Anda di halaman 1dari 42

Nama : Muhammad Zakaria Anshari

NIM : 2020170016
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : M. Noor Hadi, M.Pd.I
Semester/Reguler : PBA / II / Reguler IV

BAB II
SUMBER PERUMUSAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Sumber dan Dalil


Secara etimologis (lughawi) kata sumber dapat diartikan suatu wadah yang dari
wadah itu dapat ditemukan atau ditimba norma hukum. Sedangkan “dalil hukum” berarti
sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. Kata
“sumber” dalam artian ini hanya dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunnah, karena
memang keduanya merupakan wa dah yang dapat ditimba hukum syara’ tetapi tidak
mungkin kata ini digunakan untuk ijma’ dan qiyâs karena keduanya bukanlah wadah yang
dapat ditimba norma hukum. Ijma’ dan qiyas itu, keduanya adalah cara dalam
menemukan hukum.
Kata “dalil” dapat digunakan untuk Al-Qur’an dan sunah, juga dapat di gunakan
untuk ijma’ dan qiyas, karena memang semuanya menuntun kepada penemuan hukum
Allah. Kata “dalil” itu berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologis ber arti sesuatu
yang dapat menunjuki. Kata “dalil” dan yang seakar dengannya, disebut sebanyak 8 kali
dalam Al-Qur’an dengan arti tersebut.
Di kalangan fuqaha, kata “dalil” itu diartikan: “sesuatu yang padanya terda pat
penunjukan pengajaran, baik yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang meyakinkan
atau kepada dugaan kuat yang tidak meyakinkan”. Di kalangan ulama ushul fiqh kata
“dalil” diartikan: “sesuatu yang menyampaikan kepada tuntutan khabari dengan
pemikiran yang sahih.” Dari rumusan definisi ushul fiqh itu, maka sesuatu yang tidak
menyampaikan kepada tuntutan atau menyampaikan kepada tuntutan yang bukan khabari,
atau yang menyampai kan dengan pemikiran yang salah, bukan disebut “dalil” dalam
artian ini.
Al-Syathibi mengemukakan prinsip suatu dalil syara’ sebagai berikut:
1. Dalil syara’ tidak bertentangan dengan tuntutan akal.
2. Tujuan pembentukan dalil adalah menempatkan perbuatan manusia dalam
perhitungannya.
3. Setiap dalil bersifat kulli (global).
4. Dalil syara’ terbagi kepada qath‘i dan zhanni.
5. Dalil syara’ terdiri dari dalil naqli dan dalil ‘aqli.
Al-Amidi membagi dalil kepada dua kelompok, yaitu:
1. Dalil-dalil syara’ yang disepakati, yaitu Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyas.
2. Dalil-dalil syara’ yang tidak disepakati, yaitu istihsan, maslahah mursalah, istishab,
‘urf, syar‘u man qablana, dan mazhab shahabi.
Al-Qur’an, sunah, Ijma’, dan Qiyâs disepakati oleh ahlusunah se bagai dalil secara
prinsip, walaupun berbeda dalam kadar penggunaannya namun mendapat landasan
hukum yang kuat dalam Al-Qur’an dan sunah, yaitu:
1. Landasan dalam Al-Qur’an adalah surat an-Nisa’ (4): 59.
2. Landasan dalam sunah adalah kisah pembicaraan Nabi dengan Muaz bin Jabal
sewaktu ia diutus oleh Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman.

B. Al-Qur’an sebagai Sumber dan Dalil


1. Pengertian Al-Qur’an
Definisi Al-Qur’an, yaitu: “Lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW., yang dinukilkan secara mutawatir”. Definisi ini mengandung
beberapa unsur yang menjelaskan hakikat Al -Qur’an, yaitu:
a. Al-Qur’an berbentuk lafaz.
b. Al-Qur’an itu adalah berbahasa Arab.
c. Al-Qur’an itu diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
d. Al-Qur’an itu dinukilkan secara mutawatir.
Di samping 4 unsur pokok tersebut, ada beberapa unsur sebagai penjelasan
tambahan yang ditemukan dalam sebagian dari beberapa definisi Al-Qur’an di atas,
yaitu:
a. Kata-kata “mengandung mukjizat setiap suratnya”, memberi penjelasan bahwa
setiap ayat Al-Qur’an mengandung daya mukjizat.
b. Kata-kata “beribadah membacanya”, memberi penjelasan bahwa dengan membaca
Al-Qur’an berarti melakukan suatu perbuatan ibadah yang berhak mendapat
pahala.
c. Kata-kata “tertulis dalam mushaf” (dalam definisi Syaukani dan Sarkhisi),
mengandung arti bahwa apa-apa yang tidak tertulis dalam mushaf walaupun
wahyu itu diturunkan kepada Nabi.
2. Autentisitas Al-Qur’an
a. Bacaan (Qira’at) Al-Qur’an
Dari segi pembacaan (qira‘at), Al-Qur’an, terdapat perbedaan. Ada 7
qira’at yang berkembang dan disepakati ke-mutawatir-annya yang mana dikenal
dengan “qiraa’at tujuh” atau “qira’at sab’ah”, diantaranya:
1) Qira‘at Ibnu Katsir, qari Mekah.
2) Qira‘at Ibnu ‘Amir, qari Syam.
3) Qira‘at Nafi’, qari Madinah.
4) Qira‘at Abu ‘Amru, qari Bashrah.
5) Qira‘at ‘Ashim, qari Kufah.
6) Qira‘at Hamzah, qari Kufah.
7) Qira‘at al-Kisai, qari Kufah.
Selain 7 qira’at tersebut, terdapat 3 qira’at yang tidak disepakati
kemutawatirannya yang disebut dengan qira’at syadzdzah yaitu qira’at Ibn Ja’far,
Ya’kub, dan Khalafa.
b. Kedudukan Qira’at Syadzdzah
1) Imam al-Syafi‘i berpendapat tidak boleh berdalil dengan qira‘at syadzdzah
karena Nabi Muhammad SAW. di tuntut untuk menyampaikan ayat-ayat Al-
Qur’an yang diturunkan kepa da beliau bagi sekelompok kaum yang tentu
ucapan mereka merupakan kekuatan dalam menetapkan hukum.
2) Imam Abu Hanifah menerima qira‘at syadzdzah (yang tidak mutawatir)
sebagai sumber dalam penetapan hukum karena sama dengan hadist adah yang
mana dapat dijadikan sumber dalam mengistinbathkan hukum.
Ulama yang tidak meyakini qira‘at syadzdzah sebagai Al-Qur’an tidak
memperbolehkan membaca qira‘at syadzdzah dalam shalat, sedangkan ulama
yang menganggap qira‘at syadzdzah adalah AlQur’an, membolehkan
membacanya dalam shalat.
c. Basmallah dalam Al-Qur’an
Suatu hal yang pasti, basmalah adalah bagian dari Al-Qur’an karena terdapat
dalam surat al-Naml. Dalam hal ini, sumber kabar nya bersifat mutawatir dan
tidak terdapat perbedaan pendapat. Namun, para ulama berbeda pendapat
mengenai “basmalah” yang terdapat di luar surat al-Naml, yaitu pada tiap
pembukaan surat dalam Al-Qur’an, selain surat at-Taubah.
1) Imam Syafi‘i berpendapat bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari surat
Al-Qur’an yang diawali oleh basmalah.
2) Imam Malik berpendapat bahwa basmalah di awal setiap surat bukan
merupakan ayat dalam surat Al-Qur’an. Juga bukan salah satu ayat dalam
surat al- Fatihah atau surat lainnya.
3) Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tertulisnya basmalah dalam Al-Qur’an
menunjukkan bahwa ia bagian dari Al-Qur’an, tetapi tidak menunjukkan
bahwa ia bagian dari surat Al-Qur’an yang didahului oleh basmalah itu.
Selain itu terdapat pula perbedaan membaca basmallah dalam shalat, yaitu:
a) Ulama yang mengatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari surat Al-
Qur’an membolehkan membaca basmalah dalam shalat.
b) Ulama yang mengatakan bahwa basmalah bukan bagian dari Al-Qur’an tidak
membolehkan membacanya dalam shalat, baik secara jahar (keras) maupun
secara sir (perlahan).
c) Ulama yang mengatakan bahwa basmalah adalah Al-Qur’an tetapi tidak
termasuk bagian dari surat membolehkan membaca basmalah dalam shalat
tetapi hanya secara sir, tidak boleh dijaharkan.
3. Fungsi dan Tujuan Turunnya Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada
umat manusia bagi kemaslahatan dan kepentingan umat Islam yang percaya akan
kebenarannya. Terdapat beberapa bentuk ungkapan yang menunjukkan fungsi
turunnya Al-Qur’an, diantaranya
a. Sebagai hudan atau petunjuk bagi keidupan umat.
b. Sebagai rahmat atau keberuntungan yang diberikan Allah SWT. dalam bentuk
kasih sayangnya.
c. Sebagai furqan yaitu pembeda antara yang baik dengan buruk, halal dengan
haram, salah dan benar, indan dan jelek, serta yang harus dilakukan dan harus
ditinggalkan (dilarang).
d. Sebagai mau’izhah atau pengajaran yang membimbing umat kepada kebahagiaan
dunia akhirat.
e. Sebagai busyra’ yaitu berita gembira bagi orang yang telah berbuat baik kepada
Allah dan sesama manusia.
f. Sebagai “tibyan” atau “mubin” yang berarti penjelasan terhadap segala sesuatu
yang disampaikan Allah.
g. Sebagai mushaddiq atau pembenar terhadap kitab yang datang sebelumnya, dalam
hal ini adalah: Taurat, Zabur, dan Injil.
h. Sebagai nur atau cahaya yang akan menerangi kehidupan manusia dalam
menempuh jalan menuju keselamatan.
i. Sebagai tafsil, yaitu memberikan penjelasan secara rinci sehingga dapat
dilaksanakan sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
j. Sebagai Syifau al-shudur atau obat bagi rohani yang sakit.
k. Sebagai hakim yaitu sumber kebijaksanaan.
Ada dua maksud turunnya Al-Qur’an secara berangsur itu, yaitu:
1) Untuk tatsbit al-fu‘ad atau kemantapan hati, yaitu ketenangan dan kepuasan
rohani dalam menerima dan menjalankan Al-Qur’an, baik bagi Nabi pribadi
maupun bagi umatnya.
2) Alasan penahapan turunnya ayat Al-Qur’an itu adalah dengan tujuan untuk adanya
tartil.
Tahap turunnya Al-Qur’an itu dibagi ke dalam dua tahap atau periode, yaitu:
a) Periode sebelum Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang turun dalam tahap ini
disebut Makiyah.
b) Periode sesudah Nabi hijrah ke Madinah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam
periode ini disebut Madaniyah.
4. Mukjizat Al-Qur’an
Secara etimologis (lughawi), “mukjizat” berarti sesuatu yang dapat melemahkan,
sehingga orang lain tidak dapat berbuat yang sama atau melebihi. Mukjizat Al-Qur’an
tidak terdapat pada lembaran fisiknya, tetapi dalam bahasa dan maksud yang
terkandung di dalamnya. Ia mempunyai keluarbiasaan yang secara akal tidak mungkin
dihasilkan sendiri oleh Nabi Muhammad. Hal itu menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu
seluruhnya memang berasal dari Allah SWT. Bentuk kemukjizatan Al-Qur’an dapat
dirangkum dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Dari segi keindahan Bahasa.
b. Dari segi pemberitaan mengenai kejadian masa lalu yang kemudian terbukti
kebenarannya, dan sesuai dengan pemberitaan kitab suci sebelumnya.
c. Dari segi pemberitaan Al-Qur’an tentang hal-hal yang akan terjadi dan ternyata
memang kemudian terjadi.
d. Dari segi kandungannya akan hakikat kejadian alam dengan seisinya serta
hubungan antara satu dengan lainnya.
e. Dari segi kandungannya mengenai pedoman hidup yang menuntun manusia
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
5. Ibarat Al-Qur’an dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur’an bukanlah kitab undang-undang yang menggunakan ibarat tertentu
dalam menjelaskan hukum. Al-Qur’an adalah sumber hidayah yang di dalamnya
terkandung norma dan kaidah yang dapat diformulasikan dalam bentuk hukum dan
undang undang. Dalam menjelaskan hukum, Al-Qur’an menggunakan beberapa cara
dan ibarat, yaitu dalam bentuk tuntutan, baik tuntutan untuk berbuat yang disebut
suruhan atau perintah, atau tuntutan untuk meninggalkan yang disebut larangan.
6. Penjelasan Al-Qur’an Terhadap Hukum
Dari segi penjelasannya terhadap hukum, ada beberapa cara yang digunakan Al-
Qur’an, yaitu:
a. Secara Juz’i (terperinci). Maksudnya, Al-Qur’an menjelaskan secara terperinci.
Allah dalam Al-Qur’an memberikan penjelasan secara lengkap, sehingga dapat
dilaksanakan menurut apa adanya, meskipun tidak dijelaskan Nabi dengan sunah-
Nya.
b. Secara Kulli (global). Maksudnya, penjelasan Al-Qur’an terhadap hukum berlaku
secara garis besar, sehingga masih memerlukan penjelasan dalam pelaksanaannya
dan yang paling berwenang memberikan penjelasan terhadap maksud ayat yang
berbentuk garis besar itu adalah Nabi Muhammad SAW. dengan sunah-Nya.
c. Secara Isyarah. Al-Qur’an memberikan penjelasan terhadap apa yang secara lahir
disebutkan di dalamnya dalam bentuk penjelasan secara ibarat.
Ayat Al-Qur’an dalam bentuk yang muhkam dengan penjelasan yang lengkap,
penunjukannya terhadap hukum adalah pasti (qath‘i dilalah). Dalam ayat itu tidak
mungkin ada maksud lain dan tidak mungkin pula ditanggapi dengan tanggapan yang
berbeda. Hukum yang ditunjuk secara pasti ini berlaku secara universal dan tidak
akan mengalami perubahan walaupun waktu dan tempatnya sudah berubah.
Ayat Al-Qur’an yang disampaikan secara mutasyabih, dalam bentuk penjelasan
yang bersifat garis besar dan ayat-ayat yang mengandung isyarat, penunjukannya
terhadap hukum bersifat zhanni (tidak meyakinkan), karenanya dapat dipahami
dengan beberapa kemungkinan pemahaman. Perbedaan pemahaman itu akan
menghasilkan versi hukum yang berbeda-beda. Ayat Al-Qur’an yang penjelasannya
bersifat zhanni ini umumnya berlaku dalam bidang mu‘amalah dalam arti luas yang
mengatur hubungan manusia dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat.
7. Hukum yang Terkandung dalam Al-Qur’an
Secara garis besar hukum-hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi tiga macam:
a. Pertama, hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT. mengenai
apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan
keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum
i’tiqadiyah yang dikaji dalam “Ilmu Tauhid” atau “Ushuluddin”.
b. Kedua, hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia mengenai sifat-sifat
baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus dijauhi dalam kehidupan
bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum khuluqiyah yang
kemudian dikembangkan dalam “Ilmu Akhlak”.
c. Ketiga, hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan tingkah laku lahirnya
dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan sesama manusia,
dan dalam bentuk apa yang harus dilakukan atau harus dijauhi. Hukum ini disebut
hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan dalam “Ilmu Syari‘ah”.
1) Hukum yang mengatur tingkah laku dan perbuatan lahiriah manusia dalam
hubungannya dengan Allah SWT., seperti shalat, puasa, zakat, dan haji.
Hukum ini disebut hukum “ibadah dalam arti khusus”.
2) Hukum yang mengatur tingkah laku lahiriah manusia dalam hubungannya
dengan manusia atau alam sekitarnya, seperti jual beli, kawin, pembunuhan,
dan lainnya. Hukum ini disebut hukum “mu‘amalah dalam arti umum”.
Dilihat dari segi pemberlakuannya bagi hubungan sesama manusia, bentuk hukum
mu‘amalah itu ada beberapa macam, yaitu:
a. Hukum mu’amalat dalam arti khusus.
b. Hukum munakahat.
c. Hukum mawaris atau wasiat.
d. Hukum jinayah atau pidana.
e. Hukum murafa’at atau qadha disebut juga hukum acara.
f. Hukum dusturiyah.
g. Hukum dualiyah.
8. Al-Qur’an sebagai Sumber Hukum Fiqh
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku
manusia mukalaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (law giver) adalah
Allah SWT.. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut
Al-Qur’an. Dengan demikian, ditetapkan bahwa Al-Qur’an itu sumber utama bagi
hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an itu membimbing dan
memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam
sebagian ayat-ayatnya.
Karena kedudukan Al-Qur’an itu sebagai sumber utama dan pertama bagi
penetapan hukum, maka bila seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu
kejadian selama hukumnya dapat diselesaikan dengan Al -Qur’an, maka ia tidak boleh
mencari jawaban lain di luar Al-Qur’an. Berarti Al-Qur’an itu menjadi sumber dari
segala sumber hukum. Hal ini berarti bahwa sumber hukum selain Al-Qur’an tidak
boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an.

