1. Ijtihad Bayani
Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan
hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-
hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.
Dalam aliran Hanafiah, Bayan (penjelasan) dibedakan dalam lima macam, yaitu :
a.Bayan Taqrir
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna
dengan dasar-dasar lain yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik
makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contohnya kata-kata dalam
surat Shad ayat 73:
Yang artinya:”lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya”
Kata “malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat” yaitu ditegaskan
dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
b) Bayan Tafsir
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash
tersebut menjadi lebih jelas yang dimaksud. Seperti menafsirkan kata-kata yang
mujmal menjadi mufshal, kata-kata khafi yang tersembunyi makna dan maksudnya,
sehingga menjadi jelas yang dimaksud. Termasuk juga lafazh-lafazh musykil, yaitu
lafazh yang sulit diartikan menjadi lafazh yang dapat dicari makna yang dimaksud.
Termasuk pula dalam bayan tafsir ini adalah mencari penjelasan lafazh yang
mengandung makna ganda (musytarak), sehingga dapat ditentukan makna yang dapat
diambil untuk menentukan hukum suatu nash. Bayan Tafsir juga dapat dilakukan pada
kata-kata yang termasuk kualifikasi dallat-u ‘l-iqtidla’
Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail terhadap makna yang
dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 43. Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda Nabi SAW:
“Shalatlah engkau sekalian, seperti engkau melihat aku shalat”
Maka kata-kata itu dapat menjadi jelas makna yang dimaksud.
c) Bayan Taghyir
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang
zhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian
atau istisna’. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari
makna umum tadi. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa dalam thuruq-u ‘l-istinbath
adanya takhsis itu berupa kata-kata dan bukan kata-kata.
Bi ‘il-Kalam (berupa kata-kata)
Yang berupa kata-kata itu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendiri dan
bersambung, yang disebut mustaqil dan muttashil dan juga ghairu muttashil. Artinya,
kata-kata yang tidak berdiri sendiri dan bersambung, seperti:
1) Istitsna’, contohnya ayat 106 surat al-Nahl, bahwa orang kafir akan mendapatkan
murka Allah, kecuali kekafirannya itu dipaksa. Sedangkan batinnya tetap beriman.
2) Badal ba’ad min al-kull, contohnya ayat 97 surat Ali Imran, bahwa Allah
mewajibkan setiap orang untuk menunaikan ibadah haji, hanya saja maksudnya orang
yang mempunyai kemampuan.
3) Sifat, contohnya ayat 25 surat al-Nisa, mengandung kebolehan mengawini budak
wanita yang beriman, bukan semua budak beriman.
4) Kata-kata syarat, contohnya ayat 228 surat al-Baqarah, hahwa suami yang telah
mencerainya, dimasa iddah lebih berhak merujuk istrinya, bila memang maksud baik.
5) Ghayah, contohnya ayat 15 surat al-Isra bahwa Allah akan meyiksa kaum yang
berbuat bertentangan dengan agama, sampai mereka (ummat/kaum) itu telah dapat
dakwah ajakan Rasul.
Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam hal seperti ini,
perlu ijtihad dengan bayan taghyir, seperti dalam surat al-Nur ayat 4, bahwa orang
yang menuduh orang lain tanpa bukti dicambuk 80 kali. Dalam ayat 6-9, suami istri
yang dituduh menuduh berzina dapat diselesaikan tanpa cambuk dengan sistem
hukum “li’an”
2. Ijtihad Qiyasi
Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada
nashnya secara langsung, seperti menghisap ganja. Tetapi ada nash al-Qur’an maupun
al-sunnah yang menunjukan keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya,menghisap ganja
itu, tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang ada kesaaman adalah
larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan
hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum berdasarkan
qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan
metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi
3. Ijtihad Istishlahi
Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung yang
mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan masalah yang akan
dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat ditempuh dengan beberapa metode
yaitu:
a) Metode Istihsan
o Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jail menggunakan qiyas khafi
o Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya karena
adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun menghindari
kesempitan.
b) Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
Yaitu kebalikan dari ihtisan. dalam nash membolehkan sesuatu itu. Tetapi
kalau dibolehkan itu dibuka sama sekali dalam kondisi tertentu akan membawa
mafsadah (kerusakan) maka patut dilarang, dengan dasar sad-u ‘l-dzari’ah. Artinya
menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan.
