Tafsir
a. Penegrtian Tafsir
Dalam buku Pokok-Pokok Ulumul Qur’an karya Drs. H. Kahar Masyhur, tafsir dibagi
menjadi dua pengertian yaitu menurut bahasa dan istilahnya.
Artinya :
“Mereka (orang-orang kafir) dating kepada kamu (Muhammad) membawa suatu yang ganjil,
kecuali kami dating kepada engkau dengan suatu yang benar dan penjelasan yang terbaik.”
QS. Al Furqon : 33
Maksudnya ialah penjelasan yang lengkap dan terperinci sebagaimana yang dikatakan Ibnu
Abas.
Menurut istilahnya ialah semacam ilmu yang membahas cara mengucapkan lafal Al-Qur’an
dan kandungannya, hukumnya yang berkenaan dengan perorangan dan kemasyarakatan, dan
pengertiannya yang dilingkupi oleh susunan lafalnya. Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir
adalah suatu ilmu yang dengannya dipahami Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW, menerangkan pengertiannya, dan mengeluarkan hokum dan hikmahnya.
Sedangkan dalam buku Ilmu-ilmu Al-Quran karya Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, tafsir dijelaskan dalam beberapa pengertian oleh para ahli tafsir.
Tafsir dalam pengertian bahasa adalah idhah dan tabyin = menjelaskan (menerangkan.
Makna ini lah yang kita berikan terhadap kalimat tafsir dalam QS. Al-Furqan ayat 33.
“Suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang keadaan-keadaan Al-Qur’anul Karim dari
segi dalalahnya kepada apa yang dikehendaki Allah, sebatas yang dapat disanggupi
manusia.”
Ungkapan sebatas yang dapat disanggupi manusia, memberikan pengertian bahwa tidaklah
dipandang suatu kekurangan lantaran tidak dapat mengetahui makna-makna yang
mutasyabihah dan tidaklah dapat mengurangi nilai tafsir lantaran tidak mengetahui apa yang
sebenarnya Allah kehendaki.
“Suatu ilmu yang dibahas di dalamnya tentang keadaan-keadaan Al-Qur’an dari segi
turunnya, segi sanadnya, segi cara menyebutnya, segi lafalnya dan segi makna-maknanya
yang berpautan dengan lafal dan yang berpautan dengan hokum.”
Ke dalam segi turunnya, meliputi sebab nuzul, tempat nuzul (maudhiun nuzul) dan masa
nuzul (zaman nuzul atau tarikh nuzul).
Ke dalam perkataan cara menyebutnya, meliputi segala cara menyebut lafal Al-QUr’an,
seperti madd dan idgham.
Ke dalam pekatana lafal-lafalnya, meliputi segala yang berpautan dengan lafal dai segi
hakikatnya, majaznya dan musytaraknya, muradifnya, shahihnya, mu’talnya, mu’rabnya atau
mabninya.
Ke dalam perkataan makna-maknanya yang berpautan dengan lafal meliputi fasal dan wasal.
Dalam perkataan makna-maknanya yang berpautan dengan hokum, meliputi umum, khusus,
ihkam dan nash.
Definisi ini mencakup kebanyakan pembicaraan yang masuk ke dalam ilmu qira’at, ilmu
ushul dan ilmu qawaidil lughah.
”Suatu ilmu yang di dalamnya dibahas tentang cara-cara menyebut lafal Al-Qur’an, petunjuk-
petunjuknya, hokum-hukumnya, baik secara ifrat, maupun secara takrib dan makna-
maknanya yang ditampung oleh takrib dan yang selain itu, seperti mengetahui nasakh, sebab
nuzul dan sesuatu yang menjelaskan pengertian, seperti kisal dan matsal (perumpamaan).”
Definisi yang ketiga ini boleh dikatakan definisi yang terletak antara dua dfinisi yang
pertama. Dan sesungguhnya semua deinisi ini dapat kita kembalikan kepada definisi ynag
pertama itu.
Namun demikian, tafsir dapat kita bagi kepada dua bagian, secara ringkas :
Pertama, tafsir yang beku yang fungsinya hanya sekedar menerangkan kedudukan lafal,
mengi’rabkan kalimat, menerangkan balaghah-balaghah Al-Qur’an. Tafsir yang semacam ini,
lebih dekat kepada menerapkan kaidah-kaidah bahasa Arab daripada pengertian apa yang
Allah kehendaki dari hidayah-hidayah-Nya.