C. Sunah sebagai Sumber dan Dalil


1. Pengertian Sunah
Secara etimologis kata sunah berarti cara yang biasa dilakukan, apakah cara itu
sesuatu yang baik, atau buruk. Sunah dalam istilah ulama ushul adalah: “apa-apa yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW., baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun pengakuan dan sifat Nabi”. Sedangkan sunah dalam istilah ulama fiqh
adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut melakukannya dalam bentuk
tuntutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang yang melaku kannya
dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya.
2. Macam-Macam Sunah
a. Sunah Qauliyah
Sunah qauliyah adalah ucapan Nabi yang didengar oleh sahabat beliau dan
disampaikannya kepada orang lain.
b. Sunah Fi’liyah
Sunah fi’liyah yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
yang dilihat atau diketahui oleh sahabat, kemudian disampaikannya kepada orang
lain dengan ucapannya.
c. Sunah Taqririyah
Sunah taqririyah yaitu perbuatan seorang sahabat atau ucapannya yang
dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Nabi, tetapi tidak ditanggapi atau
dicegah oleh Nabi. Diamnya Nabi itu disampaikan oleh sahabat yang
menyaksikan kepada orang lain dengan ucapannya. Diamnya Nabi dapat
dibedakan pada dua bentuk, yaitu:
1) Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi.
2) Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui
pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah
ibahah atau meniadakan keberatan untuk diperbuat.
3. Periwayatan Sunah
Dari segi jumlah pembawa kabar, ulama membagi kabar itu kepada tiga tingkatan:
a. Kabar mutawatir, yaitu kabar yang disampaikan secara berkesinambungan oleh
orang banyak kepada orang banyak yang kuantitasnya tidak memungkinkan
mereka bersepakat untuk berbohong.
b. Kabar masyhur, yaitu kabar yang diterima dari Nabi oleh beberapa orang sahabat
kemudian disampaikan kepada orang banyak yang untuk selanjutnya disampaikan
pula kepada orang banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas kabar
mutawatir.
c. Kabar ahad, yaitu kabar yang disampaikan dan diterima dari Nabi secara
perseorangan dan dilanjutkan periwayatannya sampai kepada perawi akhir secara
perseorangan pula.
Tingkat kebenaran yang paling tinggi adalah kabar mutawatir, kemudian kabar
masyhur, sedangkan yang paling rendah tingkat kebenarannya adalah kabar ahad.
4. Kebenaran Khabar dari Segi Ibarat yang Digunakan Pembawa Berita dalam
Menyampaikan Berita
a. Tingkat yang terkuat, bila pembawa berita mengatakan, “Saya mendengar Nabi
bersabda” atau “Nabi memberitakan kepada saya” atau, “ Nabi berbicara dengan
saya”.
b. Penyampai berita berkata, “Rasul Allah berkata”.
c. Bila pembawa berita mengatakan, “Nabi menyuruh kami berbuat ini”, atau “Nabi
melarang kami mengerjakan itu”.
d. Pembawa berita berkata, “Adalah Nabi Muhammad SAW. menyuruh begini atau
melarang begitu”.
e. Si pembawa berita berkata bahwa ia melakukan sesuatu kemudian ia
menghubungkan kepada suatu masa dengan Nabi dan tidak ada reaksi dari Nabi
tentang itu.
5. Fungsi Sunah
a. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau
disebut fungsi ta’kid dan taqrir.
b. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal:
1) Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
2) Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
3) Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
4) Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an
c. Menetapkan suatu hukum dalam sunah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-
Qur’an. Fungsi ini disebut dengan “itsbat”.
6. Penjelasan Sunah Terhadap Hukum dalam Al-Qur’an
Penjelasan Nabi terhadap hukum dalam Al-Qur’an memiliki beberapa bentuk:
a. Nabi memberikan penjelasan dengan cara dan bahasa yang mudah ditangkap oleh
umat sesuai dengan kemampuan akal mereka pada waktu itu.
b. Nabi memberikan penjelasan dengan cara-cara dan contoh-contoh yang secara
nyata terdapat di sekitar lingkungan kehidupan waktu itu.
Dari segi bentuk penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebutkan dalam Al-
Qur’an, terdapat beberapa bentuk penjelasan:
1) Penjelasan Nabi secara jelas dan terinci sehingga tidak mungkin ada pemahaman
lain. Walaupun dalam Al-Qur’an beberapa hukum bersifat mujmal (garis besar),
namun dengan penjelasan dari Nabi secara rinci, lafaz- lafaz yang menunjukkan
hukum itu menjadi jelas. Fungsi untuk memperjelas itu, disebut mubayyin.
2) Penjelasan Nabi tidak tegas dan terinci sehingga masih menimbulkan
kemungkinan-kemungkinan dalam pemahaman meskipun sudah ada
penjelasannya dari Nabi. Kemungkinan pemahaman itu mungkin terjadi dari segi
kebenaran materinya atau terjadi akibat ketidakpastian penjelasannya dari Nabi.
Penjelasan Nabi yang belum tuntas dan jelas itu disebut penjelasan yang zhanni.
Penjelasan yang berbentuk zhanni itu pada umumnya berlaku di bidang muamalat
dalam arti luas. Begitu pula dalam bidang ibadat yang tidak pokok.
7. Sunah Berdaya Hukum
Sunah tasyri’ atau sunah yang berdaya hukum yang mengikat untuk diikuti tebagi
dalam 3 bentuk, diantaranya:
a. Ucapan dan perbuatan yang muncul dari Nabi dalam bentuk penyampaian risalah
dan penjelasan terhadap Al-Qur’an.
b. Ucapan dan perbuatan yang timbul dari Nabi dalam kedudukannya sebagai imam
dan pemimpin umat Islam.
c. Ucapan dan perbuatan Nabi dalam kedudukannya sebagai hakim atau qadhi yang
menyelesaikan persengketaan di antara umat Islam.
Sunah berdaya hukum sebagaimana disebutkan di atas secara garis besarnya
mengandung beberapa bidang sebagai berikut:
1) ‘Akidah
Bidang ‘akidah ini dibatasi oleh Islam dalam hal perbedaan antara iman
dan kafir, yang berhubungan dengan Allah dan sifat-sifat-Nya, para rasul, wahyu,
dan hari kiamat. Sunah tidak dapat menetapkan dasar ‘akidah karena ‘akidah itu
menimbulkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan itu berarti keyakinan yang
pasti.
2) Akhlak
Dalam sunah atau hadis banyak sekali disampaikan Nabi hikmah-hikmah,
adab sopan santun dalam pergaulan, nasihat-nasihat, baik secara langsung maupun
dalam bentuk pujian terhadap keadilan, kebenaran, menepati janji, atau celaan
terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan umat. Sunah tersebut
menuntut munculnya manusia sempurna yang juga dikehendaki oleh rasa dan
pandangan yang wajar.
3) Hukum-Hukum Amaliyah
Hal ini berhubungan dengan penetapan bentuk-bentuk ibadat, pengaturan
muamalat antar manusia, memisahkan hak dan kewajiban, serta menyelesaikan
persengketaan di antara umat secara adil. Hukum-hukum yang diperoleh dari
sunah dalam bentuk inilah, yang disebut Fiqh sunah, sedangkan hadisnya sendiri
disebut hadis Ahksm yang mana dalam bentuk inilah dijadikan sumber hukum
oleh para ahli fiqh sesudah Al-Qur’an. Dari situ lah mereka meng-istinbath-kan
hukum dan mencari penjelasan tentang petunjuk-petunjuk Al-Qur’an yang
menyangkut hukum.
8. Kedudukan Sunah Sebagai Sumber Hukum
Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dalam kedudukannya sebagai penjelas,
sunah memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar
apa yang ditentukan Allah dalam Al -Qur’an.
Kedudukan sunah sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan
hukum Al-Qur’an, tidak diragukan lagi dan dapat diterima oleh semua pihak, karena
memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah SWT. Jumhur ulama berpendapat bahwa
sunah berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua sesudah Al-Qur’an dan
mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.