c) Metode Istislah
Yakni mencari ketentuan suatu masalah yang tidak ada ketentuan hukumnya
berdasarkan nash, baik yang melarang atau memerintah (menyuruh), dengan dasar
kemaslahatan yang akan dicapai. Kemaslahatan yang ingin dicari itu disebut
mashlahah mursalah. Ijtihad dalam halini adalah melakukan penelitian sejauh mana
maslahah yang akan dicapai dan mafsadah yang akan terdapat, apabila ada juga
penelitian terhadap nash, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang menyebutkan untuk
dicapai suatu mashlahah atau mafsadat yang harus dihindari.
d) Menetapakan suatu hukum
Yakni bedasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang telah ada, berlaku mendatangkan
manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak mendatangkan mafsadah yang lebih
besar
e) Ijtihad
Yakni menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang
mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut kauniyah
ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bab ii maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1.Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang artinya mencurahkan segala
kemampuan atau menanggung beban kesulitan, sedangkan secara istilah ijtihad berarti
mencurahkan segala kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara’amali
yang tidak terdapat dalam al-Quran maupun as-sunnah dengan satu metode.
2.Metode ijtihad dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah dapat dirumuskan ke dalam 3
bentuk yaitu:
a.Ijtihad Bayani, adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan
hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan
al-hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya. Terdapat lima
bayan yaitu:
Bayan Taqrir
Bayan Tafsir
Bayan Taghyir
Bayan Tabdil
Bayan Dlarurah
b. Ijtihad Qiyasi, adalah ijtihad yang dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu
masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
c. Ijtihad Istishlahi, adalah ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak
ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan
mendasarkan masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini dapat
ditempuh dengan beberapa metode yaitu:1
Metode Istihsan
Metode Sadd-u ‘l-dzari’ah
Metode Istishlah
Menetapkan hukum ‘urf
Menafsirkan ayat kauniyah
Metode yang dipergunakan oleh Komisi Fatwa MUI dalam proses penetapan
fatwa dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Nash Qath’i, Pendekatan
Qauli dan Pendekatan Manhaji.
Pendekatan Nash Qoth’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an
atau Hadis untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam
nash al-Qur’an ataupun Hadis secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam
nash al-Qur’an maupun Hadis maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan Qauli
dan Manhaji.
Pendekatan Qauli adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa dengan
mendasarkannya pada pendapat para imam mazhab dalam kitab-kitab fiqih terkemuka
(al-kutub al-mu’tabarah). Pendekatan Qauli dilakukan apabila jawaban dapat
dicukupi oleh pendapat dalam kitab-kitab fiqih terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah)
dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika pendapat (qaul) yang ada
1
http://yuliastuti90.blogspot.com/2012/11/metode-ijtihad-dalam-manhaj-tarjih.html
dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena sangat sulit untuk dilaksanakan
(ta’assur atau ta’adzdzur al-‘amal atau shu’ubah al-‘amal) , atau karena alasan
hukumnya (‘illah) berubah. Dalam kondisi seperti ini perlu dilakukan telaah ulang
(i’adatun nazhar), sebagaimana yang dilakukan oleh ulama terdahulu. Karena itu
mereka tidak terpaku terhadap pendapat ulama terdahulu yang telah ada bila pendapat
tersebut sudah tidak memadai lagi untuk didijadikan pedoman.
Apabila jawaban permasalahan tersebut tidak dapat dicukupi oleh nash qoth’i
dan juga tidak dapat dicukupi oleh pendapat yang ada dalam kitab-kitab fiqih
terkemuka (al-kutub al-mu’tabarah), maka proses penetapan fatwa dilakukan melalui
pendekatan manhaji.
Pendekatan Manhaji adalah pendekatan dalam proses penetapan fatwa
dengan mempergunakan kaidah-kaidah pokok (al-qowaid al-ushuliyah) dan
metodologi yang dikembangkan oleh imam mazhab dalam merumuskan hukum suatu
masalah. Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad secara kolektif (ijtihad
jama’i), dengan menggunakan metoda : mempertemukan pendapat yang berbeda (al-
Jam’u wat taufiq), memilih pendapat yang lebih akurat dalilnya (tarjihi),
menganalogkan permasalahan yang muncul dengan permasalahan yang telah
ditetapkan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh (ilhaqi) dan istinbathi.
Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam mazhab maka
penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu di antara pendapat-
pendapat madzhab melalui metode al-Jam’u wa al-Taufiq.
Jika usaha al-Jam’u wa al-Taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa
dilakukan melalui metode tarjihi (memilih pendapat ulama yang dinilai paling kuat
dalil dan argumentasinya), yaitu dengan menggunakan metode perbandingan mazhab
(muqaran al-madzahib) dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh
perbandingan.
Membiarkan masyarakat untuk memilih sendiri pendapat para ulama yang
ada sangatlah berbahaya, karena hal itu berarti membiarkan masyarakat untuk
memilih salah satu pendapat (qaul) ulama tanpa menggunakan prosedur, batasan dan
patokan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban lembaga fatwa yang memiliki
kompetensi untuk memilih pendapat (qaul) yang rajih (lebih kuat dalil dan
argumentasinya) untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat.
Ketika satu masalah atau satu kasus belum ada pendapat (qaul) yang
menjelaskan secara persis dalam kitab fiqh terdahulu (al-kutub al-mu’tabarah) namun
terdapat padanannya dari masalah tersebut, maka penjawabannya dilakukan melalui
metode ilhaqi, yaitu menyamakan suatu masalah yang terjadi dengan kasus
padanannya dalam al-kutub al-mu’tabarah.
Sedangkan metode Istinbathi dilakukan ketika tidak bisa dilakukan dengan
metode ilhaqi karena tidak ada padanan pendapat (mulhaq bih) dalam al-kutub al-
mu’tabarah. Metode istinbathi dilakukan dengan memberlakukan metode qiyasi,
istishlahi, istihsani dan sadd al-dzari’ah.
Secara umum penetapan fatwa di MUI selalu memperhatikan pula
kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan intisari ajaran agama (maqashid al-
syari’ah). Sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI benar-benar bisa menjawab
permasalahan yang dihadapi umat dan benar-benar dapat menjadi alternatif pilihan
umat untuk dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupannya.2
C. Meode Ijtihad NU
2
http://jendil-bae.blogspot.com/2012/05/makalah-tentang-metode-ijtihad-mui.html
Dengan menganut salah satu dari empat mazhab dalam fiqih, NU sejak
berdirinya memang mengambil sikap dasar untuk "bermazhab". Sikap ini secara
konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya pengambilan hukum dari referensi ("maraji')
berupa kitab-kitab fiqih yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematik dalam
beberapa komponen: ‘ibadah, mua'amalah, munakahah (hukum keluarga) dan
jinayah/qadla (pidana/peradilan). Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul
masa'il mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-
mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq ataupun muntashib. Bila kebetulan
ditemukan qaul manshush (pendapat yang telah ada nashnya), maka qaul itulah yang
dipegangi. Kalau tidak ditemukan, maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapa
thasil takhrij). Bila terjadi khilaf (perbedaan pendapat) maka diambil yang paling kuat
sesuai dengan pentarjihan para ahlul-tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan
sepakat dalam khilaf akan tetapi juga mengambil sikap untuk menentukan pilihan
sesuai dengan situasi kebutuhan hajjiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder) maupun
dlaruriyah (kebutuhan primer).
Secara historis, forum bahtsul masa'il sudah ada sebelum NU berdiri. Saat itu
sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kiai dan santri yang
hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam
buletin LINO, selain memuat hasil, bahtsul masa'il juga menjadi ajang diskusi
interaktif jarak jauh antar para ulama. Seorang kiai menulis ditanggapi kiai lain,
begitru seterusnya. Dokumentasi tentang LINO ini ada pada keluarga (alm) KH.
Abdul Hamid, Kendal. Lewat LINO ini pula ayah saya (KH. Mahfudh Salam) saat itu
bertentangan dengan Kiai Murtadlo, Tuban mengenai hukum menerjemahkan khutbah
ke dalam bahasa Jawa atau Indonesia. Itu bukan berarti tukaran (konflik), tetapi
hannya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. Kiai Mahfudh
membolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kiai Muratadlo tidak. Sampai
sekarang tradisi khutbah di daerah Tuban tidak ada yang diterjemahkan.
