Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

 Majelis Tarjih dalam beristidlal dasar utamanya ialah al-Quran dan as-Sunnah.
Ijtihad dan Istinbath atas dasar ‘illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di
dalam nash dapat dilakukan pula sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abuddi,
dan merupakan hal yang sangat dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan hidup
manusia. Dengan kata lain Majelis Tarjih menerima ijtihad termasuk qiyas sebagai
cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
 Tidak mengikatkan diri kepada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat imam-
imam mazhab dapat menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum sepanjang
sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dipandang kuat.
 Dalam memutuskan sesuatu keputusan dilakukan dengan cara musyawarah.
Dalam menetapkan masalah ijtihad digunakan system ijtihad ijma’iy. Dengan
demikian, pendapat perorangan dari anggota majelis tidak dapat dipandang
sebagai pendapat majelis
 Majelis Tarjih berperinsip terbuka dan toleren, dan tidak beranggapan bahwa
hanya keputusan Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar
landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat yang didapat ketika keputusan
diambil. Dan koreksi dari siapapun akan diterima, sepanjang diberikan dalil-dalil
yang kuat. Dengan demikian Majelis Tarjih dimungkinkan merubah keputusan
yang pernah ditetapkan
1 Ijtihad Bayani

2 Ijtihad Qiyasi

3 Ijtihad Istishlahi
Ijtihad Bayani

Ijtihad Bayani adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan hukum
dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan al-hadits agar
nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya.
Bayan dibedakan dalam 5 macam:
1. Bayan Taqrir
2. Bayan Tafsir
3. Bayan Taghyir
4. Bayan Tabdil
5. Bayan Dlalurah
1. Bayan Taqrir:
Bayan Taqrir adalah penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan
dasar-dasar lain yang menambah kejelasan yang dimaksud, baik makna kata-kata
maupun ungkapan dalam nash atau dalil. Contoh:

)73 ‫فسجد املالئكة كلهم أحمعىن (ص‬


Kata “malaikat” mengandung kata umum “seluruh malaikat” yaitu ditegaskan
dengan “kulluhum ajma’in” (seluruhnya).
2. Bayan Tafsir:
Bayan Tafsir adalah penjelasan suatu lafazh atau kata-kata, sehingga nash tersebut
memberikan kejelasan yang dimaksud. Seperti: menafsirkan kata-kata yang mujmal,
khafi (yang tersembunyi maknanya), musykil (yang sulit diartikan), musytarak (yang
mengandung makna ganda) dll. Penjelasan tafsir disini adalah mencari secara detail
terhadap makna yang dimaksud dengan lafazh-lafazh tersebut. Seperti firman Allah
(2: 43):
...‫وأقيمىا الصالة وآتىا السكاة‬
Kata-kata dalam ayat itu mujmal, perlu penjelasan. Maka sabda Nabi:

‫صلىا كما رأيتىمني أصلي‬


3. Bayan Taghyir:
Bayan Taghyir adalah keterangan-keterangan yang mengubah makna yang zhahir
menjadi makna yang dituju.
Seperti kata-kata yang mengandung pengecualian atau istisna’. Dalam hal ini, usaha
yang dilakukan adalah mencari mukhashshish dari makna umum tadi.
Dalam thuruq-u ‘l-istinbath adanya takhsis itu:
A. Berupa kata-kata (bil kalam)
B. Bukan kata-kata (bi ghairil kalam)