D. Ra’yu (Nalar) sebagai Dalil Hukum


1. Pengertian Ra’yu
Kata ra’yu secara etimologi, artinya “melihat”. Terhadap objek yang konkret kata
ra’yu itu berarti melihat dengan mata kepala atau memerhatikan. Terhadap objek yang
abstrak, kata ra’yu tidak mungkin diartikan melihat dengan mata kepala, tetapi harus
diartikan “melihat dengan mata hati” atau dengan arti “memikirkan”. Kata ra’yu yang
dimaksud dalam pembahasan ini adalah dalam artian “memikirkan”, juga berarti
“hasil pemikiran” atau “rasio”.
2. Peranan dan Cara Penggunaan Ra’yu dalam Fiqh
Aturan Allah itu dapat ditemukan secara harfiah dalam Al-Qur’an atau di balik
yang harfiah itu. Dari segi ini, hukum Allah dapat ditemukan dalam tiga kemungkinan
sebagai berikut:
a. Hukum Allah dapat ditemukan dalam ibarat lafaz Al-Qur’an menurut yang
disebutkan secara harfiah. Bentuk ini disebut “hukum yang tersurat dalam Al-
Qur’an”.
b. Hukum Allah tidak dapat ditemukan secara harfiah dalam lafaz Al-Qur’an
maupun Sunah, tetapi dapat ditemukan melalui isyarat atau petunjuk dari lafaz
yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Hukum dalam bentuk ini disebut “hukum yang
tersirat dibalik lafaz Al-Qur’an”.
c. Hukum Allah tidak dapat ditemukan dari harfiah lafaz dan tidak pula dari isyarat
suatu lafaz yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunah, tetapi dapat ditemukan
dalam jiwa dari keseluruhan maksud Allah dalam menetapkan hukum. Hukum
Allah dalam bentuk ini disebut: “hukum yang tersuruk (tersembunyi) dibalik Al-
Qur’an”.
Untuk mengetahui hukum Allah dalam bentuk pertama kita dapat mengandalkan
dari apa yang tersurat dalam Al-Qur’an, dan penjelasannya dari Nabi (atau dari dalil
nash). Peranan ra’yu dalam hal ini hampir tidak berarti. Tetapi untuk memahami
hukum dalam bentuk kedua dan apalagi dalam bentuk ketiga, sangat diperlukan
peranan ra’yu atau ijtihad.
Untuk mengetahui hukum yang tersirat dibalik yang tersurat dari suatu lafaz,
dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunakan ra’yu. Di sini diperlukan daya
ra’yu yang tinggi untuk mengetahui hakikat dan tujuan suatu lafaz dalam Al-Qur’an,
sehingga memungkinkan untuk merentangkan hukum yang ditentukan dalam lafaz
tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan dibalik lafaz itu. Usaha perentangan
suatu lafaz ini dapat dilakukan dengan beberapa cara:
1) Perentangan suatu lafaz kepada maksud lain dapat dilakukan dengan pemahaman
lafaz semata. Dalam ushul fiqh cara seperti ini disebut menggunakan kaidah
mafhum, baik mafhum muwafaqah maupun mafhum mukhalafah.
2) Perentangan suatu lafaz kepada maksud lain tidak dengan pemahaman lafaz
semata, tetapi tergantung pada pemahamann alasan hukum atau ‘illat. Cara
perentangan lafaz dalam bentuk ini disebut menggunakan kaidah qiyas.
Dalam mengetahui hukum yang tersuruk memang sangat diperlukan daya dan
kemampuan ra’yu yang tinggi. Bila dalam mengetahui hukum yang tersirat ada
pedoman yang digunakan dalam menetapkan hukumnya yaitu kaitannya dengan nash,
maka dalam mengetahui hukum yang tersuruk tidak ada yang dapat dijadikan
pedoman yang kuat. Untuk maksud itu sangat diperlukan kemampuan menggali
hakikat dari tujuan Allah dalam menetapkan hukum atas suatu kejadian.
3. Batas Penggunaan Ra’yu
Ra’yu (nalar) dapat digunakan terhadap hal-hal yang sudah ada nash tetapi dalam
pengaturannya tidak dikemukakan secara pasti. Dengan demikian, ra’yu itu dapat
digunakan dalam dua hal, yaitu:
a. Dalam hal-hal yang tidak ada hukumnya sama sekali.
b. Dalam hal-hal yang sudah diatur dalam nash tetapi penunjukannya terhadap
hukum tidak secara pasti.
Dari dua hal di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Terhadap yang hukumnya disebutkan secara pasti dalam nash, tidak ada peranan
ra’yu (nalar).
2) Terhadap kejadian yang sama sekali tidak terdapat dalam nash, nalar dapat
menjalankan fungsi formulasi.
3) Terhadap kejadian yang hukumnya disebutkan dalam nash secara penunjukan
yang tidak pasti, ra’yu dapat menjalankan fungsi reformulasi.
4. Kekuatan Hukum Hasil Temuan Nalar
Nalar berperan dalam penggalian dan penetapan hukum, baik terhadap hukum
yang tersirat, apalagi dalam hukum yang tersuruk. Pada hukum yang berdasarkan
nash kekuatan hukumnya bersifat pasti (qath‘i). Artinya, apa yang dikehendaki oleh
Allah adalah sebagaimana yang secara jelas dilafazkannya dalam nash. Sedangkan,
pada hukum yang ditetapkan mujtahid dengan ra’yu adalah semata dugaan kuat dari
mujtahid yang mana tidak dapat dipastikan oleh mujtahid itu sendiri bahwa itulah
sebenarnya hukum Allah, karena Allah tidak pernah menjelaskannya demikian. Oleh
karena itu, hukum hasil ra’yu mujtahid kekuatannya bersifat relatif (zhanni).
5. Penggunaan Ra’yu sebagai Dalil Hukum Fiqh
a. Dilihat dari segi orang yang menggunakannya. Penggunaan ra’yu dalam bentuk
ini ada dua cara:
1) Penggunaan ra’yu secara kolektif. Artinya, hukum yang dite tap kan di
dasarkan pada hasil penalaran yang sama atau kesepakatan pendapat dalam
menetapkan hukum. Cara ini disebut ijtihad jama‘I yang mana dalam istilah
hukum cara penggunaan ra’yu dalam bentuk ini disebut ijma’.
2) Penggunaan ra’yu secara perseorangan. Artinya, apa yang dapat dicapai oleh
seorang mujtahid tentang hukum suatu masalah belum tentu sama dengan apa
yang dapat dicapai oleh mujtahid lain mengenai masalah yang sama. Cara
penggunaan ra’yu dalam bentuk ini disebut ijtihad fardi.
b. Dilihat dari segi ada atau tidaknya dasar rujukan ra’yu itu kepada nash Al-Qur’an
atau sunah.
Yang terkuat di antara dua cara penggunaan ra’yu ini dari segi pencapaian
kebenaran atau terhindar dari kesalahan ada lah ra’yu yang merujuk kepada nash
Al-Qur’an atau sunah. Penggunaan ra’yu dalam bentuk ini dalam istilah hukum
disebut qiyas.
E. Ijma’ Sebagai Dalil Hukum Fiqh
1. Arti Ijma’
Secara etimologi ijma’ berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau
keputusan berbuat sesuatu. Selain itu, ijma’ juga bisa diartikan “sepakat”. Ijmâ’ itu
adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku
dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Namun, perlu ditekankan bahwa
ijma’ ini hanya terbatas dalam masalah hukum amaliah dan tidak menjangkau kepada
masalah ‘akidah.
Dari definisi di atas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu ijma’
yang sekaligus merupakan rukun ijma’, yaitu:
a. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma’, terdapat sejumlah
orang yang berkualitas mujtahid, karena kesepakatan itu tidak berarti bila yang
sepakat itu hanya seorang.
b. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang
kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid.
c. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid
mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terang-
terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan
mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu atau dalam bentuk perbuatan
dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai
hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk perseorangan yang
kemudian ternyata hasilnya sama atau secara bersama-sama dalam satu majelis
yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat.
2. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa ijmâ’ mungkin dapat terlaksana dan memang
telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya pengangkatan Abu Bakar menjadi
khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma’, demikian pula haramnya
lemak babi, berhaknya kakek atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya
cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-lain hukum furu’ sebagaimana tersebar
dalam kitab-kitab fiqh.
Abdul Wahab Khallaf menjelaskan besarnya kemungkinan terjadinya ijma’
terutama dalam masa yang serba maju ini jika pelaksanaan itu ditangani oleh suatu
negara dengan bekerja sama dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya
beragama Islam. Setiap negara menetapkan standar tertentu mengenai seseorang dapat
dinyatakan mencapai derajat mujtahid dan memberikan ijazah mujtahid terhadap
semua yang mencapai derajat itu, sehingga dengan demikian semua mujtahid di dunia
ini dapat diketahui.
3. Kedudukan Ijma’Sebagai Dalil Hukum
Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah Al-Qur’an dan sunah. Ini berarti ijma’ dapat menetapkan
hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan
hukumnya dalam AlQur’an maupun Sunah. Terdapat sebuah hadis yang menjelaskan
bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-sama sepakat tentang
sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijmâ’ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga
putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam.
4. Perkembangan Pendapat Ulama tentang Pembatasan Ijma’
a. Keikutsertaan Kalangan Awan dalam Ijma’
Jumhur ulama berpendapat bahwa suara orang awam tidak diperhitungkan
untuk melangsungkan suatu ijma’. Sebagian kecil ulama mengatakan bahwa suara
orang awam menentu kan dalam penetapan ijma’ yang mana dianggap pendapat
yang terpilih oleh Amidi karena pendapat umat mempunyai kekuatan hujah karena
ia bebas dari kesalahan sebagaimana dijelaskan oleh dalil-dalil.
b. Ijma’ Sesudah Masa Sahabat
Kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa ijma’ itu mempunyai
kekuatan hujah berpendapat bahwa ijma’ tidak hanya berlaku pada masa sahabat
saja, tetapi pada setiap masa ijma’ itu mempunyai kekuatan hujah bila memenuhi
ketentuannya. Daud al-Zhahiri serta pengikutnya dari kelompok Zhahiriyah dan
Imam Ahmad berpendapat bahwa ijma’ yang mempunyai daya hujah hanya pada
masa sahabat, karena memungkinkan terjadinya ijma` secara praktis, sebab waktu
itu jumlah mujtahid masih terbatas dan wilayah domisili relatif berdekatan.
Sehingga ijma’ dapat terlaksana menurut syarat yang ditentukan.
c. Kesepakatan Mayoritas
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah ijma’ bila hanya mayoritas
ulama saja yang bersepakat sedangkan ada minoritas yang menentangnya.
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Abu Bakar al-Razi, Abu Husein Khayyat dari