Sering muncul krtik bahwa forum bahtsul masa'il NU tidak dinamis, hanya
berorientasi pada qaul (pernyataan verbal) ulama, bukan manhaj (metodologi) dan
Syafi'iyyah sentris. Krtitik tersebut sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Misalnya
dulu forum bahtsul masa'il mengharamkan orang Islam memakai jas dan dasi karena
dianggap tasyabbuh (menyerupai) dengan orang kafir. Tetapi KH. Wahab Khasbullah
sendiri setelah merdeka selalu memakai sarung dan dasi. Ini tidak ada dalilnya
(qaulnya). Itu berdasakan manhaj. Tidak ada kitab-kitab fiqih yang secara tekstual
menulis "haruma al-dasi awa al- jas lainnahu..." (diharamkan dasi dan jas karena...).
Contoh lain misalnya, para kiai NU dalam memberikan fatwa hukum sering memakai
kaidah-kaidah fiqih atau ushul fiqih. Hanya saja masalahnya para kiai NU meskipun
sudah memberi fatwa hukum berdasarkan kaidah fiqih mereka tidak mau kalau tidak
ada landasan teks/nashnya. Jadi kelihatan tekstual tetapi sebetulnya penuangan teks
itu selah melalui proses berfikir manhajy yang panjang dan njlimet.
Penuangan dasar teks ini, kemudian menimbulkan adanya kesan bahwa kai
NU hanya bermazhab fi al-aqwal (dalam pendapat hukum) tidak fi al-manhaj (dalam
metodologi). Tetapi sebenarnya, para ulama NU juga memegangi dan mempelajari
manhaj Imam Syafi'i. Hal ini terlihat dalam kepustakaan mereka dan kurikulum
pesantren yang diasuhnya. Kitab-kitab seperti Waraqat, Hujjat al-Wushul, Lam' al-
Jawami', al-Mushtasyfa, al-Ashbah wa al-Nadha'ir, Qawaid Ibnu Abd al-Salam dan
lain-lain banyak dijumpai pada koleksi kepustakaan mereka dan dibaca (diajarkan) di
beberapa pesantren. Dalam hal ini metodologi itu digunakan utnuk memperkuat
pemahaman atas masa'il furu'iyah (masalah yang tidak prinsip) yang ada pada kitab-
kitab fiqih di samping sering juga diterapkan untuk mengambil langkah tandhir al-
masa'il bi nadhairiha (menetapkan hukum sesuatu berdasarkan hukum atas sesuatu
yang sama yang telah ada) tidak untuk istinbath al-ahkam min mashadiriha al-
ashliyyah (penggalian hukum dari sumber pokoknya). Ini saya kira satu kekurangan
tersendiri.
Pemikiran tentang perlunya "fiqih baru" ini sebetulnya sudah lama terjadi.
Kira-kira sejak 1980-an ketika mulai muncul dan marak diskusi tentang "tajdid"
karena adanya keterbatasan kitab-kitab fiqih klasik dalam menjawab persoalan
kontemporer di samping munculnya ide konstekstualisasi kitab kuning. Sejak itu lalu
berkali-kali diadakan halaqah (diskusi) yang diikuti oleh beberapa ulama Syuriyah
dan pengasuh pondok pesantren untuk merumuskan "fiqih baru" itu. Kesepakatan
telah dicapai, yaitu menambah dan memperluas muatan agenda bahtsul masa'il yang
tidak saja meliputi persoalan hukum halal/haram melainkan juga hal-hal yang bersifat
pengembangan pemikiran keislaman dan kajian kitab.
Pada waktu itu, Kiai Bisri dan Kiai Wahab pertentangan (berdebat sengit)
membahas soal status Yayasan Yamualim di Semarang yang mengurusi ibadah haji.