A. Bil Kalam:
Yaitu bisa berupa kata-kata yang berdiri sendiri (mustaqil) dan bersambung
(muttashil), dan juga kata-kata yang tidak berdiri sendiri/bersambung (ghairu
muttashil), seperti:
1. Istitsna’, contohnya bahwa orang kafir akan mendapatkan murka Allah, kecuali
kekafirannya itu dipaksa sedangkan batinnya tetap beriman (QS al-Nahl: 106)
2. Badal ba’ad min al-kull, contohnya bahwa Allah mewajibkan setiap orang untuk
menunaikan ibadah haji, hanya bagi yang mampu (QS Ali Imran: 97)
3. Ghayah, contohnya bahwa Allah akan tidak menyiksa kaum yang berbuat
bertentangan dengan agama, sampai mereka itu mendapat dakwah ajakan Rasul
(QS al-Isra: 15)
Dapat pula berupa kata-kata yang mustaqil munfashil. Dalam hal seperti ini, perlu
ijtihad dengan bayan taghyir, seperti orang yang menuduh orang lain tanpa bukti
dicambuk 80 kali (QS al-Nur: 4). Dalam (QS al-Nur: 6-9) suami istri yang dituduh
menuduh berzina dapat diselesaikan tanpa cambuk dengan sistem hukum “li’an”
Bighairil Kalam:
Yaitu bisa berupa logika yang logis, bisa berupa adat kebiasaan.
Bisa juga berupa penjelasan tentang kata-kata yang mutlaq menjadi muqayyad.
Seperti dalam ayat 2 surat al-Maidah:
...‫حرمت عليكم امليتة والدم‬
Dan dalam ayat 145 surat al-an’am (lafazh muqayyad)
ً‫ُقل َل َأح ُد في َما ُأوح َي إ َلي ُم َحر ًما َع َلى َطاعم َيط َع ُم ُه إل َأن َي ُكى َن َمي َت ًة َأو َد ًما َمس ُفىحا‬
ِ ِ ِ ِ ِ ِ
Mencari keterangan apakah satu lafazh itu muqayyad atau tidak, termasuk ijtihad
bayani dengan bayan taghyir.
4. Bayan Tabdil:
Bayan Tabdil adalah usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya,
mencari apakah ada nasikh-mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh
seorang mujtahid. Masalah nasikh-mansukh itu, terutama diperlukan dalam dalil
sunnah, karena dalam al-Qur’an akhir-akhir ini berkembang lagi pendapat yang
menganggap tidak adanya nasikh-mansukh itu adalah pada ayat-ayat yang terdapat
pada kitab-kitab sebelum al-Qur’an. Nasikh-mansukh dalam al-Qur’an bukanlah
menghapus ayat terhadap ayat lain, tetapi mentakhsiskan ayat yang bermaksud
umum oleh ayat-ayat yang khusus. Yang jelas, ada nasikh mansukh pada sunnah/al-
Hadits.
Seperti contoh nabi SAW dahulu melarang ziarah kubur, yang kemudian
membolehkannya, yang terkenal dalam sabdanya yang berbunyi:
)‫( ابن ماحه‬..‫كنت نهيتكم عن زيارة القبىر فسوروها‬
5. Bayan Dlalurah:
Bayan Dlarurah adalah keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak
harus diungkapkan. Bayan ini tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan.
Bayan Dlarurah itu ada 4 macam yaitu:
1. Sesuatu yang didiamkan tetapi sebetulnya harus diucapkan. Seperti :

‫وألبىيه لكل واحد منهما السدش مما ترك إن كان له ولد فإن لم يكن له ولد وورثه أبىاه‬
)11 ‫فألمه الثلث (النساء‬
Dalam ayat itu tidak disebutkan ketentuan sisa yang diambil dari 1/3 untuk
ibunya, padahal dalam ayat tersebut disebutkan pewarisnya adalah ayah dan
ibunya. Tidak menyebutkan yang mendapat sisa bagian sesudah diambil ibu 1/3
mengandung pengertian bahwa disebutkannya bagian ayah adalah sisa warisan
setelah diambil 1/3 oleh ibu, maka sisanya yaitu 2/3 menjadi bagian ayah.
2. Petunjuk keterangan diamnya seseorang yang berfungsi memberi
penjelasan/keterangan menunjukan keizinan, seperti diamnya Nabi waktu
menyaksikan perbuatan sahabat. Hal itu mengandung keterangan keizinan Nabi
terhadap perbuatan tersebut. Seperti penjelasan Nabi tentang diamnya
seseorang anak gadis ketika ditanya oleh orangtuanya untuk dinikahkan, diamnya
anak itu dianggap setuju.
3. Penjelasan tentang diamnya seseorang dianggap untuk menghindari adanya
tipuan. Seperti diamnya wali atau pengampu atas anak yang diampunya
melakukan akad jual beli. Untuk menghindari kerugian bagi orang lain.
4. Keterangan sesuatu yang didiamkan atau tidak disebutkan, tetapi mengandung
suatu penjelasan yang disebutkan kebiasaan orang arab menghitungnya.
Ijtihad Qiyasi