Mu’tazilah dan Ahmad ibn Hanbal berpendapat bahwa kesepakatan mayoritas
mujtahid sudah dapat menghasilkan ijma’, meskipun ada beberapa mujtahid yang
menolaknya. Sebagian ulama berpendapat bahwa bila jumlah minoritas itu
mencapai tingkat mutawatir, maka ketidaksepakatan mereka menyebabkan tidak
terlaksananya ijma’. Akan tetapi, kesepakatan mayoritas ulama dapat menjadi
hujah, namun tidak dapat disebut ijma’.
d. Kesepakatan Ulama Madinah
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan ulama Madinah saja tidak
merupakan kekuatan hujah terhadap ulama lain yang tidak sependapat dengan itu
karena kesepakatan ulama Madinah itu bukan ijma’. Sedangkan Ulama Malikiyah
mengatakan bahwa, kesepakatan ulama Madinah adalah ijma’ dan mempunyai
kekuatan hujah terhadap ulama lain yang menyalahinya.
e. Kesepakatan Ahlu al-Bait
Ahlu al-Bait dalam pandangan ulama Syi‘ah adalah keturunan Nabi
Muhammad SAW. melalui putrinya, Fathimah dengan Ali ibn Abi Thalib. Di
kalangan ulama Syi‘ah berlaku pendapat bahwa kesepakatan Ahlu al-Bait atas
suatu hukum dianggap ijma’ yang mempunyai kekuatan hukum terhadap orang
lain. Pengertian kesepakatan yang mempunyai kekuatan hujah di sini berarti
kesepakatan dalam menemukan ucapan orang yang ma’shum.
Seluruh ulama Ahl al-sunah menolak pandangan ulama Syi‘ah dan Ahlu
al-Bait sebagai ijma’ yang mengandung hujah. Ulama Ahl al-sunah ber pendapat
bahwa yang ma’shûm itu adalah umat secara keseluruhan, sedang kan Ahlu al-
Bait hanya sebagian kecil dari umat.
f. Kesepakatan Khulafaur Rasyidin
Jumhur ulama berpendapat bahwa kesepakatan khalifah yang empat itu
bukan ijmâ’ dan tidak dapat dijadikan hujah menurut apa adanya. Jumhur ulama
berpegang pada dalil umum bahwa yang terpelihara dari kesalahan dan dosa
adalah kesepakatan menyeluruh, bukan kesepakatan terbatas. Hadis yang
menyuruh mengikuti sunah khulafa al -rasyidin tidak hanya terbatas pada empat
orang sahabat saja, karena para sahabat itu di depan Nabi adalah sama derajatnya.
5. Pendapat Ulama tentang Persyaratan Ijma’
a. Kuantitas Anggota Ijma’
Para ulama sependapat bahwa ijma’ itu terlaksana karena adanya
kesepakatan seluruh ulama mujtahid dan tidak ada perbedaan pendapat diantara
mereka. Mereka juga sependapat bahwa yang sepakat itu adalah banyak orang.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah minimal ulama
mujtahid untuk terlaksananya suatu ijma’.
Diantara ulama ada yang menetapkan kehujahan ijma’ melalui dalil ‘aqli
(akal atau logika), seperti Imam Haramain dan ulama lain yang sependapat
dengannya berpendapat bahwa jumlah ulama mujtahid untuk terlaksananya ijma’
adalah jumlah yang mencapai batas mutawatir yang tidak memungkinkan
bersekongkol untuk berdusta atau melakukan kesalahan. Di samping itu, ada
kelompok lain yang menetapkan kehujahan ijma’ hanya berdasarkan dalil naqli
(nash).
b. Berlalunya Masa
Telah dijelaskan bahwa ijma’ itu berlangsung berdasarkan kesepakatan
ulama mujtahid dalam satu masa tertentu.
1) Imam Ahmad ibn Hambal, Ustaz Abu Bakar ibn Fauraq, dan sebagian kecil
diantara ulama Syafi‘iyah berpendapat bahwa berlalunya masa atau punahnya
peserta ijma’ merupakan syarat untuk kekuatan hujah suatu ijma’.
2) Jumhur ulama yang terdiri dari kebanyakan pengikut Syafi‘iyah, Abu Hanifah,
ulama kalam Asy‘ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa berlalunya masa
dan meninggalnya semua peserta ijma’ bukan syarat untuk kekuatan suatu
ijma’.
3) Sebagian ulama merinci persyaratan berlalunya masa bagi peserta ijma’ itu
berdasarkan bentuk ijma’-nya. Bila ijma’ itu dalam bentuk ijma’ sharih, maka
berlalunya masa dan meninggalnya semua peserta ijma’ itu tidak merupakan
persyaratan. Tetapi, bila ijma’ itu dalam bentuk ijma’ sukuti, maka berlalunya
masa bagi mujtahid yang tidak mengemukakan pendapatnya dan tidak
menyanggah pendapat yang dikemukakan mujtahid lainnya, merupakan
persyaratan. Ini adalah pendapat yang dipilih al-Amidi.
c. Sandaran Ijma’
Yang dimaksud “sandaran” disini adalah dalil yang kuat dalam bentuk
nash Al-Qur’an atau sunah, baik secara langsung muapun tidak. Dalil itu dapat
dijadikan rujukan bagi keputusan ijma’. Ulama yang mempersyaratkan adanya
sandaran atau rujukan bagi suatu ijma’ sepakat menjadikan nash Al-Qur’an dan
sunah sebagai sandaran ijma’. Namun dalam menempatkan qiyas atau ijtihad
sebagai sandaran mereka berbeda pendapat:
1) Jumhur ulama membolehkan qiyas dan ijtihad dijadikan sandaran ijma’
meskipun mereka berbeda pendapat mengenai kemungkinan hal seperti itu
terlaksana dalam kenyataan.
2) Sebagian ulama diantaranya ulama Syi‘ah, Daud al-Zhahiri, Ibn Jarir al-
Thabari berpendapat tidak boleh menjadikan qiyas atau ijtihad sebagai san
daran ijma’.
3) Sebagian ulama mengambil pendapat di tengah-tengah kedua pendapat di atas.
Menurut mereka bila qiyas itu didasarkan ke pada ‘illat yang ditetapkan
berdasar kan nash atau ‘illat yang kuat maka bisa dijadikan sandaran ijma’.
6. Fungsi Ijma’
Yang dimaksud fungsi ijma’ disini adalah kedudukannya dihubungkan dengan
dalil lain, berupa nash atau bukan. Memang pada dasarnya ijma’ itu, menurut ulama
Ahl al-sunah, mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum dengan sendirinya.
Tetapi dalam pandangan ulama Syi‘ah, ijma’ itu adalah hanya untuk menyingkapkan
adanya ucapan seseorang yang ma’shum. Dalam hal ini terlihat ada dua pandangan
yang berbeda mengenai kedudukan dan fungsi ijma’, dilihat dari sudut pandangan
masing-masing kelompok.
Dalam pandangan ulama yang berpendapat bahwa ijma’ itu berfungsi menetapkan
hukum atas dasar taufik Allah yang telah dianugerahkan kepada ulama yang
melakukan ijma’ tersebut. Dalam pandangan ini tampak bahwa kedudukan dan fungsi
ijma’ itu bersifat mandiri. Dalam pandangan ulama yang mengharuskan adanya
sandaran untuk suatu ijma’, dalam bentuk nash atau qiyas, maka ijma’ itu berfungsi
untuk meningkatkan kualitas dalil yang dijadikan sandaran itu. Melalui ijma’, dalil
yang asalnya lemah atau zhanni menjadi dalil yang kuat atau qath‘i, baik dalil itu
berbentuk nash atau qiyas.
7. Peringkat Ijma’
Tingkatan kualitas ijma’ itu adalah sebagai berikut:
a. Ijma’ Sharih
Yaitu, ijma’ yang terjadi setelah semua mujtahid dalam satu masa
mengemukakan pendapatnya tentang hukum tertentu secara jelas dan terbuka,
baik melalui ucapan (hasil ijtihadnya disebarluaskan melalui fatwa), melalui
tulisan atau dalam bentuk perbuatan (mujtahid yang menjadi hakim memutuskan
suatu perkara) dan ternyata seluruh pendapat mereka menghasilkan hukum yang
sama atas hukum tersebut.
b. Ijma’ Sukuti
Yaitu, kesepakatan ulama melalui cara seorang mujtahid atau lebih
mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah dalam masa tertentu,
kemudian pendapat itu tersebar luas serta diketahui orang banyak dan ternyata
tidak seorang pun diantara mujtahid lain yang mengemukakan pendapat berbeda
atau yang menyanggah pendapat itu. Ijma’ sukuti ini pengaruhnya terhadap
hukum bersifat zhanni (tidak qath’i), atau merupakan dugaan kuat tentang
kebenarannya.
c. Kesepakatan dalam Prinsip
Yaitu, para mujtahid berbeda pendapat dan menghasilkan banyak pendapat
yang berkembang, namun mereka sepakat dalam satu hal tertentu yang merupakan
prinsip. Kesepakatan yang prinsip ini dapat dijadikan hujah dan tidak boleh
mujtahid mengemukakan pendapat yang menyalahi pendapat orang banyak itu.
Di samping pembagian ijma’ kepada tiga tingkatan tersebut, ada ulama yang
membagi peringkat ijma’ itu dari segi penerimaan ulama kepada ijma’ tersebut, yaitu:
1) Ijma’ kaum muslimin
2) Ijma’ para sahabat
3) Ijma’ ahlul ‘ilmi dalam segala masa
8. Nasakh Ijma’
Yang dimaksud nasakh ijma’ disini adalah munculnya ijma’ ulama yang
menyatakan bahwa keputusan ijma’ sebelumnya tidak berlaku lagi atau muncul
pendapat ulama secara perseorangan atau muncul ijma’ atas suatu hukum yang
berbeda dengan apa yang sebelumnya disepakati ulama terdahulu.
Pembicaran tentang nasakh ijmâ’ itu bukanlah dalam arti sebenarnya, tetapi berupa
kemungkinan munculnya ijma’ yang menasakh atau mengakhiri berlakunya hasil
ijma’ yang lalu.
Ulama mengemukakan kemungkinan adanya nasakh mensyaratkan ijma’ itu baru
mempunyai kekuatan yang mengikat bila memang tidak ada yang meninjau atau
membatalkan ijma’ tersebut. Sedangkan di kalangan ulama yang tidak mensyaratkan
berlalunya masa, menganggap tidak perlu ada persyaratan itu, karena ijma’ yang telah
berlangsung itu, juga tidak dapat dinasakh oleh yang datang kemudian.
9. Ketetapan Ijma’
Ijma’ adalah dalil hukum yang bersifat qath‘i atau meyakinkan kebenarannya.
Karena itu penukilan dan penyebarluasannya pun haruslah dengan cara meyakinkan
pula, yaitu melalui kabar mutawatir, supaya sifat qath‘i pada asal hukumnya dapat
diimbangi dengan qath‘i dalam segi sanad (materi hukum) dan periwayatannya.
Ulama yang mensyaratkan dalil ashal itu harus qath‘i menolak penggunaan kabar
ahad dalam menukilkan ijma’. Sedangkan ulama yang tidak mensyaratkan dalil ashal
itu harus qath‘i berpendapat bahwa ijma’ yang dinukilkan secara ahad dapat dijadikan
hujah.
10. Mengingkari Hasil Ijma’
Pengingkaran terhadap hasil ijma’ itu dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai
berikut:
a. Ia secara prinsip tidak mengakui ijma’ sebagai salah satu dalil hukum yang
mengikat karena memang tidak ada dalil sharih dengan dilalah yang qath‘i tentang
kehujahan ijma’ tersebut yang dapat diterima semua pihak.
b. Ia mengakui ijma’ sebagai hujah syar‘iyah secara prinsip, namun ia menolak
menerima ijma’ tertentu karena menurut keyakinannya cara penukilan ijma’ itu
tidak meyakinkan atau ia tidak yakin bahwa memang telah berlangsung ijma’
tentang suatu masalah.
c. Ia menerima ijma’ secara prinsip dan meyakini secara pasti bahwa ijma’ telah
berlangsung, namun ia tetap tidak mengindahkannya.
Sebagian ulama merinci persoalan hukum atas orang yang mengingkari ijma’ itu
dengan melihat alasan orang yang tidak mengamalkan hasil ijma’ tersebut. Jika
sampai mengingkari hukum-hukum yang termasuk masalah pokok dalam agama
seperti kewajiban shalat dan haramnya zina, maka hukumnya kafir.