Kiai Bisri menentang pendirian Yayasan itu karena tergolong "muamalat yang tidak
jelas". Sementara Kiai Wahab membolehkan karena di samping omsetnya cukup
besar, NU juga sangat memerlukannya. Saat itu Kiai Wahab sempat bilang "Pekih itu
kalau rupek ya di okeh-okeh" (fiqih itu kalau menyempitkan ya diupayakan agar
longgar). Pernyataan ini memang kelakar tetapi mengandung nilai filosofis yang
tinggi. Maksudnya, fiqih itu merupakan produk ijtihady. Karena produk ijtihad maka
keputusan fiqih bukan barang sakral, yang tidak boleh di ubah meskipun situasi sosial
budayanya sudah melaju kencang.
Sebagai produk ijtiahd, maka sudah sewajarnya jika fiqih terus berkembang
lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir
yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami
perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam
melakukan formasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran
dan Hadis) namun selalu tidak lepas dari pertimbangan "konteks lingkungan"
keduanya baik asbab al-nuzul maupun asbabul- wurud. Namun konteks lingkungan
ini kurang berkembang dikalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap
(komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi fokus
pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-
kitab, furu' al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan ta'liqat juga dipandang
sebagai "figuran" yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman muatan teks.
Meskipun di dalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, ta'liqat sering ditemukan adanya
kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (i'tiradl), atas teks-teks matan yang
dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius di lingkungan
NU.
Karena sadar bahwa fiqih merupakan produk ijtihad maka para fuqaha
terdahulu baik al-a'immah al-arba'ah maupun yang lain meskipun berbeda pandangan
secara tajam, mereka tetap menghormati pendapat lain, tidak memutlakkan
pendapatnya dan menganggap ijtihad fuqaha lain sebagai keliru. Mereka tetap
berpegang pada kaidah al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad, yakni bahwa suatu ijtihad
tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kelemahan. Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu
tertentu tetapi sesuai untuk ruang dan waktu yang berbeda. Disinilah fiqih
menunjukkan wataknya yang fleksibel, dinamis, realistis, dan temporal, tidak kaku
dan tidak pula permanen.
Dalam konteks ini pula maka kriteria mu'tabar yang sudah direduksi menjadi
hanya melulu kitab-kitab mazhab empat sebetulnya tidak senafas dengan semangat
fiqih sebagai produk ijtihad. Mengapa demikian? Sebab kriteria mu'tabar dan ghairu
mu'tabar berarti disitu ada pandangan yang mengunggulkan pendapat imam tertentu
dan merendahkan pendapat imam lain. Ini sudah menyalahi kaidah "al-ijtihad la
yunqadlu bi al-ijtihad" diatas. Masalah kutub al-mu'tabarah ini dirumuskan di
Muktamar Situbondo (tahun 1984). Saat itu saya sebagai ketua komisi dan masih
sebagai Rais Syuriyab PWNU Jateng. Kutubul-mu'tabarah itu maksudnya kitab-kitab
Ahlussunah dan dipersempit lagi kitab-kitab madzahib. Kitab-kitab di luar ahl
madzahib tidak boleh dipakai. Contohnya kitab-kitab yang mengkritik tawasul,
praktik tarekat,kewalian dan lain-lain seperti karya Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qoyyim.
Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan
kaidah atau pepatah Arab: khuz ma shafa watruk ma qadlara (ambillah yang jernih
dan tinggalkan yang keruh). Para kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan
mereka mengambil sikap syaddan li dzari'ah (preventif). Dengan alasan supaya umat
tidak terjerumus maka kitab-kitab tersebut dilarang saja. Karena saya kalah suara,
saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa
benar karena itu jangan menggunakan pendekatan like & dislike, ini mu'tabar, itu
tidak. Alasan saya, disamping untuk menghindari fanatisme bermazhab juga kitab-
kitab yang ditolak itu tidak semuanya bertentangan dengan Sunni. Hanya mungkin
pada bagian tertentu saja yang kebetulan berbeda. Hanya gara-gara dalam bab
"tawasul" kitab ini mengecamnya, mengkritik para wali, lantas semua kitab tulisan
mereka tidak boleh dipakai. Prinsipnya mana yang "reasonable" dan "applicable" bisa
digunakan. Tentu tetap harus mempertimbangakn latar budaya masyarakat agar kita
bisa diterima oleh semua komunitas yang majemuk ini.
