis cultural selalu

mengalami perubahan-perubahan, di sinilah dakwah berperan sebagai agen

perubahan masyarakat yang selalu menuntun manusia ke arah yang lebih baik.
9

Islam adalah ajaran agama yang dinamis, tidak statis karena itu ajarannya sangat

fleksibel dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman dan dinamika kehidupan

masyarakat, namun tidak terbawa arus kemajuan zaman.

Artikel yang ditulis oleh Yuliyatun Tajadudin (2014: 374) dengan judul

Wali Songo dalam Stategi Komunikasi Dakwah membahas komunikasi dalam

dakwah Islam. Kegiatan dakwah, termasuk bentuk dari komunikasi karena di

dalamnya ada penyampai pesan (da’i) dan penerima pesan (mad’u). Dakwah

sebagai proses komunikasi membutuhkan upaya-upaya yang harus dirancang

secara strategis sebagaimana sebuah komunikasi yang efektif yang

mempertimbangkan efek dari komunikan. Berhasil tidaknya kegiatan dakwah

tersebut tidak terlepas dari bagaimana proses komunikasi antarpelaku dakwah

(da’i dan mad’u) berlangsung. Jadi, di sinilah kontribusi komunikasi menjadi hal

penting yang harus dipertimbangkan dalam kegiatan dakwah. Artinya, secara

teoretis, teori-teori komunikasi sebagai sebuah ilmu akan memberikan kontribusi

dalam merancang kegiatan dakwah yang efektif sehingga pesan-pesan Islam yang

menjadi isi materi dakwah dapat tersampaikan dan berefek pada perubahan sikap

mad’u ke arah yang lebih baik sesuai tujuan kehidupan Islam, bahagia dunia

akherat.

Penelitian yang dilakukan oleh Danu Lutfianafis (2012) dengan judul

Perkembangan Yayasan Pendikan Islam Cokroaminoto Kabupaten Banjarnegara

tahun 1995 – 2008 bersimpulan bahwa latar belakang berdirinya yayasan

pendidikan Islam Cokroaminoto adalah untuk membantu pemerintah Kabupaten

Banjarnegara dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia melalui pendidikan


10

serta menyediakan sarana dan prasarana bagi masyarakat Banjarnegara. Mata

pelajaran yang dipakai merupakan gabungan antara mata pelajaran nasional dan

mata pelajaran Islam sebagai sarana dakwah Islam.

Penelitian yang dilakukan oleh Fuad Syarif Hidayatullah (2013) dengan

judul Perkembangan Pondok Pesantren Nurul Quran Desa Bukateja Kecamatan

Bukateja Kabupaten Purbalingga Periode 1987 – 2013 bersimpulan bahwa

adanya dakwah Islam yang dilakukan dalam pondok pesantren mempengaruhi

bidang lain dalam masyarakat, misalnya bidang sosial dan agama.

Penelitian yang dilakukan oleh Istia Fizqona Firdausyi (2014) dengan

judul Perkembangan Amal Usaha Muhammadiyah Cabang Merden Kecamatan

Purwanegara Kabupaten Banjarnegara sampai tahun 2013 bersimpulan

Munculnya paham Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam membantu

masyarakat untuk meninggalkan kepercayaan yang tidak sesuai dengan tuntutan

agama Islam.

Penelitian yang dilakukan oleh Iyan Harbu Wianda (2013) dengan judul

Pesantren dan Pembangunan Pendidikan Studi Pembentukan Karakter Santri di

Pondok Pesantren Al Fatah Banjarnegara bersimpulan bahwa dakwah dalam

pondok Pesantren dilakukan dengan cara mengajarkan para santri tentang Kitab

kuning, belajar mengaji serta bermain, sehingga para santri akan bertambah

wawasan agama serta mampu membaca Al Quran.

Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurrochmah (2008) dengan judul

Metode Penyiaran Agama di Purwokerto Studi Komperatif Metode Penyiaran

Agama Islam dan Kristen di Masjid Al Hidayah dan Gereja Baptis Kalam
11

Indonesia bersimpulan bahwa metode-metode dakwah Islam yang dilakukan

untuk meningkatkan pemahaman agama kepada pemeluknya terdiri dari berbagai

macam kegiatan yang bersifat keagamaan, pelatihan penulisan karya ilmiah,

pelatihan kepemimpinan, rapat awal tahunan, diskusi nonformal, dan pengajian

mingguan. Dalam meningkatkan kualitas keimanan dilakukan dengan cara

meningkatkan kegiatan yang bersifat keagamaan dan mendekatkan pada aspek-

aspek dan keagamaan.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini berbeda dengan penelitian yang

lainnya, hal ini karena dalam penelitian lainnya dakwah Islam tidak dilakukan

dalam kondisi masyarakat yang majemuk, sedangkan dalam penelitian ini,

dakwah Islam dilakukan dalam kondisi masyarakat yang majemuk sehingga

berbeda dengan penelitian lainnya.