F. Qiyas Sebagai Metode Penggalian Hukum Syara’


1. Pendahuluan
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra’yu untuk menggali hukum syara’
dalam hal-hal yang nash Al-Qur’an dan sunah tidak menetapkan hukumnya secara
jelas. Pada dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra’yu, yaitu: penggunaan ra’yu
yang masih merujuk kepada nash dan penggunaan ra’yu secara bebas tanpa
mengaitkannya kepada nash. Usaha meng-istinbath dan penetapan hukum yang
menggunakan metode penyamaan ini disebut ulama ushul dengan qiyas (analogi).
2. Arti Qiyas
Secara etimologis, kata “qiyâs” berarti ,mengukur, membanding sesuatu dengan yang
semisalnya. Secara terminologi (istilah hukum), qiyas berarti Menanggungkan sesuatu
yang diketahui kepada sesuatu yang diketahui dalam hal menetapkan hukum pada
keduanya atau meniadakan hukum dari kedua nya disebabkan ada hal yang sama
antara keduanya, dalam penetapan hu kum atau peniadaan hukum.
Dari uraian tentang definisi qiyas tersebut dapat diketahui hakikat qiyas itu, yaitu:
a. Ada dua kasus yang mempunyai ‘illat yang sama.
b. Satu di antara dua kasus yang bersamaan ‘illat-nya itu sudah ada hukumnya yang
ditetapkan berdasarkan nash, sedangkan kasus yang satu lagi belum diketahui
hukumnya.
c. Berdasarkan ‘illat yang sama, seorang mujtahid menetapkan hukum pada kasus
yang tidak ada nash-nya itu seperti hukum yang berlaku pada kasus yang
hukumnya telah ditetapkan berdasarkan nash.
Dari uraian mengenai hakikat qiyas tersebut, terdapat empat unsur (rukun) pada
setiap qiyas, yaitu:
a. Suatu wadah atau hal yang telah ditetapkan sendiri hukumnya oleh pembuat
hukum. Ini disebut “maqis alaih” atau ashal” atau “musyabbah bihi”.
b. Suatu wadah atau hal yang belum ditemukan hukumnya secara jelas dalam nash
syara’. Ini disebut “maqis” atau “furu’” atau “musyabbah”.
c. Hukum yang disebutkan sendiri oleh pembuat hukum (syari) pada ashal.
Berdasarkan kesamaan ashal itu dengan furu’ dalam illat-nya, para mujtahid dapat
menetapkan hukum pada furu’. Ini disebut “hukum ashal”.
d. ‘Illat hukum yang terdapat pada ashal dan terlihat pula oleh mujtahid pada furu’.
3. Qiyas Sebagai Dalil Hukum Syara’
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’,
Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil syara’.
b. Kelompok ulama Zhahiriyah dan Syi‘ah Imamiyah yang menolak peng gunaan
qiyas secara mutlak.
c. Kelompok yang menggunakan qiyas secara luas dan mudah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai dalil syara’
adalah:
1) Dalil Al-Qur’an
a) Allah SWT. memberi petunjuk bagi penggunaan qiyas dengan cara
menyamakan dua hal.
b) Allah menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana dipahami dari beberapa
ayat Al-Qur’an.
c) Perintah menaati Allah berarti perintah mengikuti hukum dalam Al-Qur’an,
perintah mengikuti Rasul berarti perintah untuk melaksanakan hukum yang
terdapat dalam sunah dan perintah menaati ulil amri berarti perintah mengikuti
hukum hasil ijma’ ulama.
2) Dalil Sunah
a) Hadis mengenai percakapan Nabi dengan Muaz ibn Jabal, saat ia diutus ke
Yaman untuk menjadi penguasa disana.
b) Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya tentang penggunaan qiyas dengan
membandingkan antara dua hal, kemudian mengambil keputus an atas
perbandingan tersebut.
3) Atsar Shahabi
a) Surat Umar ibn Khattab kepada Abu Musa al-Asy‘ari sewaktu diutus menjadi
qodhi di Yaman.
b) Para sahabat Nabi banyak menetapkan pendapatnya berdasarkan qiyas.
4. Syarat-Syarat Qiyas
Membicarakan syarat qiyas berarti membicarakan syarat-syarat yang berlaku pada
setiap rukun atau unsur-unsur dari qiyas. Rukun atau unsur qiyas tersebut, antara lain:
a. Maqis ‘alaih (tempat mengqiyaskan sesuatu kepadanya).
b. Maqis (sesuatu yang akan disamakan hukumnya dengan ashal).
Syarat-syarat maqis itu adalah sebagai berikut:
1) ‘Illat yang terdapat pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang ter dapat
pada ashal.
2) Harus ada kesamaan antara furu’ itu dengan ashal dalam hal ‘illat, mau pun
hukum, baik yang menyangkut ‘ain atau jenis, dalam arti sama dalam ‘ain
‘illat atau jenis ‘illat dan sama dalam ‘ain hukum atau jenis hukum.
3) Ketetapan hukum pada furu’ itu tidak menyalahi dalil qath‘i.
4) Tidak terdapat “penentang” (hukum lain) yang lebih kuat terhadap hukum
pada furu’ dan hukum dalam penentang itu berlawanan dengan ‘illat qiyas itu.
Penentangannya itu bisa dalam bentuk naqid (contradictory) atau dalam
bentuk dhid (contrary).
5) Furu’ itu tidak pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu, baik materi nash
itu bersesuaian dengan hukum yang akan ditetapkan pada furu’ atau
berlawanan dengannya.
6) Furu’ (sebagai maqis) itu tidak mendahului ashal (sebagai maqis ‘alaih) dalam
keberadaannya.
c. Hukum ashal, yaitu hukum yang terdapat pada suatu wadah maqis ‘alaih yang
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan
diberlakukan pada furu’. Syarat bagi hukum ashal untuk dapat direntangkan
kepada kasus lain (furu’) melalui qiyas adalah sebagai berikut:
1) Hukum ashal itu adalah hukum syara’, karena tujuan dari qiyas syar‘i ada lah
untuk mengetahui hukum syara’ pada furu’, baik dalam bentuk itsbat (adanya
hukum) atau dalam bentuk nafi (tidak adanya hukum).
2) Hukum ashal itu ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas.
3) Hukum ashal itu adalah hukum yang tetap berlaku, bukan hukum yang telah
dinasakhkan.
4) Hukum ashal itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
5) Hukum ashal itu harus disepakati oleh ulama.
6) Dalil yang menetapkan hukum ashal, secara langsung tidak menjangkau
kepada furu’.
d. “Illat
1) Arti ‘Illat
‘Illat adalah salah satu rukun atau unsur qiyas, bahkan merupakan unsur
yang terpenting, karena adanya ‘illat itulah yang menentukan adanya qiyas
atau yang menentukan suatu hukum untuk dapat direntangkan kepada yang
lain. Para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan hakikat suatu ‘illat
ketika melihat hubungannya dengan hukum.
a) Ahlul Haq dari kelompok ulama Syi‘ah mengatakan bahwa ‘illat adalah al-
ma’ruf (pemberi tahu) bagi hukum.
b) Ulama Hanafi berpendapat bahwa ‘illat itu memang pemberi tahu akan
adanya hukum.
c) Ulama Mu’tazilah berpendapat bahwa ‘illat itu adalah sesuatu yang
dengan sendirinya memengaruhi terhadap hukum yang didasarkan kepada
pandangan bahwa hukum itu mengikuti maslahat dan mafsadat.
d) Imam al-Ghazali melihat ‘illat itu sebagai faktor yang memengaruhi
keberadaan hukum karena ada izin Allah.
e) Al-Amidi berpendapat bahwa ‘illat itu adalah pendorong terhadap hukum.
2) Bentuk-Bentuk ‘Illat
Ada beberapa bentuk sifat yang mungkin menjadi ‘illat bagi hukum bila
telah me menuhi syarat-syarat tertentu. Di antara bentuk sifat itu adalah:
a) Sifat hakiki, yaitu yang dapat dicapai oleh akal dengan sendirinya, tanpa
tergantung kepada ‘urf (kebiasaan) atau lainnya.
b) Sifat hissi, yaitu sifat atau sesuatu yang dapat diamati dengan alat indra.
c) Sifat ‘urf, yaitu sifat yang tidak dapat diukur, namun dapat dirasa kan
bersama.
d) Sifat lughawi, yaitu sifat yang dapat diketahui dari penamaannya dalam
artian bahasa.
e) Sifat syar‘i, yaitu sifat yang keadaannya sebagai hukum syar‘i dijadikan
alasan untuk menetapkan sesuatu hukum.
f) Sifat murakkab, yaitu bergabungnya beberapa sifat yang menjadi alasan
adanya suatu hukum.
3) Fungsi ‘Illat
a) Penyebab/penetap, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum
merupakan penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik
dengan nama mu‘arrif, mu‘assir, atau ba’its.
b) Penolak, yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan
terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut terdapat
pada saat hukum tengah berlaku.
c) Pencabut, yaitu ‘illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat
itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak menolak terjadinya
suatu hukum.
d) Penolak dan pencegah, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan
hukum dapat mencegah terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat
mencabutnya bila hukum itu telah berlangsung.
4) Syarat-Syarat ‘Illat
a) ‘Illat itu harus mengandung hikmah yang mendorong pelaksanaan suatu
hukum, dan dapat dijadikan sebagai kaitan hukum.
b) ‘Illat itu adalah suatu sifat yang jelas (dzohir) dan dapat disaksikan.
c) ‘Illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas dan
terbatas, sehingga tidak bercampur dengan yang lainnya.
d) Harus ada hubungan kesesuaian dan kelayakan antara hukum dengan sifat
yang akan menjadi ‘illat.
e) ‘Illat itu harus mempunyai daya rentang.
f) Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa sifat itu tidak dipandang untuk
menjadi ‘illat.