Lebih jauh, harus ditegaskan bahwa muara fiqih adalah terciptanya keadilan
sosial di masyarakat. Sehingga Ali bin Abi Thalib pernah berkata: "Dunia, kekuasaan,
negara, bisa berdiri tegak dengan keadilan meskipun ma'a al-kufri dan negara itu akan
hancur dengan kezaliman meskipun ma'a al-muslimin". Ibnu Taimiyah juga pernah
berkata: "Allah akan menegakkan negara yang adil meskipun (negara) kafir dan Allah
akan menghancurkan negara yang zalim meskipun (negara) Muslim". Dalam
kerangka berfikir ini, maka seandainya ada produk fiqih yang tidak bermuara pada
terciptanya sebuah keadilan di masyarakat maka harus ditinggalkan. Misalnya "fiqih
politik" (fiqh siyasah) yang seirngkali diktum-diktumnya tidak seirama dengan
gagasan demokrasi yang mensyaratkan keadilan dan persamaan hak manusia di depan
hukum. Rumusan fiqih siyasah klasik biasanya menempatkan kelompok non-Muslim
sebagai "kelas dua" bukan sebagai entitas yang sederajat dengan kaum Muslim. Saya
rasa pandangan ini selain bertabrakan dengan gagasan demokrasi modern juga
bertentangan dengan ide negara-bangsa (nation-state) seperti Indonesia.
Profesionalisme, kemampuan atau kapabilitas mestinya yang menjadi pilihan utama,
bukan Muslim atau tidak, bukan laki-laki atau perempuan.
Ada satu contoh kecil. Suatu hari saya menitipkan barang kepada seorang
yang dapat dipercaya dan kebetulan ia bukan Muslim. Pertanyaannya apakah boleh
menitipkan barang kepada dia? Kan lucu kalau tidak boleh. Tentu tidak semua
persoalan harus melibatkan non-Muslim dengan dalil demokrasi. Kalau mengenai
urusan-urusan yang berkaitan dengan permasalahan umat Islam seperti penyusunan
UU zakat tentu mereka tidak boleh dilibatkan, sebab bukan kompetensinya. Jadi,
prinsipnya pada kata keadilan (kemaslahatan). Maka kalau ada fiqih-fiqih klasik yang
tidak relevan atau tidak bermuara pada keadilan maka harus dibuat fiqih baru. Harus
diingat bahwa yang namanya fiqih itu mesti ijtihady. Fiqih siyasah itu sendiri bukan
sebatas kekuasaan tapi lebih pada kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan
kemaslahatan umum. Rasul sendiri pernah berkata: "Antum a'lamu biumri
dunyakum". Artinya, pada wilayah "non-ibadah" semisal kepolitikan, umat Islam
diberi kebebasan penuh untuk me-rumuskan dasar-dasar politik yang adil dan egaliter
sehingga bisa diterima semua pihak. Rumusan itu harus mengacu pada prinsip
maqashid syari'ah yang meliputi lima hal, yaitu (1) melindungi agama (hifdz al-din),
(2) melindung jiwa dan keselamtan fisik (hifdz al-nafs), (3) melindungi kelangsungan
keturunan (hifdz al-nasl), (4) melindungi akal pikiran (hifdz al-‘aql), (5) melindungi
harta benda (hifdz al-mal). Rumusan lima maqashid ini memberikan pemahaman
bahwa Islam tidak mengkhususkan perannya hanya dalam aspek pemyembahan
Tuhan dalam arti yang terbatas pada serangkaian perintah dan larangan yang tidak
dapat secara langsung dipahami manfaatnya. Dalam kerangka pandang ini,maka
aspek kehidupan apapun yang melingkupi kehidupan manusia (kecuali yang bersifat
ubudiyah murni) harus disikapi dengan meletakkan kemaslahatan sebagai bahan
pertimbangan. Karena dengan hanya menjaga stabilitas kemaslahatan inilah tugas-
tugas peribadatan dilaksanakan dengan baik.
Atas penerbitan buku bunga rampai yang membahas mengenai tradisi system
bahtsul masa'il NU yang umumnya ditulis para generasi muda NU ini saya sangat
menyambut positif jika ditulis dengan jujur dan berdasarkan pada fakta yang terjadi.