F. Kerangka Teoretis dan Pendekatan

1. Kerangka Teoretis

Kajian mengenai agama dapat dijelaskan dengan teori-teori Antropologi.

Dalam ilmu antropologi, ada beberapa teori yang membahas mengenai asal usul

religi, antara lain:

a. Teori Evolusi Religi dari E.B Tylor. Menurut Tylor asal mula religi adalah

kesadaran manusia akan adanya jiwa yang disebabkan oleh dua hal, yaitu

perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan hal-hal

yang mati, serta peristiwa mimpi. Tylor juga menjelaskan mengenai asal usul

religi dengan berdasarkan cara berpikir evolusioner. menurut Tylor, animisme


12

merupakan bentuk religi yang tertua. Kemudian pada tingkatan kedua dalam

evolusi religi, manusia yakin bahwa gerak alam yang hidup disebabkan oleh

adanya jiwa dibelakang peristiwa-peristiwa alam. Kemudian jiwa alam

tersebut dipersonifikasikan dan dianggap seperti makhluk yang memiliki

suatu kepribadian dengan kemauan dan pikiran yang kemudian disebut dewa-

dewa alam. Dewa-dewa alam itu tersusun sesuai pangkatnya. Susunan

tersebut lambat laun menimbulkan kesadaran bahwa semua dewa pada

hakikatnya hanya merupakan penjelmaan dari satu dewa saja. Akibat dari

keyakinan kepada satu Tuhan maka munculah religi-religi yang bersifat

monoteisme sebagai tingkatan terakhir dalam evolusi religi manusia

(Koentjaraningrat, 1987: 49).

b. Teori J.G Freazer, menurut Freazer asal mula timbulnya religi dimulai saat

manusia mula-mula menggunakan ilmu gaib untuk memecahkan soal hidup

manusia yang berada diluar batas kemampuan akal manusia. Namun, lambat

laun terbukti ilmu gaib yang digunakan manusia tidak ada hasilnya, maka

mulailah manusia yakin baahwa alam didiami oleh makhluk-makhluk halus

yang lebih berkuasa daripada manusia, dan akhirnya manusia mulai mencari

hubungan dengan makhluk-makhluk halus itu sehingga timbulah religi

(Koentjaraningrat, 1987: 54).

c. Teori Lang tentang Dewa Tertinggi. Menurut Lang Kepercayaan terhadap

adanya tokoh-tokoh dewa tertinggi sebagai pencipta seluruh alam merupakan

bentuk religi manusia yang tertua, karena kepercayaan terhadap dewa


13

tertinggi meruapak bentuk kepercayaan dari suku-suku yang masih rendah

sekali tingkat kebudayaannya (Koentjaraningrat, 1987: 60).

d. Teori Marett tentang kekuatan luar biasa. Menurut Marett pangkal religi

adalah suatu emosi atau getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia

terhadap hal-hal serta gejala-gejala itu berasal (Koentjaraningrat, 1987: 60).

e. Teori Robertson Smith tentang upacara religi. Menurut Smith, religi

disamping mempunyai sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara juga

merupakan suatu perwujudan dari religi dan juga pelaksanaan sistem

upacaranya itu tetap. Religi muncul dari upacara atau ritual, karena pusat dari

religi adalah upacara religi (Koentjaraningrat, 1987: 67).

Menganai agama dan kebudayaan, keduanya mempunyai kesamaan,

keduanya mempunyai sistem nilai dan simbol, dan keduanya juga mudah merasa

terancam setiap kali ada perubahan (Kuntowijoyo, 2001: 195).

Agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi sebab keduanya

merupakan nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai

ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya

manusia bisa hidup di lingkungannya. Perbedaan agama dan kebudayaan adalah

agama itu final, abadi, dan tidak mengenal perubahan, sedangkan kebudayaan itu

dapat berubah (Kuntowijoyo, 2001: 201).

