PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam, semua hal yang ada pada aspek
kehidupan telah diatur didalamnya.Walaupun begitu, disamping berbahasa Arab tidak dipungkiri
dari ayat-ayatnya banyak yang bersifat global. Sehingga tidak bisa dipahami secara tekstual,
untuk itu bagi orang awam untuk memahaminya perlu penerjemahan dan penafsiran terlebih
dahulu.
Dalam makalah ini, kami akan memaparkan beberapa hal yang erat kaitannya dengan Al-
Qur’an, yaitu Tafsir, Ta’wil dan Terjemah.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Tafsir, Ta’wil dan Terjemah?
2. Apa perbedaan Tafsir, Ta’wil dan Terjemah?
3. Apa kaidah dasar klasifikasi Tafsir (bil ma’tsur & bil ra’yi)?
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
2. Agar mampu mengetahui dan memahami perbedaan antara Tafsir, Ta’wil dan Terjemah
3. Mengetahui kaidah dasar klasifikasi tafsir
[1]
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Dari segi terminologis, berbagai macam definisi dibuat oleh para ulama,
diantaranya :
Abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan
tentang arti dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang
utuh serta hal-hal yang melengkapinya.
Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
Az-Zarqani
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud diinginkan oleh Allah sebatas
kemampuan manusia.
1
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, hlm.269
[2]
Sekalipun diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda, tetapi ketiga definisi diatas
sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang
arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.
Sejauh ini, ada dua metode bentuk penafsiran, yaitu Tafsir Bil Ma’tsur dan Birra’yi.
Diantaranya ada yang menafsirkan seluruh isi Al-Qur’an, sebagian ayat saja, ada pula yang
hanya menafsirkan satu surah saja.2
B. Pengertian Ta’wil
Menurut Al-Jurzani takwil adalah memalingkan suatu lafaz dari makna lahirnya
terhadap makna yang dikandungnya.
Menurut sebagian ulama lain ta’wil adalah menerangkan salah satu makna yang
dapat diterima oleh lafaz.3
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan ta’wil adalah suatu usaha untuk memahami
ayat-ayat Al-Qur’an memahami arti atau maksud sebagai kandungan dari lafaz itu.
C. Pengertian Terjemah
Terjemah menurut bahasa adalah salinan dari satu bahasa ke bahasa lain, memindahkan
kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan menurut istilah seperti yang dikemukakan
oleh Ash-Shabuni adalah “memindahkan (mengartikan) bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain yang
bukan bahasa Arab dan mencetak terjemah ini kebeberapa naskah agar dibaca orang yang tidak
mengerti bahasa Arab, sehingga dapat memahami kitab Allah swt dengan perantaraan
terjemah”.
2
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, hlm.31-32
3
Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm.172
[3]
2. Perbedaan Tafsir, Ta’wil, dan Terjemah
Perbedaan Tafsir dan Ta’wil berada di satu pihak dan Terjemah di pihak lain, karena
Terjemah hanya menjelaskan makna-makna setiap kata di dalam Al-Qur’an dan mengalihkan
bahasa Al-Qur’an ke bahasa lain.
4
Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, hlm.173
5
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm.414-417
[4]
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam Sunnah, hendaklah melihat bagaimana
pendapat para sahabat.
6. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, dan pandangan para sahabat, maka
sebagian besar ulama merujuk kepada pendapat tabi’in.
7. Pengetahuan bahasa Arab yang baik, karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab.
Pemahaman yang baik terhadap Al-Qur’an amat bergantung pada penguraian mufradat, lafazh-
lafazh dan pengertian-pengertian yang ditunjukkannya sesuai dengan struktur kalimat.
8. Pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, seperti
ilmu qira’at, sebab dengan ilmu ini dapat diketahui bagaimana cara mengucapkan lafazh-lafzh
Al-Qur’an dan dapat memilih yang mana lebih kuat diantara berbagai ragam bacaan yang
diperkenankan, ilmu tauhid – dengan ilmu ini diharapkan mufassir tidak mena’wilkan ayat-ayat
yang berkenaan dengan hak Allah dan sifat-sifatNya secara sembarangan sehingga melampai
hak-Nya, ilmu ushul – terutama ushul tafsir dan mendalami kaidah-kaidah yang dapat
memperjelas sesuatu makna tentang Asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan sebagainya.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna atas
yang lain atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nash-nash syari’at.
Adab Mufassir6 :
1. Berniat baik dan bertujuan benar, sebab amal perbuatan itu bergantung niat. Orang
yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekad
membangun kemaslahatan umum, berbuat baik kepada Islam dan membersihkan diri dari tujuan-
tujuan duniawi agar Allah meluruskan langkahnya dan menjadikan ilmunya bermanfaat sebagai
buah keikhlasannya.
2. Berakhlak mulia, karena mufassir bagai seorang pendidik. Pendidikannya yang
diberikan itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa jika ia tidak menjadi panutan dengan akhlak
dan perbuatan mulia.
3. Taat dan amal, ilmu akan lebih dapat diterima melalui orang yang mengamalkannya
daripada yang hanya debat dalam teori dan konsep.
4. Jujur dan teliti dalam penukilan. Ia tidak berbicara atau menulis kecuali setelah
menyelidiki apa yang diriwayatkannya.
6
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, hlm.417-418
[5]
5. Tawadhu’ dan lemah lembut, karena kesombongan ilmiah merupakan satu dinding
kokoh yang dapat menghalangi antara seorang alim dengan kemanfaatan ilmunya.
6. Berjiwa mulia. Seharusnya seorang alim menjauhkan diri dari hal-hal yang remeh serta
tidak menjadi penjilat dan pengemis jabatan dan kekuasaan bagai peminta-minta yang buta.
7. Berani dalam menyampaikan kebenaran, karena jihad paling utama adalah
menyampaikan kalimat yang hak di hadapan penguasa.
8. Berpenampilan simpatik yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat
dalam semua penamilannya secara umum.
9. Bersikap tenang dan mantap. Mufassir hendaknya tenang dalam berbicara, tidak
terburu-buru, mantap dan jelas kata demi kata.
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya. Seorang mufassir hendaknya
tidak gegabah untuk menafsirkan di hadapan orang yang lebih pandai pada waktu mereka masih
hidup dan tiadak pula merendahkan mereka sesudah wafat.
[6]
B. Tafsir bi ar-ra’yi
7
Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an, hlm.278-279
[7]
BAB
PENUTUP
Kesimpulan
[8]
DAFTAR PUSTAKA
Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2013)
Hasbi Muhammad, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1987)
[9]