Diharapkan dengan penerbitan buku ini semakin memicu dan meningkatkan
profesionalitas dan kinerja para ahli bahtsul masa'il dalam menjalankan kerja
ilmiahnya.3
Ijtihad merupakan usaha keras para sarjana Islam untuk memberikan putusan
hukum pada suatu kasus. Namun yang perlu digarisbawahi adalah ijtihad tidak
terbatas pada ruang lingkup masalah-masalah baru, tetapi ia memiliki kepentingan
lain yang berkaitan dengan khazanah hukum Islam, yaitu dengan mengadakan
peninjauan kembali hukum Islam yang ada di dalamnya berdasar kondisi yang terjadi
3
http://amitrisna.blogspot.com/2013/04/ijtihad-nu.html
pada zaman sekarang dan kebutuhan-kebutuhan manusia untuk memilih mana
pendapat yang terkuat dan paling cocok, dengan merealisasikan tujuan-tujuan syariat
dan kemaslahatan manusia.
“Dari ‘Aisyah ra, dia berkata: “Kami menyediakan peralatan untuk Rasulullah
melakukan gosok gigi dan bersuci, kemudian Allah membangunkannya sesuai beliau
menghendakinya untuk bangun tengah malam, lalu menggosok gigi dan berwudhu,
lalu melakukan salat sembilan rakaat. Beliau tidak duduk selama salatnya itu kecuali
pada rakaat kedelapan dan memuji pada Allah, serta membaca salawat untuk Nabi
Allah.” (HR. Ahmad)
Secara jelas hadits di atas mengungkapkan bacaan lafal tersebut dalam salat,
baik tashahhud pertama maupun akhir. Dan berdasarkan hadith ini pula mereka
berkesimpulan bahwa bacaan tashahhud awal tidak berakhir pada shahādah, tetapi
harus disempurnakan sampai salawat. Kesimpulan tersebut mereka ambil dengan
analisis makna lafal (‘ibārah al-nash), yakni mengambil kesimpulan hukum sesuai
ungkapan lafal.
Para ulama Hisbah Persatuan Islam memahami, bahwa ayat ini disamping
mengemukakan pesan di atas, juga mengisyaratkan agar umat Islam melakukan
langkah-langkah agar dapat membentuk generasi yang lebih baik, sehingga siap untuk
ditinggalkan orang tuanya dalam keadaan yang lebih baik. Langkah yang saat itu
dapat dilakukan adalah program KB dalam konotasi pengaturan jarak kelahiran.
Dengan demikian menurut mereka, mengikuti program KB adalah sesuai dengan
ketentuan Allah yang diisyaratkan melalui surah al-Nisā‘ ayat 9.
Keputusan ini, yang tertulis pada satu fatwa “Membatasi Kelahiran”, juga
didasarkan pada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal, Muslim
dan Abu Dawud, yang menyebutkan bahwa Nabi memperkenankan bagi umat Islam
untuk mempraktekkan coitus interruptus (‘azl) untuk mencegah kehamilan. Dengan
perbandingan ini, fatwa tersebut menyimpulkan bahwa bentuk kontrol kehamilan
yang lain pun diizinkan. Fatwa yang sama juga mencatat bahwa Keluarga Berencana
hanya mencakup upaya pencegahan kehamilan, sedangkan praktek pengguguran
kandungan (aborsi) jelas-jelas dilarang oleh Islam.
Kesimpulan
Persatuan Islam lahir di saat umat Islam membutuhkan sebuah wadah yang
mampu membersihkan dari unsur-unsur pra-Islam sebagaimana yang timbul di
kalangan umat Islam Indonesia. Gerakan Persatuan Islam yang cenderung puritan
tidak menutup kemungkinan disebabkan karena pengaruh dari guru utama mereka,
yakni Ahmad Hassan yang terkenal dengan medernis tetapi menjunjung tinggi nilai-
nilai fundamentalisme, bahkan beberapa sarjana menyebutnya sebagai pemikir Islam
radikal. Keadaan perpolitikan lokal pada saat sebelum kemerdekaan juga sedikit
banyak mempengaruhi pemikiran hukum para pemimpin mereka yang dianggap
sebagai ulama pemberantas bid’ah dan khurafat.
Daftar Kepustakaan
12.