Interaksi agama dan kebudayaan itu dapat terjadi melalui beberapa cara,

yaitu:
14

a. Agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah

agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana

sholat mempengaruhi bangunan.

b. Kebudayaan dapat mempengaruhi simbol agama. Contohnya adalah

kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kyai yang

berasal dari padepokan atau hajar.

c. Kebudayaan dapat menggantikan sistem nilai dan simbol agama.

Dalam hubungannya antara dakwah dan seni, seni digunakan pada zaman

wali untuk berdakwah. Seperti contohnya saat sunan Kalijaga berdakwah

menggunakan wayang, masyarakat Jawa pada saat itu menyambut dengan baik

dakwah yang dilakukan oleh sunan Kalijaga. Namun seni sebenarnya bukan

hanya dijadikan alat komunikasi dalam dakwah, melainkan seni juga merupakan

ekspresi, impresi, dan juga pemikiran. Dengan seni orang dapat beribadah,

bertasbih, bertahmid, bertakbir, dan berdzikir. Dalam hubungannya dengan

dakwah, seni tidak boleh dipandang semata-mata alat dakwah saja, tetapi sebagai

dakwah itu sendiri, sebagai hikmah, sebagai kebijaksanaan (Kuntowijoyo, 2001:

184).

Agama terhadap budaya tidak saja mencoba memahami, melukiskan, dan

mengakui keunikannya, tetapi agama juga mempunyai konsep tentang ‘amr

(perintah), dan tanggung jawab. Agama memandang budaya sebagai sasaran

pembinaannya. Masalah budaya bukanlah bagaimana kita memahami, tetapi

bagaimana kita mengubah. Sikap agama seperti ini tidak jauh berbeda dengan
15

filsafat yang ingin mengubah dunia agar sesuai dengan angan-angan mengenai

gambaran dunia yang sempurna (Kuntowijoyo, 1991: 306).

Dakwah harus mengerti perbedaan-perbedaan cara beragama antar orang

desa dan kota, petani dan pedagang, dan juga antara masyarakat agraris dan

industri. Perbedaan ini perlu dimengerti agar dakwah dapat menyesuaikan diri

dengan berbagai kepentingan. Hanya ada satu komitmen, yaitu pada agama.

Komitmen pada organisasi adalah alat dan bukan tujuan (Kuntowijoyo, 2001:

184).

Dakwah yang baik dan mampu mencapai tujuan dakwah harus

menggunakan cara atau metode yang sesuai dengan situasi masyarakat yang akan

diberikan dakwah. Metode dakwah dibagi menjadi tiga yaitu:

a. Bi al-Hikmah, yaitu dakwah dengan memperhatikan situasi dan kondisi

sasaran dakwah dengan menitik beratkan pada kemampuan mereka, sehingga

dalam menjalankan ajaran-ajaran agama Islam selanjutnya, mereka tidak lagi

merasa terpaksa atau keberatan.

b. Mau’izatul Hasanah, yaitu berdakwah dengan memberikan nasihat-nasihat

atau menyampaikan ajaran-ajaran Islam dengan rasa kasih sayang, sehingga

nasihat dan ajaran Islam yang disampaikan dapat menyentuh hati mereka.

c. Mujadalah Billati Hiya Ahsan, yaitu berdakwah dengan cara bertukar pikiran

dan membantah dengan cara yang sebaik-baiknya dengan tidak memberikan

tekanan yang memberatkan pada komunitas yang menjadi sasaran dakwah

(Munir dan Wahyu, 2009: 32 - 34).


16

Faktor yang mempengaruhi perkembangan dakwah Islam di suatu daerah

berkaitan dengan kondisi masyarakatnya. Pola prilaku masyarakat menjadi

tantangan dalam perkembangan dakwah Islam. Prilaku yang tidak mau

meninggalkan kebiasaan adat istiadat seperti pergi ke kubur-kubur yang dianggap

keramat, dengan tujuan untuk meminta berkah kepada yang terkubur, hal ini

bertentangan dengan ajaran Islam (Kemal dan Ahmad, 2002: 115).

Dalam kehidupan beribadah, Masyarakat juga masih mencampur-adukan

antara ajaran agama Islam dengan berbagai kepercayaan dari ajaran agama lain,

sebagai contoh adanya tradisi memberikan sesaji yang ditunjukan kepada para

arwah, kepada roh-roh halus (Kemal dan Ahmad, 2002: 115).

