Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

PENGENALAN METODE ISTINBAT

A. Pengertian Istinbat
istinbat menurut bahasa adalah mengeluarkan atau menetapkan. Sedangkan menurut
istilah sebagaimana didefenisikan Muhammad bin Ali al-Fayumi seorang ahli bahasa
Arab dan fiqih yaitu “upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan sunah dengan jalan
ijtihad1. Dari nash-nash al-Qur’an menghasilkan dua macam istinbat yaitu yang
berbentuk lafdziyah dan maknawiyah.
1. Istinbat Lafdziyah
Istinbat lafdziyah adalah mengistinbatkan hukum atau mengambil suatu hukum
ditinjau dari segi lafadznya. Ada tiga cara untuk mengetahui makna yang tepat dari
suatu lafadz yaitu:
a. Berdasarkan pengertian banyak orang yang telah mutawatir
b. Berdasarkan pengertian orang-orang yang tertentu
c. Berdasarkan hasil pemikiran akal, nalar, pemikiran suatu lafadz.
2. Istinbat Maknawiyah
Istinbat maknawiyah adalah mengambil hukum yang ditinjau dari segi maknanya.
Sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli melihat ada dua cara pendekatan yang
dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbat, yakni melalui kaidah-
kaidah kebahasaan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang melakukan istinbat
atau ijtihad adalah sebagai berikut:
a. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan
dengan masalah hukum.
b. Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis nabi yang berhubungan dengan
masalah hukum.
c. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma’ agar dalam
menentukan hukum sesuatu tidak bertentangan dengan ijma’
d. Memiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk
istinbat hukum.
e. Mengetahui ilmu logika agar dapat menghasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum,
dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
f. Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qiur’an dan sunah tersusun dalam
bahasa Arab.2
B.Lafadz dilihat dari kejelasan maknanya
Kalangan hanafiah sebagaimana dijelaskan oleh adib sholih yang dikutip oleh satria
effendi mengelompokkan lafadz dari segi kejelasan maknanya (dalalahnya) menjadi dua macam:
1. Lafaz yang artinya jelas yang meliputi empat tingkatan yaitu :
a. Zhahir
b. Nash
c. Mufassar
d. Muhkam

1?
Drs.Sapiudin shidiq, M.A.Ushul (Jakarta: Kencana,2011), hlm 159.
2
Mu’in, Asymuni Rahman, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Departemen agama,1986),hlm.2
2. Lafaz yang maknanya tidak jelas meliputi empat tingkatan juga yaitu:
a. Khafi
b. Musykil
c. Mujmal
d. Mutasyabih
 Lafaz yang jelas dalalahnya
1. Zhahir
Zhahir secara bahasa al-wuduh (jelas) secara istilah dikemukakan oleh Abdul Wahab
Khallaf ialah lafaz yang menunjukkan arti secara langsung dari nas itu tampa
memerlukan penyerta lain yang datang dari luar untuk memahami nash itu. Contohnya:

“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Qs.Al-baqarah/:275).

Makna zhahir dari ayat diatas adalah kehalalan jual beli dan keharaman riba. Kata
halal dan haram telah jelas arti dan maksudnya dari qarinah dari luar. Tetapi bukan
makna itu yang menjadi tujuan utama dari konteks ayat diats. Tujuan utamanya
ataumakna nashnya adalah perbedaan antara jual beli dan riba, karena ayat ini turun
sebagai bantahan orang musyrik yang mengatakan bahwa jual beli itu sama dengan riba.
Hukum yang jelas (zahir) dimungkinkan akan menerima ta’wil (memalingkan dari makna
zahir-nya) mungkin juga menerima takhsis juga bisa menerima nasakh (penghapusan
hukum).
Lafaz zahir terkadang harus di ta’wil untuk mencari makna yang dapat dipahami.
Yang dimaksud dengan ta’wil adalah “memalingkan arti zahir kepada makna lain yang
memungkinkan berdasarkan dalil/bukti”. Contohnya kata yadu pada ayat berikut ini :

“ artinya:…tangan allah di atas tangan mereka.. (Qs.Al-Fath/48:10)

Kata “yadun” pada ayat diatas memiliki dua arti masing-masing arti zahir yang
berarti tangan dan arti ta’wil yang berarti sulthan, atau kekuasaan.

2. Nash
Secara bahasa arti nash yaitu al-zuhur(jelas). Secara umum dan pengertian khusus .
pengertian pertama sebagaimana dikemukakan oleh para imam syafi’i adalah teks al-
quran dan hadis rasulullah baik yang tegas maupun yang tidak tegas. Berdasarkan
pengertian ini, maka istilah nash diperuntukkan untuk al-quran dan hadis. Nash dalam
pengertian kedua (khusus), dan pengertian kedua inilah yang akan menjadi pokok
pembahasan, yaitu lafaz yang menunjukkan arti yang asli yang muncul dari lafaz itu
secara jelas., tidak mungkin mengandung makna lain, pengertiannya cepat ditangkap
ketikamendengar lafaz itu. Seperti kata sepuluh (asyaratun) dalam ayat berikut ini :

Artinya: “..Tetapi jika tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali . itulah sepuluh(hari) yang sempurna demikian itu (kewajiban
membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
masjidil haram (orang-orang yang bukan penduduk kota mekkah..
(Qs.Al-baqarah/2:196)
Kata asyaratun dalam ayat diatas adalah nash karena makna nya jelas dan pasti
tidak akan Sembilan atau sebelas.
Dari sisi lain nash lebih kuat dibandingkan dengan zahir, oleh karena itu jika
terjadi pertentangan antara nash dan zahir maka yang dimenangkan adalah nash untuk
diamanlkan. Namun demikian , menurut abu Zahra bahwa nash bisa menerima ta’wil
sebagaimana zahir bisa menerima nasakh.
Perbedaan antara nash dengan zahir:
a. Dalalah nash lebih jelas dibandingkan dalalah zahir.
b. Makna nash adalah asli yang dikehendaki dari lafaz itu sendiri dengan zahir bukan
makna yang dikehendaki.
c. Ketika terjadi pertentangan antara nash dan zahir maka harus kembsli ke makna nash.