5) Syarat-Syarat ‘Illat yang Diperselisihkan Ulama
a) Penggunaan hikmah tak terukur (hikmah al-mujaradah) sebagai ‘illat.
b) Penggunaan ‘illat ‘adami untuk hukum tsubuti.
c) Penggunaan ‘illat qashirah, yaitu ‘illat yang hanya mungkin terdapat dalam
satu wadah tertentu.
d) Penggunaan sifat murakkab sebagai ‘illat.
e) Penggunaan hukum syara’ sebagai ‘illat untuk hukum syara’ yang lain
yang hukumnya juga syar‘i atau hakiki.
f) Penggunaan dua ‘illat untuk satu hukum.
g) Penggunaan satu ‘illat untuk dua hukum, baik hukumnya hukum tsubuti
maupun bila hukumnya dalam bentuk nafi.
h) Penggunaan isim laqab (gelar atau sebutan yang digunakan untuk nama
sesuatu) sebagai ‘illat hukum.
i) Penggunaan sifat muqaddar (sifat yang bukan hakiki tetapi hanya
ditakdirkan) sebagai ‘illat hukum.
Di samping perbedaan pendapat tentang penggunaan ‘illat tersebut,
terdapat pula perbedaan pendapat tentang persyaratan ‘illat dalam hal-hal
sebagai berikut:
a) Terkemudiannya penetapan ‘illat dari penerapan hukum.
b) Tiadanya penolak bagi ‘illat mustanbathah.
c) Qath’i-nya hukum ashal dan berada dalam furu’.
d) Tercakupnya hukum furu’ dalam dalil ‘illat.
6) Hubungan ‘Illat dengan Hukum
Telah dijelaskan bahwa salah satu syarat ‘illat adalah “munasabah” antara
‘illat dengan hukum (ada hubungan kesesuaian dan keserasian antara ‘illat
dengan hukumnya). Munasib itu ibarat sesuatu yang bila diserahkan kepada
akal akan mudah diterimanya.
a) Pembagian Munasib
1) Munasib dari segi tingkat pencapaian tujuan hukum menurut al-Amidi
dan Ibn Subki dibagi kepada 4 tingkat:
a. Tercapainya tujuan penetapan hukum secara meyakinkan.
b. Tercapai tujuan penetapan hukum secara zhanni (tidak
meyakinkan, tetapi hanya dalam bentuk dugaan kuat).
c. Tercapainya tujuan penetapan hukum kemungkinannya sama
dengan tidak tercapainya.
d. Tercapainya tujuan penetapan hukum dalam kemungkinan yang
3)lebih kecil.
2) Munasib ditinjau dari segi penetapan hukum atasnya terbagi kepada
tiga tingkat, secara berurutan:
a. Dharuri, yaitu sesuatu yang sangat dibutuhkan.
Dharuri yang perlu ditegakkan dikenal dengan al-dharuriyat
al-khamsah, yaitu:
 Memelihara agama (hifzh al-din)
 Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
 Memelihara akal (hifzh al-‘aql)
 Memelihara keturunan (hifzh al-nasl)
 Memelihara harta (hifzh al-mal)
b. Haji, yaitu sesuatu yang diperlukan adanya tetapi tidak sampai ke
tingkat dharuri. Haji ini juga menyangkut dharuriyat yang lima,
tetapi tidak secara langsung.
c. Tahsini, yaitu sesuatu yang sebaiknya dilakukan.
3) Munasib ditinjau dari segi diperhitungkan atau dipandangnya ‘illat itu
oleh pembuat hukum, terbagi kepada:
a. Munasib Muassir, yaitu berlakunya ‘ain ‘illat (‘illat itu sendiri)
dalam ‘ain hukum (hukum itu sendiri) yang dipandang atau
diperhitungkan oleh nash atau ijma’.
b. Munasib mulaim, yaitu kesesuaian atau munasib yang berlakunya
‘ain ‘illat untuk ‘ain hukum secara langsung bukan ditetapkan oleh
nash atau ijma’.
c. Munasib mulghah, yaitu munasib yang oleh akal dapat diterima
sebagai sesuatu yang baik dan maslahat.
d. Munasib mursal, yaitu munasib (hubungan yang serasi antara ‘illat
dengan hukum) yang tidak ada dalil yang menolaknya, teta pi juga
tidak ada dalil yang memandangnya.
b) Masalik al-‘Illat
Masalik al-‘illat adalah cara atau metode untuk mengetahui ‘illat dalam
suatu hukum atau hal-hal yang memberi petunjuk kepada kita adanya ‘illat
dalam suatu hukum.
1) Nash
a. Nash sharih, yaitu lafaz-lafaz dalam nash yang secara jelas
memberi petunjuk mengenai ‘illat dan tidak ada kemungkinan
selain dari itu.
b. Nash zhahir, yaitu lafaz-lafaz yang secara lahir memang digunakan
untuk menunjukkan ‘illat tetapi dapat pula berarti bukan untuk
‘illat.
2) Ijma’
Sebagai salah satu masalik berarti ijma’ itu menjelaskan ‘illat
dalam hukum yang disebutkan pada suatu nash.
3) Al-Ima’ wa al-Tanbih
Al-ima’ wa al-tanbih adalah penyertaan sifat dalam hukum. Bentuk
Al-Ima’ wa al-Tanbih ini adalah sebagai berikut:
a. Penetapan hukum oleh syari’ sesudah mendengar sesuatu sifat.
b. Penyebutan sifat oleh Syari’ dalam hukum memberi petunjuk
bahwa sifat yang disebutkan bersama hukum itu adalah ‘illat untuk
hukum tersebut.
c. Pembedaan antara dua hukum disebabkan adanya sifat atau syarat
atau ma‘ani’ atau pengecualian, baik kedua hukum yang dibedakan
itu disebutkan secara jelas atau hanya salah satunya yang
disebutkan secara jelas, sedangkan yang satunya lagi dapat
dipahami adanya.
d. Mengiringkan hukum dengan sifat memberi petunjuk bahwa sifat
yang mengiringi hukum itu adalah ‘illat untuk hukum yang
diiringinya itu.
4) Sabru wa Taqsim
Secara harfiah berarti memperhitung kan dan menyingkirkan. Yang
dimaksud di sini adalah meneliti kemungkinan sifat yang terdapat
dalam ashal, kemudian meneliti dan menyingkirkan sifat-sifat yang
tidak pantas menjadi ‘illat, maka sifat yang tertinggal itulah yang
menjadi ‘illat untuk hukum ashal tersebut.
5) Takhrijul Manath
Takhrijul manath adalah usaha menyatakan ‘illat dengan cara
mengemukakan adanya keserasian sifat dan hukum yang beriringan
serta terhindar dari sesuatu yang mencacatkan.
6) Tanqihul Manath
Yaitu, menetapkan satu sifat diantara beberapa sifat yang terdapat
di dalam ashal untuk menjadi ‘illat hukum setelah meneliti
kepantasannya dan menyingkirkan yang lainnya.
7) Thard
Yaitu, penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya titik keserasian
yang berarti.
8) Syabah
Syabah, yaitu sifat yang memiliki kesamaan. Syabah ini terdiri dari
dua bentuk, yaitu:
a. Qiyas yang kesamaan antara hukum dan sifat sangat dominan,
yaitu menghubungkan furu’ yang mempunyai kesamaan dengan
dua ashal, namun kesamaan dengan salah satu diantaranya lebih
dominan dibandingkan dengan yang satu lagi.
b. Qiyas shuri, yaitu mengqiyaskan sesuatu hanya karena kesamaan
bentuknya.
9) Dawran
Al-Dawran atau yang sirkuler. Yaitu adanya hukum sewaktu
bertemu sifat dan tidak terdapat hukum sewaktu tidak ditemukan sifat.
Hal ini memberi petunjuk bahwa sifat yang selalu mengikuti hukum itu
adalah ‘illat-nya.
10) Ilghau al-Fariq
Yaitu, adanya titik perbedaan yang dapat dihilangkan sehingga
terlihat kesamaannya.
5. Pembagian Qiyas
a. Pembagian qiyas dari segi kekuatan ‘illat yang terdapat pada furu’, dibandingkan
pada ‘illat yang terdapat pada ashal.
1) Qiyas awlawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’.
2) Qiyas musawi, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ sama
keadaannya dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan ‘illat-nya
sama.
3) Qiyas adwan, yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut
memenuhi persyaratan.
b. Pembagian qiyas dari segi kejelasan ‘illat-nya
1) Qiyas jali, yaitu qiyas yang ‘illat-nya ditetapkan dalam nash bersamaan
dengan penetapan hukum ashal atau tidak ditetapkan ‘illat itu dalam nash,
namun titik perbedaan antara ashal dengan furu’ dapat dipastikan tidak ada
pengaruhnya.
2) Qiyas khafi, yaitu qiyas yang ‘illat-nya tidak disebutkan dalam nash.
Maksudnya, di-istinbat-kan dari hukum ashal yang memungkinkan kedudukan
‘illat-nya bersifat zhanni.
c. Pembagian qiyas dari segi keserasian ‘illat-nya dengan hukum
1) Qiyas muatssir, yang diibaratkan dengan dua definisi, yaitu pertama, qiyas
yang ‘illat penghubung antara ashal dan furu’ ditetapkan dengan nash yang
sharih atau ijma’. Kedua, qiyas yang ‘ain sifat (sifat itu sendiri) yang
menghubungkan ashal dengan furu’ itu berpengaruh terhadap ‘ain hukum.
2) Qiyas mulaim, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya
dengan hukum haram adalah dalam bentuk munasib mulaim.
d. Pembagian qiyas dari segi dijelaskan atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu
1) Qiyas ma’na atau qiyas dalam makna ashal, yaitu qiyas yang meskipun ‘illat-
nya tidak dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat
dibedakan, sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri.
2) Qiyas ‘illat, yaitu qiyas yang ‘illat-nya dijelaskan dan ‘illat tersebut
merupakan pendorong bagi berlakunya hukum ashal.
3) Qiyas dilalah, yaitu qiyas yang ‘illat-nya bukan pendorong bagi penetapan
hukum itu sendiri, namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi ‘illat yang
memberi petunjuk akan adanya ‘illat.
e. Pembagian qiyas dari segi metode (masalik) yang digunakan dalam ashal dan
dalam furu’.
1) Qiyas Ikhalah, yaitu qiyas yang ‘illat hukumnya ditetapkan melalui metode
munasabah dan ikhalah.
2) Qiyas syabah, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal-nya ditetapkan melalui
metode syabah.
3) Qiyas sabru, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode
sabru wa taqsim.
4) Qiyas thard, yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode
thard.