Adanya Zending Kristen atau Kristenisasi dan juga mempengaruhi

perkembangan dakwah Islam di suatu daerah. Zending adalah bahasa Belanda

yang berarti pekabaran Injil (kitab suci agama Nasrani). Maksudnya adalah usaha-

usaha untuk menyebarkan agama Nasrani. Gerakan Zending dibawa oleh bangsa

Belanda ketika memasuki negeri Indonesia. Misi Zending ini erat kaitannya

dengan semangat orang-orang Barat dalam menjelajahi samudra yang terkenal

dengan semboyan 3G, yaitu gold (kekayaan), glory (kejayaan), dan gospel

(penyebaran agama Nasrani). Orang-orang Barat yang datang ke Indonesia adalah

bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Proses Kristenisasi dilakukan

oleh para pemimpin agama Kristen yang memang tugas mereka selain memimpin

kegiatan keagaamaan juga menyebarkan agama Kristen (Kemal dan Ahmad,

2002: 118).
17

Dalam melaksanakan semboyan 3G tersebut, pemerintah Hindia Belanda

menggarap penduduk bumi putra lewat dua langkah besar, yaitu Asosiasi dan

Kristenisasi. Program Asosiasi dilakukan dengan cara pemerintah Hindia Belanda

mengembangkan kebudayaan barat sedemikian rupa sehingga orang Indonesia

menerima kebudayaan barat sebagai kebudayaan mereka. Kristenisasi yaitu

program yang ditunjukkan untuk mengubah agama penduduk, yang Islam ataupun

yang bukan Islam menjadi Kristen (Kemal dan Ahmad, 2002: 124).

Pelaksanaan Zending Kristen meningkat pada saat pemerintahan Hindia

Belanda yang dipimpin oleh Jendral A.W.F. Indenburg dengan melancarkan

program yang dikenal dengan nama Kristening Politik. Konstitusi Belanda

menyetujui adanya misi-misi Kristen untuk beroprasi di Indonesia, dan pekerjaan

misi di Indonesia dibantu oleh dana–dana negara. Inilah yang menyebabkan

Zending Kristen dengan cepat berkembang ke seluruh wilayah Indonesia saat itu

(Kemal dan Ahmad, 2002: 125).

2. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

pendekatan Antropologi. Antropologi merupakaan ilmu yang membahas

mempelajari makhluk antrophos atau manusia, meruapakn suatu integrasi dari

bebrapa ilmu yang masing-masing mempelajari masalah-masalah khusus

mengenai manusia, termasuk di dalamnya menyangkut agama (Koentjaraingrat,

1987: 1).
18

G. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian sejarah, karena di dalamnya

terdapat unsur manusia, ruang dan waktu. Metode penelitian sejarah meliputi,

pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi, dan

penulisan sejarah (historiografi).

1. Pengumpulan Sumber (heuristik)

Dengan memasuki tahapan pengumpulan sumber (heuristik), seorang

peneliti sejarah memasuki lapangan penelitian. pengumpulan sumber dilakukan

dengan menggunakann teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Usaha

merekonstruksi masa lampau tidak mungkin dilakukan tanpa tersedianya sumber-

sumber atau bukti-bukti sejarah. Sumber sejarah dibedakan menjadi tiga yaitu:

Sumber sejarah yang bersifat umum dan khusus, sumber sejarah yang bersifat

tertulis dan tidak tertulis, serta sumber sejarah primer dan sumber sejarah

sekunder (Daliman, 2012: 51).

Data yang diburu oleh sejarawan dalam penelitian dan penulisan sejarah

lisan adalah kesaksian suara yang berasal dari masa lampau. suara yang

dipersaksikan itu muncul dari para pelaku dalam bentuk kata-kata dan kalimat-

kalimat yang bersifat verbal. Cara yang paling efektif untuk mendapatkan sumber

sejarah adalah wawancara (Priyadi, 2014: 90).

Penulis menggunakan wawancara individual yang dilakukan secara

intensif dan terus menerus agar mendapat data yang akurat. Dalam mengendapkan

jawaban, penulis juga melakukan wawancara dengan pelaku-pelaku lain. Penulis


19

mewawancarai tokoh yang terkait dengan perkembangan dakwah Islam di desa

Kaliori, antara lain pimpinan Muhammadiyah cabang Kalibagor, Kepala Desa

Kaliori, da’i yang sering melakukan dakwah di desa Kaliori, ulama desa Kaliori,

pendiri yayasan Nurul Umah, wakil pimpinan Lembaga Dakwah Islam Indonesia

(LDII) anak cabang desa Kaliori, masyarskat yang terpengaruh Kristenisasi di

desa Kaliori, dan tokoh lainnya yang berkaitan dengan perkembangan dakwah

Islam.