Kedua, tafsir yang melampaui batas ini yang tujuannya menjelaskan hidayah-hidayah Al-
Qur’an, ajaran-ajaran Al-Qur’an dan hikmah-hikmah Allah mengenai sesuatu yang
diisyaratkan Allah di dalam Al-Qura’an dengan cara yang dapat memikat hati, membuka
mata dan menggerakkan jiwa untuk mengambil petunjuk dari Al-Qur’an.
2. Takwil
a. Pengertian Takwil
Dalam buku Ilmu Ushul Fiqih karya Prof. DR. Rachmat Syafe’i, MA, pengertian
takwil dibagi menjadi 2 :
1. Menurut Etimologi
Secara etimologi, takwil dirujuk dari kata awwalu – yu’awwliu yang berarti At-Tafsir,
Al-Marja’, Al-Mashir. Demikian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin Al-mA’tsani
dan keterangan yang dikeukakan oleh Abu Ja’far Al Thabary (Adib Shalih, 1984 :
356).
Pengertian ini diambil dari hadits :
“Barangsiapa yan puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada
balasannya.”
Di samping itu, takwil berarti Al Jaza’, seperti firman Allah SWT dalam QS. An
Nisa ; 57, artinya :
“…yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik aikbatnya.”
Dengan demikian, dari sudut bahasa, takwil mengandung arti At Tafsir (penjelasan,
uraian) atau Al Marja’, Al Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al Jaza’ (balasan
yang kembali kepadanya).
2. Menurut Terminologi
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan takwil secara terminologi. Para
ulama salaf mendefinisikan takwil antara sebagai berikut :
a. Imam Al Ghazali dalam kitab Al-Mustashafa (Al-Ghazali, 1973:128)
Artinya :
“Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna dari
lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti
yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir.”
b. Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustashfa :
Artinya :
“Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada
makna lain yang didukung dalil.”
Menurut Wahab Khalaf, takwil artinya memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena
ada dalil.
Menurut Abu Zarhah, takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir
kepada makna lain, tetapi bukan zhahirnya.
Dalam buku Pokok-Pokok Ulumul Qur’an karya Drs. H. Kahar Masyhur, pengertian takwil
di bagi dalam tiga pengertian :
1. Menurut bahasanya ialah terambil dari kata awwala – yuawwilu – takwilan = kembali
kepada asalnya.
Umpamanya dalam surat Al kahfi : 82, yaitu :
Artinya :
“Itulah takwil apa yang kamu tidak mampu atasnya bersabar.”
2. Menurut Ulama Salaf ia mempunyai dua pengertian, yaitu :
Artinya :
“Mentakwilkan kalimat/bicara = Apa yang ditakwilkan kepadanya kalimat, sehingga
kembali pada hakikat yang dimaksud.”
Dan dalam surat Al ‘araf : 53
Artinya :
“Tidaklah yang menunggu-nunggu, kecuali bila telah terlaksana hokum Al Qur’an,
yaitu pada hari dating kebenaran pemberitaan Al Qur’an itu. Berkatalah orang-orang
yang melupakan sebelum itu, “Memang telah dating kepada kami para Rasul
Rabbi/Tuhan kami membawa kebenaran. Oleh sebab, maka apakah ada lagi kami
pertolongan/keringanan, sehingga para rasul itu membei pertolongan bagi kami. Atau,
apakah dapat kami dikembalikan ke dunia, lalu kami akan mengerjakan apa-apa yang
tidak pernah kami kerjakan dahulu?”
Jadi, pengertian takwil dalam ayat ini adalah terlaksananya apa yang dibeikan Al
Qur’an pada hari Kiamat, syarat-syaratnya, memasang timbangan amal baik dan amal
buruk, syurga, dan neraka.
3. Menurut Muta’akhirin
Takwil ialah memalingkan kalam dari pengertian raajih (kuat) kepada marjuuh (yang
dikuatkan), karena terdapat dalil yang menyertainya.
Dalam buku Ilmu-Ilmu Al Qur’an karya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
dtuliskan bahwa takwil adalah muradif tafsir dalam pengertian bahasa yang sangat terkenal,
sebagaimana yang telah ditegaskan oleh pengarang Al Kamus. Banyak ayat-ayat Al Qura’an
yang ada di dalamnya terdapat lafal tawil dalam arti menjelaskan dan menerangkan. Ada
golongan mutaqaddimin yang memaknakan bahwa takwil itu sama dengan tafsir.