G. Perbenturan Antar Dalil Hukum


1. Pendahuluan
Adanya dalil (petunjuk), menghendaki adanya madlul (yang ditunjuk). Karena
yang dimaksud disini adalah “dalil hukum”, maka madlul-nya adalah hukum itu
sendiri. Pengertian perbenturan dalil itu mencakup dalil naqli (dalil yang ditetapkan
secara tekstual dalam Al-Qur’an atau Hadis Nabi) dan dalil ‘aqli (dalil yang
ditetapkan berdasarkan akal, seperti (qiyas). Juga mencakup dalil qath‘i (dalil yang
kekuatannya dalam menetapkan hukum, meyakinkan) dan dalil zhanni (dalil yang
kekuatannya dalam menetapkan hukum tidak meyakinkan).
Para ulama berbeda pendapat mengenai bentuk dalil apa saja yang mungkin
berbenturan.
a. Pendapat terbanyak di kalangan ulama mengatakan bahwa antara dua dalil yang
qath‘i tidak mungkin terjadi perbenturan.
b. Ada ulama yang berpendapat memungkinkan bertemunya dua dalil qath‘i yang
saling meniadakan, masing-masing dalil itu dipegang oleh ulama (mujtahid)
tertentu yang memandangnya sebagai dalil qath‘i.
2. Penyelesaian Dalil-Dalil yang Berbenturan
a. Mengamalkan dua dalil yang berbenturan. Hal ini bisa dilakukan dengan dua
cara/usaha yaitu, taufiq atau kompromi dan takhsis.
b. Mengamalkan satu diantara dua dalil yang berbenturan. Hal ini bisa dilakukan
dengan tiga cara/usaha yaitu nasakh, tarjih, dan takhyir.
c. Meninggalkan dua dalil yang bertentangan. Hal ini bisa dilakukan dengan dua
cara/usaha yaitu tawaquf dan tasaquth.
3. Nasakh
a. Arti Nasakh
Secara etimologis, kata “nasakh” artinya menghilangkan atau meniadakan.
Terkadang kata itu digunakan dengan arti , yaitu memindahkan atau mengalihkan
sesuatu, menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain di samping masih
tetapnya bentuk semula.
Dari definisi ini terlihat adanya perbedaan fungsi nasakh dibandingkan definisi
terdahulu. Kalau dalam definisi terdahulu nasakh diartikan “pencabutan”
pemberlakuan hukum yang terdahulu, maka dalam definisi ini nasakh berarti
“mencegah” kelangsungan berlakunya hukum yang terdahulu.
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakikat dari nasakh itu
adalah:
1) Ada titah pembuat hukum (syari’) yang menetapkan hukum untuk berlaku
terhadap suatu kejadian dalam suatu masa
2) Kemudian secara terpisah datang titah pembuat hukum yang menetapkan
hukum terhadap kejadian tersebut yang berbeda dengan apa yang telah
ditetapkan sebelumnya
3) Titah yang datang kemudian itu di samping menetapkan hukum baru,
sekaligus mencabut berlakunya hukum lama.
Dari hakikat nasakh tersebut, terlihat bahwa nasakh itu berarti pencabutan
terhadap sesuatu yang pernah ditetapkan. Nasakh merupakan usaha pencabutan
(pencegahan) kelangsungan berlakunya suatu hukum atau sebagai penjelasan yang
datangnya belakangan (terkemudian). Sedangkan yang mencabut atau mencegah
kelangsungan suatu hukum atau yang memberi penjelasan mengenai hal itu,
disebut nasikh.
b. Beberapa Istilah yang Menyerupai Nasakh
1) Taqyid dan Muqayyad
2) Bada’ (ketidaktahuan)
3) Istisna (pengecualian)
4) Takhsis (khusus)
c. Kemungkinan Terjadinya Nasakh
Pada prinsipnya para ulama menerima adanya nasakh, tetapi terbatas pada
nasakh syariat Islam terhadap syariat agama samawi sebelumnya. Sedangkan
mengenai adanya nasakh dalam syariat Islam terutama dalam Al-Qur’an, para
ulama berbeda pendapat.
Jumhur ulama berpendapat adanya nasakh dalam Al-Qur’an, namun mereka
berbeda pendapat dalam menetapkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh dalam
Al-Qur’an. Ulama yang melihat ada perbenturan antara ayat- ayat dan menyatakan
berlakunya nasakh, hanya melihat adanya perbenturan secara lahir dan tidak
berusaha mengkompromikannya secara maksimal. Ulama yang mengatakan tidak
ada nasakh dalam Al-Qur’an atau ada nasakh tetapi hanya dalam jumlah yang
sangat terbatas, mencoba semaksimal mungkin mengkompromikan ayat-ayat yang
dilihatnya berbenturan. Jika dua ayat yang berbenturan itu lama sekali tidak
mungkin dipertemukan barulah dikatakan bahwa pada ayat tersebut berlaku
nasakh.
Jumhur ulama juga mengemukakan argumen berupa dalil naqli dan ‘aqli yang
menguatkan pendapatnya bahwa nasakh itu berlaku dalam Al-Qur’an atau
terhadap hukum Islam secara umum, yaitu:
1) Menurut segolongan ulama, Allah berbuat secara mutlak dan tidak tunduk
kepada hikmah dan tujuan.
2) Dalil naqli yang kuat adalah Firman Allah dalam surat alBaqarah (2): 106 dan
Surat an-Nahl (16): 101.
d. Syarat-Syarat Nasakh
1) Yang dinasakh itu adalah hukum syar‘i, yaitu hukum yang bersifat amaliah,
bukan hukum ‘aqli dan bukan yang menyangkut akidah.
2) Dalil yang menunjukkan berakhirnya masa berlaku hukum yang lama itu,
datang secara terpisah dan terkemudian dari dalil yang dinasakhkan. Kekuatan
kedua dalil itu adalah sama, serta tidak mungkin dikompromikan.
3) Dalil dari hukum yang dinasakhkan tidak menunjukkan berlakunya hukum
untuk selamanya karena pemberlakuan secara tetap dan berketerusan menutup
kemungkinan pembatalan berlakunya hukum dalam suatu waktu.
Secara prinsip nasakh itu dapat berlaku menurut mayoritas ulama, namun
nasakh itu tidak berlaku dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Hal-hal yang mengandung nilai baik dan buruk yang berlaku secara universal.
2) Hal-hal yang secara pasti menyatakan berlakunya hukum untuk selamanya.
3) Hal-hal yang menyangkut tauhid dan pokok-pokok agama.
e. Nasakh Sebelum Terlaksana
Tidak sempat dilaksanakannya perbuatan, bisa diakibatkan karena beberapa
kemungkinan, yaitu:
1) Perintah itu waktu pelaksanaannya memang belum masuk, seperti perintah
melaksanakan puasa bulan Ramadhan dan kemudian dalam bulan Sya’ban
perintah itu dicabut.
2) Perintah itu sudah masuk waktu pelaksanaannya tetapi belum mulai di
lakukan, seperti perintah shalat 50 kali sehari semalam yang kemudian di
cabut dan diganti dengan 5 kali.
3) Perintah itu telah mulai dilakukan tetapi belum selesai, seperti kasus perintah
kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya yang diganti dengan
menyembelih hewan.
f. Nasakh Tanpa Ganti
Sebagian besar ulama membolehkan nasakh tanpa pengganti. Golongan ini
mengemukakan argumen naqli dan ‘aqli. Argumen ‘aqlinya adalah bahwa
seandainya suatu hukum dinasakh tanpa hukum penggantinya, maka dari segi
zatnya hal itu tidak mustahil menurut akal. Argumen itu dapat diterima oleh
mereka yang berpandangan bahwa perbuatan Allah tidak terikat dengan tujuan
(berupa hikmah atau kemaslahatan), karena Allah dapat saja berbuat sesuatu
menurut kehendak-Nya. Argumen itu juga dapat diterima menurut pendapat yang
mengatakan bahwa perbuatan Allah mengikuti hikmah atau tujuan maslahat
karena mungkin saja kemaslahatan itu terletak pada tidak adanya pengganti itu.
Dalil naqli (nash) mengenai bolehnya nasakh tanpa pengganti, di antara nya
adalah surat al-Mujadalah (58): 12 dan al-Baqarah (2): 106.
g. Nasakh dengan Pengganti yang Lebih Berat
Pengganti dari apa yang dinasakh itu adalah lebih ringan keadaannya, namun
yang lebih ringan itu bukan berarti yang lebih baik, mungkin saja yang terbaik itu
adalah yang terberat karena mengandung pahala yang lebih banyak. Demikian
pula rahmat yang diberikan Allah itu belum tentu dalam bentuk yang lebih ringan,
dapat saja yang terberat itu lebih bermanfaat bagi umat.
h. Nasakh dalam Al-Qur’an dan Sunah
Golongan ulama yang menyatakan adanya nasakh dalam Islam sepakat
menyatakan bolehnya Al-Qur’an dinasakh oleh Al-Qur’an. Begitu pula boleh
menasakh sunah mutawatir dengan sunah mutawatir dan sunah ahad deangan
sunah ahad karena kesamaan kekuatannya sebagai dalil syara’.
Contoh nasakh Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an adalah surat al-Anfal (8): 65
dan dinasakh oleh surat al-Anfal (8): 66. Sedangkan contoh nasakh sunah dengan
sunah umpamanya Hadis Nabi menurut riwayat Muslim, tentang kewajiban mandi
itu baru ada bila dalam persetubuhan itu mengeluarkan mani. Kemudian hadis ini
dinasakh oleh hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim yang menambahkan
bahwa wajib mandi meskipun tidak keluar mani. Dengan demikian, hukum yang
menyatakan kewajiban mandi bila persetubuhan mengeluarkan mani, dinyatakan
mansukh.
Kelompok ulama yang membolehkan nasakh Al-Qur’an dengan sunah dan
nasakh sunah dengan Al-Qur’an mengemukakan argumentasi sebagai berikut:
1) Sunah itu merupakan wahyu
2) Memang secara syar‘i terjadi nasakh Al-Qur’an dengan sunah Nabi
sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah (2): 180 yang kemudian
dinasakh oleh hadis Nabi dari Abu Umamah menurut riwayat empat perawi
hadis selain al-Nasa‘i dan dinyatakan hasan oleh Ahmad dan al-Turmuzi, yaitu
Sabda Nabi: Sesungguhnya Allah SWT. telah memberi bagian tertentu untuk
yang berhak, maka tidak boleh berwasiat untuk ahli waris.
3) Demikian pula banyak Al-Qur’an yang me-nasakh sunah Nabi. Umpamanya
keharusan menghadap Baitul Maqdis waktu shalat yang hanya ditetapkan
berdasarkan sunah Nabi. Kemudian sunah Nabi itu dinasakh dengan Firman
Allah dalam surat al-Baqarah (2): 150.
Kelompok ulama yang menolak nasakh Al-Qur’an dengan sunah dan na sakh
sunah dengan Al-Qur’an, mengemukakan beberapa argumentasi, di anta ranya
adalah sebagai berikut:
1) Al-Qur’an itu lebih kuat dari sunah, baik dari segi urutan kedudukannya dalam
dalil hukum, atau karena Al-Qur’an mengandung daya mukjizat, sedangkan
sunah tidak demikian.
2) Kalau sunah dapat di-nasakh oleh Al-Qur’an tentu orang-orang akan lari dari
Nabi dan tidak taat kepadanya karena ada dugaan bahwa Allah tidak meridhai
apa yang diperintahkan Nabi.
3) Firman Allah dalam surat al-Nahl (16): 44 yang menjelaskan bahwa sunah itu
berperan sebagai bayan (penj elasan) terhadap Al-Qur’an.
4) Firman Allah dalam surat Yunus (10): 15 t secara tegas menjelaskan bahwa
Nabi (sunah) tidak akan mengubah (me-nasakh) apa-apa yang diturunkan
Allah kepadanya (Al-Qur’an).
i. Nasakh dalam Ijma’
Pembicaraan tentang nasakh dalam ijmâ’ menyangkut dua hal:
1) Pertama, yang dinasakh adalah hukum yang ditetapkan dengan ijma’. Dalam
hal ini tentu dalil yang akan menasakhnya adalah nash Al-Qur’an atau sunah,
qiyas atau ijma’ itu sendiri.
2) Kedua, yang menasakh adalah ijma’, dalam arti ijma’ sebagai nasakh. Dalam
hal ini dalil yang mansukh mungkin nash Al-Qur’an, sunah atau ijma’ atau
qiyas.
Golongan ulama yang membolehkan nasakh dalam ijma’ ini mengemukakan
dalil sebagai berikut:
1) Ijma’ itu menghasilkan ilmu yaqin, oleh karena itu tidak ada halangannya jika
ia bertindak sebagai nasikh.
2) Ijma’ dalam kedudukannya sebagai hujah syar‘iyyah lebih kuat dari pada
kabar masyhur. Bila nasakh dapat berlaku dengan kabar masyhur, tentu lebih
mungkin lagi berlaku dengan ijma’.
j. Nasakh dalam Qiyas
Dalam kedudukan qiyas sebagai nasikh terdapat tiga pendapat sebagai berikut:
1) Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak boleh qiyâs me-nasakh nash, baik Al-
Qur’an maupun sunah.
2) Minoritas ulama kalangan ulama Syafi‘i memperbolehkan qiyas menasakh Al-
Qur’an atau sunah dengan pertimbangan bahwa qiyas itu pada dasarnya adalah
perluasan dari nash dan dikeluarkan langsung dari nash.
3) Abu Qasim al-Anamithi di antara ulama Syafi‘i menerimanya dengan cara:
boleh qiyas jali menasakh nash atau ijma’, tetapi tidak boleh qiyas khafi
menasakh nash atau ijma’, karena qiyas jali itu mempunyai kekuatan yang
sama dengan nash atau ijma’.
k. Nasakh pada Manthuq atau Mafhum
Setiap nash hukum dapat ditinjau dari dua sisi:
1) Pertama dari apa yang tersebut secara jelas dan langsung. Sisi pandang seperti
ini disebut manthuq atau apa yang tersurat.
2) Kedua dari sisi apa yang dapat dipahami di balik apa yang tersebut secara jelas
dan langsung. Sisi seperti ini disebut mafhum atau yang tersirat di balik yang
tersurat.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kemungkinan berlakunya nasakh pada