Untuk pimpinan Muhammadiyah cabang Kalibagor penulis mewawancarai

Agus Sumbodo. Penulis juga mewawancarai Kepala Desa Kaliori Offan Sofyan.

Untuk da’i penulis mewawancarai Kirsun dan Kuntoro, tokoh-okoh inilah yang

mengadakan dakwah Islam di desa Kaliori. H. Ansori, Basuki, dan Naswin yang

merupakan ulama desa Kaliori. Muslim yaitu pendiri yayasan Nurul Umah yang

merupakan salah satu media dakwah Islam di desa Kaliori. Ribudi yaitu wakil

pimpinan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) anak cabang desa Kaliori.

Untuk masyarakat yang terpengaruh Kristenisasi di desa Kaliori, penulis

mewawancarai Kadim dan untuk masyarakat pemeluk agama Kristen di desa

Kaliori penulis mewawancarai Margaretha Fitriani.

2. Kritik Sumber (Verifikasi)

Verifikasi pada penelitian sejarah identik dengan kritik sumber, yaitu

kritik ekstern yang mencari otentisitas atau keotentikan (keaslian) sumber dan

kritik intern yang menilai apakah sumber itu memiliki kredibilitas (kebiasaan

untuk dipercaya atau tidak (Priyadi, 2011:75).


20

Wawancara simultan dimanfaatkan untuk melakukan kritik intern dengan

cara membandingkan antarsumber, atau narasumber sejarah lisan. Sumber sejarah

lisan yang berversi-versi itu dibandingkan satu sama lain sehingga akan diketahui

versi yang kuat dan versi yang lemah. Kritik ekstern bermain pada keautentikan

atau keaslian sumber, sedangkan kritik intern bekerja pada kawasan kredibilitas

atau tingkat bisa dipercaya (Priyadi, 2014: 97).

Pada dasarnya pengumpulan sumber (heuristik), dan kritik (verifikasi)

sumber, bukanlah merupakan dua langkah kegiatan yang terpisah secara sekat satu

dengan lainnya. Bersamaan dengan ditemukannya sumber sejarah sekaligus

dilakukan uji verifikasi sumber (Daliman, 2012: 64).

3. Interpretasi

Interpretasi adalah upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah dalam

kerangka rekonstruksi realitas masa lampau. Fakta-fakta sejarah yang jejak-

jejaknya masih nampak dalam berbagai peninggalan dan dokumen hanyalah

merupakan bagian dari fenomena realitas masa lampau, dan yang harus didasari

bahwa fenomena itu bukan realitas masa lampau itu sendiri (Daliman, 2012: 83).

Pada tahap analisis, penulis menguraikan secara sedetail mungkin tiga

fakta, yaitu mantifact, sociafact, dan artifact dari berbagai sumber atau data

sehingga unsur-unsur terkecil dalam fakta tersebut akan menampakkan kohesinya

(Priyadi, 2011: 92).


21

4. Penulisan Sejarah (Historiografi)

Penulis menyajikan laporan hasil penelitian dari awal hingga akhir, yang

meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah

menjawab masalah-masalah yang telah diajukan. Penyajian historiografi meliputi

pengantar, hasil penelitian, dan simpulan. Penulisan sejarah harus memperhatikan

aspek kronologis, periodisasi, serialisasi, dan kausalitas (Priyadi, 2011: 88).

Penulisan sejarah (historiografi) menjadi sarana mengkomunikasikan

hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji (verifikasi) dan diinterpretasikan. Kalau

penelitian sejarah bertugas merekonstruksi sejarah masa lampau, maka

rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil pendirian tersebut

ditulis (Daliman, 2012: 83).

H. Sistematika Penyajian Hasil Penelitian

Penyajian hasil penelitian terdiri dari:

a. BAB I PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian Pustaka, kerangka

teoretis dan pendekatan, dan metode penelitian.

b. BAB II berisi pembahasan mengenai sejarah dakwah Islam di Desa Kaliori.

c. BAB III berisi pembahasan mengenai kehidupan beragama di Desa Kaliori.

d. BAB IV berisi pembahasan mengenai Perkembangan Dakwah Islam di Desa

Kaliori Kecamatan Kalibagor Kabupaten Banyumas tahun 1980-2015.

e. BAB V Penutup, berisi simpulan dan saran penulis.

Anda mungkin juga menyukai