Abu Zahra dalam bukunya ushul fiqh ,menjelaskan pendapat ulama tentang kaitan
makna zahir dengan makna nash.kebanyakan ulama ushul fiqh dari kalangan
malikiyah, syafiiyah, dan hanabilah menyamakan zahir dengan nash. Namun,
sebagian yang lain masih dari kalangan malikiyah dan syafiiyah mengatakn bahwa
zahir dan nash itu perbedaan, nash tidak menerima kemungkinan makna lain
sedangkan zahir masih menerima kemungkinan makna lain.
Oleh karena itu ahli ushul kalangan syafiiyah menjelaskan bahwa zahir hanya
sampai kepada tingkat zhan(dugaan kuat), artinya dari makna yang jelas dan tepat
untuk dipahami dan merupakan ciri dari makna zahir tapi masih ada kemungkinan
untuk dipahami dengan pengertian yang lain. Contoh kata “saya melihat macan”, kata
macan pada contoh terakhir ini bisa mengandung dua pengertian pertama makna zahir
macan adalah “macan” adalah binatang buas yang kuat dan berani. Kedua makna
majas(ta’wil) yaitu seorang laki-laki yang pemberani.

3. Mufassar
Mufassar menurut ulama ushul fiqh adalah lafaz yang menunjukkan kepada
maknnya secara jelas dan terperinci yang tidak mungkin menerima ta’wil
(dipalingkan maknanya). Jika dibandingkan dengan nash, mufassar lebih jelas
karena pada mufassar tidak berlaku takhsis.
Lafaz mufassar terbagi menjadi dua :
a. Menujukkan maknanya secara jelas dan terperinci tanpa memerlukan lagi penjelasan
dari luar contoh firman allah swt :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka dera lah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka
buat selama lamanya dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (Qs.An-nur 24:4)

Jumlah delapan puluh kali dera adalah mufassar karena maknanya sudah jelas
tanpa perlu ada penambahan dan pengurangan dan tidak perlu di ta’wil . hukuman
delapan puluh kali dera ini diperuntukkan bagi pelaku qazaf, yaitu orang yang
menuduh orang baik berzina tanpa saksi.
b. Berupa mujmal (global), tidak jelas dan tidak terperinci, kemungkinan datang
penjelasan dari syariat sehingga menjadi jelas dan pasti tidak lagi menerima ta’wil.
Seperti perintah sholat, perintah zakat, perintah haji, dan keharaman riba. Empat
contoh tersebut terakhir ini adalah makna ayat ayat al-quran yang mujmal (global)
yang membutuhkan penjelasan syariat tetapi tidak ada penjelasan dari ayat-ayat yang
lain. Maka adtang hadist nabi berupa perkataan dan perbuatab beliau yang
menjelaskan perkara-perkara mujmal sehingga hukumannya menjadi jelas dan dapat
diamalkan .
perintah sholat dijelaskan oleh hadist nabi melalui hadistnya :

artinya: “ Sholatlah kamu semua sebagaimana kamu melihatku sholat”.


(Hr.Bukhari)

tentang haji dijelaskan oleh hadist nabi:

artinya : “Ambillah dariku tentang cara-caraku dalam beribadah haji”

bentuk kedua inilah yang disebut dalam istilah hadist dengan tafsir tasyri’i ,
karena bersumber pada syariat yaitu rasulullah, dan rasulullah dibekan kemampuan
untuk menafsirkan dan menjelasakan firmannya.

4. Muhkam
Muhkam sebagaimana di definisikan oleh Abu Zahra adalah “ kalimat yang
menunjukkan maknanya dengan jelas yang tidak menerima kemungkinan ta’wil
(dipalingkan kepada makna lain) dan tidak menerima takhsis” . lawan muhkam
adalah mutasyabih.
Abdul wahab khallaf menegaskan bahwa lafaz muhkam tidak bisa
dibatalkan hukumnya, tidak dapat diganti karena maknanya yang sudah jelas dan
juga tidak dapat menerima nasakh karena lafaz muhkam berisi antara lain :
a. Tentang ajaran-ajaran pokok agama yang tidak menerima nasakh
(penggantian) seperti ibadah kepada allah dan beriman kepada kitab-kitab dan
rasul.
b. Perbuatan-perbuatan utama yang tidak diperselisihkan seperti berbuat baik
kepada orang tua, berbuat adil dan sebagainya.
c. Hukum cabang (fiqh) yang diabadiakn oleh syariat seperti status orang yang
menuduh orang baik dengan berzina (qazhif), maka kesaksiannya tidak dapat
diterima selama lamanya dan hukum jihad yang abadi sebagimana sabda
nabi :”jihad itu berlaku hukumnya sejak dahulu sampai hari kiamat “.
Tiga macam kandungan”muhkam” sebagaimana tersebut diatas telah
menunjukkan kepada pengertian secara qat’i, tidak berlaku baginya ta’wil
dan tidak ada dalil bahwa perkara-perkara itu telah dinasakh pada zaman
nabi.

Anda mungkin juga menyukai