manthuq dan mafhum itu.
1) Manthuq dan mafhum tidak dapat dinasakh kecuali bila berlaku terhadap
keduanya sekaligus.
2) Boleh menasakh salah satu diantara keduanya (manthuq dan mafhum)
sehingga yang ada hanya tinggal yang satu lagi.
3) Boleh menasakh manthuq saja sedangkan mafhumnya tetap tidak dinasakh
tetapi tidak boleh menasakh mafhumnya sedangkan manthuqnya tidak
dinasakh.
Alasan yang dikemukakan pendapat ini ialah bahwa manthuq itu merupakan
malzum bagi mafhum sedangkan mafhum itu adalah lazim dari manthuq, kalau
tidak demikian, tentu manthuq itu tidak menjadi “petunjuk” atas mafhum dan tidak
berlaku sebaliknya, karena mafhum (atau furu’) itu dari segi hukum lebih utama
dari manthuq.
l. Nasakh dalam Bentuk Kabar
Nasakh mengandung arti perlawanan antara nasikh dengan mansukh (yang
dinasakh). Untuk menunjukkan adanya arti perlawanan, maka bila yang satu
menyuruh, yang satu lagi merupakan lawannya yang dinyatakan dalam bentuk
melarang, atau sebaliknya. Sedangkan untuk menyatakan perlawanan pada ucapan
dalam bentuk kabar dilakukan dengan memberikan lawan pengertiannya, yaitu
“mengiyakan” dan “menidakkan”.
Kabar dari segi bentuk nasakhnya, ada yang terkena nasakh itu adalah
khabarnya sendiri atau maksud yang terkandung dalam kabar itu. Pada bentuk
pertama, mungkin yang terkena nasakh adalah tilawah (bacaan)-nya saja atau
beban hukum sehubungan dengan kabar itu.
Mengenai nasakh yang menyangkut maksud dalam kabar yang tidak akan
mengalami perubahan, para ulama sepakat bahwa tidak boleh berlaku padanya
nasakh, karena berarti akan mendustakan kabar sebelumnya. Jadi dapat
disimpulkan bahwa, bolehnya berlaku nasakh, baik pada kabar tentang masa lalu
atau masa mendatang.
m. Bentuk Nasakh
1) Nasakh hukumnya saja sedangkan bacaannya tetap ada
2) Nasakh bacaannya saja sedangkan hukumnya masih berlaku
3) Nasakh bacaan dan hukumnya sekaligus
n. Cara Mengetahui Nasikh-Mansukh
Petunjuk yang meyakinkan tentang nasikh-mansukh adalah sebagai berikut:
1) Nash yang secara lahirnya menunjukkan yang satu menjadi nasikh terhadap
yang lain.
2) Ijma’ ulama yang menetapkan bahwa suatu dalil yang menetapkan hukum
menasakh dalil lain yang menetapkan hukum yang berbeda dengan itu.
3) Tarikh, yaitu keterangan waktu yang menjelaskan berlakunya dua nash yang
berbeda.
Terdahulu dan terkemudian itu dapat pula diketahui melalui cara-cara sebagai
berikut:
1) Melalui lafaz nash yang menunjukkan mana yang dahulu dan mana yang
belakangan.
2) Melalui pemberitaan sahabat.
3) Melalui periwayatan
o. Hikmah Adanya Nasakh
Dari penjelasan sebelum ini terlihat bahwa nasakh terjadi dalam hukum yang
ditetapkan berdasarkan wahyu (syariat samawi) sebagaimana juga terdapat dalam
hukum yang ditetapkan manusia, karena tujuan dari setiap penetapan hukum
adalah untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Kemaslahatan manusia itu
terkadang mengalami perubahan karena berubahnya situasi dan kondisi. Hukum
ditetapkan untuk merealisasikan kemaslahatan itu dengan didasarkan kepada
sebab-sebab tertentu. Bila sebab-sebab tersebut sudah tidak terdapat lagi, maka
tidak ada perlu lagi hukum itu.
4. Tarjih
Secara etimologi, tarjih berarti “menguatkan”. Dalam arti istilahi, terdapat
beberapa definisi yang paling kuat dikemukakan oleh Saifuddin al-Amidi dalam
bukunya Al-Ihkam yaitu ungkapan mengenai diiringinya salah satu dari dua dalil
yang pantas yang menunjukkan kepada apa yang dikehendaki di samping keduanya
berbenturan yang mewajibkan untuk mengamalkan satu diantaranya dan
meninggalkan yang satu lagi.
Dari definisi di atas dapat diketahui hakikat tarjih dan sekaligus merupakan
persyaratan bagi tarjih, yaitu:
a. Dua dalil tersebut berbenturan dan tidak ada kemungkinan untuk menga malkan
keduanya dengan cara apa pun. Dengan demikian, tidak terdapat tarjih dalam dua
dalil yang qath‘i karena dua dalil qath‘i tidak mungkin saling berbenturan.
b. Kedua dalil yang berbenturan itu sama-sama pantas untuk memberi petunjuk
kepada yang dimaksud.
c. Ada petunjuk yang mewajibkan beramal dengan salah satu diantara dua dalil dan
meninggalkan dalil yang satu lagi.
Hukum mengamalkan dalil yang rajih adalah wajib, sedangkan mengamalkan dalil
yang marjuh di samping adanya yang rajih tidak dibenarkan. Abu Bakar al-Baqillani
menjelaskan bahwa wajibnya mengamalkan dalil yang rajih itu bila usaha tarjih
berlaku secara meyakinkan (qath‘i) dan tidak wajib bila usaha tarjih dilakukan secara
zhanni. Tarjih hanya mungkin berlaku diantara dalil-dalil yang zhanni. Yang
demikian berlaku dalam hudud (batasan dalam definisi) dan dalam dalil-dalil syar‘i.
Tarjih dalam dalil syara’ mungkin berlaku diantara dua dalil naqli (qiyas dan istidlal)
atau antara dalil naqli dengan dalil naqli, yang akan dirinci berikut ini.
1) Tarjih yang Berlaku dalam Sunah
Tarjih yang berlaku antara dua dalil sunah dapat dilihat dari beberapa segi,
yaitu: dari segi sanad, dari segi madlul (apa yang ditunjuk oleh dalil itu) dan dari
segi pengaruh luar.
Tinjauan dari sanad dapat dilihat dari segi orang yang meriwayatkan dan dari
cara ia meriwayatkan, dari apa yang diriwayatkan dan dari siapa kabar itu
diriwayatkan. Sedangkan tinjauan dari segi orang yang meriwayatkan dapat pula
dilihat dari segi orangnya dan dari segi tazkiyah (kedudukannya sebagai
periwayat).
2) Tarjih dalam Ijma’ yang Dinukilkan
Bila terjadi perbenturan antara sesama ijma’ yang dinukilkan ditempuh usaha
tarjih sebagai berikut:
a) Salah satu di antara dua dalil yang dinukilkan itu adalah nash, sedangkan yang
satu lagi adalah ijma’.
b) Kedua dalil itu adalah sama-sama ijma’, satu di antaranya masuk dalam ijma’
dari semua ahli di masanya sedangkan yang satu lagi hanya terdiri dari ahlul
halli wal ‘aqdi yang mewakili umat.
c) Salah satu diantara dua ijma’ itu adalah ijma’ sahabat sedangkan yang satu
lagi ijma’ tabi‘in atau orang sesudahnya.
d) Satu diantara dua ijma’ itu adalah ijma’ sahabat yang tak dihadiri kecuali oleh
mujtahidnya sedangkan yang satu lagi adalah ijma’ tabi‘in tetapi diikuti oleh
semua ahli di masanya.
e) Salah satu diantara dua ijma’ itu telah punah ahli di masanya.
f) Salah satu diantara dua ijma’ itu, terdapat mujtahid yang menjadi pesertanya
ada yang menarik pendapatnya.
g) Salah satu di antara dua ijma’ itu diikuti oleh semua ahli di masanya tetapi ahli
ijma’ itu belum punah sedangkah yang satu lagi telah punah ahlinya
(munqarid), tetapi tidak semua ahli di masanya mengikutinya.
h) Salah satu di antara dua ijma’ itu terjadi sesudah didahului oleh beda
pendapat, sedangkan ijma’ yang satu lagi tidak didahului oleh beda pendapat.
Tarjih dengan memandang faktor luar, di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Salah satu diantara dua dalil itu sesuai dengan atau didukung oleh dalil lain,
baik dalil kitab atau sunah atau ijma’ atau qiyas atau dalil akal.
b) Salah satu diantara dua dalil itu sesuai dengan atau didukung oleh amal ulama
Madinah atau imam yang empat atau sebagian umat.
c) Salah satu di antara dua dua dalil itu sesuai dengan atau didukung oleh hadis
mursal yang lain.
d) Salah satu di antara dua dalil itu sesuai dengan atau didukung oleh Abu Bakar
dan Umar.
e) Salah satu dari dua dalil itu disetujui oleh shahabi yang dapat keistimewaan
dari Nabi seperti Zaid dalam ilmu faraid, Muaz dalam bidang hukum dan Ali
dalam bidang peradilan.
f) Kedua dalil itu ditakwilkan, tetapi salah satu di antara dua takwil itu lebih jelas
dari takwil yang lain.
g) Satu diantara dua dalil itu menunjukkan hukum dan ‘illat sedangkan dalil lain
menunjukkan hukum tanpa ‘illat.
h) Kedua dalil itu sama-sama menunjuk hukum dan ‘illat tetapi salah satu dari
dua dalil itu penunjukannya atas ‘illat lebih kuat.
i) Kedua dalil itu sama-sama umum tetapi salah satunya muncul sebagai akibat
dari sebab yang khusus
j) Kedua dalil itu dalam bentuk umum, tetapi satu diantaranya telah disepakati
pengamalannya dalam satu kasus.
k) Satu di antara dua dalil itu dapat dimasuki nasakh sedangkan yang satu lagi
tidak.
l) Salah satu diantara dua dalil itu dimaksudkan untuk menjelaskan hukum yang
diperselisihkan.
m) Salah satu diantara dua dalil itu lebih dekat pada tindakan hatihati dan prinsip
dasar kebolehan.
n) Salah satu diantara dua dalil itu mengisyaratkan kekurangan shahabi.
o) Salah satu diantara dua dalil itu disertai oleh penafsiran perawi baik dengan
perkataan atau pebuatan.
p) Salah satu diantara dua dalil itu perawinya menyebutkan sebab-sebab
datangnya kabar itu.
q) Salah satu diantara dua dalil itu disertai petunjuk yang menyatakan datangnya
terkemudian.
3) Tarjih antara Dua Dalil Aqli
Perbenturan antara dua dalil ‘aqli dapat terjadi antara dua dalil qiyas, atau
antara dua istidlal, atau antara qiyas dan istidlal. Bila terjadi perbenturan antara
dua qiyas, maka tarjih antara keduanya dapat berlaku dengan memandang kepada
ashal dari qiyas dan dapat pula dari segi furu’nya, dapat pula dari segi madlul-nya
begitu pula dari segi faktor luarnya. Hal yang menyangkut ashal dapat
memandang kepada hukumnya dan dapat pula dari segi ‘illat-nya.
4) Beberapa Had (Definisi) Tarjih yang Membawa Kepada Makna Mufrad dalam
Artian Tashauri
Had atau definisi dalam keragaman bentuknya terbagi kepada aqliyah dan
sam‘iyah (menurut apa yang didengar dalam suatu bahasa). Dalam bahasan ini
yang dituju adalah had dalam artian sam‘iyah. Di antara had sam‘iyah itu ada
yang berbentuk zhanni. Terkadang diantara dua had sam‘iyah terdapat
perbenturan, dalam penyelesaiannya berlakulah tarjih sebagai berikut:
a) Satu diantara had tersebut mengandung lafaz-lafaz yang sharih. Lafaz-lafaz
tersebut sesuai dengan tujuan yang dituntut tanpa mengandung arti majaz,
tidak isytirak dan tidak pula gharib. Had dalam bentuk ini lebih kuat karena
lebih dekat kepada pemahaman dan lebih terjauh dari kesalahan.
b) Muarraf (definendum) salah satu had tersebut lebih diketahui dari muarraf had
yang satu lagi. Had yang muarraf-nya lebih dikenal lebih kuat karena lebih
membawa kepada maksud ta’rif (definisi).
c) Salah satu diantara had tersebut didefinisikan dengan hal-hal yang bersifat
dzati sedangkan yang satu lagi didefinisikan dengan lafaz ardhi (menggunakan
sifat tambahan). Had yang didefinisikan dengan dzatiyat lebih utama dari yang
mengandung sifat ardhiyat.
d) Salah satu diantara dua had itu lebih umum dibandingkan dengan yang lain.
Had yang lebih umum dianggap lebih kuat karena dapat pula menjangkau
kepada muarraf yang lain.
e) Satu dia antara had itu mengandung unsur dzatiyat seluruhnya sedangkan yang
lain sebagian saja dari unsur dzatiyat. Had yang menggunakan unsur dzatiyat
keseluruhannya itu dinyatakan lebih kuat ketimbang yang lainnya karena lebih
tinggi mutu didefinisinya.
f) Satu diantara dua had itu sesuai dengan nukilan sam‘i (menurut apa yang
didengar) sedangkan yang lain menyalahi nukilan sam‘i itu. Had yang sesuai
dengan nukilan sam‘i itu lebih kuat karena terjauhnya dari kesalahan.
g) Cara mendapatkan satu diantara dua had itu lebih terang sedangkan yang satu
lagi tidak demikian. Had yang diperoleh dengan cara yang lebih jelas adalah
lebih kuat karena lebih dekat kepada zhann.
h) Satu di antara dua had itu sesuai dengan acuan bahasa. Had yang sesuai
dengan acuan lughawi atau bahasa lebih kuat karena ia lebih mendekatkan
kepada paham.
i) Satu diantara dua had itu diamalkan oleh ahli Madinah atau khalifah yang
empat atau segolongan umat. Had yang didukung oleh amal orang-orang
penting itu dianggap lebih kuat karena lebih dekat untuk diikuti.
j) Salah satu diantara dua had tersebut menetapkan hukum larangan, atau hukum
akal, atau hukum nafi atau menolak sanksi hukuman. Had yang menguatkan
atau menetapkan hal-hal tersebut dinyatakan lebih kuat, karena lebih
mendekati kepada zhann.

Anda mungkin juga menyukai