Ijtihad ini dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada
nashnya secara langsung, seperti ganja/narkoba. Tetapi ada nash al-Qur’an maupun
al-sunnah yang menunjukan keharaman zat sejenis, seperti keharaman khamr.
Dengan mendasarkan masalah yang akan dicari hukumnya, menghisap ganja itu
tidak didapati pada al-Qur’an maupun al-Sunnah, yang ada kesaaman adalah
larangan al-Qur’an tentang khamr. Menyamakan hukum keharaman ganja dengan
hukum keharaman khamr, menurut ahli ushul disebut menetapkan hukum
berdasarkan qiyas (anologi, menurut ilmu logika/mantiq). Menafsirkan ayat al-
Qur’an dengan metode ini dapat saja dilakukan dengan nama Ijtihad Qiyasi
Ijtihad Istishlahi

Ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak ada nash langsung yang
mengandung hukum masalah yang dicari, dengan mendasarkan mashlahah yang
akan dicapai.
Ijtihad istishlahi dapat ditempuh dengan beberapa metode :
1. Metode Istihsan
a) Mengecualikan dari nash umum yang melarang dengan membolehkannya
karena adanya kemaslahatan yang akan dicapai atas dasar darurat maupun
menghindari kesempitan, seperti: menjual tanah waqaf
b) Mengecualikan dari qiyas yang berdasar illah jali menggunakan qiyas khafi
2. Metode Saddu adz-dzari’ah
Artinya menutup sesuatu (yang dibolehkan) yang dapat menuju kerusakan, seperti:
wanita tertalaq pada masa iddah tidak boleh berhias dll, dan pelarangan orang yang
sakit keras untuk menikah
3. Menetapakan hukum sesuatu didasarkan pada kebiasaan (‘urf) yang telah ada,
berlaku mendatangkan manfaat dan tidak dilarang oleh nash serta tidak
mendatangkan mafsadah yang lebih besar, seperti: memberikan hadiah pada
saat khitbah, jual beli kendaraan dengan kunci-kuncinya dll
4. Ijtihad dalam menafsirkan ayat kauniyah. Ijtihad ini menafsirkan ayat yang
mengandung ketentuan sunnatullah, yang berupa gejala alam yang disebut
kauniyah ini dapat dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, seperti:

‫مرج البحرين يلتقيان بينهما برزخ ل يبغيان‬


Pertemuan samudra atlantik dan meditrania
(Jaques Yves Cousteau-Prancis)
Kesimpulan
1. Ijtihad berasal dari kata ja-ha-da yang artinya mencurahkan segala kemampuan
atau menanggung beban kesulitan, sedangkan secara istilah berarti mencurahkan
segala kesanggupan mujtahid dalam mendapatkan hukum syara ’amali yang
tidak terdapat dalam al-Quran maupun as-sunnah dengan satu metode.
2. Metode ijtihad dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah 3 bentuk yaitu:
a) Ijtihad Bayani, adalah usaha yang dilakukan mujtahid dalam mendapatkan
hukum dari nash-zhanni dengan menginterpretasikan nash-nash al-Qur’an dan
al-hadits, agar nash itu menjadi lebih jelas dipahami maknanya. Terdapat lima
bayan yaitu:
Bayan Taqrir - Bayan Tafsir - Bayan Taghyir - Bayan Tabdil - Bayan Dlarurah
a) Ijtihad Qiyasi, adalah ijtihad yang dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu
masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.
b) Ijtihad Istishlahi, adalah ijtihad dalam usaha mendapatkan hukum yang tidak
ada nash langsung yang mengandung hukum masalah yang dicari, dengan
mendasarkan masalah yang akan dicapai, yang disebut ijtihad istishlahi disini
dapat ditempuh dengan beberapa metode yaitu:
Metode Istihsan - Metode Saddu adz-dzari’ah - Metode Istishlah - Menetapkan
hukum ‘urf - Menafsirkan ayat kauniyah

Anda mungkin juga menyukai